Waris Ganti Rugi Bagi Hasil

garapan mereka ke area kebun teh secara bertahap. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh responden, sebagai berikut: “…muhun, ieu tos caket kana nteh tadi namah rada tebih, asal mah tong kapendakan ku kebun w lah” …iya, ini sudah dekat dengan tanaman teh, tadinya memang aga jauh, asalkan jangan dikatuhi oleh pihak kebun perkebunan saja. MTR,32 tahun Awalnya, warga menanam tanaman pisang untuk membatasi lahan garapannya, kemudian pada waktu berikutnya tunas baru pada tanaman pisang bergeser. Selain itu, ada juga warga yang memang memperluas lahannya pada kegiatan persiapan penanaman padi dalam siklus penanaman padi berikutnya. Dengan demikian luas lahannya sedikit demi sedikit menjadi bertambah.

6.1.2 Waris

Lahan garapan warga yang dibuka sendiri kemudian diwariskan ke generasi berikutnya. Sistem waris yang berlaku di Kampung Cianten tidak mengikuti sistem Islam sebagaimana yang sering dijumpai di setiap komunitas yang mayoritas warganya Muslim. Pembagian lahan garapan dilakukan dengan pembagian samarata antara anak laki-laki dan perempuan. Kadangkala dijumpai pewarisan lahan garapan yang tidak ditujukan secara khusus kepada salah satu anaknya. Bisa jadi lahan garapan peninggalan orangtuanya digarap secara bergantian oleh siapa saja diantara anaknya yang mampu dan mau untuk menggarap.

6.1.3 Ganti Rugi

Sistem jual-beli lahan garapan tidak lumrah dilakukan oleh warga Kampung Pel Cianten. Mereka menyadari bahwa mereka tidak mempunyai hak milik atas setiap lahan garapan yang mereka kuasai. Sistem ganti rugi berkaitan erat dengan cara perolehan lahan garapan melalui buka sendiri, dimana tujuan ganti rugi ini adalah untuk mengganti tenaga yang dikeluarkan oleh pemilik lahan garapan sebelumnya yang telah membuka lahan garapan tersebut. Oleh karena itu, sistem seperti ini lebih sering disebut dengan sistem mulangkeun tanaga oleh warga setempat yang berarti “mengembalikan tenaga”. Besaran ganti rugi tergantung pada kesepakatan keduabelah pihak. Sistem ini lebih cenderung merupakan kegiatan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada pembuka lahan dibandingkan dengan kegiatan transfer hak kepemilikan.

6.1.4 Bagi Hasil

Sistem bagi hasil tidak terlau banyak digunakan oleh warga Kampung Pel Cianten. Hasil pertanian yang minim membuat warga jarang melakukan bagi hasil. Adapun kegiatan bagi hasil dilakukan diantara keluarga dekat saja dengan alasan ketidakmampuan pemilik lahan untuk mengolah lahan garapan akibat faktor usia yang sudah tua. Sistem yang berkembang adalah maro, dimana hasil panen dibagi dua antara pemilik lahan dan penggarap sama besar setelah sebelumnya dipotong biaya dan modal yang digunakan untuk pengolahan lahan. Selain keempat sistem tersebut, masih ada sistem lain yang berkaitan dengan cara perolehan lahan di Kampung Pel Cianten, yaitu: sistem liron atau dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sistem tukar. Sistem tukar dilakukan diantara warga Kampung Pel Cianten dan dilakukan baik untuk jenis lahan yang sama ataupun berbeda tergantung pada kesepakatan diantara pihak. Salah satu contoh yang peneliti temui di lokasi penelitian adalah liron sejenis, yaitu empangkolam. Empang yang informan kuasai sekarang hasil dari liron atau bisa diartikan “bertukar” dengan warga lainnya, karena keduabelah pihak sama- sama menginginkan lokasi empang yang lebih dekat dengan rumah mereka. Luas yang dipertukarkan tidak sama, empang yang dimiliki informan saat ini lebih sempit daripada yang dahulu. Meski begitu, pertukaran dilakukan begitu saja, tidak ada kompensasi biaya yang harus dikeluarkan meski luasannya berbeda. 