38 Hutan di Waru-waru memiliki kesamaan yang tinggi dengan hutan di Gua
Macan C
λ
= 0.87. Kedua lokasi ini memiliki asosiasi hutan yang mirip yaitu jumlah spesies yang sama dengan dominasi Myristica – Pterospermum –
Annonaceae serta individu-individu M. teijsmannii reproduktif yang tercatat
banyak ditemui. Fakta ini menimbulkan dugaan bahwa Waru-waru dan Gua Macan merupakan kawasan hutan yang disukai atau cocok bagi pertumbuhan dan
perkembangan spesies langka tersebut.
5.2. Autekologi M. teijsmannii
5.2.1 Struktur Populasi
Struktur populasi M. teijsmannii dinyatakan dalam fase pertumbuhan berdasarkan diameter setinggi dada. Keseluruhan populasi, ditinjau dari jumlah
individu per hektar, didominasi oleh fase semai dengan DBH 3 cm dan tinggi 1,5 m, sedangkan fase yang semakin dewasa memperlihatkan kecenderungan
jumlah individu yang semakin menurun dengan fase pohon pada proporsi terendah Gambar 7. Hasil analisis vegetasi menunjukkan tegakan pohon M. teijsmannii
memiliki nilai dominasi dan kerapatan relatif tertinggi di lokasi penelitian, berturut-turut sebesar 11,36 dan 13,7 individuha dengan indeks nilai penting
sebesar 27,91. Indeks nilai penting yang tinggi ini menunjukkan M. teijsmannii mendominasi lebih dari seperempat kawasan yang diteliti.
50 100
150 200
SEMAI SAPIHAN
TIANG POHON
KE RAP
AT AN
ju m
la h
i n
d ivi
d u
h a
Gambar 7 Struktur populasi M. teijsmannii di seluruh lokasi penelitian dalam kawasan CA Pulau Sempu berdasarkan diameter setinggi dada.
39 Setiap lokasi penelitian memperlihatkan variasi dalam struktur populasi
M. teijsmannii . Populasi total terbanyak untuk seluruh fase pertumbuhan adalah di
lokasi Teluk Semut dengan total jumlah individu 616ha, diikuti Waru-waru 440ha, Air Tawar 413ha, Gua Macan 272ha, Telaga Lele 23ha dan
Telaga Sat 17ha. Pada tiga lokasi yaitu Waru-waru, Gua Macan dan Teluk Semut memperlihatkan dominasi pada fase semai dengan kecenderungan menurun
pada populasi fase lebih dewasa. Sementara di lokasi Telaga Lele dan Telaga Sat tidak ditemukan satu pun individu semai dalam plot penelitian Gambar 8. Hal ini
menunjukkan bahwa seedling recruitment tidak merata di setiap lokasi, kemungkinan adanya faktor lingkungan yang mempengaruhinya.
100 200
300 400
500
TELAGA LELE WARU WARU
TELAGA SAT AIR TAWAR
GUA MACAN TELUK SEMUT
LOKASI
ju m
la h
ind ividu
pe r h
a
Semai Sapihan
Tiang Pohon
Gambar 8 Struktur populasi M. teijsmannii di setiap lokasi penelitian. Struktur populasi di Teluk Semut menunjukkan selisih yang sangat besar
antara kerapatan tingkat semai dengan individu dewasanya terutama pohon. Tampaknya seedling establishment di kawasan ini kurang baik dibandingkan di
lokasi lainnya. Jika dikaitkan dengan gangguan manusia, kawasan Teluk Semut secara umum mendapat ancaman yang lebih besar karena hutan di kawasan ini
merupakan jalur utama bagi tujuan wisata Segara Anakan. Jalan setapak semakin melebar membuat gap di hutan juga semakin lebar sehingga dapat mengakibatkan
40 efek tepi atau edge effect yang lebih meluas ke dalam hutan Primack et al. 1998.
Selain itu tanah pada jalur setapak dan sekitarnya menjadi lebih padat karena pengaruh injakan trampling yang dapat mengarah pada sulitnya biji-biji untuk
berkecambah. Kebalikan dari Teluk Semut, di plot pengamatan Telaga Sat tidak
ditemukan satu pun individu semai M. teijsmannii, bahkan semai dari spesies lain pun jarang dijumpai. Di lain pihak, seluruh individu dewasa M. teijsmannii yang
ditemukan di lokasi ini dalam masa reproduktif dengan buah yang melimpah. Jarang ditemukannya semai di lokasi ini kemungkinan berkaitan dengan kondisi
lantai hutan yang banyak ditutupi serasah kasar dengan kondisi tanah yang cukup dangkal, liat, serta kandungan air tersedia yang rendah dibandingkan di lokasi
penelitian yang lain rata-rata 10,6 vol; Tabel 12 karena kemiringan yang curam membuat air dengan cepat turun ke lereng bawahnya. Kondisi demikian dapat
menjadi salah satu penyebab mengapa biji-biji M. teijsmannii kurang dapat berkecambah walaupun biji banyak dihasilkan.
