Multiplier Pendapatan Dampak Berganda Sektor Pertanian

110 subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 1.553, subsektor kehutanan sebesar 1.526, dan komoditi jambu mete sebesar 1.514. Komoditi kopi memiliki nilai multiplier pendapatan tipe I sebesar 1.372. Angka ini dapat diartikan, jika pendapatan rumahtangga yang bekerja di komoditi kopi meningkat karena kenaikan permintaan akhir komoditi tersebut sebesar satu rupiah, maka diperkirakan pendapatan rumahtangga di sektor perekonomian akan meningkat sebesar 1.372 rupiah baik langsung maupun tidak langsung. Peningkatan permintaan akhir sebesar satu rupiah pada komoditi kopi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor-sektor ekonomi tersebut antara lain peningkatan pendapatan rumahtangga komoditi kopi itu sendiri sebesar 1.141 rupiah, sektor jasa swasta sebesar 0.077 rupiah, sektor bangunan sebesar 0.045 rupiah, sektor perdagangan sebesar 0.042 rupiah, dan sektor jasa pemerintah sebesar 0.018 rupiah. Multiplier pendapatan tipe I sektor-sektor ekonomi di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 25. Demikian pula, komoditi kopi memiliki nilai multiplier pendapatan tipe II sebesar 1.692. Angka ini dapat diartikan, jika pendapatan rumahtangga yang bekerja di komoditi kopi meningkat karena kenaikkan permintaan akhir komoditi tersebut sebesar satu rupiah, maka diperkirakan pendapatan rumahtangga di sektor perekonomian akan meningkat sebesar 1.692 rupiah baik langsung maupun tidak langsung dengan memperhitungkan efek konsumsi rumahtangga. Peningkatan permintaan akhir sebesar satu rupiah pada komoditi kopi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor-sektor ekonomi tersebut antara lain peningkatan pendapatan 111 komoditi kopi itu sendiri sebesar 1.147 rupiah, sektor jasa swasta sebesar 0.130 rupiah, sektor perdagangan sebesar 0.089 rupiah, sektor jasa pemerintah sebesar 0.059 rupiah, dan sektor bangunan sebesar 0.057 rupiah. Multiplier pendapatan tipe II sektor-sektor ekonomi di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 26. Cara membaca nilai multiplier pendapatan sektor-sektor ekonomi lainnya sama seperti di atas. Hasil analisis multiplier pendapatan menunjukkan adanya kesamaan keputusan yang diberikan oleh tipe I dan tipe II. Perbedaan mendasar hanya terletak pada keterkaitan pengeluaran rumahtangga. Pada tipe I rumahtangga tidak diperhitungkan, sementara pada tipe II rumahtangga ikut masuk dalam pengukuran multiplier. Oleh karena itu, pilihan pembangunan di sektor pertanian berdasarkan multiplier tipe II dianggap lebih tepat dijadikan acuan bagi pengambil kebijakan di Provinsi NTT, dimana komoditi kopi memiliki nilai multiplier pendapatan rumahtangga tipe II relatif tinggi. Kawasan Manggarai Pulau Flores merupakan salah satu sentra produksi kopi terbesar di Provinsi NTT. Komoditi ”mutiara hitam” ini juga menjadi gantungan hidup umum masyarakat setempat sehingga mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Kopi dari kawasan ini dengan cita rasa khas dan aroma kuat, diperkirakan sudah populer sejak masa kolonial Belanda. Komoditi kopi juga menjadi salah satu andalan ekspor hasil perkebunan Provinsi NTT. Namun kenyataannya, produksi kopi di Manggarai, yang telah dimekarkan menjadi tiga kabupaten Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur kini cenderung tertinggal dibanding produksi perkebunan di kabupaten tetangganya, yaitu Ngada. 112 Kabupaten Manggarai Timur yang berbukit-bukit dengan ketinggian 1 100-1 300 meter di atas permukaan laut memang ideal untuk budidaya kopi. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten setempat, luas lahan kebun kopi tahun 2010 mencapai 16 957 hektar terluas di kawasan Manggarai dengan produksi 5 289 ton. Komposisi jenis kopi yang ditanam adalah kopi arabika seluas 3 790 hektar dan kopi robusta seluas 13 167 hektar. Setiap hektar kebun mampu menghasilkan 500 kilogram kopi robusta dan 450 kilogram kopi arabika. Sedangkan menurut data Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Manggarai, total areal kopi arabika tahun 2010 mencapai 2 767.63 hektar dengan tingkat produktivitas 367.53 kilogram per hektar. Sedangkan tanaman kopi robusta seluas 4 261.65 hektar dengan produktivitas 353.89 kilogram per hektar. Sementara di Kabupaten Ngada yang total luas areal kebun kopinya hanya sekitar 2 883 hektar dengan produksi 2 242 ton justru tingkat produktivitasnya lebih tinggi sebesar 777.66 kilogram per hektar. Sejak beberapa tahun terakhir, petani menghadapi dampak cuaca ekstrem yang menyebabkan produksi kopi turun drastis. Curah hujan yang tinggi menyebabkan tanaman kopi tidak berbuah banyak, sementara harga kopi tak pasti, belum lagi harga masih dipermainkan oleh tengkulak. Produksi kopi banyak berkurang, sementara para petani butuh penghasilan untuk menopang hidup keluarga sehingga sebagian dari mereka terperangkap dalam sistem ijon. Mereka menjual kopi dengan harga sangat murah kepada para tengkulak. Petani kopi menjual kopinya dengan harga hanya sekitar Rp 3 000-Rp 4 000 per kilogram kepada tengkulak. Padahal, harga normal kopi bisa mencapai Rp 20 000 per 113 kilogram. Akibat sistem ijon, petani memiliki sedikit kopi kualitas terbaik untuk dijual kepada eksportir sehingga permintaan pasar luar negeri pun tidak dapat dipenuhi. PT Indokom Citra Persada merupakan perusahaan eksportir kopi yang mulai menangani kopi flores sekitar tahun 2000-an. Ekspor terakhir tahun 2010 ke Amerika Serikat sebanyak 8 000 ton. Dari jumlah tersebut, kopi arabika dari Flores hanya sebesar 300-400 ton atau sekitar 4 persen dengan nilai ekspor sekitar Rp 8.5 miliar. Untuk meningkatkan volume ekspor, khususnya dari Flores, maka pemerintah daerah perlu melakukan perluasan dan peremajaan tanaman kopi. Umumnya tanaman kopi di daerah ini sudah tua sehingga tingkat produktivitasnya rendah. Kopi juga bisa dikembangkan bukan hanya di Manggarai dan Ngada, tetapi juga Kabupaten Ende dan Kabupaten Flores Timur yang merupakan daerah potensial. Jika digarap dengan serius, bukan mustahil ke depan kopi flores akan memberikan peranan lebih besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja di Provinsi NTT.

