Krisis Subprime Mortgage TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Krisis Subprime Mortgage

Mortgage adalah hutang untuk membeli properti di mana properti tersebut kemudian dipakai sebagai jaminan, contohnya adalah Kredit Pemilikan Rumah KPR di Indonesia. Peminjaman mortgage bisa dibagi menjadi prime mortgage dan subprime mortgage. Prime mortgage biasanya diberikan kepada peminjam yang memiliki sejarah kredit yang bagus, misalnya tidak pernah bangkrut, tidak terlambat membayar cicilan, dan sebagainya, serta dapat menunjukan kapasitas untuk membayar kembali hutangnya, seperti memiliki pendapatan yang besar, rasio dari pinjaman terhadap nilai properti yang rendah, dan lain-lain. Sementara subprime mortgage diberikan kepada peminjam yang tidak memenuhi kedua persyaratan di atas, dengan demikian mempunyai resiko lebih tinggi. Munculnya industri subprime mortgage memungkinkan orang-orang yang tadinya tidak bisa membeli rumah menjadi bisa membeli rumah. Namun demikian, karena resiko subprime mortage yang lebih tinggi, maka bunga yang dikenakan kepada peminjam juga lebih tinggi. Akibatnya sudah diduga, secara rata-rata tingkat gagal bayar subprime mortgage menjadi lebih tinggi, karena orang yang lebih susah membayar hutang harus membayar bunga yang lebih tinggi. Selama tahun 2004 – 2006, tercatat sekitar 22 – 25 persen dari total pemberian pinjaman mortgage per tahunnya merupakan subprime mortgage Loan Performance Estimates. Di samping itu, tercatat pula bahwa proporsi mortgage dalam portfolio kredit bank komersial di Amerika Serikat juga terus 10 meningkat pesat. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan mortgage dalam lembaga keuangan di Amerika Serikat semakin tinggi. Dari tahun 2001 sampai akhir 2005, proporsi aset mortgage dari aset bank komersial terus meningkat. Tak heran jika pada periode tersebut tingkat pembangunan rumah di Amerika Serikat juga meningkat pesat: housing boom. Periode ini juga bertepatan dengan turunnya tingkat suku bunga Amerika Serikat sejak akhir tahun 2000. Maret 2000 adalah awal dari runtuhnya saham-saham teknologi burst of internet bubble. Untuk mengurangi resiko resesi, bank sentral Amerika menurunkan target suku bunga secara agresif. Dengan suku bunga bank sentral yang rendah, maka suku bunga mortgage juga rendah. Tak heran bila mortgage terus meningkat, semakin banyak rumah dibangun. Dalam kondisi suku bunga yang rendah dan harga rumah yang terus naik, pemberi mortgage seolah melupakan resiko gagal bayar peminjam mortgage. Karena saingan yang ketat, berbagai strategi marketing pun dilancarkan. Salah satunya adalah dengan tawaran bunga yang harus dibayar peminjam selama 2 tahun pertama sangat rendah dan setelahnya bunga yang dibayar langsung melonjak naik, atau dengan kata lain bunganya diatur kembali di-reset setelah tahun kedua. Tawaran dengan iming-iming bunga yang rendah selama 2 tahun pertama membuat banyak orang tergoda untuk mengambil mortgage, pasalnya dengan harga rumah yang terus naik, ada harapan sebelum tahun kedua rumah bisa dijual untuk membayar sisa mortgage. Lantas apa yang akan terjadi ketika suku bunga mortage di-reset, sebagian pasti tidak akan sanggup membayar bunga itu. Sudah tentu subprime mortgage 11 yang proporsi gagal bayarnya lebih banyak. Beban akibat reset suku bunga mortgage juga semakin berat karena sebagian suku bunga mortgage diambangkan floating, sementara harga rumah anjlok, sehingga pengambil mortgage tidak bisa menjual rumahnya untuk menutup hutangnya. Akibat naiknya suku bunga di Amerika Serikat sejak awal tahun 2004 dalam rangka kebijakan credit tightening, tingkat gagal bayar subprime mortgage mulai naik tajam, sementara tingkat gagal bayar prime mortgage masih rendah, paling tidak sampai akhir 2006. Seharusnya masalah prime mortgage tersebut hanya krisis internal di Amerika Serikat saja, tetapi mengapa sampai terjadi krisis finansial global. Kembali lagi, ternyata ini merupakan “dosa kedua” dari para pemberi subprime mortgage subprime lenders yaitu dengan mengumpulkan berbagai mortgage dan menjual sekumpulan mortgage tersebut kepada bank komersial, setelah sebelumnya melakukan “dosa pertama”, dengan memberikan mortgage pada orang yang memiliki resiko gagal bayar lebih tinggi. Bank komersial kemudian menjual sebagian portfolio mortgage tersebut kepada investment bank. Subprime mortgage itu bisa juga dikumpulan dan dikemas ulang dalam bentuk Mortgage-Backed Securitites MBS. MBS merupakan aset yang memiliki pendapatan: yaitu ketika peminjam mortgage membayar bunga mortgage dan ketika mereka melunasi hutangnya. Beberapa MBS ini, bersama instrumen utang lainnya, kemudian dikemas ulang lagi menjadi Collateralized Debt Obligations CDOs. Sama seperti MBS, CDO juga merupakan aset dengan berbagai sumber pendapatan: dari pendapatan MBS, dan dari pendapatan instrumen hutang lainnya. Diperkirakan ada 100 milyar dollar AS 12 aset CDOs dari perkiraan total CDOs sebesar 375 milyar dollar AS, yang kalau dirunut balik dijamin oleh subprime mortgages. CDOs ini kemudian dijual ke berbagai bank, perusahaan asuransi, reksa dana, dan perusahaan lainnya baik di Amerika Serikat maupun di luar. Akhirnya resiko subprime mortgage tersebar ke mana-mana.

2.2. Mekanisme Transmisi