60
5.2.6.2 Faktor klimatik
Derajat keasaman yang langsung diukur di lapangan menunjukkan bahwa kisaran pH di lokasi penelitian termasuk netral dengan kisaran 6.0 – 7.0 Tabel 14.
Tabel 14 Data iklim mikro pada tanah dan udara di lokasi penelitian
TANAH UDARA Lokasi
Jumlah total
individu pH
Kelembaban
§
Suhu
§
C Kelembaban
§
Suhu
§
C
Air Tawar 34
7.0 55 24 70-92
22-25 Gua Macan
28 7.0
45-75 26
65-80 25-26
Telaga Lele 5
6.7-7.0 75-86 26-28 70-81 26-29 Telaga Sat
7 6.0-7.0
55-79 25-28
60-81 25-26
Teluk Semut 22
7.0 45-70
25-26 53-68
25-28 Waru-Waru 59
6.9-7.0 70-75 26-28 70-79 27-30
§
data kelembaban dan suhu bukan merupakan nilai minimum dan maksimum; pH diukur langsung di lokasi penelitian menggunakan soil tester.
Kelembaban udara dan tanah di Teluk Semut pada waktu pengamatan memiliki kisaran 45-70 pada tanah dan 53-68 pada udara. Berdasarkan
estimasi visual, kawasan ini relatif terbuka sehingga mendapatkan penyinaran matahari yang lebih banyak. Selain letaknya yang relatif dekat dengan pantai,
fenomena ini dapat dihubungkan dengan ketidakseimbangan struktur populasi di lokasi ini. Kerapatan semai yang melimpah tidak diikuti oleh tingginya kerapatan
umur individu yang lebih tua karena faktor kelembaban udara yang rendah. Kawasan Air Tawar yang juga memiliki struktur populasi M. teijsmannii yang
tidak seimbang terdapat di kawasan dengan kelembaban tanah rata-rata rendah namun kelembaban udara masih tinggi karena tutupan vegetasinya masih tergolong
baik dan hanya bagian pesisir mangrove yang mendapat gangguan pengunjung, serta lokasi hutan berada pada elevasi yang lebih tinggi daripada Teluk Semut.
5.2.6.3 Faktor topografis
Lokasi penelitian dilakukan pada kisaran ketinggian 17-102 m dpl. Dalam kisaran tersebut, individu-individu M. teijsmannii dijumpai pada ketinggian 25-82
m dpl. Berdasarkan hasil uji statistik, kehadiran M. teijsmannii dipengaruhi oleh variabel kemiringan dan aspek atau arah lereng Tabel 15. Untuk menguji kategori
mana yang memiliki pengaruh tersebut, uji ini dilanjutkan dengan uji generalized linear model
atau GLM Tabel 16.
61 Tabel 15 Perbandingan variabel topografi dengan kehadiran dan ketidakhadiran
M. teijsmannii di CA Pulau Sempu
Parameter topografi M. teijsmannii
hadir M. teijsmannii
Tidak hadir Z P
Ketinggian 54.28 98
56.80 52 1.0956
0.273 Kemiringan 5 kategori
13.43 98 18.19 52
-3.2481 0.001
Aspek 5 kategori 2.21 98
2.69 52 -2.5242
0.011 Keterangan:
Nilai yang ditampilkan adalah mean; angka di dalam kurung menunjukkan jumlah kuadrat atau sampel yang diuji; Z merupakan median hasil uji Wald; P0.005; P0.05.
Tabel 16 Ringkasan hasil pengujian generalized linear model GLM untuk distribusi populasi M. teijsmannii
Variabel prediktor Level
pengaruh Estimasi
Standar error
Wald statistik
P Lereng datar 1.941
0.446 18.904
0.000 Lereng landai 0.249
0.448 0.309
0.578 Lereng agak
curam -1.887
0.926 4.150
0.042 Lereng curam
0.416 0.473
0.775 0.379
Arah lereng utara-timur
-1.251 0.467
7.179 0.007
Arah lereng selatan-timur
0.485 0.530
0.839 0.360
Arah lereng utara-barat
1.156 0.493
5.513 0.019
Arah lereng selatan-barat
0.183 0.448
0.166 0.683
Ketinggian -
0.001 0.012 0.007
0.936 Deviance 1,104
Keterangan: Nilai estimasi merupakan besarnya kontribusi variabel prediktor terhadap keberadaan
populasi M. teijsmannii; dengan mengabaikan tanda, nilai yang mendekati 1 menunjukkan ketepatan estimasi; tanda negatif menunjukkan arah pengaruh.
