Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura memberikan gambaran seberapa jauh kontribusi yang diberikan subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional. Komoditas yang termasuk dalam subsektor hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi komoditas tersebut dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010

Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp.)

2006 2007 2008 2009 2010

Buah-Buahan 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70 45.481,89 Sayuran 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71 31.244,16 Tanaman Hias 4.734,27 4.740,92 5.084,78 5.494,24 6.173,97 Biofarmaka 3.762,41 4.104,87 3.852,67 3.896,90 3.665,44 Hortikultura 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56 86.565,49 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)

Pada tahun 2006 hingga tahun 2009 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2010 nilai tersebut mengalami penurunan sebesar Rp 1.768,07 milyar atau sekitar dua persen jika dibandingkan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 komoditas buah-buahan memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura sebesar Rp 45.481,89 milyar atau sekitar 52,54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura. Meskipun demikian, nilai tersebut menurun sebesar Rp 2.954,81 milyar (6,1 persen) jika dibandingkan tahun 2009. Komoditas selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura tahun 2010 yaitu sayuran (Rp 31.244,16 milyar atau sekitar 36,09 pesen). Kontibusi sayuran dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009. Peningkatan tersebut sebesar Rp 738,45 milyar (2,42 persen).

Sayuran terdiri dari berbagai macam jenis dan masing-masing jenis sayuran memberikan kontribusi yang berbeda-beda nilainya dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional. Beberapa komoditas sayuran yang


(2)

2 memberikan kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional yaitu cabai besar, bawang merah, cabai rawit, tomat, kentang, kubis, dan bawang daun, sedangkan jenis sayuran yang memberikan sumbangan yang relatif kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional digolongkan ke dalam komoditas sayuran lainnya. Berikut disajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional tahun 2009-2010 pada Tabel 2.

Tabel 2. PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010

No. Komoditas 2009 2010

Nilai PDB (Milyar Rp.)

Persentase (%)

Nilai PDB (Milyar Rp.)

Persentase (%)

1. Cabai besar 6.431,57 21,08 6.698,94 21,44

2. Bawang merah 4.144,85 13,59 4.588,39 14,69

3. Cabai rawit 3.718,45 12,19 3.662,94 11,72

4. Tomat 2.489,57 8,16 2.333,85 7,47

5. Kentang 2.282,38 7,48 2.247,39 7,19

6. Kubis 2.030,19 6,66 2.108,52 6,75

7. Bawang daun 1.335,61 4,38 1.274,96 4,08

8. Sayuran lainnya 6.822,67 26,47 8.329,17 26,66 Total Sayuran 30.505,71 100,00 31.244,16 100,00 Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran (cabai besar, bawang merah, dan kubis) meningkat pada tahun 2010. Kubis berada di posisi terbesar ketiga sebagai komoditas yang mengalami peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 78,33 milyar (0,09 persen) setelah bawang merah (Rp 443,54 ; 1,1 persen) dan cabai besar (Rp 267,37; 0,36 persen). Peningkatan nilai tersebut salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan produksi kubis pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2006 hingga tahun 2010 produksi kubis merupakan jumlah yang tertinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,22 persen. Pertumbuhan tersebut relatif stabil setiap tahun. Hal ini dilihat dari produksi per tahun yang selalu meningkat secara bertahap.

Kubis (Brassica oleraceae) salah satu dari delapan belas jenis sayuran komersial yang mendapat prioritas dalam pengembangannya dan mempunyai nilai ekonomi dan sosial cukup tinggi karena dijadikan salah satu andalan sumber


(3)

3 pendapatan petani1. Selain itu, kubis memiliki banyak kegunaan terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga dan mengandung berbagai vitamin dan mineral. Kubis banyak ditanam di dataran tinggi, relatif cepat dipanen yaitu pada usia tiga hingga empat bulan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan dapat ditanam sepanjang tahun. Hal ini yang menjadi salah satu alasan petani memilih untuk menanam kubis. Varietas kubis sangat beragam dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Hampir sebagian besar daerah di Indonesia memproduksi kubis, mulai dari Aceh hingga Papua. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

Berdasarkan Lampiran 2 ditunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan turut memproduksi kubis. Pada tahun 2009 produksi kubis di Provinsi Sumatera Selatan menempati urutan ke-13 dari 29 Provinsi penghasil kubis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Selatan termasuk ke dalam lima besar dari Provinsi-Provinsi yang mengalami peningkatan produksi kubis (Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan). Meskipun di tahun tersebut terjadi penurunan luas panen kubis sebesar 65 hektar, dari sebelumnya 554 hektar pada tahun 2009 menjadi 489 hektar pada tahun 2010. Namun produksi kubis pada tahun 2010 di Provinsi Sumatera Selatan meningkat sebesar 43 ton (0,49 persen) yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas sebesar 2,18 ton per hektar.

Kota Pagar Alam adalah sentra produksi sayuran dan penghasil kubis nomor satu di Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi tersebut didukung oleh keadaan alam Kota Pagar Alam yang didominasi dataran tinggi sehingga cocok untuk budidaya kubis. Data luas panen, produksi, dan produktivitas kubis menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan tahun 2009- 2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 diketahui bahwa di tahun 2009 dan tahun 2010 Kota Pagar Alam merupakan wilayah yang memiliki luas panen dan produksi kubis terbesar di Provinsi Sumatera Selatan. Penurunan luas panen yang terjadi pada tahun 2010 tidak berpengaruh terhadap produksi kubis yang dihasilkan. Meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan luas lahan sebesar 19 hektar yaitu dari semula 325 hektar

1

Tingkatkan Bobot Kubis dengan Pupuk Organik. http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/tingkatkan-bobot-kubis-dengan


(4)

4 di tahun 2009 menjadi 306 hektar di tahun 2010, produksi kubis justru mengalami peningkatan sebesar 120 ton yaitu dari 5.971 ton di tahun 2009 menjadi 6.091 ton di tahun 2010.

