perluasan lahan garapan yang telah ada sebelumnya. Meski begitu, pihak Taman Nasional masih memberikan kebijakan kepada warga yang telah lebih dulu
menguasai lahan garapan sejak penguasaan Perum Perhutani untuk dapat terus menguasai lahan garapan tersebut. Tidak itu saja, dalam rangka pencapaian tujuan
konsevasi taman nasional melarang akses warga untuk melakukan penebangan kayu dan penjualan kayu ke luar kampung.
5.4 Kedudukan Warga dalam Kondisi Agraria Setempat
Kebijakan pembangunan areal perkebunan sejak masa kolonial membatasi akses warga terhadap lahan. Pembatasan akses warga terhadap lahan garapannya
masih berlangsung hingga kini. Posisi warga menjadi sangat lemah dibandingkan pihak Negara melalui setiap kebijakan yang dikeluarkan PTP. Nusantara VIII dan
TNGHS. Berdasarkan data tata guna lahan Desa Purasari, ternyata 326,33 Ha atau 51,63 persen dari seluruh wilayah desa adalah kawasan perkebunan PTP.
Nusantara VIII. Luas ini merupakan 38,05 persen dari total luas area HGU perkebunan secara keseluruhan. Didalam area milik Negara inilah sekitar 313
Kepala Keluarga KK Kampung Pel bertahan hidup dengan luas penguasaan lahan garapan rata-rata hanya sekitar 0,08 ha per kepala keluarga
4
. Lahan garapan warga biasanya berada di celah sempit antar kebun teh
ataupun juga di lokasi-lokasi marjinal sisa tanaman teh yang telah mati kemudian dibiarkan bera oleh pihak perusahaan perkebunan yang disebut warga sebagai
lahan lancuran. Adapun lahan garapan warga lainnya sebagian berada di wilayah yang termasuk dalam Taman Nasional di pinggir-pinggir area hutan konservasi
yang merupakan sisa-sisa lahan yang tidak ditanami tanaman keras. Selain itu, lahan garapan warga di kawasan Taman Nasional terletak pada wilayah-wilayah
yang berada di tepi tebing yang curam dan mengandalkan pengairan tadah hujan ataupun dari aliran kecil dari sungai yang mengalir pada jalur-jalur air dari area
pegunungan di atasnya. Lahan yang demikian sempitnya menjadi sumber penghidupan warga.
Lahan yang dikuasai warga ditanami padi dengan hasil yang tidak seberapa.
4
Angka ini diperoleh dari pengolahan data lahan garapan responden. Angka luas penguasaan ini hampir sama dengan perhitungan dari Data peminjam lahan HGU perkebunan untuk jangka waktu
1 Juli 2010 hingga 31 Juli 2011. Data terlampir.
Seringkali malah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup hingga panen berikutnya. Sebagai gambaran, untuk lahan garapan seluas 3 gedeng atau setara
dengan 0,12 hektar hanya mampu menghasilkan produktivitas sebanyak tiga hingga lima karung gabah hasil panen yang hanya mampu mencukupi kebutuhan
konsumsi warga selama 3 bulan bagi satu keluarga dengan lima anggota keluarga. Pemenuhan pangan sebagai aspek dasar belum mampu tercukupi.
Dalam kondisi seperti itu penyaluran beras raskin oleh pemerintah Desa menjadi hal yang paling dinantikan. Beras raskin disalurkan tiap bulan pada
minggu ke tiga. Setiap satu karung dengan berat 15 kg, dihargai Rp 40.000,00 kadang naik menjadi Rp 45.000,00 ketika sampai di tangan warga karena beban
biaya transportasi. Warga mengetahui jika penambahan itu tidak dapat dibenarkan. Namun warga tidak bisa berbuat apa-apa, karena untuk dapat
mengambilnya langsung ke kantor desa yang berjarak 25 km dengan akses jalan yang buruk justru memerlukan biaya yang lebih besar. Kualitas beras tidak begitu
bagus. Warna beras agak kekuningan dibanding “beras warung” dengan sedikit aroma berbau.
