Dampak Perubahan Permintaan Akhir di Komoditi Padi, Subsektor
118 Tabel 20. Simulasi Dampak Perubahan Permintaan Akhir di Komoditi Padi,
Subsektor Peternakan dan Pemotongan Hewan, Subsektor Tanaman Perkebunan, dan Subsektor Tanaman Bahan Makanan terhadap
Output, Pendapatan Rumahtangga, dan Penyerapan Tenaga Kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Tahun 2009
Simulasi Sebelum
Simulasi Setelah
Simulasi Nilai
Perubahan Persentase
Perubahan Dampak Output Juta Rupiah
Simulasi 1 36 546 134
36 550 392 4 257
0.01165 Simulasi 2
36 546 134 36 869 330
323 196 0.88435
Simulasi 3 36 546 134
36 573 253 27 119
0.07420 Simulasi 4
36 546 134 36 680 135
134 001 0.36667
Dampak Pendapatan Rumahtangga Juta Rupiah Simulasi 1
10 045 532 10 046 398
866 0.00862
Simulasi 2 10 045 532
10 105 542 60 010
0.59738 Simulasi 3
10 045 532 10 049 746
4 214 0.04194
Simulasi 4 10 045 532
10 072 454 26 922
0.26799 Dampak Penyerapan Tenaga Kerja Orang
Simulasi 1 2 160 733
2 161 258 525
0.02429 Simulasi 2
2 160 733 2 196 422
35 689 1.65170
Simulasi 3 2 160 733
2 163 099 2 366
0.10949 Simulasi 4
2 160 733 2 177 338
16 605 0.76848
Sumber: Tabel Input Output Transaksi Domestik Atas Dasar Harga Produsen Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 Diolah Kembali.
Keterangan: Simulasi 1
: Peningkatan permintaan akhir di komoditi padi sebesar 7.97 persen.
Simulasi 2 : Peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan
pemotongan hewan sebesar 10.34 persen. Simulasi 3
: Peningkatan permintaan akhir di subsektor perkebunan sebesar 9.92 persen.
Simulasi 4 : Peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman bahan
makanan sebesar 7.97 persen. Selanjutnya, dampak peningkatan permintaan akhir di komoditi padi
sebesar 7.97 persen terhadap output di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut output komoditi padi itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar
Rp 3 984.794 juta atau 0.54803 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar Rp 1.539 juta atau 0.03081 persen. Berikutnya, sektor industri pupuk,
kimia, barang dari karet, dan plastik mengalami peningkatan sebesar Rp 7.152
119 juta atau sebesar 0.01655 persen. Subsektor peternakan dan pemotongan hewan
serta sektor perdagangan masing-masing sebesar Rp 89.231 juta atau 0.00313 persen dan Rp 59.984 juta atau 0.00144 persen. Dampak peningkatan permintaan
akhir di komoditi padi sebesar 7.97 persen terhadap output di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 29.
Sedangkan dampak peningkatan permintaan akhir di komoditi padi sebesar 7.97 persen terhadap pendapatan rumahtangga di Provinsi NTT, maka secara
berturut-turut pendapatan rumahtangga komoditi padi itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp 808.727 juta atau 0.54803 persen dan diikuti
oleh komoditi pertanian lainnya sebesar Rp 0.456 juta atau 0.03081 persen. Berikutnya, industri pupuk, kimia, barang dari karet, dan plastik mengalami
peningkatan sebesar Rp 0.656 juta atau 0.01655 persen. Subsektor peternakan dan pemotongan hewan serta sektor perdagangan masing-masing sebesar Rp 16.273
juta atau 0.00313 persen dan Rp 10.958 juta atau 0.00144 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di komoditi padi sebesar 7.97 persen terhadap
pendapatan rumahtangga di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 30. Berikut, dampak peningkatan permintaan akhir di komoditi padi sebesar
7.97 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut penyerapan tenaga kerja komoditi padi itu sendiri mengalami
peningkatan tertinggi sebesar 508.519 orang atau 0.54803 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar 0.287 orang atau 0.03081 persen. Berikutnya,
industri pupuk, kimia, barang dari karet, dan plastik mengalami peningkatan sebesar 0.653 orang atau 0.01655 persen. Subsektor peternakan dan pemotongan
hewan serta sektor perdagangan masing-masing sebesar 10.233 orang atau
120 0.00313 persen dan 2.054 orang atau 0.00144 persen. Dampak peningkatan
permintaan akhir di komoditi padi sebesar 7.97 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 31.
Simulasi 2 menunjukkan bahwa apabila permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan hewan dinaikkan sebesar 10.34 persen, maka
secara agregat output perekonomian di Provinsi NTT akan meningkat sebesar Rp 323 196 juta atau 0.88435 persen, pendapatan rumahtangga sebesar
Rp 60 010 juta atau 0.59738 persen, dan penyerapan tenaga kerja sebesar 35 689 orang atau 1.65170 persen.