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010

Kabupaten/ Kota

2009 2010

Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produk-tivitas (Ton/Ha) Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produk-tivitas (Ton/Ha)

OKU Selatan 134 900 6,71 66 435 6,59

Muara Enim 31 850 27,41 41 818 19,95

Lahat 64 997 15,57 76 1.309 17,22

Pagar Alam 325 5.971 18,37 306 6.091 19,90

Jumlah 554 8.717 15,73 489 8.652 17,69

Sumber: Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumatera Selatan (2011), diolah

Kubis adalah satu dari empat jenis sayuran unggulan Kota Pagar Alam. Petani sayuran di Kota Pagar Alam lebih banyak membudidayakan kubis dibandingkan jenis sayuran unggulan lainnya seperti kentang, cabai, dan tomat. Total produksi kubis setiap tahun selalu menjadi yang paling tinggi dan terus mengalami peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010. Hal tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000

2006 2007 2008 2009 2010

Kubis Tomat Cabai Kentang

Gambar 1. Total Produksi Sayuran Unggulan Kota Pagar Alam Tahun 2006-2010 Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan (2007- 2011), diolah

Ton


(5)

5 Wilayah di Kota Pagar Alam yang memiliki luas panen dan volume produksi kubis terbesar berada di Kecamatan Dempo Utara. Pada Tahun 2010 menurut data Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, luas panen dan produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara yaitu 155 hektar dan produksi 73,30 persen dari total produksi kubis di Kota Pagar Alam. Kemudian diikuti Kecamatan Pagar Alam Selatan ( 83 hektar; 20,64 persen ), Pagar Alam Utara (43 hektar; 4,10 persen), Dempo Selatan (16 hektar; 1,49 persen), dan Dempo Tengah (9 hektar; 0,47 persen).

Keadaan tanah yang subur dan letaknya yang berada di dataran tinggi (705m-1200m diatas permukaan laut) sangat mendukung dalam pengembangan kubis di wilayah Kecamatan Dempo Utara. Sentra produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara berada di Kelurahan Agung Lawangan. Sebagian besar lahan di Kelurahan tersebut ditanami kubis karena kesesuaian iklim dan jenis tanahnya yang subur. Kubis yang dihasilkan di daerah ini dijual ke pasar lokal yaitu pasar terminal Kota Pagar Alam dan pasar luar kota seperti Kota Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Volume penjualan kubis ke luar kota umumnya lebih besar dibandingkan ke pasar lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Keterlibatan lembaga-lembaga tataniaga tersebut dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan konsumen (konsumen akhir luar kota) yang cukup jauh sehingga umumnya membentuk saluran tataniaga yang panjang.

Lembaga-lembaga tataniaga dalam menyalurkan kubis ke tangan konsumen akhir sebelumnya melakukan fungsi-fungsi tataniaga untuk meningkatkan nilai tambah. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan memiliki hubungan positif dengan biaya yang dikeluarkan. Semakin banyak fungsi yang dijalankan maka biaya yang dikeluarkan juga semakin besar dan sebalikya semakin sedikit fungsi yang dijalankan biaya tataniaga akan semakin kecil. Lembaga-lembaga tataniaga juga menginginkan keuntungan atas fungsi-fungsi


(6)

6 yang telah dijalankan tersebut. Besaran biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapat oleh masing-masing lembaga tataniaga mencerminkan besaran margin yang terbentuk. Umumnya saluran tataniaga yang panjang akan membentuk total margin yang nilainya relatif besar.

Margin yang terbentuk juga dapat dilihat melalui perbedaan harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani kubis di Kota Pagar Alam termasuk Kelurahan Agung Lawangan dan yang dibayarkan konsumen akhir lokal (Kota Pagar Alam) cenderung fluktuatif setiap bulannya. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahun 2010 harga rata-rata tertinggi yang diterima petani kubis yaitu Rp 1.700,00 per kilogram dan harga terendah yaitu Rp 250,00 per kilogram, sedangkan harga rata-rata tertinggi yang dibayarkan konsumen akhir yaitu Rp 5.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 1.250,00 per kilogram. Harga tertinggi kubis pada bulan Januari hingga Maret 2012 yaitu Rp 3.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 500,00 per kilogram. Dampak fluktuasi harga tersebut berpengaruh pada pendapatan petani kubis karena petani tidak bisa memprediksi harga kubis yang akan mereka terima setelah panen.

Selisih harga rata-rata kubis yang diterima petani dan yang dibayarkan konsumen akhir di Kota Pagar Alam cukup besar, mencapai Rp 4500,00. Nilai inilah yang disebut margin tataniaga. Margin tataniaga yang tinggi menggambarkan bahwa lembaga-lembaga tataniaga memperoleh bagian pendapatan yang lebih besar dibandingkan petani sehingga tataniaga diindikasikan tidak efisien jika dilihat dari indikator margin tataniaga.

