9
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis
Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan
sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dalam Herviyani 2009. Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan
manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Secara umum, semua jenis kubis mampu tumbuh dan berkembang
pada berbagai jenis tanah. Namun, kubis dapat tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya bahan organik. Kubis tidak dapat tumbuh dengan baik di
tanah yang sangat asam. Keasaman optimum untuk pertumbuhan kubis antara 5,5- 5,6. Kubis akan tumbuh dengan baik bila ditanam didaerah dengan suhu optimum
15 -20
C. Jika suhu melebihi 25 C maka pertumbuhan kubis akan terhambat.
Kubis dapat dipanen pada umur tiga hingga bulan. Permasalahan yang dihadapi petani dalam penanaman kubis antara lain
serangan hama dan penyakit serta pemasaran. Menurut Susila 2006, hama yang biasanya menyerang kubis yaitu ulat daun, ulat krop, Chartopilla brassicae, dan
Pieris brassicae. Sedangkan penyakit yang biasanya menyerang kubis yaitu Bacterium xanthomonas campestris, Alternaria brassicae, Fusarium oxysporum,
Rhizoctonia solani kuhn, dan Damping-off. Tataniaga menjadi kendala yang serius dalam budidaya kubis. Pada saat harga tinggi petani cenderung untuk menanam
kubis, akibatnya produksi melimpah, harga kubis jatuh dan petani mengalami kerugian.
2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga
Aliran suatu komoditi dari produsen ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, Sub
Terminal Agribisnis STA, dan lain sebagainya yang membentuk suatu rantai atau pola saluran tataniaga. Pola saluran tataniaga dapat berbeda-beda antara satu
jenis komoditi dengan yang lainnya maupun antara satu tempat dengan tempat lainnya. Wacana 2011 dan Utama 2011 menjelaskan bahwa terdapat empat
pola saluran tataniaga masing-masing untuk komoditi bawang merah dan daun
10 bawang di wilayah yang berbeda. Sedangkan Ariyanto 2008 dan Agustina
2008 menjelaskan hanya terdapat tiga pola saluran tataniaga untuk komoditi bayam dan kubis. Noviana 2011 menjelaskan lebih ringkas, bahwa hanya
terdapat dua pola saluran tataniaga untuk komoditi jamur tiram yaitu; Pola I : Petani
– Pedagang pengumpul desa – Pedagang besargrosir - Pedagang pengecer – Konsumen akhir dan Pola II : Petani – Konsumen akhir. Panjang-pendeknya
suatu saluran tataniaga belum dapat menggambarkan suatu efisiensi tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga dalam kegiatan tataniaga atau pemasaran
menjalankan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Ariyanto 2008 menjelaskan bahwa
petani sebagai produsen menjalankan ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pertukaran yang berupa fungsi penjualan, fungsi fisik yakni kegiatan pengemasan
dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Berbeda dengan Agustina 2008, Noviana 2011,
Wacana 2011 dan Utama 2011 mengemukakan bahwa petani hanya menjalankan dua dari tiga fungsi tataniaga yang ada. Agustina 2008 menemukan
bahwa petani tidak melakukan fungi fasilitas. Fungsi fasilitas dijalankan oleh lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecer dalam hal
standardisasigrading, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi harga. Petani juga tidak menjalankan fungsi fisik menurut Noviana 2011, Wacana
2011 dan Utama 2011. Pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan lembaga tataniaga lainlah yang menjalankan fungsi fisik tersebut.
Lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecerpun turut menjalankan fungsi pertukaran dalam hal pembelian dan penjualan. Pedagang
pengumpul misalnya, melakukan pembelian kepada petani dan penjualan ke pedagang pengecer.
Struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga dapat berbeda-beda tergantung pada jumlah atau ukuran perusahaan, keadaan produk yang
diperjualbelikan, mudah atau sukar untuk keluar-masuk pasar atau industri dan tingkat pengetahuan informasi yang dimiliki oleh masing-masing lembaga
tataniaga. Petani menghadapi pasar yang bersaing sempurna menurut Ariyanto 2008, Wacana 2011, dan Utama 2011. Hal ini dibuktikan dengan jumlah
11 petani yang banyak. Selain itu, petani juga bebas untuk keluar masuk pasar,
produk petani bersifat homogen, dan informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang
berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah price taker.
