48 kondisi lingkungan eksternal yang dibutuhkan untuk germinasi yaitu air,
temperatur yang sesuai dan oksigen. Biji tidak mempersingkat aktivitas fisiologinya selama periode germinasi hingga biji mampu melakukan imbibisi
sejumlah air. Ketiga faktor tersebut perlu diteliti sejauh mana pengaruhnya terhadap perkecambahan biji-biji M. teijsmannii untuk mendukung upaya
propagasinya secara ex-situ. Berdasarkan kondisi di lokasi penelitian in-situ, kandungan air tersedia pada tanah termasuk rendah antara lain karena ruang pori
total yang tinggi Tabel 12
sehingga dapat menjadi salah satu penyebab biji-biji M. teijsmannii
yang berserakan di lantai hutan lebih lambat berkecambah. Selain dipengaruhi oleh kondisi lingkungan eksternal, proses germinasi
berkaitan dengan morfologi biji. Biji M. teijsmannii memiliki tiga lapisan selaput biji di lapisan sebelah dalam aril. Lapisan itu berturut-turut dari luar ke dalam
adalah: 1 selaput biji bagian luar yang tipis dan halus, 2 lapisan tengah yang keras, dan 3 lapisan dalam yang berongga. Lapisan dalam ini menuju ke bagian
albumen yang tebal membentuk garis-garis atau pita-pita membentuk suatu pola. Embrio berukuran kecil dan terletak di bagian basal biji. Pada saat berkecambah,
kotiledon membesar di bagian basal biji tersebut. Adanya lapisan biji yang berlapis-lapis dan di antaranya terdapat lapisan yang keras juga dapat menentukan
waktu perkecambahan di mana pada masa ini biji tidak melakukan aktivitas fisiologi hingga biji mampu melakukan imbibisi sejumlah air dari luar yang
ditentukan pula oleh sifat selaput biji. Masa germinasi serta kecepatan pertumbuhan semai yang relatif lambat
kemungkinan ada kaitannya dengan daya regenerasinya yang membuatnya memiliki tingkat seedling establishment yang rendah di alam. Hal ini dapat
menjadi salah satu sebab keberadaannya di hutan alam menjadi semakin jarang.
5.2.5 Interaksi dengan komponen biologis
5.2.5.1 Asosiasi Interspesifik
Total sebanyak 104 spesies telah diuji asosiasinya dengan M. teijsmannii dengan tes varians VR; variance-ratio test mengikuti Schluter 1984, dalam
Ludwig Reynolds 1988. Nilai VR diperoleh 1,322 menunjukkan adanya asosiasi positif secara keseluruhan VR 1. Signifikansi VR yang dinyatakan
49 dengan W menunjukkan bahwa asosiasi interspesifik yang ada adalah nyata
χ
2
hitung
92,548
χ
2
tabel
90,531
. Hasil pengujian
χ
2
untuk tipe asosiasi interspesifik memperlihatkan 12 spesies berasosiasi positif dengan M. teijsmannii Tabel 11. Tingkat asosiasi yang
cukup tinggi berdasarkan Jaccard Index ditunjukkan oleh Pterospermum javanicum
Sterculiaceae, Cryptocarya ferrea Lauraceae Orophea hexandra Annonaceae dan Aglaia elliptica Meliaceae. Interaksi ini mendukung
pendugaan dari hasil penelitian bahwa M. teijsmannii memiliki pola penyebaran yang mengelompok diduga karena memiliki asosiasi interspesifik dengan spesies
tertentu dalam habitatnya pasal 4.2.2.. Menurut Odum 1994, interaksi yang kuat antar individu anggota populasi akan mendorong terjadinya pembagian ruang yang
sama. Tabel 11 Hasil uji asosiasi interspesifik antara Myristica teijsmannii dengan 12
spesies di CA Pulau Sempu berdasarkan tes chi-square
SPECIES FAMILI
Tipe Asosiasi Indeks Jaccard
Pterospermum javanicum Sterculiaceae
positif 0.529 Cryptocarya ferrea
Lauraceae positif 0.500
Orophea hexandra Annonaceae
positif 0.455 Aglaia elliptica
Meliaceae positif 0.467
Polyalthya lateriflora Annonaceae
positif 0.394 Drypetes ovalis
Euphorbiaceae positif 0.235
Artocarpus elasticus Moraceae
positif 0.308 Buchanania arborescens
Anacardiaceae positif 0.296
Knema laurina Myristicaceae
positif 0.308 Aglaia
sp. Meliaceae
positif 0.222 Prunus javanicus
Rosaceae positif 0.222
Diospyros malabarica Ebenaceae
positif 0.079
indeks Jaccard menunjukkan tingkat asosiasi pada α 0,05;df=1; nilai 0 setara dengan tidak ada asosiasi; nilai 1
setara dengan tingkat asosiasi maksimum.
Asosiasi positif M. teijsmannii dengan spesies Myristicaceae lainnya yang ditemukan di CAPS, yaitu dengan Knema laurina, sedangkan dengan Knema
glauca tidak memperlihatkan asosiasi yang signifikan. Hal ini memperlihatkan
bahwa kedua spesies dalam famili yang sama tersebut tampaknya memiliki kebutuhan ekologis dan habitat yang serupa. Keduanya merupakan spesies yang
menempati kawasan hutan hujan dataran rendah, namun K. laurina memiliki kisaran distribusi geografis yang lebih luas dibandingkan M. teijsmannii. Populasi
50 K. laurina
diketahui menyebar di tidak hanya di Jawa, tapi juga di Sumatra, Borneo, bahkan Thailand dan Semenanjung Malaysia Anonim 2008.
Pendugaan bahwa M. teijsmannii memiliki asosiasi dengan anggota famili Lauraceae, Myrtaceae, Ebenaceae, Moraceae atau Burseraceae yang merupakan
famili khas hutan tropis dataran rendah, ada sebagian yang terbukti. Di kawasan CAPS, M. teijsmannii berasosiasi positif dengan Cryptocarya ferrea Lauraceae,
dan Diospyros malabarica Ebenaceae tapi tidak dengan enam spesies Diospyros lainnya, dengan Artocarpus elasticus Moraceae tapi tidak dengan Streblus asper
dan Ficus spp. yang cukup banyak ditemui di CAPS. M. teijsmannii memperlihatkan kemungkinan asosiasi positif dengan Canarium hirsutum
Burseraceae dan Acmena acuminatissima Myrtaceae namun uji statistik tidak menunjukkan nilai yang signifikan Lampiran
6 .
Asosiasi positif M. teijsmannii dengan Artocarpus elasticus, Pterospermum javanicum, Cryptocarya ferrea,
Aglaia elliptica dan Diospyros malabarica menunjukkan kecenderungan sifat M. teijsmannii yang memerlukan naungan
karena kelima spesies asosiasi tersebut merupakan spesies-spesies pohon yang relatif besar, tinggi serta memiliki tajuk yang cukup lebar atau rapat. Hal ini
mendorong pendugaan bahwa M. teijsmannii merupakan spesies yang semi-toleran naungan, yaitu memiliki sifat membutuhkan naungan dalam sebagian daur
hidupnya. Hal lain yang memperkuat argumen ini adalah berkaitan dengan keberadaan Macaranga sp. yang melimpah di Telaga Sat. Spesies ini diketahui
merupakan spesies pionir yang menyukai cahaya atau tidak toleran naungan. Ini menunjukkan bahwa Telaga Sat memiliki intensitas cahaya lebih tinggi sehingga
individu M. teijsmannii ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit.
5.2.5.2 Predasi dan Agen Dispersal Biji