Margin tataniaga dan bagian yang diterima petani atas harga yang dibayarkan konsumen akhir (farmer’s share) memiliki hubungan negatif. Semakin tinggi nilai margin tataniaga maka nilai farmer’s share akan semakin rendah dan sebaliknya semakin rendah nilai margin tataniaga, nilai farmer’s share akan semakin tinggi. Pada Tabel 4 juga digambarkan bahwa pada saat margin tinggi (Rp 4500,00) nilai farmer’s shareakan rendah (10,00 persen) dan sebaliknya pada saat nilai margin tataniaga rendah ( Rp 800,00), nilai farmer’s sharenya menjadi tinggi (68,00 persen). Nilai farmer’s share yang rendah yaitu 10,00 persen


(7)

7 menunjukkan bahwa petani menerima 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Nilai farmer’s share yang rendah juga mengindikasikan bahwa tataniaga tidak efisien jika dilihat dari indikator farmer’s share.

Tabel 4. Harga Rata-rata Kubis yang Diterima Petani dan Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010, Margin Tataniaga, dan Farmer’s Share

No. Bulan

Harga Rata-rata yang Diterima Petani (Rp/Kg)

Harga Rata-rata yang Diterima Konsumen Akhir (Rp/Kg)

Margin Tataniaga

(Rp/Kg)

Farmer’s

Share

(%)

1. Januari 1.700,00 2.500,00 800,00 68,00

2. Februari 600,00 3.500,00 2.900,00 17,14

3. Maret 700,00 3.750,00 3.050,00 18,67

4. April 500,00 5.000,00 4.500,00 10,00

5. Mei 700,00 3.000,00 2.300,00 23,33

6. Juni 600,00 4.500,00 3.900,00 13,33

7. Juli 600,00 3.000,00 2.400,00 20,00

8. Agustus 900,00 2.500,00 1.600,00 36,00

9. September 700,00 2.250,00 1.550,00 31,11

10. Oktober 250,00 1.250,00 1.000,00 20,00

11. November 300,00 1.250,00 950,00 24,00

12. Desember 1.000,00 2.000,00 1.000,00 50,00

Rata-rata Tahun 2010 712,50 2.875,00 2.162,50 27,63 Sumber: Sub Terminal Agribisnis dan Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011), diolah

Permasalahan yang juga dihadapi petani kubis yaitu dalam posisi tawar-menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain seperti pedagang yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah). Petani sebagai produsen merupakan pihak yang menerima harga (price taker) sehingga tidak memiliki pengaruh dalam penentuan harga.

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam?

2. Apakah tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sudah efisien?


(8)

8

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, antara lain:

1. Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.

2. Menganalisis efisiensi setiap saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi petani kubis dan lembaga tataniaga lainnya untuk dapat meningkatkan pendapatan melalui rekomendasi yang diberikan.

2. Sebagai informasi bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan mengenai tataniaga kubis di Kota Pagar Alam.

3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya khususnya yang terkait dengan tataniaga kubis.

4. Sebagai praktik bagi penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari selama masa perkuliahan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan baru yang diperoleh di lapang.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Komoditi yang diteliti yaitu sayuran jenis kubis. Penelitian melibatkan responden petani yang berasal dari dua desa yaitu Desa Kerinjing dan Desa Gunung Agung Paoh. Analisis kajian dibatasi untuk melihat efisiensi tataniaga secara operasional (teknis) dengan menggunakan pendekatan lembaga, fungsi-fungsi, struktur pasar, perilaku pasar, margin tataniaga, farmer’s

share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Harga yang digunakan dalam penelitian merupakan harga rata-rata yang diterima petani dan lembaga-lembaga tataniaga lainnya selama bulan Januari hingga Maret 2012.


(9)

9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis

Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dalam Herviyani (2009). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Secara umum, semua jenis kubis mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. Namun, kubis dapat tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya bahan organik. Kubis tidak dapat tumbuh dengan baik di tanah yang sangat asam. Keasaman optimum untuk pertumbuhan kubis antara 5,5-5,6. Kubis akan tumbuh dengan baik bila ditanam didaerah dengan suhu optimum 150-200C. Jika suhu melebihi 250C maka pertumbuhan kubis akan terhambat. Kubis dapat dipanen pada umur tiga hingga bulan.

Permasalahan yang dihadapi petani dalam penanaman kubis antara lain serangan hama dan penyakit serta pemasaran. Menurut Susila (2006), hama yang biasanya menyerang kubis yaitu ulat daun, ulat krop, Chartopilla brassicae, dan

Pieris brassicae. Sedangkan penyakit yang biasanya menyerang kubis yaitu

Bacterium xanthomonas campestris, Alternaria brassicae, Fusarium oxysporum,

Rhizoctonia solani kuhn, dan Damping-off. Tataniaga menjadi kendala yang serius dalam budidaya kubis. Pada saat harga tinggi petani cenderung untuk menanam kubis, akibatnya produksi melimpah, harga kubis jatuh dan petani mengalami kerugian.

2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

Aliran suatu komoditi dari produsen ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer, Sub Terminal Agribisnis (STA), dan lain sebagainya yang membentuk suatu rantai atau pola saluran tataniaga. Pola saluran tataniaga dapat berbeda-beda antara satu jenis komoditi dengan yang lainnya maupun antara satu tempat dengan tempat lainnya. Wacana (2011) dan Utama (2011) menjelaskan bahwa terdapat empat pola saluran tataniaga masing-masing untuk komoditi bawang merah dan daun


(10)

10 bawang di wilayah yang berbeda. Sedangkan Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) menjelaskan hanya terdapat tiga pola saluran tataniaga untuk komoditi bayam dan kubis. Noviana (2011) menjelaskan lebih ringkas, bahwa hanya terdapat dua pola saluran tataniaga untuk komoditi jamur tiram yaitu; Pola I : Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar/grosir - Pedagang pengecer

– Konsumen akhir dan Pola II : Petani – Konsumen akhir. Panjang-pendeknya suatu saluran tataniaga belum dapat menggambarkan suatu efisiensi tataniaga.

