1997 pengelolaannya dipisahkan dan dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis Balai TNGH, Dirjen PHKA, dan Departemen Kehutanan.
Pada tahun 2003, atas dasar pertimbangan kondisi kawasan konservasi yang dinilai semakin kritis, Menteri Kehutanan mengeluarkan keputusan yang
mengatur perubahan fungsi kawasan bekas Perum Perhutani atau bekas hutan lindung dan hutan produksi terbatas di sekitar TNGH menjadi satu kesatuan
kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS seluas 113.357 hektar.
5.3 Dampak Sejarah Politik Agraria terhadap Akses Masyarakat atas Lahan
Sejarah politik agraria yang melibatkan Kampung Pel Cianten menunjukkan sentralisasi penguasaan sumber-sumber agraria yang didominasi
oleh PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS sebagai representasi Negara. Tanah yang berada didalam kampung tersebut
seluruhnya termasuk tanah Negara yang tidak dapat dikenai hak milik individu. Masyarakat yang ada di kampung tersebut tidak mempunyai hak milik terhadap
tanah garapannya. Masyarakat hanya diberikan hak garap oleh pihak perkebunan dan taman nasional.
Kebijakan kehutanan pada masa pendudukan Belanda mengenai penentuan batas kawasan hutan Halimun sebagai daerah konservasi telah menunjukkan
bentuk pengambilalihan akses masyarakat terhadap kawasan hutan. Kebijakan tersebut disertai pula dengan hukuman bagi tindakan pelanggaran kegiatan
pemanfaatan warga. Secara tidak langsung, pelabelan tindakan negatif terhadap aktivitas warga dalam memanfaatkan hutan merupakan bentuk pembatsan dan
pengasingan akses warga terhadap hutan. Sebelum masuknya Belanda, masyarakat Kampung Pel Cianten dapat
mengakses tanah di kawasan tersebut sebagai lahan pertanian. Tradisi ngahuma yang merupakan tradisi pertanian masyarakat Kampung Pel Cianten menjadi bukti
kuasa masyarakat terhadap lahan pertanian. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh sesepuh masyarakat setempat yang juga keturunan generasi ketiga dari
pendiri Kampung, ketika memberikan penjelasan mengenai sejarah Kampung Pel Cianten sebagai berikut:
“Ceuk Abah na Babeh, baheula mah, jaman satacan jadi perkebunan nteh, masyarakat teh tani di huma, neng. Sabagian gunung, sabagian leuweung. Basa
kapungkur mah tanah ge masih bebas. Adatna tacan di atur ku nagara, masih lalega,a sal daek ai ngagarap mah. Biasa na mah dipelakan pare ageung”
Menurut Kakek nya Babeh, dahulu sebelum menjadi perkebunan teh, masyarakat bertani huma, neng. Sebagian tanah tersebut adalah gunung, dan
lainnya hutan. Dulu tanah masih bebas. Karena memang belum diatur Negara, masih luas, asal mau menggarap. Biasanya ditanami padi ageung padi gogo.”
BBH, 77 tahun.
Pernyataan tersebut secara eksplisit menyebutkan akses warga terhadap lahan pada masa sebelum dibuka menjadai perkebunan teh masih sangat mudah.
