Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun

Pada masa kini, seiring dengan perubahan struktur organisasi perusahaan, pimpinan Juragan Kawasa lebih dikenal sebagai Administratur Perkebunan. Sampai saat ini berturut-turut terdapat 22 adminitatur yang telah memimpin di kebun Cianten PTP. Nusantara VIII. Agresi Jepang pada tahun 1943 merebut penguasaan perkebunan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan produksi perkebunan tidak dilanjutkan pada penguasaan Jepang. Selama kurun waktu 1943 hingga 1948, “Kontrak Cianten” digarap oleh rakyat sebagai tanah pertanian. Barulah pada pertengahan 1948, “Kontrak Cianten” kembali dibuka dan dikelola kembali oleh Pemerintah RI dengan nama PPH melalui Hak Guna Usaha HGU. Perkebunan PPH terus mengalami perubahan nama, yaitu: tahun 1964 menjadi PPN Cianten lalu menjadi PPN Kesatuan, tahun 1971 menjadi PPN Antan dan kemudian digabungkan dengan sejumlah perkebunan lainnya dalam naungan PTP XII hingga tahun 1994. Sejak tahun 1994, beberapa perkebunan di Jawa Barat yang bernaung dibawah PTP XI, PTP XII, dan PTP XIII digabungkan menjadi PTP Grup Jabar. Tahun 1996 hingga sekarang, seluruh perkebunan BUMN digabungkan dalam wadah PTP Nusantara I hingga PTP Nusantara XIV. Perkebunan Cianten beserta 46 perkebunan lain di Jawa Barat dikelompokkan kedalam PTP. Nusantara VIII Persero yang berkantor pusat di Jalan SindangSirna No.4 Bandung. Penguasaan Negara terhadap lahan di wilayah Cianten didapat melalui HGU yang dilimpahkan kepada PTP. Nusantara VIII. Satu periode masa HGU adalah 35 tahun dan masa HGU PTP.Nusantara VIII saat ini akan berakhir pada tahun 2043. Pada rentang tahun 1998 hingga 2008 HGU PTP. Nusantara VIII sempat mengalami kekosongan masa HGU HGU kadaluarsa.

5.2 Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun

Penguasaan Negara pada sektor kehutanan di kawasan Halimun juga memberikan pengaruh terhadap akses dan kegiatan pemanfaatan sumberdaya agraria oleh masyarakat Kampung Pel Cianten. Sebagian area pemukiman dan garapan masyarakat termasuk dalam kawasan kehutanan yang saat ini berada dalam kewenangan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS. Kebijakan kehutanan mulai dirasakan di Kawasan Halimun sejak munculnya peraturan kehutanan oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1865, mengenai penetapan hutan diatas ketinggian 1570 mdpl sebagai kawasan hutan rimba. Penetapan ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan kayu dan air irigasi Zwart, 1924 dalam Galudra et.al, 2005. Peraturan tersebut mengatur pula mengenai hukuman bagi berbagai kejahatan hutan seperti pencurian hutan, perusakan hutan, penggembalaan, pembakaran hutan, membawa senjata tajam, membawa kayu tanpa ijin dan penyerobotan hutan. Galudra, et.al, 2005. Kebijakan penataan Kawasan Halimun sebagai kawasan konservasi telah dimulai sejak penguasaan Pemerintah Kolonial Belanda. Sejak tahun 1923 Kawasan Halimun resmi ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas 39.941 hektar. Pada tahun 1935, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan kebijakan pengubahan status kawasan hutan lindung menjadi cagar alam. Memasuki era kemerdekaan, kawasan cagar alam Halimun berada dibawah pengelolaan Djawatan Kehutanan Jawa Barat. Pada tahun 1977 PPA mengajukan usulan pelimpahan pengelolaan sekaligus perluasan kawasan cagar alam Halimun hingga lebih dari 40.000 hektar dengan dukungan persetujuan Gubernur Jawa Barat pada masa itu. Perluasan yang dimaksudkan termasuk kawasan cagar alam yang telah ada saat ini dan tanpa memasukkan hutan produksi yang tercantum dalam peta Brigade Planologi. Kondisi cagar alam yang dimaksud ternyata sudah terbuka menjadi lahan garapan dan pemukiman warga. Sedangkan bagian hutan produksi masih berupa hutan primer. Akhirnya hingga Februari 1978 kawasan Cagar Alam Gunung Halimun masih berada dibawah pengelolaan Perum Perhutani. Pada tahun 1979, kawasan cagar alam diperluas hingga 40.000 hektar dan dilimpahkan pengelolaannya kepada Balai Konservasi Sumberdaya Alam III, yaitu Sub Badan Konservasi Sumberdaya Alam Jawa Barat I. Sejalan dengan perkembangannya, status tersebut mengalami perubahan. Berdasarkan Keputusan menteri Kehutanan tahun 1992, kawasan cagar alam itu ditetapkan menjadi Taman Nasional Gunung Halimun TNGH yang berada dibawah pengelolaan sementara Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGP. Pada 23 Maret 1997 pengelolaannya dipisahkan dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan. Pada tahun 2003, atas dasar pertimbangan kondisi kawasan konservasi yang dinilai semakin kritis, Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan yang mengatur perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS seluas 113.357 hektar.

5.3 Dampak Sejarah Politik Agraria terhadap Akses Masyarakat atas Lahan