Lembaga-lembaga tataniaga dalam kegiatan tataniaga atau pemasaran menjalankan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Ariyanto (2008) menjelaskan bahwa petani sebagai produsen menjalankan ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pertukaran yang berupa fungsi penjualan, fungsi fisik yakni kegiatan pengemasan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Berbeda dengan Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) mengemukakan bahwa petani hanya menjalankan dua dari tiga fungsi tataniaga yang ada. Agustina (2008) menemukan bahwa petani tidak melakukan fungi fasilitas. Fungsi fasilitas dijalankan oleh lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecer dalam hal standardisasi/grading, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi harga. Petani juga tidak menjalankan fungsi fisik menurut Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011). Pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan lembaga tataniaga lainlah yang menjalankan fungsi fisik tersebut. Lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecerpun turut menjalankan fungsi pertukaran dalam hal pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul misalnya, melakukan pembelian kepada petani dan penjualan ke pedagang pengecer.

Struktur pasar yang dihadapi setiap lembaga tataniaga dapat berbeda-beda tergantung pada jumlah atau ukuran perusahaan, keadaan produk yang diperjualbelikan, mudah atau sukar untuk keluar-masuk pasar atau industri dan tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh masing-masing lembaga tataniaga. Petani menghadapi pasar yang bersaing sempurna menurut Ariyanto (2008), Wacana (2011), dan Utama (2011). Hal ini dibuktikan dengan jumlah


(11)

11 petani yang banyak. Selain itu, petani juga bebas untuk keluar masuk pasar, produk petani bersifat homogen, dan informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah (price taker).

Agustina (2008) menyatakan hal yang berbeda, bahwa petani kubis green cronet dihadapkan pada pasar yang mengarah ke oligopoli. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah petani dibandingkan jumlah pedagang pengumpul, sedikitnya jumlah pedagang pengumpul menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai

price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen, serta informasi pasar diperoleh dari sesama petani dan pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul menghadapi pasar oligopoli atau oligopsoni menurut Agustina (2008), Ariyanto (2008), dan Wacana (2011) karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran pada tingkat pedagang pengumpul sedikit dan terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan (hubungan yang erat) dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul sedikit dibandingkan dengan jumlah petani.

Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat persaingan sempurna. Ariyanto (2008) dan Utama (2011) melihat bahwa jumlah pedagang pengecer banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Agustina (2008) dan Wacana (2011) menemukan hal yang berbeda bahwa pedagang pengecer masing-masing dihadapkan pada pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga menghadapi struktur pasar yang bervariasi.

Perilaku pasar meliputi kegiatan pembelian dan penjualan, penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga. Noviana


(12)

12 (2011) dan Utama (2011) menyebutkan setiap lembaga tataniaga melakukan praktek penjualan dan pembelian, kecuali petani yang tidak melakukan praktek pembelian (hanya melakukan praktek penjualan) serta konsumen akhir yang tidak melakukan proses penjualan (hanya melakukan praktek pembelian). Utama (2011) menggambarkan saluran pemasaran daun bawang yang dimulai dari petani yang menjual daun bawangnya dengan tiga cara, yaitu penjualan kepada pedagang pengumpul kebun (PPK), penjualan ke pedagang pengecer dan penjualan ke pedagang besar. Daun bawang yang telah dipanen oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul kebun (PPK) selanjutnya PPK menjual kembali daun bawang tersebut melalui pedagang besar dan STA (Sub Terminal Agribinis), yang kemudian daun bawang dijual ke pedagang pengecer yang terdiri dari pedagang lokal dan supermarket. Praktek pembelian daun bawang ditingkat PPK dilakukan dengan petani kemudian PPK menjualnya ke pedagang besar. Pedagang pengecer membeli daun bawang dari pedagang besar.

Penentuan harga biasanya dilakukan melalui tawar menawar antar lembaga tataniaga. Utama (2011) menjelaskan bahwa harga daun bawang ditingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul kebun, karena sebagian besar petani mengandalkan PPK untuk memasarkan hasil panen daun bawang dengan pertimbangan kemudahan dalam akses pengangkutan menuju pasar dan PPK lebih menguasai pasar. Agustina (2008) menemukan bahwa penentuan harga ditingkat pedagang pengumpul didasarkan pada harga yang berlaku dipasaran. Sedangkan menurut Wacana (2011) sistem penentuan harga yang terjadi baik ditingkat petani hingga pedagang pengecer sebenarnya terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku ditingkat pedagang pengecer.

Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga memiliki banyak keragaman diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran dibayar dimuka, sistem pembayaran sebagian, dan sistem pembayaran hutang. Namun sistem pembayaran tunai merupakan jenis sistem pembayaran yang selalu terdapat dalam transaksi oleh lembaga-lembaga tataniaga.

Tataniaga yang mudah dan lancar didukung oleh kerjasama antar lembaga tataniaga. Agustina (2008) menjelaskan bahwa lembaga- lembaga tataniaga telah melakukan kerjasama dalam pendistribusian kubis dari produsen dan konsumen.