Selanjutnya, dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 10.34 persen terhadap output
di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut output subsektor peternakan dan pemotongan hewan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar
Rp 272 695.378 juta atau 9.55776 persen dan diikuti oleh komoditi padi sebesar Rp 14 364.845 juta atau 1.97548 persen. Berikutnya, komoditi pertanian lainnya
mengalami peningkatan sebesar Rp 42.671 juta atau 0.85429 persen. Komoditi umbi-umbian serta industri makanan dan minuman masing-masing sebesar
Rp 4 073.766 juta atau 0.55813 persen dan 1 004.238 juta atau 0.39267 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan
hewan sebesar 10.34 persen terhadap output di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 32.
Sedangkan dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 10.34 persen terhadap pendapatan rumahtangga
di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut pendapatan rumahtangga subsektor
121 peternakan dan pemotongan hewan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi
sebesar Rp 49 773.833 juta atau 9.55776 persen dan diikuti oleh komoditi padi sebesar Rp 2 915.187 juta atau 1.97548 persen. Berikutnya, komoditi pertanian
lainnya mengalami peningkatan sebesar Rp 12.657 juta atau 0.85429 persen. Komoditi umbi-umbian serta industri makanan dan minuman masing-masing
sebesar Rp 784.995 juta atau 0.55813 persen dan Rp 40.273 juta atau 0.39267 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan
pemotongan hewan sebesar 10.34 persen terhadap pendapatan rumahtangga di Provins NTT dapat dilihat di Lampiran 33.
Berikut dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan hewan sebesar 10.34 persen terhadap penyerapan tenaga kerja
di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut penyerapan tenaga subsektor peternakan dan pemotongan hewan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi
sebesar 31 271.494 orang atau 0.55776 persen dan diikuti oleh komoditi padi sebesar 1 833.040 orang atau 1.97548 persen. Berikutnya, komoditi pertanian
lainnya mengalami peningkatan sebesar 7.958 orang atau 0.85429 persen. Komoditi umbi-umbian serta industri makanan dan minuman masing-masing
sebesar 493.596 orang atau 0.55813 persen dan 40.085 orang atau 0.39367 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan
hewan sebesar 10.34 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 34.
Simulasi 3 menunjukkan bahwa apabila permintaan akhir di subsektor tanaman perkebunan dinaikkan sebesar 9.92 persen, maka secara agregat output
perekonomian di Provinsi NTT akan meningkat sebesar Rp 27 119 juta atau
122 0.07420 persen, pendapatan rumahtangga sebesar Rp 4 214 juta atau 0.04194
persen, dan penyerapan tenaga kerja sebesar 2 366 orang atau 0.10949 persen. Selanjutnya, dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor
perkebunan sebesar 9.92 persen terhadap output di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut output subsektor tanaman perkebunan itu sendiri mengalami
peningkatan tertinggi sebesar Rp 23 933.482 juta atau 7.97594 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar Rp 2.392 juta atau 0.04788 persen.
Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan mengalami peningkatan sebesar Rp 609.343 juta atau 0.02136 persen. Sektor jasa swasta dan sektor
bangunan masing-masing sebesar Rp 900.621 juta atau 0.01979 persen dan Rp 789.087 juta atau 0.01802 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir
di subsektor tanaman perkebunan sebesar 9.92 persen terhadap output di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 35.
Sedangkan dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor perkebunan sebesar 9.92 persen terhadap pendapatan rumahtangga di Provinsi NTT, maka
secara berturut-turut pendapatan rumahtangga subsektor tanaman perkebunan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp 3 537.970 juta atau 7.97594
persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar Rp 0.709 juta atau 0.04788 persen. Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan
mengalami peningkatan sebesar Rp 111.129 juta atau 0.02136 persen. Sektor jasa swasta dan sektor bangunan masing-masing sebesar Rp 239.7 juta atau 0.01979
persen dan Rp 134.270 juta atau 0.01802 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman perkebunan sebesar 9.92 persen terhadap pendapatan
rumahtangga di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 36.
123 Berikut dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor perkebunan
sebesar 9.92 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman perkebunan itu
sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar 2 224.010 orang atau 7.97594 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar 0.446 orang atau
0.04788 persen. Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan mengalami peningkatan sebesar 69.877 orang atau 0.02136 persen. Sektor jasa
swasta dan sektor bangunan masing-masing sebesar 9.590 orang atau 0.01979 persen dan 10.193 orang atau 0.01802 persen. Dampak peningkatan permintaan
akhir di subsektor tanaman perkebunan sebesar 9.92 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 37.
