Latar Belakang Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa area luas yang didalamnya terdapat berbagai macam flora dan fauna. Undang-Undang No.5 tahun 1967 mengartikan hutan sebagai lapangan bertumbuhan pohon-pohon yang secara menyeluruh merupakan persekutuan hidup alam hayati berserta alam lingkungannya. Pengertian tersebut secara implisit menunjukkan hubungan antar komponen penyusun hutan dengan kondisi sekitar yang terkait dengan hutan baik secara langsung maupun tidak langsung, termasuk manusia sebagai aktor pemanfaat sumberdaya agraria hutan. Menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK luas hutan Indonesia adalah 140,4 juta hektar atau sekitar 70 dari total luas daratan Indonesia, yang terdiri atas kawasan hutan tetap seluas 113,8 juta hektar dan kawasan hutan produksi seluas 26,6 juta hektar. Selain cakupan wilayahnya yang luas, hutan Indonesia memiliki potensi keanekaragaman yang sangat tinggi. Didalamnya terdapat ribuan jenis flora dan ribuan spesies fauna. Keanekaragaman hutan merupakan sumberdaya yang memiliki nilai strategis bagi kehidupan manusia. Makna hutan dalam kehidupan masyarakat tidak hanya memberikan fungsi ekonomi, namun juga memberikan fungsi sosial, budaya, bahkan religi. Makna hutan yang tinggi sebagai sumber agraria potensial membuat akses terhadap hutan sebagai hal yang penting dan fundamental bagi masyarakat. Penelusuran mengenai sejarah penguasaan hutan dari masa ke masa menunjukkan posisi yang tidak setimbang antara subyek-subyek agraria yang terlibat dalam penguasaan dan pemanfaatan hutan. Kuasa negara sangat dominan, terlihat dari kebijakan penguasaan hutan yang sentralistik dalam kerangka UU Agraria Nasional. Dominasi negara kemudian membatasi ruang gerak masyarakat dalam mengambil manfaat dari hutan. Kebijakan politik agraria pertama adalah Agrarische Wet yang dikeluarkan tahun 1870 memberikan legitimasi mutlak kepada pemerintah negara untuk menguasai seluruh lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya melalui asas Domeinverklaring. Secara implisit asas Domeinverklaring ini membatasi masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan lahan termasuk hutan. Memasuki masa kemerdekaan, sistem penguasaan warisan kolonial ini diadaptasi dan diterapkan oleh pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Inti dari setiap kebijakan politik agraria yang dikeluarkan pemerintah tetap sama yaitu: pembatasan akses dan kontrol masyarakat sebagai akibat relasi kekuasaan power relation antara negara dan petani masyarakat yang timpang. Saat ini terdapat kurang lebih 19.410 desa yang digolongkan sebagai desa hutan yang tersebar di 32 propinsi di Indonesia. Data yang dikemukakan oleh CIFOR 2004 dan BPS 2000 1 menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan akses masyarakat sekitar hutan akibat pengaruh kekuasaan negara dan swasta di sektor kehutanan baik untuk kegiatan konservasi maupun kegiatan produksi.

1.2 Perumusan Masalah