(13)

13 Lembaga tataniaga melakukan kerjasama atas dasar lamanya mereka melakukan hubungan dagang dan rasa saling percaya. Hal ini diperkuat oleh Utama (2011) bahwa pelaku – pelaku dalam kelembagaan daun bawang sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik.

Analisis margin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga dalam suatu aliran tataniaga. Margin tataniaga merupakan penjumlahan dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses pendistribusian suatu komoditas. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin memperbesar margin tataniaga. Margin tataniaga memiliki hubungan negatif dengan farmer’s share (bagian pendapatan yang diterima petani). Semakin tinggi margin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Indikator lain yang menentukan efisiensi suatu komoditas yaitu rasio keuntungan terhadap biaya

(π/c).

Agustina (2008), menunjukkan perhitungan margin tataniaga, farmer’s

share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang berbeda-beda pada setiap saluran tataniaga. Total margin tataniaga untuk masing masing pola secara berurutan yaitu: Pola I: Petani - Pengumpul I - Grosir - Pengecer – Konsumen sebesar Rp 1.681,87, Pola II A (untuk penjualan di sekitar daerah produksi): Petani - Pengumpul II - Grosir - Pengecer – Konsumen yaitu Rp 1.731,87, Pola II B (untuk penjualan di luar daerah produksi) sebesar Rp 2.131,87, dan Pola III : Petani - Grosir – Pengecer – Konsumen sebesar Rp 1.681,87. Farmer’s share yang diperoleh untuk masing masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 43,29persen ; 43,18 persen; 36,54 persen; dan 55,81 persen. Rasio keuntungan terhadap biaya untuk masing-masing saluran tataniaga I, IIA, IIB, dan III secara berurutan yaitu 2,13; 1,93; 1,98; dan 2,28. Rasio keuntungan yang terbesar terdapat pada saluran tataniaga III sebesar 2,28, artinya satu rupiah yang dikeluarkan untuk biaya tataniaga kubis akan diperoleh hasil sebesar Rp 2,28. Hasil analisis margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya dapat dijadikan dasar dalam penentuan saluran tataniaga yang efisien dilihat dari margin tataniaga yang terkecil, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar. Penelitian diatas menunjukkan


(14)

14 bahwa saluran yang efisien yaitu saluran III.

2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu

Kajian mengenai sistem tataniaga umumnya ditujukan untuk melihat efisiensi tataniaga pada komoditas yang diteliti. Efisien atau tidaknya suatu saluran tataniaga dilihat dari dua sisi yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi analisis lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Secara kualitatif efisiensi tataniaga diukur dari margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio

keuntungan terhadap biaya (π/c).

Persamaan penelitian yang dilakukan dengan penelitian Ariyanto (2008), Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) yaitu dalam penggunaan alat analisis untuk menentukan sistem tataniaga dan efisiensi saluran tataniaga. Perbedaan penelitian dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu lokasi penelitian. Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan. Penelitian mengenai analisis tataniaga kubis di daerah tersebut belum pernah dilakukan.


(15)

15

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Tataniaga

Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran berasal dari kata

marketing”. Tataniaga adalah kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa sehingga termasuk usaha yang produktif. Tataniaga menunjukkan semua aktivitas bisnis yang mempengaruhi arus atau aliran produk dan jasa dari titik produksi pertanian hingga ke tangan konsumen akhir (Kohl dan Uhl 2002). Menurut Dahl dan Hammond (1977), tataniaga produk-produk pertanian dapat dilihat sebagai serangkaian langkah-langkah, tahapan, atau fungsi-fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau memindahan input atau produk dari titik produksi primer untuk konsumsi akhir. Serangkaian fungsi tersebut yaitu; pembelian, penjualan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, standardisasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar.

Dalam tataniaga, barang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya.

Menurut Limbong dan Sitorus (1985), tataniaga dapat dipelajari melalui empat pendekatan yaitu pendekatan serba fungsi, pendekatan serba lembaga, pendekatan serba barang, dan pendekatan teori ekonomi. Pendekatan serba fungsi mempelajari masalah-masalah tataniaga atau pemasaran dari segi kegiatan atau fungsi-fungsi yang dilakukan dalam penyaluran barang dan jasa mulai dari


(16)

16 konsumen hingga produsen. Pendekatan serba lembaga mempelajari masalah-masalah tataniaga atau pemasaran melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turut serta dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Pendekatan serba barang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen ke konsumen. Pendekatan teori ekonomi lebih menitik beratkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk bentuk pasar dan lain lain.

3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Lembaga tataniaga timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen (Sudiyono 2002).

Sudiyono (2002) juga menjelaskan bahwa lembaga tataniaga berdasarkan penguasaanya terhadap komoditi yang diperjualbelikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen perantara, makelar (broker, selling broker dan buying broker).

b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.

c. Lembaga yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyediaan fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor).

Hanafiah dan Saefuddin (2006) memberikan gambaran bahwa panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui suatu komoditi tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

a. Jarak antara produsen dan konsumen. Makin jauh jarak antara produsen dan konsumen biasanya makin panjang saluran yang ditempuh oleh produk.


(17)

17 b. Cepat tidaknya produk rusak. Sifat produk yang cepat rusak menuntut penerimaan yang cepat pula ditangan konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.

c. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula. Hal ini tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dengan demikian dibutuhkan pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

d. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.