Pengujian statistik untuk model distribusi populasi M. teijsmannii dengan menggunakan metode GLM pada distribusi binomial dengan fungsi hubungan logit
terhadap variabel topografi memberikan ketepatan model atau deviansi sebesar 1,10 yaitu baik karena mendekati nilai 1 dengan nilai signifikan pada lereng dan
arah lereng. Sesuai dengan hasil uji Wald Tabel 15 hasil uji GLM menunjukkan bahwa distribusi populasi M. teijsmannii ditentukan oleh lereng dan arah lereng
tapi tidak oleh ketinggian Tabel 16. Kategori lereng yang berpengaruh pada kehadiran spesies adalah lereng datar kemiringan 0-8 dan lereng agak curam
15-25. Pada lereng datar dijumpai keberadaan M. teijsmannii yang lebih banyak sedangkan pada lereng agak curam keberadaannya semakin sedikit.
Pada arah lereng utara-timur kehadiran individu M. teijsmannii terlihat rendah sedangkan pada arah lereng utara-barat sebaliknya. Hal ini menunjukkan
62 bahwa M. teijsmannii membutuhkan sinar matahari untuk pertumbuhan dan
perkembangannya namun dalam intensitas yang tidak penuh sepanjang hari.
5.3 Aspek Konservasi
5.3.1 Implikasi Karakter dan Interaksi Biologis M. teijsmannii terhadap
Konservasi Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian di dalam
kawasan CAPS memperlihatkan kestabilan populasi, dengan kecenderungan kerapatan semakin tinggi pada fase-fase lebih muda Gambar
8 . Akan tetapi jika
ditinjau per lokasi hutan, terdapat ketidakseimbangan struktur populasi di kawasan Telaga Lele, Telaga Sat, Air Tawar dan Teluk Semut. Di hutan kawasan Telaga
Lele dan Telaga Sat tidak dijumpai individu M. teijsmannii tingkat semai yang menunjukkan bahwa regenerasi di kawasan ini tidak berlangsung semestinya, atau
ada gangguan pada proses regenerasinya. Oleh karena itu, di kedua lokasi tersebut dapat dilakukan program reenforcement atau menanam kembali sejumlah individu
untuk menambah jumlah individu dalam populasinya, dalam hal ini tingkat semai, yang berasal dari lokasi lain di kawasan CAPS. Sumber semai dapat berasal dari
Teluk Semut yang memiliki kerapatan semai tertinggi. Ketidakseimbangan populasi terlihat pula di kawasan Teluk Semut. Selisih
kerapatan tingkat semai dan tingkat individu pra-dewasa maupun dewasa yang sangat besar antara lain memberikan indikasi bahwa tingkat kesintasan semai di
kawasan ini rendah. Diijinkannya pengunjung mendatangi kawasan ini dengan tujuan wisata, secara langsung ataupun tidak langsung dapat memberikan dampak
negatif bagi kesesuaian kondisi lingkungan bagi biji untuk bertahan hidup mencapai fase-fase umur berikutnya. Oleh karena itu, kegiatan wisata ataupun
kunjungan ke daerah ini perlu dibatasi dan dikelola sedemikian rupa sehingga dampak merugikan bagi kelangsungan populasi M. teijsmannii dapat ditekan.
Berkaitan dengan hal ini, pihak pengelola perlu mengkaji kembali tugas pokok dan fungsi cagar alam seperti yang ditetapkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 Dephut
1990, yaitu bahwa cagar alam tidak diperuntukkan sebagai kawasan wisata.