Pengamatan secara cepat terhadap kondisi rumah warga di Kampung Pel Cianten mayoritas masih merupakan bangunan semi permanen. Perumahan
bedeng
5
berjajar memanjang sekitar lima hingga tujuh rumah di setiap baris dengan model seragam. Kadang berlapis dua baris atau ditemukan pula berjajar di
sepanjang jalanan kampung. Sedangkan rumah pribadi berdiri menyebar. Rumah bedeng sudah lama tidak mendapat bantuan renovasi dari pihak
perusahaan. Pada masa sebelum krisis moneter yang melanda perekonomian Indonesia, kondisi perusahaan perkebunan lebih stabil dan masih memberikan
layanan perbaikan dan renovasi rumah bedeng secara berkala. Kondisi perusahaan yang mulai tidak stabil akibat hasil produksi yang kian menurun, menjadi alasan
mengapa tidak ada lagi layanan renovasi dari perusahaan. Warna dinding rumah kebanyakan sudah pudar, lantai rumah beralas lantai semen, beberapa diantaranya
ada yang beralas tanah. Rumah bedeng yang berbentuk rumah panggung beralas kayu. Kondisi kayu sudah tidak baik, beberapa bagian rumah melapuk. Bahkan
5
Bedeng adalah rumah tinggal yang disediakan untuk karyawan perkebunan.
ketika berkunjung ke bedeng salah seorang responden, terdapat bambu di tengah rumah yang menyangga atap supaya tidak roboh.
Penguasaan lahan yang sempit dan akses terbatas tidak pula didukung dengan pilihan ketersediaan lapangan kerja yang lain sebagai sumber nafkah
selain bekerja di perkebunan. Mayoritas warga tetap menempati posisi para pendahulunya, yaitu sebagai buruh lepas
6
di perusahaan perkebunan. Adapun jenjang kepegawaian dan jumlah karyawan di perusahaan perkebunan disajikan
pada Tabel.3. Tabel 3.
Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTP Nusantara VIII Kebun Cianten Bulan November 2010
NO Jenjang Pegawai
Jumlah Presentase
1 Karyawan Pimpinan Golongan IIIA-IV D
6 0,5
2 Karyawan Pelaksana I Golongan IB-IID
110 9,9
3 Karyawan Pelaksana II Golongan A
317 28,7
4 Karyawan borongPKWT
673 60,9
Total
1106 100,0
Sumber: PTP Nusantara VIII Kebun Cianten, November 2010.
Jenjang kepegawaian di Perusahaan perkebunan PTP. Nusantara VIII kebun teh Cianten, dibagi menjadi empat jenjang. Karyawan pimpinan Golongan
IIIA-IV D adalah jenjang kepegawaian administratur perkebunan beserta stafnya di kantor perkebunan. Karyawan Pelaksanan I Golongan IB-IID merupakan
jenjang kepegawaian sinder, mandor, dan pengawas. Sedangkan dua jenjang berikutnya adalah golongan buruh. Karyawan Pelaksana II Golongan A adalah
jenjang pegawai buruh yang telah diangkat menjadi pegawai tetap. Jenjang terendah adalah karyawan borongPKWT yang merupakan golongan buruh lepas.
Golongan buruh lepas merupakan jenjang kepegawaian yang ditempati oleh mayoritas warga.
6
Buruh lepas adalah buruh yang tidak mendapat tunjangan tetap dan tunjangan pensiun di akhir masa kerja. 3
Perbedaan antara buruh lepas dan karyawan tetap, terletak pada hak-hak karyawan tetap yang mendapat fasilitas lebih baik daripada karyawan lepas,
berupa: pemberian cuti sebanyak maksimal satu minggu dalam satu tahun, fasilitas kesehatan yang didapat dari poliklinik perusahaan, penghargaan ubiliaris
setiap 25 tahun masa jabatan, serta tunjangan pensiun yang diberikan di akhir masa kerja pada usia 55 tahun.