3.1.3 Fungsi-fungsi Tataniaga

Peningkatan nilai guna suatu komoditi dipengaruhi oleh fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Fungsi tataniaga dikategorikan menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi penyediaan sarana atau fasilitas (facilitating functions) (Kohl and Uhl 2002).

a. Fungsi Pertukaran (exchange function)

Fungsi pertukaran melibatkan kegiatan yang menyangkut pengalihan atau transfer hak kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem tataniaga. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan antara lain mencari sumber pasokan, perakitan produk, dan aktivitas yang berhubungan dengan pembelian. Fungsi ini melibatkan baik perakitan produk mentah dari daerah produksi atau perakitan produk jadi ke tangan tengkulak lain untuk memenuhi tuntutan konsumen akhir.

Fungsi pembelian harus ditafsirkan secara luas dan memiliki beberapa bagian. Iklan, dan perangkat promosi lainnya untuk mempengaruhi dan membuat permintaan juga bagian dari fungsi pembelian. Keputusan yang tepat dalam mempengaruhi unit penjualan, paket-paket yang tepat, saluran tataniaga yang terbaik, dan waktu serta tempat yang tepat untuk mendekati pembeli potensial adalah semua keputusan yang termasuk dalam fungsi pembelian.


(18)

18 b. Fungsi Fisik ( function of physical supply)

Fungsi fisik meliputi penanganan, perpindahan, dan perubahan fisik komoditi itu sendiri. Fungsi fisik meliputi hal-hal berikut.

1. Pengangkutan. Fokus utama fungsi pengangkutan yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada tempat yang tepat. Alternatif rute yang ditempuh dan jenis transportasi yang digunakan akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan.

2. Penyimpanan/pergudangan. Penyimpanan berarti menyimpan barang dari saat produksi mereka selesai dilakukan sampai dengan waktu mereka akan dikonsumsi. Fokus utama fungsi ini yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada waktu yang diinginkan.

3. Pemrosesan. Fungsi ini mencakup semua aktivitas yang mengubah bentuk dasar suatu produk. Misalnya: hewan hidup yang diproses menjadi daging ataupun tepung gandum yang diubah menjadi roti. c. Fungsi Penyediaan Sarana / fasilitas

Fungsi penyediaan fasilitas adalah kegiatan-kegiatan yang dapat membantu kelancaran kinerja pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi hal-hal berikut.

1. Informasi pasar. Fungsi ini memiliki pengertian yaitu sebagai kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarluaskan berbagai macam data yang diperlukan untuk menjalankan proses tataniaga.

2. Penanggungan risiko. Penanggungan risiko adalah menerima kemungkinan kerugian dalam tataniaga suatu produk. Risiko ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik adalah risiko yang terjadi akibat kerusakan produk itu sendiri, oleh karena kebakaran, kecelakaan, angin, gempa bumi, atau lainnya. Sedangkan risiko pasar adalah risiko yang terjadi karena perubahan nilai suatu produk yang dipasarkan.

3. Standardisasi dan grading. Standardisasi yaitu menetapkan grade

(tingkatan) kriteria kualitas komoditi tertentu. Grading adalah klasifikasi hasil pertanian ke dalam beberapa golongan mutu yang berbeda-beda, masing-masing dengan nama dan label tertentu.


(19)

19 4. Pembiayaan. Fungsi ini melibatkan penggunaan uang untuk menjalankan kegiatan tataniaga. Bentuk pembiayaan yang mudah dikenal yaitu kredit yang diberikan suatu lembaga atau sumber modal lainnya. Aktivitas ini dibutukan dalam pemasaran modern.

3.1.4. Struktur Pasar

Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar yaitu:

1. Jumlah dan ukuran perusahaan (pangsa pasar yang dimiliki).

2. Keadaan produk yang diperjualbelikan (dilihat oleh pembeli). Produk yang diperjualbelikan dapat bersifat standardisasi (homogen) dan berbeda (diferensiasi), sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen untuk kedua jenis produk tersebut juga berbeda.

3. Mudah atau sulit untuk keluar-masuk pasar. Kondisi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk masuk atau keluar pasar karena adanya suatu hambatan.

4. Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga mengenai biaya, harga, dan kondisi pasar.

Dahl dan Hammond (1977) juga mengemukakan bahwa terdapat lima jenis struktur pasar yaitu: (1) Pasar persaingan sempurna (Pure competition), (2) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition), (3) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni Murni (Pure Oligopoly/Oligopsony), (4) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni diferensiasi (Differentiated Oligopoly/Oligopsony), (5) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony). Kelima jenis pasar tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

Kohl dan Uhl (2002) menjelaskan perbedaan antara masing-masing struktur pasar dan cirinya. Struktur pasar persaingan sempurna memiliki ciri-ciri yaitu: 1) banyak pembeli dan penjual, tidak satupun dari keduanya dapat memberikan pengaruh yang besar dalam penentuan harga, 2) tidak terdapat diferensiasi produk, 3) pembeli dan penjual dapat dengan mudah untuk keluar dan masuk pasar, 4) pengetahuan atau informasi yang dimiliki oleh pembeli dan


(20)

20 penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas faktor-faktor produksi juga berjalan secara sempurna.

Pasar persaingan monopolistik memiliki tiga karakteristik utama yaitu produk yang dihasilkan berbeda corak, jumlah penjual relatif banyak dan adanya persaingan nonharga. Pada pasar ini penjual dan pembeli relatif bebas untuk keluar masuk pasar.

Monopoli atau Monopsoni adalah struktur pasar dimana hanya ada satu penjual di pasar yang bersangkutan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya. Asumsi-asumsi yang mendasari monopoli yaitu: (1) Di pasar hanya satu penjual produk tertentu, (2) Produk yang dijual tidak ada barang substitusinya, (3) Adanya barier to entry ke pasar (baik legal atau natural).