6.2 Faktor yang Mempengaruhi Akses Warga terhadap Tanah dan Tumbuhnya Relevansi Sumberdaya Non Tanah Secara de jure, warga memang tidak mempunyai hak untuk dapat menggunakan lahan baik di kawasan perkebunan ataupun Taman Nasional. Warga menggunakan justifikasi sejarah dimana tokoh pendiri kampung diberi kompensasi hak mukim dan garap hingga generasi selanjutnya sebagai legitimasi kegiatan pembukaan lahan pertanian saat ini. Alasan historis pula yang membuat pihak perkebunan memberi “izin” kepada warga untuk dapat membuka lahan garapan. Dari sudut pandang teori akses Ribot dan Pelusso 2003 maka faktor identitas sosial inilah yang menjadi faktor penentu akses wargta terhadap lahan pertanian di daerah perkebunan. Dari sudut pandang warga, kegiatan membuka lahan pertanian menjadi konsekuensi logis dari kebutuhan hidup yang mendesak tanpa didukung upah perkebunan yang memuaskan. Dengan begitu, faktor ekonomi menjadi pendorong utama mengapa warga membuka lahan garapan. Ungkapan “ek kamana deui atuh urang Cianten mah, mun teu ti tanah ieu” “mau kemana lagi orang Cianten, kalau tidak dari tanah kegiatan pertanian” yang hampir selalu ditemui oleh peneliti menunjukkan bagaimana mereka tetap menjadikan kegiatan pertanian sebagai pemenuh kebutuhan mereka dalam kondisi akses yang cukup sulit. Bagi pihak perusahaan perkebunan, keberadaan warga ini menjadi pemenuh kebutuhan perusahaan akan tenaga kerja. Jumlah warga yang terus bertambah, dan kualitas pendidikan mayoritas warga termasuk dalam kualifikasi rendah menjadi kondisi yang menguntungkan bagi perusahaan perkebunan. Kondisi warga yang demikian, menempatkan warga dengan posisi tawar yang rendah sebagai tenaga kerja perkebunan yang mudah dan murah. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh salah satu staf perkebunan dalam wawancara mendalam. Dengan demikian, kerugian perusahaan untuk memberikan lahan diimbangi dengan ketersediaan tenaga kerja yang lebih mudah dijangkau. Sekitar tahun 1997, ketika terjadi penggantian kepala administrator yang baru, pihak perusahaan perkebunan sempat mengeluarkan kebijakan untuk membersihkan areal perkebunan dari lahan garapan warga. Tanaman milik warga yang dinilai mengganggu tanaman teh sempat di tebang, termasuk areal pesawahan warga yang berada di kawasan perkebunan. Tindakan pihak perkebunan mendapat protes keras dari warga dan sempat memunculkan konflik terbuka meski akhirnya dapat segera diselesaikan. Sejak saat itu, warga kembali diperbolehkan untuk menggunakan lahan garapannya. Keterbatasan lahan yang dapat digarap warga di perkebunan, mendorong warga untuk memperluas cakupan garapan warga ke area kehutanan. Seiring pergeseran waktu, ketersediaan lahan-lahan garapan yang dapat dikuasai warga semakin sempit dengan kualitas yang semakin rendah. Di lokasi ini pula tidak terdapat program yang dapat memberikan akses lahan kepada warga, baik dari pihak perkebunan maupun Taman Nasional. Beberapa lahan garapan warga adalah bagian dari tanah lancuran, yaitu lahan sisa yang tadinya ditanami teh, kemudian dibiarkan bera karena tanaman teh sudah tua dan tidak produktif. Umumnya, penguasaan lahan pertanian oleh warga Kampung Pel Cianten sangatlah minim. Rata-rata penguasaan lahan oleh setiap rumahtangga adalah seluas 2 hingga 3 gedeng atau setara dengan 0,08 hektar hingga 0,12 hektar. Hasil yang diperoleh dari penguasaan lahan dengan luas yang begitu sempit hanyalah sekitar 10 karung gabah dalam kondisi normal, dan akan berkurang hingga mencapai setengahnya saja ketika gagal panen. Hasil sebanyak itu, menurut sebagian besar responden dan beberapa informan yang ditemui sangat tidak mencukupi kebutuhan hidup satu keluarga dengan anggota keluarga sekitar empat hingga lima orang sampai mencapai panen berikutnya. Kondisi pertanian yang dianggap kurang menjanjikan itulah yang membuat sebagian warga justru enggan menggarap lahan pertanian. Beberapa warga menuturkan, hasil panen yang demikian minim dipengaruhi pula oleh kualitas air yang berbeda-beda. Beberapa lokasi pertanian, hanya diairi dengan beberapa sumber mata air kecil dengan kondisi air yang tidak terlalu baik. Warga Kampung Pel Cianten menyebutnya dengan sebutan Cai Peura. Air Peura berwarna lebih keruh daripada air pada umumnya. Dibeberapa tempat pertanian milik warga lainnya yang lebih dekat kepada sungai sebagai sumber air irigasi, menunjukkan kondisi hasil panen yang lebih baik, meski tidak terlalu signifikan. Perbedaan kondisi lahan pertanian, sumber air irigasi,dan tentu saja hasil panen terkadang menjadi sangat menentukan dalam mengatur besar harga tanah dalam mekanisme