Perumusan Masalah Struktur Agraria Masyarakat Desa Hutan Dan Implikasinya Terhadap Pola Pemanfaatan Sumberdaya Agraria (Studi Kasus: Masyarakat Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

masyarakat untuk melakukan kegiatan pemanfaatan, pemilikan, dan penguasaan lahan termasuk hutan. Memasuki masa kemerdekaan, sistem penguasaan warisan kolonial ini diadaptasi dan diterapkan oleh pemerintahan Indonesia hingga saat ini. Inti dari setiap kebijakan politik agraria yang dikeluarkan pemerintah tetap sama yaitu: pembatasan akses dan kontrol masyarakat sebagai akibat relasi kekuasaan power relation antara negara dan petani masyarakat yang timpang. Saat ini terdapat kurang lebih 19.410 desa yang digolongkan sebagai desa hutan yang tersebar di 32 propinsi di Indonesia. Data yang dikemukakan oleh CIFOR 2004 dan BPS 2000 1 menggambarkan bahwa kurang lebih 48,8 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia tinggal di kawasan hutan dan sekitar 10,2 juta diantaranya tergolong miskin. Salah satu penyebabnya adalah ketiadaan akses masyarakat sekitar hutan akibat pengaruh kekuasaan negara dan swasta di sektor kehutanan baik untuk kegiatan konservasi maupun kegiatan produksi.

1.2 Perumusan Masalah

Kondisi seperti itu ditemukan pula pada masyarakat yang berada di sekitar kawasan Halimun. Kawasan Halimun merupakan salah satu obyek agraria tua di Indonesia dan mencakup tiga wilayah, yaitu Sukabumi, Bogor, dan Banten. Pengelolaan kawasan Halimun tidak bisa dipisahkan dari intervensi kebijakan pemerintah yang berkuasa pada masanya melalui setiap kebijakan politik dan ekonominya. Sejarah kebijakan tata ruang Halimun telah dimulai sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai sekarang. Kebijakaan tanah partikelir pada tahun 1700-an dan sistem tanam paksa pada tahun 1800-an telah membatasi akses masyarakat setempat untuk membuka lahan. Pembatasan ini juga diperparah oleh penetapan kawasan hutan dan kawasan pangan pada zaman pendudukan Jepang yang berlanjut hingga saat ini. Pemerintah menetapkan kawasan Halimun sebagai Taman Nasional dan kawasan perkebunan melalui Hak Guna Usaha HGU. Dalam konteks penguasaan lahan di Kawasan Halimun, Kampung Pel Cianten, Desa Purasari, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor menjadi salah satu lokasi pemanfataan lahan dan sumberdaya agraria. Desa ini berada tepat 1 Dikutip dari artikel “Pemantapan Kawasan Hutan Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan” dalam Warta Tenure edisi Januari 2006. ditengah kawasan PT. Perkebunan Nasional PTPN VIII Cianten dan Taman Nasional Halimun Salak TNGHS. Mayoritas penduduk Desa Purasari, menggantungkan hidupnya secara langsung kepada pihak perkebunan dan taman nasional. Hampir seluruh penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh petik perkebunan yang ditopang pula oleh kegiatan pertanian yang bersifat subsisten pada lahan yang berada pada kawasan Taman Nasional dan perkebunan. Hal yang menarik untuk diamati dan dikaji adalah mengenai penguasaan lahan, dimana masyarakat setempat tidak mempunyai hak milik untuk setiap lahan yang mereka usahakan. Kondisi ini berkaitan dengan lokasi Desa Purasari yang berada di tanah kuasa perkebunan dan taman nasional, sehingga setiap bentuk kegiatan penggunaan lahan dan pemanfatan sumberdaya akan sangat tergantung pada kebijakan perkebunan dan taman nasional. Dari pemaparan tersebut, penulis memfokuskan pada kajian tema struktur agraria dan kemudian secara spesifik penelitian ini akan memusatkan perhatian pada permasalahan berikut: 1. Bagaimana akses warga terhadap sumberdaya agraria dalam struktur penguasaan yang didominasi taman nasional dan perusahaan perkebunan? 2. Bagaimana pengaruh struktur akses warga pada sumberdaya agraria terhadap penghidupan warga? 3. Bagaimana mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria dalam kondisi struktur agraria setempat? 4. Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi mekanisme akses warga dan bentuk penguasaan sumberdaya agraria yang terjadi pada warga setempat?

1.3 Tujuan