Karakteristik utama oligopoli atau oligopsoni adalah adanya beberapa perusahaan yang menghasilkan produk homogen maupun berbeda corak, sehingga perilaku perusahaan satu mempengaruhi dan mendapat reaksi dari perusahaan lain. Akses keluar masuk pasar dalam pasar oligopoli atau oligopsoni sulit dan terdapat beberapa hambatan. Oligopoli yang menghasilkan produk homogen terstandardisasi disebut oligopoli murni (pure oligopoly), sedangkan oligopoli yang menghasilkan barang berbeda corak disebut differentiated oligopoly2.

Tabel 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

Karakteristik Struktural Struktur Pasar dari Sisi Jumlah

Perusahaan

Sifat Produk Penjual Pembeli

Banyak Standardisasi Persaingan Sempurna

Persaingan Sempurna Banyak Diferensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopsonistik Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni

Murni

Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni diferensiasi

Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Dahl dan Hammond (1977)

2

Hidayat. http://www.slideshare.net/f4uzi3zi3/pasar-oligopoli/.Pasar Oligopoli. Diakses pada tanggal 22 Januari 2012.


(21)

21

3.1.5. Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah pola kebiasaan pasar meliputi proses (mental) pengambilan keputusan serta kegiatan fisik individual atau organisasional terhadap produk tertentu, konsisten selama periode waktu tertentu. Kegiatan-kegitan perilaku meliputi tindakan penilaian, keyakinan, usaha memperoleh, pola penggunaan, maupun penolakan suatu produk (Budiarto 1993).

Ada tiga cara mengenal perilaku (Asmarantaka 2009), yakni:

1. Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga adalah menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).

2. Product Promotion Policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.

3. Predatory and Exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marginal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama secara persaingan yang sehat.

3.1.6. Efisiensi Tataniaga

Kepuasan konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam aliran barang dan jasa merupakan ukuran efisiensi (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha swasta berbeda dengan yang dimaksud oleh konsumen. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Tataniaga yang efisien dari sisi pengusaha yaitu apabila penjualan produknya dapat mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sebaliknya konsumen menganggap bahwa tataniaga yang efisien yaitu apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah.

Efisiensi tataniaga dapat ditingkatkan melalui dua cara yaitu; pengurangan biaya tanpa mengurangi manfaat tataniaga dan peningkatan manfaat produk tanpa


(22)

22 meningkatkan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl 2002). Efisiensi tataniaga dapat dibedakan menjadi efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional (teknik) menurut Kohl dan Uhl 2002 diukur sebagai rasio output terhadap input. Peningkatan efisiensi operasional ditunjukkan pada situasi dimana biaya tataniaga dikurangi tanpa mempengaruhi sisi output dari rasio efisiensi. Efisiensi harga merupakan bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga berkaitan dengan kemampuan sistem pasar mengalokasikan sumberdaya secara efisien dan mengkoordinasikan produksi dan seluruh proses tataniaga menurut arahan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak

yang terlibat dengan pemasaran “puas” atau responsif terhadap harga yang berlaku dalam Asmarantaka (2002). Efisiensi harga dianalisis melalui ada tidaknya keterpaduan pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar pengikutnya.

3.1.7. Margin Tataniaga

Margin adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Komponen margin tataniaga terdiri dari: (1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang disebut biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost); dan (2) keuntungan (profit) lembaga tataniaga.

Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga pada level yang berbeda dalam sistem tataniaga. Margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima petani (Tomex dan Robinson 1990; Kohl dan Uhl 2002; Hudson 2007). Margin tataniaga merupakan harga dari semua aktivitas penambahan kepuasan dan fungsi-fungsi yang dibentuk oleh perusahaan dalam tataniaga makanan (Kohl dan Uhl 2002). Harga tersebut termasuk pengeluaran dalam melakukan fungsi tataniaga dan juga keuntungan perusahaan.

Tomex dan Robinson (1990) memberikan dua altenatif definisi dari margin tataniaga yaitu: (1) perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima produsen (petani); (2) harga dari kumpulan jasa-jasa pemasaran sebagai hasil dari permintaan dan penyediaan jasa tersebut. Definisi


(23)

23 Nilai Margin

Tataniaga (Pr-Pf) Qr,f

Biaya Tataniaga

pertama menjelaskan bahwa margin tataniaga secara sederhana adalah suatu perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf). Definisi kedua lebih bersifat ekonomi dan lebih tepat karena memberikan pengertian adanya nilai tambah dari kegiatan tataniaga. Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa margin tataniaga merupakan M = Pr – Pf atau margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

{

Keterangan:

Pr : Harga di tingkat pengecer Pf : Harga di tingkat petani

Sr : Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) Sf : Penawaran di tingkat petani (primary supply) Dr : Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) Df : Permintaan di tingkat petani (primary demand) Qr,f : Jumlah produk di tingkat petani dan pengecer Gambar 2. Margin Tataniaga

Sumber: Dahl dan Hammond 1977

Permintaan di tingkat petani (primary demand) ditentukan oleh respon dari konsumen akhir. Perkiraan empiris dari fungsi permintaan di tingkat petani selalu didasarkan pada harga di tingkat pedagang pengecer dan data jumlah produk. Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) didasarkan pada hubungan harga dan jumlah yang ada, baik pada titik dimana produk-produk meninggalkan pertanian atau titik menegah dimana produk-produk tersebut dibeli oleh pedagang

Qr,f Harga

Dr Df

Sr Sf

Jumlah Pr

Pf Margin tataniaga

(Pr-Pf)


(24)

24 besar atau pengolah. Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) adalah penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) dengan menambahkan margin yang sesuai.

