11 Hingga saat ini belum pernah dilaporkan upaya perlindungan bagi
M. teijsmannii , baik secara ex-situ maupun in-situ. Berdasarkan data dari
Herbarium Bogoriense dan NHN Leiden, salah satu spesimen M. teijsmannii dikoleksi dari Hortus Botanicus Kebun Raya Bogor. Namun setelah melalui
pengecekan berulang termasuk pada spesies sinonimnya baik di lapangan baik di database maupun dari data katalog kartu mati, aksesi dari spesies ini tidak pernah
ada, yang berarti belum pernah dikoleksi di Kebun Raya Bogor. Dari seluruh lokasi populasi M. teijsmannii, hanya satu yang merupakan kawasan perlindungan
yang berada di bawah Departemen Kehutanan, yaitu P. Sempu yang berstatus cagar alam, sehingga penentuan status populasi terkini di kawasan tersebut untuk
menentukan langkah konservasinya merupakan langkah awal yang sangat diperlukan bagi pelestarian M. teijsmannii.
2.1.10 Aspek Pemanfaatan
M. teijsmannii dilaporkan dapat bermanfaat sebagai bahan pewarna merah
dari getah pada batang kayu yang dikeluarkannya Heyne 1987. Hasil survey pendahuluan yang telah dilakukan di Desa Parang Kecamatan Banyakan di
kawasan Gunung Wilis, Kediri, mendukung data tersebut. Pada awal abad ke-20, getah dari buah dan kayu M. teijsmannii digunakan untuk bahan pewarna kertas
payung. Selain getahnya, kayunya juga cukup sering digunakan untuk bahan bangunan pada tiang dan penyangga rumah serta untuk gandar cangkul. Di
samping itu, daun dan buahnya dipakai sebagai bahan campuran ramuan obat- obatan, namun khasiatnya tidak diketahui secara khusus.
Hegnauer 2001 melakukan uji biokimia pada biji M. teijsmannii dan menemukan kandungan minyak sebesar 3,5 vol. Akan tetapi jenis minyak yang
terkandung dalam biji M. teijsmannii yang diuji tersebut tidak dijelaskan jenisnya.
2.2 Kategori Kelangkaan
Kelangkaan merupakan sebuah konsep yang kompleks karena memiliki sejumlah batasan yang berlainan dan suatu kombinasi antara faktor-faktor dinamis
yang berkaitan dengan penyebaran spesies. Kelangkaan spesies ini bersifat kompleks secara fenomenal: temporal, spasial dan taksonomik Widyatmoko
12 2001. Ditinjau dari fenomena spasialnya, kelangkaan suatu spesies sangat
bergantung pada distribusi spesies dalam area tertentu Cropper 1993. Berdasarkan penyebabnya yang berupa proses alami dan non-alami,
kelangkaan spesies tumbuhan dikategorikan ke dalam tiga kelompok Cropper 1993. Kelompok pertama, spesies yang memiliki beberapa populasi besar dan
tidak dianggap memiliki risiko kepunahan. Biasanya kelangkaan spesies ini diakibatkan oleh perusakan atau degradasi habitatnya. Kelompok kedua, spesies
endemik, di mana jumlah populasi maupun jumlah individu dalam setiap populasinya sangat rendah. Spesies ini memiliki risiko kepunahan karena adanya
proses alami seperti serangan hama, kekeringan atau bencana alam. Kelompok ketiga, tumbuhan langka yang terancam karena kegiatan-kegiatan yang baik secara
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesintasan spesies tersebut. Penyebab utamanya adalah konversi habitat seperti praktek-praktek agrikultur,
pembangunan jalan, pertambangan. Kelangkaan spesies dapat berujung pada kerentanan terhadap kepunahan.
Spesies-spesies yang rentan terhadap kepunahan memiliki paling tidak satu dari 10 karakter tertentu yang dirangkum dalam Primack et al. 1998. Spesies-spesies
tersebut perlu mendapat perhatian agar keberadaannya dapat terselamatkan dari kepunahan.
Untuk melindungi keberadaan suatu species, The IUCN Species Survival Commission telah menetapkan penggolongan spesies berdasarkan risiko
kepunahannya dalam Red Data Book, yang direvisi secara kontinyu. Sejak pertama kali diperkenalkan, penggunaan kategori ini telah diakui dan dipakai secara
internasional. Ada delapan kategori kelangkaan yang ditetapkan IUCN Hilton- Taylor 2000, yaitu:
1. Extinct EX punah
Suatu taksa dikategorikan Extinct jika individu terakhir telah mati. 2.
