Masyarakat Desa Hutan Tinjauan Pusataka .1 Ruang Lingkup dan Struktur Agararia

pemilikan atas sumber-sumber agraria. Menurut Wiradi White 2009, penguasaan tanah bertalian erat dengan kekayaan, pendapatan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik. Konsekuensi logis dari hubungan antar subyek tersebut adalah sejumlah hak dan kewajiban yang saling memberi batasan kepada setiap subyek dalam rangka penguasaan sumber agraria. Jenis hak 2 merentang dari hak milik, hak sewa, hingga hak pakai, dan lainnya tergantung bagaimana masyarakat yang bersangkutan menentukannya. Menurut Wiradi 2008 konsep “pemilikan” dan “penguasaan” berbeda satu sama lain. Pemilikan menunjukkan hak atas lahan yang diakui secara legal formal. Dalam praktiknya, pemilikan merupakan penguasaan tanah secara de jure yang diakui secara sah oleh hukum Negara. Sedangkan “penguasaan” merupakan bentuk penguasaan de facto yang berarti penguasaan yang dikenal, digunakan, dan diberlakukan oleh masyarakat setempat secara efektif.

2.1.2 Masyarakat Desa Hutan

Desa menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan, merupakan suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum, yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah, langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumahtangganya sendiri dengan ikatan Negara Republik Indonesia. Rajati 2006 menjelaskan desa ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik, dan kultural dalam hubungannya dengan pengaruh timbal balik dengan daerah-daerah lain. Dengan demikian, desa merupakan suatu batasan daerah geografis yang merupakan tempat hidup sekelompok manusia yang saling terikat satu sama lain oleh nilai-nilai dan budaya tersendiri. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang hidup bersama dalam suatu cakupan geografis tertentu dan memiliki kesadaran sebagai satu kesatuan. Anggota masyarakat saling berinteraksi satu sama lain dengan intensitas dan waktu yang lama, serta memiliki nilai dan aturan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat seluruh anggota yang tergabung. 2 Dikutip dari Artikel Kajian dan Opini “Memahami Terminologi Tenure”, Warta Tenure No.1 Edisi Januari 2006, Oleh Emila dan Suwito. Masyarakat desa hutan merupakan sekelompok manusia yang memiliki nilaiaturan yang disepakati bersama dan hidup bersama dalam suatu pemerintahan desa yang berlokasi disekitar areal hutan. Kawasan yang disebut dengan pinggir hutan forest margin adalah wilayah yang pada satu atau lebih sisinya berbatasan langsung dengan wilayah kehutanan. Pada wilayah demikian, terdapat areal pertanian dengan segenap infrastruktur pendukungnya yang menjadi basis sosial ekonomi kehidupan masyarakatnya Syahyuti, 2002. Masyarakat desa hutan memiliki karakteristik sosial ekonomi yang khas. Masyarakat sekitar hutan di Jawa secara sosial ekonomi sangat lemah dan tergantung kepada sumberdaya hutan Katusubrata et al. ,1995 dalam Syahyuti,2002. Ketergantungan masyarakat desa hutan dengan hutan disekitarnya terjadi tidak hanya pada aspek ekonomi dimana hutan menjadi penyedia kebutuhan hidup semata, tapi juga pada aspek ekologi dan sosial. Masyarakat terlebih masyarakat adat terbiasa memiliki pembagian wilayah hutan secara tradisional yang memisahkan wilayah eksploitasi dan wilayah lindung dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Misalnya, masyarakat di kawasan Halimun membagi hutan menjadi tiga kawasan, yaitu: Leuweung Kolot atau leuweueng geledegan, Leuweung Titipan, dan Leuweung Sampalan. Secara umum, proses pembentukan masyarakat hutan berdasarkan sejarah pembentukannya dikategorikan menjadi dua, yaitu masyarakat adat dan masyarakat pendatang atau masyarakat bentukan baru. Kongres Masyarakat Adat Nusantara I tahun 1999 3 mendefiniskan masyarakat adat sebagai komunitas- komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupannya. Syahyuti 2002 dan Sondakh 2002 mengemukakan bahwa masyarakat bentukan baru di kawasan pinggir hutan terjadi karena adanya migrasi akibat pertumbuhan penduduk yang cepat, faktor bencana alam ataupun juga intervensi kebijakan pemerintah dalam rangka pemerataan pembangunan yang bersifat 3 diakses dari http:www.aman.or.idberita-aman7199.html?lang=en_GB.utf8 pada tanggal 4 Desember 2010 sektoral. Selain itu alasan pendorong terjadinya masyarakat bentukan baru adalah kesempatan ekonomi yang berbeda, dimana kekayaan sumberdaya agararia di sekitar hutan menjadi daya tarik untuk mendiami daerah pinggir hutan .

2.1.3 Akses