Alasan yang dikemukakan adalah karena belum ada penguasaan oleh Negara. Dengan begitu, menurut informan, penguasaan sumberdaya oleh rezim Negara
menjadi penyebab hilangnya akses warga. Invasi kapitalisme Belanda dalam kegiatan pembukaan perkebunan
Kontrak Cianten memberikan dampak yang sangat besar pada kuasa warga atas lahan berupa pemaksaan Pemerintah Hindia Belanda kepada warga untuk
menyerahkan lahan guna kepentingan perusahaan perkebunan. Selain itu, pada masa tersebut, warga dijadikan tenaga kerja perkebunan. Istilah yang lebih sering
dipakai adalah nguli, yang diambil dari kata “kuli”. Upah yang diberikan Belanda adalah uang sebanyak 10 sen hingga 15 sen per bulan. Dimasa itu, jumlah upah
yang diberikan setara dengan tiga liter beras. Kondisi tersebut tergambar dalam petikan wawancara mendalam berikut:
“Pan sadaya teh terang, jaman harita mah pada-pada sieun ka Belanda. Keur harita mah pan Belanda nu gaduh peurah..” Kita semua tahu, pada masa itu kita
semua takut sama Belanda Pemerintah Kolonial Belanda. Saat itu, Belanda lah yang mempunyai pengaruhkekuasaan” BBH, 77
Penyerahan wilayah yang terjadi antara warga kepada pihak Pemerintah Hindia Belanda dilakukan melalui traktat. Traktat yang disepakati antara Mbah
Nayot sebagai sesepuh Kampung Pel Cianten dengan Pemerintah Kolonial Belanda memberikan implikasi berupa resettlement penduduk dari pemukiman
asalnya berupa pemukiman huma yang mengelompok dalam jumlah kecil dengan posisi yang tersebar ke settlement baru di dalam area perkebunan. Pemindahan
penduduk ini berarti telah memisahkan warga dengan lahannya yang semula
dikuasai warga. Dengan demikian penguasaan terhadap tanah berpindah kepada Pemerintah Kolonial Belanda dan secara otomatis warga Kampung Pel Cianten
kehilangan akses terhadap sebagian besar lahan pertanian mereka. Posisi warga sendiri kemudian berubah menjadi sumber tenaga kerja perkebunan yang
digunakan Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalankan kegiatan produksi perkebunan.
Kondisi serupa tetap dialami pula oleh warga Kampung Pel Cianten pasca Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Kebijakan agraria Indonesia
mengenai Nasionalisasi aset-aset pengusahaan lahan yang ditinggalkan kolonial, mengambil alih akses warga secara permanen terhadap lahan mereka. Akses
warga terhadap lahan pertanian yang sempat dikuasai warga pada masa pendudukan Jepang dan masa kekosongan pemerintahan kembali berpindah
tangan. Pelimpahan Hak Guna Usaha HGU kepada pihak PPH yang dikemudian hari berubah menjadi PTP. Nusantara VIII merupakan momentum pembatasan
akses warga terhadap lahan garapan hingga saat ini. Selain itu, warga pun dilarang melakukan perburuan di tengah areal tanaman teh yang ditunjukkan dengan papan
pelarangan berburu di setiap areal kebun tanaman teh. Posisi Kampung Pel Cianten berada di tengah area HGU PTP. Nusantara
VIII sekaligus berbatasan secara langsung dengan hutan konservasi yang dikuasai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Posisi kampung seperti itu membuat
kondisi agraria warga dipengaruhi pula oleh kebijakan agararia di sektor kehutanan. Perubahan kebijakan penguasaan wilayah kehutanan kepada Taman
Nasional Gunung Halimun Salak TNGHS yang semula berada di tangan Perum Perhutani pada tahun 2003 memberikan pengaruh yang signifikan kepada
masayarakat Kampung Pel Cianten. Sebelum menjadi kawasan taman nasional, akses masyarakat terhadap hutan masih dirasakan lebih longgar. Warga dapat
lebih mudah untuk membuka lahan garapan di area hutan. Selain itu, warga dapat lebih mudah untuk memanfaatkan hasil hutan berupa kayu yang digunakan untuk
keperluan kayu bakar ataupun juga kegiatan membangun rumah. Semenjak terjadi perubahan status kawasan menjadi Taman Nasional,
warga tidak dapat semudah itu untuk mendapat lahan garapan. Pihak Taman Nasional secara tegas telah melarang aktivitas pembukaan lahan garapan baru dan
perluasan lahan garapan yang telah ada sebelumnya. Meski begitu, pihak Taman Nasional masih memberikan kebijakan kepada warga yang telah lebih dulu
menguasai lahan garapan sejak penguasaan Perum Perhutani untuk dapat terus menguasai lahan garapan tersebut. Tidak itu saja, dalam rangka pencapaian tujuan
konsevasi taman nasional melarang akses warga untuk melakukan penebangan kayu dan penjualan kayu ke luar kampung.
5.4 Kedudukan Warga dalam Kondisi Agraria Setempat