Extinct in the wild EW punah di alam Suatu jenis dikategorikan EW jika taksa tersebut diketahui hanya ada dalam
budidaya, di karantina atau sebagai suatu populasi yang telah mengalami naturalisasi di luar daerahnya. Suatu taksa diduga punah di alam jika survey-
survei sudah dilakukan pada daerah yang diduga diketahui sebagai habitatnya,
13 pada waktu tertentu diurnal, musiman, tahunan dalam sepanjang daur
hidupnya, tetapi taksa tersebut tidak ditemukan lagi. 3.
Critically endangered CR Suatu takson dikategorikan CR jika taksa tersebut menghadapi risiko
kepunahan yang sangat ekstrim di alam dalam waktu yang sangat dekat, dengan kriteria-kriteria yang telah ditetapkan.
4. Endangered EN genting
Suatu takson dikategorikan EN jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR tetapi mengalami risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu
dekat, yang didefinisikan dengan kriteria-kriteria tertentu. 5.
Vulnerable VU rentan Suatu taksa dikategorikan VU jika taksa tersebut tidak termasuk kategori CR
atau EN tetapi mengalami risiko kepunahan yang tinggi di alam dalam waktu dekat, seperti yang didefinisikan dengan kriteria-kriteria tertentu.
6. Lower Risk LR risiko rendah
Suatu taksa dikategorikan LR jika taksa tersebut setelah dievaluasi, tidak memenuhi criteria-kriteria CR, EN atau VU. Taksa yang termasuk kategori ini
dibagi menjadi tiga sub kategori: 1.
Conservation dependent cd tergantung upaya konservasi 2.
Near threatened nt Nyaris terancam 3.
Least concern lc Kekhawatiran minimal 7.
Data deficient DD Suatu taksa termasuk kategori ini jika informasi distribusi dan atau status
populasinya tidak memadai untuk membuat dugaan risiko kepunahan suatu taksa baik secara langsung atau tidak langsung.
8. Not evaluated NE
Suatu taksa termasuk kategori NE jika taksa tersebut belum dapat dimasukkan ke dalam kategori-kategori No. 1-7 karena belum dievaluasi.
Berdasarkan IUCN 2008, ada beberapa kriteria khusus untuk kategori CR, EN dan VU Tabel 2. M. teijsmannii dikategorikan ke dalam EN pada kriteria
B1+2C berdasarkan data kualitatif spesimen herbarium IUCN 2006, artinya spesies ini diperkirakan memiliki daerah sebaran yang sempit di mana luas daerah
sebarannya extent of occurrence 5000 km
2
dan luas daerah yang ditempatinya
14 area of occupancy 500 km
2
, dengan jumlah perkiraan 2500 individu dewasa. Kemungkinan kepunahan dari spesies ini juga tergolong tinggi. Primack et al.
1998 menyatakan bahwa tingginya tingkat risiko kepunahan spesies disebabkan oleh kemerosotan populasi yang besar, area geografi dan luas area yang
ditempatinya sempit serta ukuran populasi kecil. Tabel 2 Kriteria status kelangkaan untuk kategori kritis, genting dan rentan
Kriteria Kritis CR
Genting EN Rentan VU
A Penurunan populasi
Pengukuran dilakukan 10 tahun atau 3 generasi
A1 90 70 50
A2, A3, A4 80 50 30
B Kisaran sebaran geografis:
B1 : luas daerah
sebaran 100 km
2
5000 km
2
20000 km
2
B2 : luas daerah
ditempati, atau 2 dari 3 kriteria
berikut
10 km
2
500 km
2
2000 km
2
a Jumlah lokasi =1
≤5 ≤10
b penurunan terus menerus c fluktuasi ekstrim
C Populasi kecil dan menurun
Jumlah individu dewasa C1 dan C2
250 2500
10000 C1:
Penurunan populasi terus menerus
s.d. 100 tahun
25 dalam 3 tahun atau 1 generasi
20 dalam 5 tahun atau 2 generasi
10 dalam 10 tahun atau 3 generasi
C2:
ai jumlah individu dewasa pada sub
populasi terbesar
50 250 1000
aii individu dewasa dalam 1
subpopulasi
90-100 95-100 100
b fluktuasi ekstrim dalam jumlah individu dewasa
D Populasi sangat kecil atau populasi terbatas restricted
D1 :
jumlah individu dewasa
50 250
1000 D2 :
daerah ditempati terbatas
- - 20
km
2
atau ≤5 lokasi
E Analisis kuantitatif;
Kemungkinan punah di alam
≥50 dalam 10
tahun atau 3 generasi maks 100 tahun
≥20 dalam 20 tahun atau 5 generasi
maks 100 tahun
≥10 dalam 100 tahun
Sumber: IUCN 2008.
15
2.3 Istilah-istilah yang digunakan