perolehan lahan ganti rugi atau yang lebih dikenal warga sebagai sistem mulangkeun tanaga. Komoditas yang ditanam dalam lahan garapan warga mayoritas adalah tanaman pangan yang ditanam untuk melengkapi kebutuhan subsisten semata. Satu petak sawah seluas 3 gedeng, ditanami padi yang kadang dilengkapi dengan beberapa pohon singkong dan sedikit sayuran seperti cabai dan tomat di setiap pojok pematang sawah. Beberapa diantara petani menanami pinggiran petak sawahnya dengan tanaman pisang. Selain untuk menambah cadangan bahan makanan, tanaman pisang ini digunakan pula sebagai penanda batas antara sawah miliknya dengan sawah milik orang lain. Pada petani yang memiliki lahan lebih luas, ditemukan komoditas tanaman yang lebih bervariasi. Penguasaan modal produksi pertanian berupa areal lahan yang lebih luas diberagam tipe pemanfaatan lahan memungkinkan petani lahan luas untuk menanam tanaman keras di kebun miliknya dalam jumlah banyak. Komoditas yang ditanam biasanya adalah pohon manii atau dikenal sebagai kayu Africa. Manii akan tumbuh selama lima tahun sebelum akhirnya dipanen. Salah seorang responden lahan luas yang memiliki lahan kebun manii yang relatif lebih luas menyebutkan manfaat kebun manii sebagai penambah cadangan investasi yang menjanjikan Sedangkan bagi petani lahan sempit, keberadaan pohon manii bisa menjadi cadangan tabungan jangka panjang yang dapat digunakan untuk mempersiapkan kebutuhan yang besar. Pada beberapa petani, penguasaan lahan selain didapatkan dari kegiatan membuka sendiri, juga dilakukan melaui mekanisme ganti rugi atau mulangkeun tanaga. Seorang pensiunan karyawan perkebunan yang berprofesi sebagai mandor mendapatkan lahan garapannya dari mekanisme mulangkeun tanaga. Petani ini mendapatkan lahan seluas 3 gedeng dengan membayar senilai Rp 1.500.000,00 pada tahun 1998. Lahan ini kemudian digarap oleh diri sendiri dan kadang oleh buruh tani dengan alasan keterbatasan waktu. Upah buruh tani dibayar harian, yaitu Rp 25.000,- untuk kegiatan mencangkul dengan durasi kerja satu hari terhitung sejak pagi hari hingga tengah hari. Ketersediaan lahan yang semakin terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya menjadikan transaksi mulangkeun tanaga sebagai kegiatan transfer penguasaan lahan yang digunakan warga. Dengan demikian, faktor penguasaan modal pun menjadi hal yang penting dalam hal penguasaan lahan warga. Disisi lain, minat warga dalam kegiatan pembukaan lahan cenderung menurun karena ketersediaan lahan yang semakin sempit dan kualitas yang semakin rendah. Lahan-lahan yang tersisa saat ini hanyalah lahan-lahan marginal yang kurang produktivitasnya, terlihat dari hasil panen yang seringkali tidak sebanding dengan input pertanian yang dikeluarkan. Tanah-tanah yang produktif, tentulah digunakan sebagai bagian dari area perkebunan dan kehutanan. Pada keadaan seperti itu, justru terdapat kecenderungan yang mengarah pada kondisi dimana sumber-sumber non lahan menjadi lebih penting sebagai usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Beberapa warga memutuskan untuk melakukan migrasi keluar kampung dan memilih pekerjaan sektor informal diluar pertanian, yaitu sebagai buruh pabrik industri. Rendahnya pendidikan membuat warga sulit mendapatkan pekerjaan dengan spesifikasi yang lebih baik. Akses terhadap pendidikan hanya mampu dijangkau oleh warga dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi. Dalam kondisi kekurangan lahan dan ketergantungan terhadap pihak perkebunan yang tinggi, maka pilihan untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik didapatkan dengan cara menempati posisi-posisi pekerjaan yang lebih baik di perusahaan perkebunan. Prosedur menaikkan jenjang pekerjaan, secara formal dilakukan dengan mempertimbangkan lama kerja dan juga prestasi kerja karyawan. Namun, dalam kenyataannya relasi sosial khusus dengan mandor dapat menjadi jalan untuk mengubah status menjadi karyawan tetap dan mendapatkan posisi kerja yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan responden sebagai berikut: “bapa mah teu gaduh dukungan, teu gaduh nu ngajeujeuhkeunna, janten w..bapa mah angger janten pegawai