6.3.3. Multiplier Tenaga Kerja

Multiplier tenaga kerja merupakan efek total dari perubahan lapangan pekerjaan di perekonomian akibat adanya satu satuan perubahan permintaan akhir di suatu sektor tertentu. Hasil analisis multiplier tenaga kerja tipe I dan tipe II sektor-sektor ekonomi di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 22. Tabel 19 menunjukkan nilai multiplier tenaga kerja tipe I dan tipe II subsektor atau komoditi pertanian tahun 2009. Nilai multiplier pendapatan tipe I tertinggi dimiliki oleh komoditi kopi sebesar 1.200. Berikut secara berurutan nilai 114 multiplier tenaga kerja tipe I diikuti oleh subsektor perternakan dan pemotongan hewan sebesar 1.192, komoditi unggas dan hasil-hasilnya sebesar 1.175, komoditi jambu mete sebesar 1.162, dan komoditi padi sebesar 1.144. Demikian juga dengan nilai multiplier tenaga kerja tipe II tertinggi dimiliki oleh komoditi kopi sebesar 1.371. Berikut secara berurutan nilai multiplier pendapatan tipe II diikuti oleh subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 1.336, komoditi unggas dan hasil-hasilnya sebesar 1.311, komoditi padi sebesar 1.295, dan komoditi jambu mete sebesar 1.258. Tabel 19. Multiplier Tenaga Kerja SubsektorKomoditi Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009 Kode I-O SubsektorKomoditi Multiplier Tenaga Kerja Tipe I Peringkat Tipe II Peringkat 1 Padi 1.144 23 1.295 22 2 Jagung 1.100 27 1.233 28 3 Tanaman bahan makanan 1.085 29 1.206 29 4 Umbi-umbian 1.127 25 1.248 26 5 Jambu mete 1.162 21 1.258 24 6 Kelapa 1.026 34 1.145 34 7 Tanaman perkebunan 1.106 26 1.246 27 8 Kopi 1.200 15 1.371 18 9 Pertanian lainnya 1.037 33 1.152 33 10 Peternakan dan pemotongan hewan 1.192 16 1.336 19 11 Unggas dan hasil-hasilnya 1.175 18 1.311 21 12 Kehutanan 1.044 32 1.195 30 13 Perikanan 1.068 30 1.195 31 Sumber: Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 Diolah Kembali. Komoditi kopi memiliki nilai multiplier tenaga kerja tipe I sebesar 1.200. Angka ini dapat diartikan, jika permintaan akhir komoditi kopi dinaikkan satu rupiah, maka diperkirakan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor perekonomian sebesar 1.200 orang. Peningkatan permintaan akhir sebesar satu rupiah pada komoditi kopi akan berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor-sektor ekonomi tersebut antara 115 lain peningkatan penyerapan tenaga kerja komoditi kopi itu sendiri sebesar 1.141 orang, subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 0.013 orang, sektor perdagangan sebesar 0.013 orang, sektor bangunan sebesar 0.005 orang, dan sektor angkutan sebesar 0.005 orang. Multiplier tenaga kerja tipe I sektor-sektor ekonomi di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 27. Demikian pula, komoditi kopi memiliki nilai multiplier tenaga kerja tipe II sebesar sebesar 1.371. Angka ini dapat diartikan, apabila permintaan akhir komoditi kopi naik sebesar satu rupiah, maka diperkirakan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor perekonomian sebesar 1.371 orang dengan memperhitungkan efek konsumsi rumahtangga. Peningkatan permintaan akhir sebesar satu rupiah pada komoditi kopi akan berdampak terhadap peningkatan penyerapan tenaga kerja sektor-sektor ekonomi lainnya. Sektor-sektor ekonomi tersebut antara lain peningkatan penyerapan tenaga kerja komoditi kopi itu sendiri sebesar 1.147 orang, subsektor tanaman bahan makanan sebesar 0.037 orang, subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 0.029 orang, sektor perdagangan sebesar 0.027 orang, dan komoditi jagung sebesar 0.022 orang. Multiplier tenaga kerja tipe II sektor-sektor ekonomi di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 28. Cara membaca nilai multiplier tenaga kerja sektor-sektor ekonomi lainnya sama seperti di atas. Hasil analisis multiplier tenaga menunjukkan adanya kesamaan keputusan yang diberikan oleh tipe I dan tipe II. Perbedaan mendasar hanya terletak pada keterkaitan pengeluaran rumahtangga. Pada tipe I rumahtangga tidak diperhitungkan, sementara pada tipe II rumahtangga ikut masuk dalam pengukuran multiplier. Oleh karena itu, pilihan pembangunan di sektor pertanian