Simulasi 4 menunjukkan bahwa apabila permintaan akhir di subsektor tanaman bahan makanan dinaikkan sebesar 7.97 persen, maka secara agregat
output perekonomian di Provinsi NTT akan meningkat sebesar Rp 134 001 juta atau 0.36667 persen, pendapatan rumahtangga sebesar Rp 26 922 juta atau
0.26799 persen, dan penyerapan tenaga kerja sebesar 16 605 orang atau 0.76848 persen.
Selanjutnya dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman bahan makanan sebesar 7.97 persen terhadap output di Provinsi NTT, maka secara
berturut-turut output subsektor tanaman bahan makanan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp 128 012.222 juta atau 6.49690 persen dan diikuti
oleh komoditi pertanian lainnya sebesar Rp 7.131 juta atau 0.14277 persen. Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan mengalami peningkatan
sebesar Rp 2 597.932 juta atau 0.09106 persen. Industri pupuk, kimia, barang dari
124 karet, dan plastik serta sektor perdagangan masing-masing sebesar Rp 25.472 juta
atau 0.05896 persen dan Rp 1 111.096 juta atau 0.02718 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman bahan makanan sebesar 7.97
persen terhadap output di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 38. Sedangkan dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman
bahan makanan sebesar 7.97 persen terhadap pendapatan
rumahtangga di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut pendapatan rumahtangga subsektor
tanaman bahan makanan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp 25 669.972 juta atau 6.49690 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian
lainnya sebesar Rp 2.115 juta atau 0.014277 persen. Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan mengalami peningkatan sebesar Rp 473.798
juta atau 0.09106 persen. Industri pupuk, kimia, barang dari karet, dan plastik serta sektor perdagangan masing-masing sebesar Rp 2.336 juta atau 0.5896 persen
dan Rp 206.414 juta atau 0.02718 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman bahan makanan sebesar 7.97 persen terhadap pendapatan
rumahtangga di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 39. Berikut, dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman
bahan makanan sebesar 7.97 persen terhadap penyerapan tenaga kerja di Provinsi NTT, maka secara berturut-turut penyerapan tenaga kerja subsektor tanaman
bahan makanan itu sendiri mengalami peningkatan tertinggi sebesar 16 159.878 orang atau 6.49690 persen dan diikuti oleh komoditi pertanian lainnya sebesar
1.330 orang atau 0.14277 persen. Berikutnya, subsektor peternakan dan pemotongan hewan mengalami peningkatan sebesar 297.919 orang atau 0.09106
persen. Industri pupuk, kimia, barang dari karet, dan plastik serta sektor
125 perdagangan masing-masing sebesar 2.325 orang atau 0.05896 persen dan 38.693
orang atau 0.02718 persen. Dampak peningkatan permintaan akhir di subsektor tanaman bahan makanan sebesar 7.97 persen terhadap penyerapan tenaga kerja
di Provinsi NTT dapat dilihat di Lampiran 40. Hasil simulasi pada Tabel 20 memperlihatkan bahwa peningkatan
permintaan akhir di subsektor peternakan dan pemotongan hewan memberikan dampak output, pendapatan rumahtangga, penyerapan tenaga kerja terbesar dalam
perekonomian Provinsi NTT. Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan di Provinsi NTT untuk lebih memberikan dukungan dalam
pengembangan subsektor tersebut. Subsektor peternakan di Provinsi NTT mempunyai peranan penting bagi
Daerah. Kontribusi subsektor peternakan terhadap PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2009 mencapai 10.37 persen terhadap total PDRB Provinsi NTT dan 26.28
persen terhadap lapangan usaha sektor pertanian BPS Provinsi NTT, 2010. Salah satu komoditas unggulan peternakan daerah ini adalah ternak sapi potong, dimana
ternak ini berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja serta peningkatan pendapatan masyarakat dan daerah. Hasil survey BPS Provinsi NTT Tahun 2010
menunjukkan bahwa rumahtangga yang memelihara ternak sapi potong mencapai 162 263 rumahtangga dari total 281 480 rumahtangga peternak. Jika dalam
setiap rumahtangga terdapat 3 orang peternak, maka tenaga kerja yang terserap dalam usaha budidaya ternak sapi potong sekitar 486 000 jiwa. Dari segi
pendapatan masyarakat dan daerah, berdasarkan data pengeluaran ternak sapi potong untuk tujuan antar pulau ke daerah konsumen Provinsi Jakarta, Jawa
Barat, dan Kalimantan Timur pada tahun 2010 sumbangan komoditas ternak sapi
126 mencapai lebih dari Rp 224 miliar, yang berasal dari pengantarpulauan 49 876
ekor ternak sapi potong. Ternak sapi masuk ke Pulau Timor pada tahun 1912 oleh Pemerintah
Hindia Belanda dan dalam kurun waktu tahun 1912 hingga 1915, total ternak sapi yang dimasukkan mencapai 234 ekor. Pada tahun 1914 juga dimasukkan 608 ekor
sapi Ongole ke Pulau Sumba. Populasi sapi Bali di Provinsi NTT menunjukkan perkembangan yang pesat dengan jumlah pada akhir tahun 2009 mencapai
577 552 ekor. Dari jumlah tesebut, lebih dari 75 persen berada di Timor Barat yang mencakup lima kabupatenkota BPS Provinsi NTT, 2010. Masyarakat
NTT, khususnya di Pulau Timor ini telah merasakan manfaat dan peran besar dari usahatani ternak sapi ini, baik secara ekonomi maupun sosial budaya.
