65 subur dibandingkan fase-fase yang lebih dewasanya. Faktor kimia lain dari
variabel edafik yang berkorelasi kuat dengan keberadaan individu M. teijsmannii adalah kandungan basa kalium. Jenis tanah dengan kandungan C, N dan K yang
relatif tinggi menjadi salah satu faktor pendukung bagi penilaian kesesuaian habitat spesies langka ini.
Berdasarkan peta jenis tanah dan tutupan lahan, masih ada kawasan hutan dataran rendah di daratan Jawa yang masih berada dalam kawasan pesisir Malang
selatan, relatif berdekatan dengan P. Sempu. Peta-peta pendukung tersebut menunjukkan jenis tanah dan tutupan hutan yang sama dengan jenis tanah dan
hutan di P. Sempu. Oleh karena itu, ada kemungkinan yang cukup besar bahwa M. teijsmannii
dapat ditemukan di kawasan tersebut, sehingga hutan-hutan tersebut perlu mendapat perhatian konservasi atau dijaga agar tidak terjadi perusakan.
Dari variabel topografi, faktor arah lereng perlu mendapatkan perhatian sebagai faktor pendukung lain yang menentukan keberhasilan kolonisasi
M. teijsmannii . Lokasi dengan kemiringan datar 0-8 hingga landai 8-15
dengan arah lereng utara-barat adalah yang dua faktor lingkungan yang penting bagi populasinya. Penelitian ini juga menyingkap keberadaan individu
M. teijsmannii yang ditemukan hanya di interior hutan, yang dapat
mengindikasikan bahwa spesies ini tidak toleran adanya gap yang bisa terjadi karena fragmentasi hutan. Berdasarkan literatur dan studi herbarium yang telah
dilakukan, spesies yang kemungkinan endemik ini juga hanya dijumpai di hutan- hutan campuran dataran rendah. de Wilde 1998 dalam IUCN 2006 melaporkan
bahwa M. teijsmannii mendapat ancaman dari degradasi habitat akibat konversi lahan. Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa M. teijsmannii merupakan
spesies yang rentan terhadap kepunahan akibat degradasi habitat dan fragmentasi hutan. Oleh karena itu, populasi yang baik di CAPS perlu dijaga dan dipertahankan
antara lain dengan menjaga kawasan tersebut dari gangguan manusia dan peruntukan yang tidak tepat.
5.3.3 Status Kelangkaan
Berdasarkan studi populasi melalui metode sampling yang telah dilakukan di kawasan CAPS, maka di lokasi konservasi tersebut terdapat sedikitnya 6
66 subpopulasi M. teijsmannii. Individu dewasa yang ditemukan di enam lokasi
sampling yang mencakup kawasan CAPS seluas 6 ha adalah sebanyak 82 individu pohon dan 36 individu fase tiang sehingga total jumlah individu dewasanya adalah
118 individu. Untuk menentukan total jumlah individu di seluruh kawasan CAPS
memerlukan kehati-hatian dan tidak cukup dengan mengkonversikan jumlah individu dalam plot pada luasan tertentu terhadap luas total habitat yang sesuai
dengan faktor lingkungan penentu keberadaan populasi yang telah diteliti. Hal ini disebabkan tidak seluruh area di CAPS memiliki kondisi lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan ekologis M. teijsmannii. Untuk itu diperlukan teknik khusus untuk mempertajam estimasi penyebaran populasi di seluruh kawasan yang sesuai.
Untuk lebih memastikan kriteria yang lainnya perlu diteliti luas daerah sebaran extent of occurrence dan luas daerah ditempati area of occupancy
seperti yang direkomendasikan oleh IUCN IUCN 2001. Luas daerah sebaran dapat diketahui dengan menerapkan metode minimum convex polygon atau MCP
Woinarski et al. 2006; JNCC 2008a, sedangkan luas daerah ditempati dapat ditentukan dengan teknik SIG melalui proses pembuatan grid pada skala tertentu
JNCC 2008b. MCP perlu dilakukan dengan data kehadiran spesies sedikitnya di 2 lokasi lain yang pernah tercatat. Semakin banyak data kehadiran spesies yang
dilibatkan maka MCP yang diperoleh akan semakin baik atau mendekati kondisi sesungguhnya karena metode ini menggunakan konsep interpolasi dari data-data
populasi yang diketahui. Oleh karena penelitian ini tidak mencakup analisis spasial dengan teknik SIG, maka penentuan status kelangkaan dalam penelitian ini belum
dapat dilakukan. Spesies M. teijsmannii memperlihatkan jumlah individu maupun kerapatan
individu yang cukup melimpah di lokasi penelitian CAPS. Hal ini dapat berarti bahwa Pulau Sempu memiliki habitat yang dapat dikatakan memungkinkan bagi
spesies yang tergolong langka bahkan kemungkinan endemik Jawa Timur ini untuk tumbuh dan bertahan, di samping faktor gangguan manusia yang relatif kecil
terhadap kelestarian hutan di kawasan CAPS. Fenomena ini sesuai dengan pernyataan MacKinnon dan MacKinnon 1993 yang menyebutkan bahwa pulau
kecil yang terisolasi sering menjadi rumah bagi spesies endemik yang langka dan
67 bentuk-bentuk primitif atau kuno. Spesies-spesies seperti itu telah berpencar untuk
mengisi relung yang ada dan mampu bertahan hidup disebabkan beberapa alasan. Diantaranya kegagalan spesies yang lebih modern untuk mencapai pulau tersebut,
kurangnya persaingan relung dan umumnya di pulau itu tidak terdapat pemangsa; kalaupun ada berukuran kecil.
Perbedaan status kelangkaan M. teijsmannii antara yang ditetapkan IUCN dengan PP No. 7 dan No. 8 tahun 1999 dapat terjadi karena beberapa sebab.
Pertama, adanya perbedaan kriteria dalam penentuan status kelangkaan. Sampai sejauh ini Indonesia sendiri tidak memiliki kriteria yang baku untuk penentuan
status kelangkaan. Kedua, keterbatasan jumlah ilmuwan konservasi yang bekerja pada famili Myristicaceae sehingga keterkinian status populasi dan status
kelangkaannya tidak dilakukan untuk dapat memberi masukan pada para penentu kebijakan yang relevan. Ketiga, spesies ini tidak merupakan spesies yang populer
dan memiliki nilai ekonomi tinggi sehingga sedikit sekali perhatian konservasi ditujukan padanya. Alasan yang ketiga ini seharusnya tidak terjadi karena kriteria
penentuan prioritas konservasi spesies-spesies terancam tidak hanya berdasarkan pada nilai ekonomi saja, melainkan pada tujuh kategori yang meliputi area
geografis, taksonomi, habitat, bentuk kehidupan life form, populasi, sifat biologi dan hal lain yang relevan seperti kawasan dengan endemisme tinggi serta ada atau
tidak adanya pemanenan Given 1984 dalam Given 1994.
5.3.4 Potensi dan Ancaman