lepas, Benten sareng Pak U mah, anjeunna mah aya nu ngajeujeuhkeun, pan lanceukna teh janten mandor sareng pengawas di perkebunan, pami bapa mah teu aya” Bapak tidak punya dukungan, tidak ada yang me-back up, jadi..Bapa tetap menjadi karyawan lepas. Berbeda dengan Pak U, beliau ada yang mendukung, kakaknya adalah mandor dan pengawas di perkebunan, kalau Bapa tidak ada SJY, 52. Dengan demikian, relasi sosial yang lebih dekat dengan mandor dapat menjadi penentu status buruh menjadi karyawan tetap. Mengenai jenjang pekerjaan di perkebunan, mayoritas warga memang hanya menempati posisi sebagai buruh. Posisi lain yang lebih tinggi, yaitu sebagai mandor ataupun sinder, biasanya ditempati oleh sebagian kecil warga saja. Langkah lain yang dilakukan warga sebagai respon keterbatasan akses tanah adalah dengan mencari kayu di kawasan Taman Nasional. Menurut pandangan taman Nasional dan pihak perkebunan, kegiatan pemanfaatan warga termasuk dalam kegiatan illegal. Meski begitu, warga tidak mempunyai pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Beberapa diantara warga ada yang menjadi tukang kayu yang menjual kayu keluar kampung, meski hal tersebut telah dilarang oleh pihak Taman Nasional. Pengiriman kayu keluar kampung biasanya dilakukan pada malam hari untuk menghindari pengawasan petugas Taman Nasional. Setiap rute perjalanan membawa kayu dihargai Rp 220.000,00 oleh pemilik kayu. Terdapat dua definisi pemilik kayu, yaitu: 1 orang yang menjual kayu dari pohon yang ditanamnya sendiri, dan 2 orang yang mencari kayu di hutan lalu menjualnya ke luar kampung.Biaya tersebut dipergunakan untuk keperluan sewa mobil sebanyak Rp 100.000, biaya bahan bakar Rp 80.000, dan sisanya adalah upah yang diberikan kepada supir pengangkut. Selain biaya tersebut, ada juga beberapa biaya tambahan yang diperlukan untuk melancarkan kegiatan distribusi kayu hingga sampai tempat tujuan. Biaya tambahan pertama dikenakan pada oknum petugas penjaga portal pekebunan yang merupakan pintu satu-satunya untuk keluar kampung. Pemberian uang kira-kira sebanyak Rp 10.000,- memang tidak pernah diharuskan secara tertulis, namun seolah telah menjadi kesepakatan tak tertulis antara supir pengangkut kayu dan oknum petugas penjaga portal perkebunan. Biaya tambahan selanjutnya adalah untuk pos polisi yang berada di ibukota kecamatan. Hal tersebut sama seperti apa yang terjadi dengan oknum petugas penjaga portal perkebunan. Setiap satu bak kayu dengan kualitas baik dihargai sebesar Rp 1.300.000. Jika kualitas kayu sedang buruk, maka hanya dihargai sekitar Rp 500.000. Pemilik mobil akan mengetahui secara pasti berapa banyak rute pengiriman kayu yang dilakukan karena pemilik mobil merangkap pula sebagai tauke kayu di tempat tujuan. Jika terjadi penangkapan oleh petugas kehutanan, maka kerugian akan biaya transportasi seluruhnya ditanggung oleh supir. Kayu yang ditangkap petugas adalah jenis-jenis kayu hutan, seperti: manii, manglid, dan ipis kulit. Jenis kayu lain yang dibudidayakan warga tidak termasuk dalam kriteria penangkapan yang dilakukan petugas kehutanan. Selain dijual keluar dalam bentuk kayu mentah, kayu yang diambil dari hutan pun digunakan untuk kegiatan membangun rumah dan pembuatan barang furniture. Kegiatan membangun rumah warga biasanya menggunakan kayu yang di ambil untuk pembuatan kusen, daun pintu, dan jendela. Pengambilan kayu untuk kebutuhan rumah, masih bisa ditolerir oleh petugas kehutanan selama berada dalam jumlah yang wajar. Beberapa kegiatan proyek pembuatan rumah warga saat ini kadang memerlukan kayu dalam jumlah yang besar. Untuk menghindari penangkapan oleh petugas kehutanan, tukang kayu seringkali menggunakan pembuatan nota pembelian kayu palsu. Nota palsu ini didapat dari toko material di ibukota kecamatan yang telah dikenal baik oleh tukang kayu seharga Rp 100.000,-. Penyelasaian permasalahan melalui mekanisme penyelesaian “dibawah meja” antara petugas kehutanan dan warga yang terlibat menunjukkan penguasaan struktur akses relasi sosial. Beberapa warga lainnya pun terampil dalam membuat furniture. Penyebaran hasil produksi warga tidak hanya terjadi secara