Agustina 2008 menyatakan hal yang berbeda, bahwa petani kubis green cronet dihadapkan pada pasar yang mengarah ke oligopoli. Hal ini ditunjukkan
dengan banyaknya jumlah petani dibandingkan jumlah pedagang pengumpul, sedikitnya jumlah pedagang pengumpul menyebabkan harga lebih banyak
ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi
dilakukan secara tawar-menawar, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen, serta informasi pasar diperoleh dari sesama petani dan pedagang
pengumpul. Pedagang pengumpul menghadapi pasar oligopoli atau oligopsoni menurut
Agustina 2008, Ariyanto 2008, dan Wacana 2011 karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran pada tingkat pedagang
pengumpul sedikit dan terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan
hubungan yang erat dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul sedikit dibandingkan dengan
jumlah petani. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat persaingan
sempurna. Ariyanto 2008 dan Utama 2011 melihat bahwa jumlah pedagang pengecer banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang
pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Agustina 2008 dan Wacana 2011 menemukan hal yang berbeda bahwa
pedagang pengecer masing-masing dihadapkan pada pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga
tataniaga menghadapi struktur pasar yang bervariasi. Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan
harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Noviana
12 2011 dan Utama 2011 menyebutkan setiap lembaga tataniaga melakukan
praktek penjualan dan pembelian, kecuali petani yang tidak melakukan praktek pembelian hanya melakukan praktek penjualan serta konsumen akhir yang tidak
melakukan proses penjualan hanya melakukan praktek pembelian. Utama 2011 menggambarkan saluran pemasaran daun bawang yang dimulai dari petani yang
menjual daun bawangnya dengan tiga cara, yaitu penjualan kepada pedagang pengumpul kebun PPK, penjualan ke pedagang pengecer dan penjualan ke
pedagang besar. Daun bawang yang telah dipanen oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul kebun PPK selanjutnya PPK menjual kembali
daun bawang tersebut melalui pedagang besar dan STA Sub Terminal Agribinis, yang kemudian daun bawang dijual ke pedagang pengecer yang terdiri dari
pedagang lokal dan supermarket. Praktek pembelian daun bawang ditingkat PPK dilakukan dengan petani kemudian PPK menjualnya ke pedagang besar. Pedagang
pengecer membeli daun bawang dari pedagang besar. Penentuan harga biasanya dilakukan melalui tawar menawar antar lembaga
tataniaga. Utama 2011 menjelaskan bahwa harga daun bawang ditingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul kebun, karena sebagian besar petani
mengandalkan PPK untuk memasarkan hasil panen daun bawang dengan pertimbangan kemudahan dalam akses pengangkutan menuju pasar dan PPK lebih
menguasai pasar. Agustina 2008 menemukan bahwa penentuan harga ditingkat pedagang pengumpul didasarkan pada harga yang berlaku dipasaran. Sedangkan
menurut Wacana 2011 sistem penentuan harga yang terjadi baik ditingkat petani hingga pedagang pengecer sebenarnya terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap
harga yang berlaku ditingkat pedagang pengecer. Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga memiliki
banyak keragaman diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran dibayar dimuka, sistem pembayaran sebagian, dan sistem pembayaran hutang.
Namun sistem pembayaran tunai merupakan jenis sistem pembayaran yang selalu terdapat dalam transaksi oleh lembaga-lembaga tataniaga.
Tataniaga yang mudah dan lancar didukung oleh kerjasama antar lembaga tataniaga. Agustina 2008 menjelaskan bahwa lembaga- lembaga tataniaga telah
melakukan kerjasama dalam pendistribusian kubis dari produsen dan konsumen.
13 Lembaga tataniaga melakukan kerjasama atas dasar lamanya mereka melakukan
hubungan dagang dan rasa saling percaya. Hal ini diperkuat oleh Utama 2011 bahwa pelaku
– pelaku dalam kelembagaan daun bawang sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik.
Analisis margin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga dalam suatu aliran tataniaga. Margin tataniaga merupakan penjumlahan
dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses pendistribusian suatu komoditas. Semakin
banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin memperbesar margin tataniaga. Margin tataniaga memiliki hubungan negatif dengan
farmer’s share bagian pendapatan yang diterima petani. Semakin tinggi margin tataniaga, maka
bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Indikator lain yang menentukan efisiensi suatu komoditas yaitu rasio keuntungan terhadap biaya
πc. Agustina 2008, menunjukkan perhitungan margin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang berbeda-beda pada setiap saluran
tataniaga. Total margin tataniaga untuk masing masing pola secara berurutan yaitu: Pola I: Petani - Pengumpul I - Grosir - Pengecer
– Konsumen sebesar Rp 1.681,87, Pola II A untuk penjualan di sekitar daerah produksi: Petani -
Pengumpul II - Grosir - Pengecer – Konsumen yaitu Rp 1.731,87, Pola II B
untuk penjualan di luar daerah produksi sebesar Rp 2.131,87, dan Pola III : Petani - Grosir
– Pengecer – Konsumen sebesar Rp 1.681,87. Farmer’s share yang diperoleh untuk masing masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara
berurutan yaitu 43,29persen ; 43,18 persen; 36,54 persen; dan 55,81 persen. Rasio keuntungan terhadap biaya untuk masing-masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan
III secara berurutan yaitu 2,13; 1,93; 1,98; dan 2,28. Rasio keuntungan yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 2,28, artinya satu rupiah yang
dikeluarkan untuk biaya tataniaga kubis akan diperoleh hasil sebesar Rp 2,28. Hasil analisis margin tataniaga,
farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dapat dijadikan dasar dalam penentuan saluran tataniaga yang efisien
dilihat dari margin tataniaga yang terkecil, farmer’s share dan rasio
keuntungan terhadap biaya yang terbesar. Penelitian diatas menunjukkan
14 bahwa saluran yang efisien yaitu saluran III.
2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu