Biji kapol basah dihargai Rp 6.000,00 hingga Rp 7.000,00 per kilogram oleh petani pengumpul. Petani pengumpul kemudian mengeringkan biji kapol
tersebut dan menjualnya dengan harga Rp 40.000,00 hingga Rp 75.000,00 tergantung kepada kualitas dan kurs mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika
saat itu. Dari 10 kg biji kapol kapulaga basah akan menghasilkan 7kg biji kapol kering. Sistem penjualannya adalah monopsoni, sehingga posisi tauke menjadi
sangat dominan dalam penentuan harga biji kapulaga kering yang dibawa petani pengumpul. Hubungan seperti ini pula yang terjadi diantara petani pengumpul dan
petani tanaman kapol kapulaga.
7.2 Penguasaan Tanah oleh Warga
Tanah merupakan faktor hidup utama dalam suatu masyarakat agraris. Penguasaan tanah akan menentukan keberlangsungan hidup suatu masyarakat.
Dalam penelitian ini, jenis tanah garapan warga dibedakan menjadi dua, yaitu: tanah garapan yang digunakan untuk sektor pertanian dan tanah untuk
pemukiman. Pengklasifikasian ini dimaksudkan agar dapat memperlihatkan ragam hubungan keterikatan warga dengan PTP. Nusantara VIII dan Balai TNGHS
sebagai aktor lain yang menguasai sumberdaya agraria secara formal di lokasi penelitian.
7.2.1 Lahan Pemukiman
Penguasaan warga terhadap lahan pemukiman perlu dibedakan dari penguasaan lahan garapan karena dapat menunjukkan perbedaan kedudukan
warga dalam menguasai lahan. Dilihat dari status lahannya, pemukiman warga dapat dibedakan menjadi pemukiman di wilayah kehutanan dan pemukiman di
wilayah perkebunan. Batas antara wilayah kehutanan dan perkebunan di lahan pemukiman
menggunakan batas alam berupa aliran sungai serta patok semen dibeberapa titik. Kondisi patok semen yang menjadi batas antara wilayah kehutanan dan
perkebunan banyak yang sudah tidak utuh, sehingga batas ini cenderung kabur dan membuat pembagian wilayahnya menjadi berbaur satu sama lain. Bahkan
dalam penelitian ini, ditemukan rumah responden yang setengah dari bagian
lahan tersebut dibutuhkan oleh perkebunan. Namun, melihat kondisi dilapangan saat ini ternyata justru telah banyak rumah permanen yang dibangun oleh warga.
Letak rumah bedeng berjajar di sepanjang jalan perkampungan dan membentuk titik komplek, sedangkan letak rumah pribadi lebih bebas. Hal lain
yang membedakan keduanya adalah rumah bedeng tidak dikenai biaya pajak HGU oleh perkebunan dan mendapat fasilitas renovasi dan pemeliharaan dari
pihak perkebunan. Sedangkan rumah pribadi milik warga yang berada di wilayah perkebunan dikenai pajak HGU yang besarnya sekitar Rp 10.000,00 per tahun.
Menurut pihak PTP. Nusantara VIII, penarikan pajak HGU ini adalah biaya administrasi untuk pembelian materai pada surat pernyataan kesepakatan
peminjaman HGU oleh warga. Contoh surat HGU dapat dilihat pada bagian lampiran. Menurut responden yang bermukim di rumah bedeng, fasilitas renovasi
dan pemeliharaan rumah sudah lama tidak diberikan pihak perkebunan sejak kondisi perusahaan semakin menurun akibat hasil produksi yang berkurang.
7.2.2 Tanah Garapan Pertanian
Warga Kampung Pel Cianten mayoritas merupakan pekerja perkebunan PTP. Nusantara VIII. Upah yang diterima sebagai pekerja perkebunan seringkali
dirasa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga setempat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya warga melakukan kegiatan pertanian di
tanah milik PTP. Nusantara dan TNHGS. Dengan demikian, pemilikan tanah garapan sebagai modal utama kegiatan pertanian menjadi hal yang penting untuk
warga, terutama bagi warga yang tidak bekerja di perkebunan dan memiliki mata pencaharian utama sebagai petani. Kondisi seperti ini disampaikan oleh responden
sebagai berikut:
“Pami ngandelkeun ti kebun wae mah moal cekap, neng. Komo deui ayeuna mah pucuk na oge nuju teu aya. Pami henteu dibantuan ti sawah mah atuh ti
mana kanggo barang tuang sadidintenna” “Kalau hanya mengandalkan gaji dari kebun saja mah tidak akan cukup. Kalau tidak dibantu dari sawah mah
darimana untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari” JMD, 48
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa seluruh lahan yang berada di Kampung Pel Cianten berada dibawah kuasa PTP.
Nusantara VIII dan TNGHS. Maka definisi pemilikan yang dimaksud dalam
kehidupan warga Kampung Pel Cianten bukanlah penguasaan formal yang didukung dengan bukti kepemilikan sah dan dikuatkan oleh hukum dan undang-
undang. Pemilikan lahan yang dimaksud adalah penguasaan lahan yang disebut Wiradi 1984 sebagai bentuk penguasaan efektif, yaitu akses warga secara de
facto atas lahan yang mereka gunakan dalam kegiatan bertani. Dasar pengakuan legitimasi lahan yang digunakan oleh warga hanyalah
pengakuan secara lisan yang berkembang diantara warga, Pengakuan lisan ini ditentukan oleh siapa yang lebih dulu membuka lahan tersebut dan pernah atau
tidaknya seseorang menggunakan lahan tersebut untuk bercocoktanam. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh SDM 35 tahun sebagai berikut:
“Dideui mah tanah garapan teh teu pernah pake surat tanah cara di tempat sanes. Siga tanah nu ieu, kapungkur pernah dipelakan sayuran ku Bapa teh.
Sakedik jumlahna mah, tapi da wios ayeuna tos hente di pelakan deui oge, moal aya nu wantuneun ngangge tanah nu eta. Eta mah ngan khusus w gaduh Bapa,
padahal istilahna mah Bapa teu meser, ngan ngagaduhan tanaga wungkul.” “Disini pengakuan tanah garapan tidak pernah menggunakan surat tanah seperti
di tempat lain. Tanah saya yang ini dulu pernah ditanami sayuran oleh Bapak. Jumlahnya memang hanya sedikit, tapi meski sekarang sudah tidak ditanami lagi
tidak akan ada orang yang berani untuk menggunakan tanah tersebut. Tanah itu khusus milik Bapak, Padahal Bapak tidak pernah membelinya, hanya memiliki
tenaga untuk membuka saja.”
Warga Kampung
Pel Cianten
tidak memperhatikan
dan mendokumentasikan luas lahan yang mereka kuasai. Hal ini diduga karena
kebiasaan pembukaan lahan yang berkembang di kampung tersebut, dimana warga membuka lahan sesuai dengan kemampuan dan keperluannya. Satuan luas
pemilikan lahan garapan yang berkembang diantara warga diketahui dari jumlah bibit yang ditebar pada lahan pertanian yang disebut dengan satuan gedeng.
Tidak ada penjelasan pasti mengenai konversi jumlah gedeng kedalam satuan luasan lahan yang baku. Hampir seluruh responden menyatakan tidak tahu
mengenai luas lahannya secara tepat dalam satuan luas baku. Proses konversi satuan gedeng dengan menggunakan kebiasaan di tempat lain pun tidak dapat
dilakukan karena sistem pertanian di Cianten berbeda, dimana untuk luasan tanah yang sama input pertanian terutama bibit yang dibutuhkan lebih banyak, namun
hasil pertaniannya justru lebih sedikit dibanding kampung lain. Sebagai perbandingan, di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan yang
terhitung masih bertetangga dengan lokasi penelitian, luas satu gedeng setara