Ikatan Religius Warga dengan Tanah Pertanian

BAB VII ARTI DAN PERAN TANAH BAGI MASYARAKAT PERKEBUNAN DESA HUTAN Aspek yang diterangkan dalam bab ini meliputi kegiatan pemanfaatan lahan sebagai sumberdaya agraria utama oleh warga Kampung Pel Cianten dan berbagai hubungan antar warga dalam kegiatan pemanfaatan lahan sebagai satu kesatuan masyarakat di tengah penguasaan akses tanah oleh PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selain itu, dibahas pula mengenai makna tanah bagi warga setempat. Dengan demikian, bab ini akan memberikan gambaran mengenai karakterististik warga Kampung Pel Cianten sebagai masyarakat yang agraris, namun tanpa akses dan hak atas tanah

7.1 Kegiatan Pertanian Warga

Warga Kampung Pel Cianten merupakan masyarakat petani yang sangat terikat dengan tanah. Menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, kegiatan pertanian telah dimulai oleh para pendiri kampung dengan bentuk huma sebelum adanya perkebunan. Ngahuma adalah kegiatan pertanian di lahan kering dengan pola pertanian berpindah. Petani pemilik ladang mendirikan rumahtinggal di tengah kawasan ladangnya. Saat ini kegiatan pertanian masih menjadi sektor penting dalam menunjang kehidupan masyarakat di Kampung Pel Cianten. Meski mayoritas warga Kampung Pel Cianten bekerja sebagai karyawan di perkebunan, namun pemenuhan kebutuhan hidup warga masih ditopang dari sektor pertanian. Sektor pertanian dianggap sebagai salah satu investasi jangka panjang dan tunjangan hari tua setelah pensiun dari pekerjaan di perkebunan. Walau begitu beberapa diantara warga ada juga yang tidak tertarik untuk melakukan kegiatan pengolahan tanah.

7.1.1 Ikatan Religius Warga dengan Tanah Pertanian

Hubungan antara warga dan tanah masih kuat. Dalam kegiatan pengolahan lahan yang terjadi di Kampung Cianten, warga setempat masih melakukan serangkaian upacara tradsional. Tujuan utamanya adalah kegiatan penghormatan terhadap tanah dan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk semua rezeki yang di anugerahkan kepada warga Kampung Pel Cianten. Bentuk kegiatan yang dilakukan masih mendapat pengaruh kuat sinkritisme kebudayaan Hindu dan Islam. Hal ini dapat dimengerti melalui penelusuran sejarah terhadap asal-usul masyarakat Halimun dimana warga Kampung Pel Cianten termasuk didalamnya yang merupakan keturunan kerajaan Sunda Padjajaran dengan akar kebudayaan Hindu yang kuat. Walau demikian, khususnya pada komunitas Pel Cianten warisan budaya Hindu ini sudah jauh tererosi dibandingkan dengan komunitas- komunitas lain di kawasan Halimun seperti: Komunitas Badui di daerah Banten Kidul, Masyarakat Kasepuhan Halimun, dan Masyarakat Kanekes. Menurut warga setempat, padi dalam konteks ruang pembicaraan ini bisa juga diasosiasikan dengan beras merupakan jelmaan Dewi Sri yang disebut oleh warga setempat dengan nama Nyi Pohaci. Penempatan posisi yang tinggi seperti ini membuat perlakuan terhadap padi menjadi suatu kegiatan yang sakral. Wuku atau waktu untuk memulai kegiatan penanaman perlu diperhitungkan oleh seorang Puun, yaitu seorang sesepuh kampung yang diyakini memiliki kemampuan untuk “membaca” kondisi alam secara turun temurun. Pembagian waktu bercocok tanam dipengaruhi pula oleh bulan penanggalan Islam Hijriyah. Selain menentukan waktu, Puun juga akan menentukan arah yang tepat dalam melakukan tandur. Penentuan arah ini dilakukan melalui ritual tertentu dan didahului dengan tradisi ngarujak, yaitu membuat suatu sajian makanan rasa manis yang ditujukan untuk persembahan sajen kepada leluhur. Penanaman dapuran bibit padi pertama kali dalam suatu area sawah akan dilakukan oleh puun. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk salam kepada tanah bumi untuk menitipkan benih padi Nyi Pohaci agar mampu tumbuh dengan hasil yang baik. Setelah panen, terdapat tradisi seren taun sebagai ungkapan rasa syukur untuk hasil panen yang telah diberikan. Kegiatan seren taun yang berkembang di tengah warga Kampung Pel Cianten telah berbeda dengan kebiasaan di tempat lain, dimana biasanya dilakukan dengan menggunakan ritual tertentu dan tarian. Kegiatan seren taun Kampung Pel Cianten dilaksanakan di masjid dengan rangkaian acara berupa sholawatan dan doa bersama. Hal ini menunjukkan suatu pergeseran ke arah budaya Islam. Penentuan waktu pelaksanaan seren taun dilaksanakan tepat di tahun baru Islam, yaitu tanggal 1 Muharram. Kegiatan penyimpanan padi dan hasil panen pun memiliki tata cara tersendiri. Beras diharuskan disimpan pada tempat yang disebut padaringan dan diletakkan di goah, yaitu suatu ruangan khusus yang tertutup dan tidak terlewati lalu lalang orang. Hanya kaum perempuan yang boleh masuk ke tempat tersebut. Kaum laki-laki tidak diperkenankan melihat tempat beras tersebut, karena dianggap tabu dan tidak sopan serta mengganggu keberadaan Nyi Pohaci. Pada kondisi masyarakat saat ini, tradisi padaringan dan goah sudah tidak terlalu diperhatikan. Selain itu, di setiap rumah terdapat sawen, yaitu beberapa batang padi yang digantungkan di atas pintu rumah. Fungsi dari sawen ini adalah sebagai penangkal bencana dan pembuka rezeki dan keselamatan untuk keluarga tersebut. Dengan demikian, masih terdapat pencampuran budaya antara dinamisme dan animisme. Tradisi religius di dalam pertanian ini mengindikasikan peran pertanian yang jauh lebih penting dalam penghidupan penduduk di masa lalu.

7.1.2 Arti Pertanian bagi Warga