Seperti halnya di Telaga Sat, di lokasi penelitian kawasan Telaga Lele tidak dijumpai semai M. teijsmannii. Vegetasi tingkat semai dan sapling didominasi
spesies pionir terutama di bagian hutan yang agak terbuka dan datar, serupa dengan kondisi di Telaga Sat. Fenomena ini dapat diinterpretasikan bahwa individu semai
M. teijsmannii kurang dapat bersaing dengan spesies-spesies pionir tersebut
sehingga menekan pertumbuhan dan rekrutmen biji menjadi tingkat pertumbuhan selanjutnya. Di lokasi ini tercatat bahwa pohon besar jarang ditemukan serta
memiliki gap-gap hutan sehingga banyak ditumbuhi spesies-spesies pionir yang menyukai cahaya. Kondisi ini yang diduga kurang sesuai dengan kebutuhan
ekologis bagi perkecambahan M. teijsmannii. Struktur populasi yang secara umum tampaknya seimbang adalah di Waru-
waru dan Gua Macan. Tipe vegetasi di kedua lokasi ini memiliki kemiripan dalam hal asosiasi hutannya Tabel 8 dengan indeks kesamaan tinggi Tabel 9. Kawasan
hutan Waru-waru terlihat memiliki kondisi vegetasi yang paling baik di antara semua lokasi penelitian. Spesies-spesies pohon berdiameter besar banyak ditemui
dengan individu-individu semai dan sapling yang cukup melimpah.
41 Parameter kemelimpahan M. teijsmannii yang diamati di CA Pulau Sempu
diperlihatkan pada Tabel 10. Pada fase pohon, M. teijsmannii menunjukkan kekerapan, kerapatan, dominasi dan indeks nilai penting tertinggi di Waru-waru.
Dilihat dari keragaman spesies pohonnya, Waru-waru termasuk memiliki keragaman yang tinggi yaitu 4,44 atau terbesar kedua setelah keragaman pohon di
Gua Macan H’ = 4,64. Di lokasi Waru-waru, M. teijsmannii merupakan spesies dengan frekuensi, kerapatan dan dominasi tertinggi dibandingkan di lokasi lainnya
Lampiran 5. Di Gua Macan, M. teijsmannii merupakan spesies pohon yang paling banyak dijumpai dengan kerapatan pohon dan indeks nilai penting tertinggi,
di mana parameter tersebut menunjukkan dominasi spesies dalam komunitasnya Indriyanto 2006. Gua Macan dan Waru-waru secara umum memiliki tipe vegetasi
yang didominasi Pterospermum Sterculiaceae dan Myristica. Perbedaannya di Gua Macan cukup banyak dijumpai tegakan Maranthes corymbosa
Chrysobalanaceae, sedangkan di Waru-waru lebih banyak dijumpai spesies dari famili Annonaceae. Fenomena ini mengarah pada dugaan bahwa M. teijsmannii
memiliki preferensi habitat yang memiliki spesies-spesies pohon besar, tinggi atau tajuk yang lebar karena spesies langka tersebut dijumpai menjadi dominan pada
fase dewasa kebanyakan di lokasi-lokasi yang memiliki vegetasi pohon besar. Hal ini dibahas lebih lanjut pada bab asosiasi interspesifik.
Tabel 10 Parameter kemelimpahan pohon M. teijsmannii di lokasi penelitian
LOKASI Parameter
TL WR
TS AT GM TSM
Frekuensi 0.07 0.48
0.17 0.38
0.26 0.20
Kerapatan jumlah individuha 1.79 29.03
4.17 17.71
15.22 11.25
Dominasi m
2
0.74 8.91
0.77 4.70
3.45 2.33
Frekuensi relatif 1.90 11.28
2.44 10.11
7.56 6.56
Kerapatan relatif 1.55 19.67
3.74 14.17
14.43 10.47
Dominansi relatif 1.97 17.73
2.10 14.79
7.59 0.39
Indeks nilai penting 5.42 48.68
8.28 39.07
29.62 26.41
Indeks Keragaman Shannon H’ 4.40
4.44 4.38
4.29 4.64
4.08
Keterangan: TL=Telaga Lele, WR=Waru-waru, TS=Telaga Sat, AT=Air Tawar, GM=Gua Macan, TSM=Teluk
Semut; nilai tertinggi pada parameter yang sama;
42
Gambar 9 Distribusi populasi Myristica teijsmannii di lokasi penelitian.
43
5.2.2 Pola Penyebaran