internal terhadap warga lain di kampung tersebut, namun juga sampai keluar kampung. Bahkan menurut beberapa informan, oknum staf perusahaan perkebunan seringkali memesan hasil produksi warga untuk konsumsi pribadi. Seiring dengan kegiatan konsumsi kayu yang kian meningkat, maka kayu-kayu yang dahulu banyak tersedia di hutan kini sudah semakin langka. Responden yang terbiasa mencari kayu di hutan, menggambarkan kondisi ketersediaan kayu yang semakin terbatas, dengan pernyataan sebagai berikut: “Kapungkur mah kai nu sarae teh masih gampil, seueur jumlah sareng jenisna. Pami ayeuna mah tos sesah, kedah sadinten papah na ge ka tengah leuweung. Pami dongkap ti gunung teh sonten, bade caket ka magrib, pami angkat ti saprak subuh” Dahulu, kayu yang bagus masih mudah, jumlah dan jenisnya banyak. Kalau sejarang sudah susah, harus satu hari perjalanannya. Kalu datang dari gunung pada sore hari, hampir waktu magrib, kalau berangkat setelah subuh SJY, 53 tahun. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan kayu saat ini sudah semakin menurun. Lokasi pengambilan kayu saat ini relative sudah lebih jauh daripada lokasi semula. Pernyataan ini juga secara implisit menggambarkan laju kerusakan ekosistem hutan menjadi lebih tinggi akibat perambahan yang dilakukan warga. Kegiatan pengambilan kayu dari hutan ke daerah perkampungan dilakukan dengan sistem borongan dan harian.Sistem borongan digunakan untuk jenis kayu berat berbentuk gelondongan dan belum melewati kegiatan penggergajian. Pembayaran upah jasa pengangkut kayu di bayar Rp 30.000 per hari. Sedangkan sistem harian digunakan untuk jenis kayu balok yang sudah melewati fase penggergajian. Pembayaran upah diberikan sebanyak Rp 5000 untuk setiap satu balok kayu. Mengingat jarak pengangkutan yang demikian jauh dan volume kayu yang besar, maka kemampuan maksimum pengangkutan kayu oleh kuli angkut hanyalah dua kali pengangkutan kayu dalam satu hari masa kerja. Dalam merespon kegiatan penebangan yang dilakukan warga, tak jarang petugas kehutanan menerapkan tindakan koersif untuk menyelesaikan kasus perambahan illegal. Meski begitu, warga memiliki cara untuk meredam tindakan tersebut dengan cara memberikan sogokan kepada petugas kehutanan. Hal ini sesuai dengan pengakuan warga yang telah mengalami hal tersebut: “Saya sudah sering di ancam sama PA perhutani,, sudah beberapa kali petugas PA mendatangi rumah saya. Paling-paling saya berikan amplop seratus ribu, dan petugas itupun kemudian pergi dari rumah saya” SJY, 53 tahun. Seringkali petugas kehutanan justru seolah melindungi aktivitas pembalakan kayu oleh warga yang dinilai illegal. Seorang petugas kehutanan menyebutkan bahwa mereka petugas kehutanan sudah mengetahui berbagai kegiatan pembalakan yang dilakukan warga, namun mereka merasa kesulitan untuk menangkap warga karena mereka mengetahui bahwa aktivitas warga adalah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kondisi tersebut sebagaimana diungkapkan petugas kehutanan dalam kegiatan wawancara mendalam, sebagai beruikut: “Saya kadang ga tega, kalau harus menangkap warga yang mengambil kayu di hutan, karena kami juga tau sebenarnya mereka butuh kayu-kayu tersebut. Kadang-kadang saya mah ngerasa serba salah, mau ditangkap juga bagaimana, kan warga mah memang butuh, tapi kalau dibiarkan, saya nya atuh yang dimarahi oleh kantor. Jadi, saya bilang sama warga, supaya jangan terlalu mencolok, baik itu tempatnya ataupun jumlahnya” MAD, 40 tahun Kegiatan warga dalam melakukan pembalakan dalam sudut pandang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk akses illegal yang melawan struktur penguasaan Negara. Petugas kehutanan menampilkan sikap koersif di satu sisi sekaligus memberikan toleransi non formal disi lain dalam menyikapi aktivitas pembalakan yang dilakukan warga. Toleransi non formal diberikan dengan memberikan sedikit ruang kompromi bagi keperluan kayu warga dan mencoba memahami aktivitas pembalakan illegal warga sebagai akibat terdesak kebutuhan hidup dan faktor ekonomi. Petugas kehutanan melaksanakan tanggung jawab pada Negara sekaligus terlibat dalam perlawanan struktur penguasaan Negara.

