pergeseran ke arah budaya Islam. Penentuan waktu pelaksanaan seren taun dilaksanakan tepat di tahun baru Islam, yaitu tanggal 1 Muharram.
Kegiatan penyimpanan padi dan hasil panen pun memiliki tata cara tersendiri. Beras diharuskan disimpan pada tempat yang disebut padaringan dan
diletakkan di goah, yaitu suatu ruangan khusus yang tertutup dan tidak terlewati lalu lalang orang. Hanya kaum perempuan yang boleh masuk ke tempat tersebut.
Kaum laki-laki tidak diperkenankan melihat tempat beras tersebut, karena dianggap tabu dan tidak sopan serta mengganggu keberadaan Nyi Pohaci. Pada
kondisi masyarakat saat ini, tradisi padaringan dan goah sudah tidak terlalu diperhatikan.
Selain itu, di setiap rumah terdapat sawen, yaitu beberapa batang padi yang digantungkan di atas pintu rumah. Fungsi dari sawen ini adalah sebagai
penangkal bencana dan pembuka rezeki dan keselamatan untuk keluarga tersebut. Dengan demikian, masih terdapat pencampuran budaya antara dinamisme dan
animisme. Tradisi religius di dalam pertanian ini mengindikasikan peran pertanian yang jauh lebih penting dalam penghidupan penduduk di masa lalu.
7.1.2 Arti Pertanian bagi Warga
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa mayoritas warga Kampung Pel Cianten bekerja di perkebunan. Terdapat beberapa sektor pekerjaan di
perkebunan selain menjadi staf pegawai perkebunan, yaitu: bagian teknik, bagian petik, bagian produksi, dan bagian pemeliharaan. Posisi pekerjaan yang umum
ditempati oleh warga Kampung Pel Cianten adalah sebagai tenaga kerja buruh dengan status BHL atau Buruh Harian Lepas yang tersebar di ragam sektor
pekerjaan tadi. Upah yang diterima sebagai Buruh Harian Lepas sangat minim, yaitu
sekitar Rp 350.000,- hingga Rp 500.000,- per bulan, yang berarti hanya sekitar 35 persen hingga 50 persen dari jumlah UMR Kabupaten Bogor tahun 2010 sebesar
Rp 1.059.000,00. Penghasilan tersebut tentu tidak dapat mencukupi kehidupan warga dalam setiap rumahtangga. Maka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya,
warga melakukan kegiatan mengolah tanah sebagai alternative pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Meski hasil dari pengolahan sawah seringkali
mengecewakan tidak cukup, bahkan kadang-kadang gagal panen garung akibat serangan hama dan faktor cuaca. Kendati demikian warga cendrung
mempertahankan lahan garapan mereka. Kondisi seperti ini sebagaimana diungkapkan oleh responden:
“Pami hasil mah ulah ditaros, moal ek sabaraha ieuh. Tapi da lumayan wae neng, keur nyambung-nyambung hirup. Pepelakan teh susuganan weh jadi”
KNA, 35 tahun Kalau hasil mah jangan ditanya, tidak seberapa. Tapi lumayan aja neng,
untuk sekedar menyambung hidup. Bercocok tanam itu sambil berharap mudah-mudahan mungkin saja jadihasil KNA, 35 tahun.
Pernyataan serupa dikemukakan oleh JMD 48 tahun:
“Kahiji na mah tina perkebunan, sawah mah ngan ngabantu, ukur keur nyambung hirup”.
Utamanya didapat dari perkebunan PTPN, sawah itu hanyalah membantu, sekedar untuk menyambung hidup
Kedua pernyataan tersebut menggambarkan bagaimana warga setempat, yang mayoritas berprofesi sebagai buruh memiliki ketergantungan terhadap tanah
sangat tinggi, faktor utamanya adalah tuntutan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan hidup. Meski rata-rata penguasaan tanah mereka sangat sempit dan
hasilnya kadang tidak dapat mencukupi, namun warga tetap menjadikan tanah sebagai bagian dari pemenuhan kebutuhan hidup mereka terutama bagi warga
yang tidak mempunyai pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Disisi lain, faktor ekonomi pula yang menyebabkan sebagian warga
enggan untuk mengolah lahan. Hasil pertanian yang minim dan tidak sebanding dengan modal input pertanian yang telah dikeluarkan menjadi pertimbangan untuk
meninggalkan sektor pertanian dan beralih ke sektor lain yang lebih menguntungkan. Gambaran seperti ini diungkapkan oleh pernyataan responden
sebagai berikut:
“Saya mah punya lahan oge tapi da ngga digarap, hasilnya ngga ada sama sekali, mending saya narik mobil angkutan trus beli beras aja langsung”.
BDY, 30 tahun.
Beberapa responden yang memiliki jabatan sebagai pengawas dan mandor menyampaikan alasan kenapa mereka tidak tertarik untuk masuk ke sektor
pertanian karena waktu mereka telah habis untuk bekerja di perkebuanan. Mereka tidak mempunyai alokasi waktu untuk melakukan kegiatan pertanian mengolah
tanah. Selain itu, hasil pertanian yang tidak memadai dan pendapatan sebagai pekerja tetap di perkebunan yang dirasa lebih cukup dibandingkan kegiatan
mengolah sawah menjadi pertimbangan selanjutnya untuk keputusan mengolah tanah.
7.1.3 Aktivitas Pengolahan Lahan Pertanian oleh Warga