Pensiun dikenakan kepada pegawai tetap setelah berusia 55 tahun. Enam bulan sebelum memasuki masa pensiun, atau ketika usia pekerja tetap mencapai
54 tahun 6 bulan, pegawai tersebut diberikan masa bebas tugas. Pada masa bebas tugas, seorang pegawai tetap tidak diberi kewajiban bekerja kepada perusahaan
namun tetap diberi gaji dan tunjangan penuh setiap bulannya. Barulah setelah enam bulan berada pada masa tugas, pegawai tersebut dipensiunkan dan diberi
tunjangan pensiun yang besarnya sesuai dengan pangkat atau golongannya dan lama waktu pengabdiannya di perusahaan. Sebagai contoh, besaran tunjangan
pensiun yang diterima oleh mandor golongan 2D yang bekerja sekitar 35 tahun adalah sebesar Rp 28.000.000,00 yang dibayarkan satu kali pada saat dinyatakan
pensiun, serta tunjangan pensiunan bulanan yang besarnya Rp 180.000,00 per bulan.
Menurut data yang dikeluarkan oleh pihak PTP. Nusantara VIII, sejumlah 673 orang atau lebih dari 60 persen karyawan di perkebunan adalah karyawan
lepas atau buruh. Jumlah real pegawai pada golongan ini lebih besar daripada data resmi yang dimiliki pihak perusahaan perkebunan, karena buruh yang telah
pensiun kadang-kadang masih bekerja di perkebunan akibat tidak memiliki sumber penghidupan lainnya. Beberapa warga yang mampu menjadi karyawan
buruh tetap, dan dalam jumlah yang lebih kecil lagi adalah warga yang menduduki posisi sinder dan mandor. Adapun staf perusahaan yang berada di puncak
kepemimpinan perusahaan, mayoritas dikuasai oleh para pegawai yang
didatangkan dari kantor pusat. Pengangkatan buruh lepas menjadi status buruh tetap dan peningkatan
jenjang jabatan karyawan dilakukan dengan mempertimbangkan kualifikasi dan spesifikasi individu berupa tingkat pendidikan, prestasi kerja selama menjadi
pegawai di taraf sebelumnya, dan lama masa kerja yang telah dilalui. Sebagai
contoh, untuk dapat menjadi seorang mandor, diperlukan tenaga kerja dengan spesifikasi pendidikan minimal lulus SMP se-derajat atau seorang lulusan SD
yang telah mengabdi selama lebih dari 15 tahun dan dinilai memiliki kemampuan yang tepat sebagaimana yang dibutuhkan sebagai seorang mandor. Jabatan
kepegawaian yang lebih tinggi memerlukan spesifikiasi pendidikan yang lebih baik, sehingga jarang ada warga yang menempati posisi kepegawaian di atas
mandor. Pendidikan yang rendah tidak memungkinkan warga untuk menempati
posisi yang lebih tinggi. Rata-rata pendidikan warga adalah SD bahkan tidak tamat SD. Tingkat pendidikan responden dapat menjadi gambaran mengenai
tingkat pendidikan warga Kampung Pel Cianten secara umum. Dari 33 orang responden, 27 orang, atau sekitar 81,8 persen warga berpendidikan SD. Terdapat
lima orang atau sekitar 15,2 persen responden yang berpendidikan STM dan menempati posisi sebagai pengawas bagian teknik dan mandor. Satu orang
responden 3 persen yang merupakan pendatang kemudian menetap sebagai guru SD setempat yang lulus pendidikan tinggi.
Tingkat pendidikan warga masih rendah, ditunjukkan dengan rata-rata pendidikan yang berhasil diselesaikan warga adalah pendidikan sekolah dasar.