Dalam pengembangan peternakan di Provinsi NTT, khususnya di Pulau Timor, aspek pakan masih merupakan permasalahan utama bagi petani peternak
sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah. Kondisi agroklimat wilayah Provinsi NTT sebagai daerah kering dengan musim hujan
yang singkat, menuntut kreativitas untuk dapat mempertahankan bahkan meningkatkan produktivitas ternak melalui penyediaan pakan yang cukup,
berkualitas, dan kontinyu sepanjang tahun. Pemerintah daerah perlu terus mendukung agar petani peternak dapat
mengusahakan ketersediaan pakan bagi ternaknya sepanjang waktu, antara lain dengan mengusahakan pagar hidup tanaman pakan seperti lamtoro, turi, gamal,
maupun kebun rumput atau hijauan makanan ternak dalam luasan yang mampu memenuhi kebutuhan ternaknya. Disamping itu, perlu pula diusahakan
pengolahan atau pengawetan kelebihan produksi hijauan pakan di musim hujan
127 sebagai persediaan di musim paceklik, misalnya dalam bentuk hay, silase,
amoniase atau bahkan yang lebih komplit lagi seperti blok suplemen pakan. Tingginya angka kematian anak sapi Bali dan sapi Bali muda di Pulau
Timor pada musim kemarau adalah akibat kekurangan pakan, kekurangan air susu induk akibat kekurangan pakan juga, serta akibat cekaman panas dan perjalanan
jauh untuk mencari pakan dan sumber air. Oleh karena itu, jika petani peternak dapat menyediakan pakan bagi ternaknya secara cukup, berkualitas, dan kontinyu
sepanjang tahun, maka angka kematian dan kesakitan ternak sapi dapat diturunkan, pada gilirannya dapat meningkatkan populasi dan produksi ternak dan
selanjutnya pendapatan peternak pun akan meningkat. Selain aspek pakan, aspek lain yang perlu mendapat perhatian serius
adalah aspek pembibitan atau reproduksi ternak sapi. Adanya indikasi penurunan kualitas ternak sapi bibit, antara lain semakin mengecilnya ukuran linear tubuh
sapi Bali. Dua faktor utama penyebab penurunan kualitas ternak bibit adalah seleksi dan penyingkiran relatif tidak dilaksanakan secara efektif serta disinyalir
terjadi silang dalam inbreeding dan petani lebih memilih menjual ternak berkualitas baik dengan tampilan bagus karena harga jualnya lebih tinggi.
Dalam manajemen
perkawinan ternak,
petani peternak masih
menggunakan pejantan yang bersifat seadanya atau tidak memperhatikan standar kualitas genetik pejantan oleh karena minimnya pengetahuan peternak dalam
aspek pembibitan ini. Oleh karena itu, Dinas Peternakan perlu mengusahakan suatu program breeding yang terencana dan berkelanjutan dengan cara antara lain,
menyebarkan ternak bibit bermutu genetik bagus, baik betina maupun pejantan pemacek ke dalam suatu populasi ternak tertentu, yang selanjutnya terus diikuti
128 dengan seleksi keturunannya. Dalam upaya peningkatan jumlah dan mutu ternak,
penggunaan teknologi reproduksi merupakan langkah strategis untuk mempercepat pencapaian upaya tersebut. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia dalam rangka penguasaan teknologi tersebut sangat penting dilakukan melalui diklat-diklat teknis reproduksi dan bekerja sama dengan lembaga-lembaga
diklat pemerintah dan perguruan tinggi di daerah. Kendala berikutnya adalah rendahnya daya saing komoditas peternakan
karena skala usahatani ternak yang relatif kecil dan tersebar, kondisi ini diperparah oleh sarana transportasi yang belum memadai. Untuk itu, peningkatan
skala usaha perlu dilakukan di tingkat peternak, di tingkat kelompok tani peternak dan di tingkat gabungan kelompok tani atau koperasi. Dengan meningkatnya skala
pemilikan ternak di tingkat peternak dan kelompok akan memacu berkembangnya kawasan sentra pembibitan ternak unggulan, yang tentunya memiliki nilai tambah
dan daya saing yang lebih besar.