Politik Agraria Sektor Perkebunan

BAB V SEJARAH POLITIK AGRARIA KAMPUNG PEL CIANTEN Penelusuran sejarah politik agraria yang terjadi di Kampung Pel Cianten dilakukan untuk memahami proses pembentukan komunitas dan riwayat kebijakan agraria yang diterapkan di lokasi penelitian. Kampung Pel Cianten sendiri merupakan salah satu kampung yang berada di tengah area HGU PTP.Nusantara VIII di dataran tinggi Halimun yang sekarang menjadi kawasan Taman Nasional. Tujuan dari kajian terhadap sejarah politik agraria warga kampung Pel Cianten adalah agar dapat memberikan pemahaman mengenai asal- usul akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria terutama lahan dan gambaran kondisi warga saat ini sebagai akibat dari pola yang dipengaruhi kebijakan agraria di masa lalu.

5.1 Politik Agraria Sektor Perkebunan

Keberadaan masyarakat Pondok Pel Kampung Cianten ditengah area HGU perkebunan PTP. Nusantara VIII tidak bisa dilepaskan dari politik agraria yang terjadi sejak zaman kolonial Belanda. Jauh hari sebelum menjadi kebun teh, areal ini merupakan lahan pertanian masyarakat. Bentuk pemanfaatan yang lazim ditemukan pada masa itu adalah ladang huma yang ditanami dengan padi gogo dan padi ranca. Pada awal abad ke-19 Pemerintah Hindia Belanda datang ke daerah Cianten dulu bernama Kampung Cipacet untuk melakukan survey lahan guna pembukaan perkebunan dengan komoditas teh. Hasil survey yang dilakukan Belanda menunjukkan kecocokan kondisi lahan dan iklim untuk penanaman komoditas teh. Dua tahun pasca kedatangan Belanda yang pertama, Pemerintah Hindia Belanda mulai membuka daerah hutan di Kampung Cipacet sekarang Cianten untuk pembangunan lahan perkebunan. Pembukaan lahan tersebut kemudian dilanjutkan dengan persemaian dan penanaman benih biji teh yang dibawa dari India. Pada masa itu, didalam kawasan hutan yang dibuka oleh Belanda terdapat pemukiman dan lahan pertanian penduduk. Pemukiman penduduk yang mayoritas merupakan rumah ladang huma letaknya terpisah dalam jarak yang berjauhan satu sama lain dalam setiap settlement kecil. Demi kepentingan pembukaan hutan untuk kegiatan perkebunan oleh Belanda, penduduk tersebut kemudian dipindahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke settlement baru di Kampung Pel Cianten. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat setempat, pelimpahan penguasaan lahan yang semula berada pada tangan masyarakat kepada Pemerintah Hindia Belanda dilakukan melalui traktat yang disepakati oleh pemimpin masyarakat yang bernama Mbah Nayot dengan Pemerintah Hindia Belanda warga setempat menyebutnya sebagai Tuan Meneer. Isi dari kesepakatan tersebut adalah penyerahan wilayah kepada pihak Pemerintah Hindia Belanda dengan kompensasi berupa hak untuk bermukim dan memanfaatkan lahan bagi masyarakat setempat hingga generasi – generasi selanjutnya. Batas wilayah yang ditunjuk sebagai pemukiman warga dalam kesepakatan tersebut adalah Kampung Pel Cianten dari perbatasan Kampung Jawa hingga Citela. Sejarah lisan yang berkembang diantara warga kemudian menjadi legitimasi masyarakat lokal atas klaim terhadap kawasan pemukiman dan beberapa kawasan disekitarnya. Traktat yang berisi kesepakatan penyerahan kawasan kepada Pemerintah Hindia Belanda hingga kini masih dipertanyakan keberadaannya. Menurut tokoh masyarakat setempat, traktat tersebut sengaja disembunyikan atau bahkan dimusnahkan oleh para pendahulu kampung. Pemusnahan ini dilakukan karena muncul kekhawatiran akan terjadi pertumpahan darah diantara keturunannya, yang sekarang merupakan warga pribumi Cianten, akibat perebutan lahan yang terbatas sedangkan warga akan terus bertambah jumlahnya. Hingga saat ini masyarakat setempat sangat menyadari bahwa mereka tidak memiliki hak milik formal untuk setiap bagian tanah yang mereka kuasai. Perkebunan teh yang dirintis Belanda kemudian terus berkembang dan menjadi salah satu penyedia komoditas teh untuk keperluan Pemerintah Hindia Belanda dan ekspor. Didukung dengan perkembangan perusahaan perkebunan dan pertumbuhan penduduk, Kampung Cipacet pun berubah menjadi kawasan “Onderneming” yang lebih dikenal dengan sebutan “Kontrak Cianten”. Pada masa itu, pimpinan tertinggi “Kontrak Cianten” lazim disebut Juragan Kawasa. Pada masa kini, seiring dengan perubahan struktur organisasi perusahaan, pimpinan Juragan Kawasa lebih dikenal sebagai Administratur Perkebunan. Sampai saat ini berturut-turut terdapat 22 adminitatur yang telah memimpin di kebun Cianten PTP. Nusantara VIII. Agresi Jepang pada tahun 1943 merebut penguasaan perkebunan dari tangan Pemerintah Hindia Belanda. Kegiatan produksi perkebunan tidak dilanjutkan pada penguasaan Jepang. Selama kurun waktu 1943 hingga 1948, “Kontrak Cianten” digarap oleh rakyat sebagai tanah pertanian. Barulah pada pertengahan 1948, “Kontrak Cianten” kembali dibuka dan dikelola kembali oleh Pemerintah RI dengan nama PPH melalui Hak Guna Usaha HGU. Perkebunan PPH terus mengalami perubahan nama, yaitu: tahun 1964 menjadi PPN Cianten lalu menjadi PPN Kesatuan, tahun 1971 menjadi PPN Antan dan kemudian digabungkan dengan sejumlah perkebunan lainnya dalam naungan PTP XII hingga tahun 1994. Sejak tahun 1994, beberapa perkebunan di Jawa Barat yang bernaung dibawah PTP XI, PTP XII, dan PTP XIII digabungkan menjadi PTP Grup Jabar. Tahun 1996 hingga sekarang, seluruh perkebunan BUMN digabungkan dalam wadah PTP Nusantara I hingga PTP Nusantara XIV. Perkebunan Cianten beserta 46 perkebunan lain di Jawa Barat dikelompokkan kedalam PTP. Nusantara VIII Persero yang berkantor pusat di Jalan SindangSirna No.4 Bandung. Penguasaan Negara terhadap lahan di wilayah Cianten didapat melalui HGU yang dilimpahkan kepada PTP. Nusantara VIII. Satu periode masa HGU adalah 35 tahun dan masa HGU PTP.Nusantara VIII saat ini akan berakhir pada tahun 2043. Pada rentang tahun 1998 hingga 2008 HGU PTP. Nusantara VIII sempat mengalami kekosongan masa HGU HGU kadaluarsa.

5.2 Politik Agraria Kehutanan Kawasan Halimun