6. 3 Ikhtisar

Akses warga terhadap lahan garapan mereka sebagai salah satu penopang penghidupan warga sangatlah terbatas ditengah struktur penguasaan yang didominasi oleh pihak perkebunan dan Taman Nasional. Mekanisme perolehan lahan garapan oleh warga Kampung Pel Cianten tidak didapat dari program- program PTP. Nusantara VIII ataupun TNGHS yang dapat memberikan akses lahan kepada warga. Terdapat mekanisme perolehan lahan antara warga, yaitu: buka sendiri, waris, ganti rugi, dan bagi hasil. Sistem jual beli tidak ditemukan dalam kasus ini karena warga tidak memiliki hak milik terhadap setiap lahan garapan yang mereka kuasai. Mayoritas lahan garapan warga, yaitu sebanyak 45,6 persen dari seluruh responden didapat dari mekanisme buka sendiri. Mekanisme transfer akses lahan dari lahan yang dibuka sendiri dilimpahkan kepada generasi berikutnya melalui sistem waris. Dalam kasus ini terdapat 30,4 persen mekanisme perolehan lahan melalui waris dari seluruh responden. Sistem lainnya adalah sistem ganti rugi yang lebih umum disebut warga dengan istilah mulangkeun tanaga. Besaran ganti rugi didasarkan pada kesepakatan antara kedua belah pihak. Sistem bagi hasil relative jarang digunakan warga karena hasil produksi pertanian yang minim, sehingga warga lebih memilih untuk menggarap sendiri lahannya. Penguasaan lahan pertanian warga sebagian besar didaptakan dari buka sendiri dang anti rugi. Seiring pergeseran waktu, ketersediaan lahan garapan warga menjadi semakin terbatas dengan kualitas yang semakin rendah, sehingga lahan pertanian warga di lakukan secara ganti rugi. Dengan demikian. faktor utama yang mempengaruhi akses warga terhadap lahan adalah penguasaan terhadap modal. Tanah yang tersisa hanyalah bagian tanah marginal yang tidak memberikan hasil pertanian yang mampu mencukupi kebutuhan hidup warga. Hasil pertanian yang didapat warga sangatlah minim dan bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Meski begitu, lahan garapan warga ini tetap dipertahankan, meski terdapat kecenderungan pemenuhan kebutuhan warga yang mengarah pada menguatnya relevansi sumberdaya non lahan, dimana usaha meningkatkan posisi jabatan di perkebunan semakin menguat. BAB VII ARTI DAN PERAN TANAH BAGI MASYARAKAT PERKEBUNAN DESA HUTAN Aspek yang diterangkan dalam bab ini meliputi kegiatan pemanfaatan lahan sebagai sumberdaya agraria utama oleh warga Kampung Pel Cianten dan berbagai hubungan antar warga dalam kegiatan pemanfaatan lahan sebagai satu kesatuan masyarakat di tengah penguasaan akses tanah oleh PTP. Nusantara VIII dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Selain itu, dibahas pula mengenai makna tanah bagi warga setempat. Dengan demikian, bab ini akan memberikan gambaran mengenai karakterististik warga Kampung Pel Cianten sebagai masyarakat yang agraris, namun tanpa akses dan hak atas tanah

7.1 Kegiatan Pertanian Warga