Fasilitas pendidikan berupa sekolah lanjutan sangat sulit diakses warga. Keberadaan SMP 2 Leuwiliang baru berdiri sejak tahun 2000, jauh hari sebelum
itu, warga yang ingin melanjutkan pendidikan sekolah dasarnya harus menempuh SMP dan SMA terdekat di ibukota kecamatan Leuwiliang atau daerah
Kabandungan,Kabupaten Sukabumi yang berjarak sejauh 25 km. Hanya sebagian kecil warga saja yang mampu secara ekonomi, dapat menyekolahkan anaknya ke
tingkat lanjutan. Sebagian besar diantara warga memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan mereka dan segera bekerja di perusahaan perkebunan.
Jabatan sebagai mandor dan pengawas adalah jabatan tinggi di antara warga pekerja lainnya. Pengangkatan sebagai karyawan tetap sudah lama tidak
terjadi sejak kondisi perusahaan tidak stabil. Mengenai kondisi perusahaan yang kian menurun, seorang informan menyatakan bahwa terdapat kabar yang
berkembang mengenai tiga opsi langkah yang akan diambil perusahaan. Pertama, komoditas perkebunan akan diganti, perusahaan tidak akan menanam teh lagi.
Kedua, perusahaan akan dijual ke pihak asing, serta yang ketiga perusahaan akan terus merugi dan akan segera ditutup. Menurut beberapa responden, dalam
pengangkatan pekerja sebagai karyawan tetap dilakukan dengan melihat prestasi kerja, namun terkadang hubungan sosial yang lebih dekat dengan mandor justru
dapat mempermudah peningkatan status menjadi karyawan tetap dengan lebih cepat. Beberapa responden dan informan mengatakan bahwa untuk dapat menjadi
seorang pegawai tetap, seorang pegawai buruh lepas harus memberikan “pelicin” kepada mandor agar segera berubah status menjadi karyawan tetap. Mekanisme
pengangkatan status kepegawaian menjadi karyawan tetap seperti itu disampaikan dalam pernyataan responden sebagai berikut:
“Sekarang mah susah untuk bisa menjadi karyawan tetap. Saya saja sudah bekerja di perkebunan selama 15 tahun masih lepas buruh lepas statusnya.
Sudah lama ga ada pengangkatan. Kalo pun jadi karyawan tetap, harus punya modal yang banyak, saya mah ga mampu” KNA, 35 tahun
Pendapatan sebagai buruh lepas berkisar antara Rp 350.00,00 hingga Rp 400.000,00 terlalu rendah untuk dapat mencukupi kehidupan jika dibandingkan
dengan Upah Minimum Regional UMR Kabupaten Bogor pada tahun 2010 sebesar Rp 1.056.914,00. Upah yang diterima warga sebagai tenaga buruh di
perkebunan hanya sekitar 35 persen hingga 41 persen saja dari UMR Kabupaten Bogor. Tak jarang buruh perkebunan berhutang untuk mendapatkan kebutuhan
hidup sehari-hari ke koperasi karyawan. Ketika tibalah gajian atau pemberian upah kerja yang biasanya terjadi pada tanggal lima setiap bulannya, yang didapat
hanya struk pembayaran gaji tanpa upah uang yang tersisa. Bahkan ada pula yang justru mendapat struk merah, yang artinya justru pendapatannya bulan tersebut
masih kurang untuk menutupi utang ke koperasi karyawan. Dalam rangka menutupi kebutuhan hidupnya, selain mengandalkan
upahnya di perkebunan dan memanfaatkan hasil panen dari sawah-sawah sempit yang berhasil mereka kuasai, sebagian warga lainnya berusaha mencari
penghidupan di luar sektor pertanian. Beberapa diantara warga ada yang menjadi kuli angkut kayu ataupun juga buruh bangunan, dan bahkan justru menjadi tukang
kayu. Tukang kayu adalah orang yang mencari tanaman keras di hutan milik TNGHS lalu menjualnya. Meski tipe pekerjaan ini adalah pekerjaan musiman
dengan penghasilan tak tentu dengan tingkat resiko yang tinggi karena harus
berhadapan dengan peraturan legal mengenai konservasi, namun justru pekerjaan inilah yang dapat menjadi penyambung hidup warga.
5.5 Ikhtisar