3.1.8. Farmer’s Share

Hudson (2007) mengemukakan bahwa secara sederhana farmer’s share adalah rasio harga ditingkat petani atas harga di tingkat pengecer. Pendapatan yang diterima oleh petani (farmer’s share) merupakan persentase perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Asmarantaka 2009).

Secara sistematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut.

Dimana: Fsi : Persentase pendapatan yang diterima petani Pf : Harga di tingkat atau yang diterima petani Pr : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir Sumber: Asmarantaka (2009)

Nilai farmer’s share yang rendah memperlihatkan harga yang rendah diterima oleh petani sedangkan konsumen akhir membayar dengan harga yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan margin tataniaga yaitu jika farmer’s share tinggi maka margin tataniaga rendah dan sebaliknya jika farmer’s sharerendah maka margin tataniaga tinggi.

3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Analisis rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) adalah persentase

keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui efisiensinya (Asmarantaka 2009). Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran dapat diketahui melalui rumusan berikut:

Rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) =

Keterangan:

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp)

Keuntunganlembaga pemasaran ke-i Biaya Pemasaran ke-i

Fsi =

Pf Pr


(25)

25

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kelurahan Agung Lawangan merupakan sentra pengembangan kubis di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Kubis tersebut dijual ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan luar kota (Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat). Tataniaga kubis baik melalui pasar lokal maupun luar kota melibatkan lembaga-lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengecer baik lokal maupun non-lokal. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut masing-masing menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda dan mengeluarkan biaya tataniaga serta menginginkan keuntungan atas fungsi yang dijalankannya. Biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh tersebut menggambarkan margin tataniaga. Margin tataniaga tertinggi yang terbentuk cukup besar mencapai Rp 4.500,00. Margin tataniaga tersebut berbanding terbalik dengan farmer’s share, dimana farmer’s share yang diperoleh hanya 10,00 persen. Artinya, petani hanya memperoleh 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir cenderung fluktuatif. Fluktuasi harga tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani kubis.

Permasalahan lain yaitu posisi tawar menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah) dan petani merupakan pihak yang menerima harga (price taker). Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut adanya analisis mengenai tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan dempo Utara, Kota Pagar Alam.

Sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga kubis dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis lembaga tataniaga yang terlibat dan saluran tataniaga yang terbentuk, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan

terhadap biaya (π/c). Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui efisiensi

tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam sehingga dapat dirumuskan langkah-langkah perbaikan yang harus


(26)

26 dilakukan oleh petani sebagai produsen dan lembaga tataniaga yang terlibat untuk meningkatkan efisiensi tataniaga. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

- Margin tataniaga yang besar dan Farmer’s share yang rendah - Fluktuasi harga kubis yang terjadi

- Posisi tawar petani rendah dan petani merupakan price taker

Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam

Analisis Kuantitatif: - Margin tataniaga - Bagian harga yang

diterima petani (farmer’s share) - Rasio keuntungan

terhadap biaya Analisis Kualitatif:

- Lembaga dan saluran tataniaga

- Fungsi-fungsi tataniaga - Struktur pasar - Perilaku pasar

- Efisiensi tataniaga

- Alternatif saluran tataniaga yang efisien

Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara ,Kota Pagar Alam sebagai sentra pengembangan kubis


(27)

27

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Pagar Alam merupakan daerah yang didominasi dataran tinggi dengan kondisi lahan yang relatif subur, dan sangat potensial untuk pengembangan komoditi sayuran. Kota Pagar Alam merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Sumatera Selatan. Jenis sayuran yang terdapat di Kota Pagar Alam didominasi komoditi kubis. Dempo Utara merupakan Kecamatan di Kota Pagar Alam sebagai daerah unggulan tanaman sayuran termasuk kubis. Kelurahan Agung Lawangan merupakan salah satu sentra pengembangan kubis di Kecamatan Dempo Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Februari- Maret 2012.

4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung (observasi), wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pelaku dalam saluran tataniaga yaitu petani dan pedagang. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga dan penelusuran saluran tataniaga serta lembaga-lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga kubis.

Data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Pagar Alam, dan Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam.

4.3. Metode Penentuan Responden

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil responden sebanyak 30 petani kubis yang dianggap telah mewakili populasi petani kubis yang ada di Kelurahan Agung Lawangan. Penarikan responden (petani) ini dilakukan secara sengaja


(28)

28 melakukan panen kubis pada saat penelitian sehingga diperoleh gambaran harga yang terjadi pada saat penelitian.

Petani yang menjadi responden merupakan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani “Bersama” yang terdapat di Desa Kerinjing dan Kelompok Tani

“Langor Indah” yang terdapat di Desa Gunung Agung Paoh serta beberapa petani yang tidak tergabung ke dalam kelompok tani. Kedua kelompok tani tersebut dipilih dengan alasan keduanya merupakan kelompok tani yang aktif dalam melakukan aktivitasnya meskipun dalam hal penjualan kubis tidak dilakukan secara berkelompok. Kelompok Tani “Bersama“ memiliki anggota aktif sebanyak

23 orang, dan Kelompok Tani “Langor Indah memiliki anggota aktif sebanyak 10

orang. Petani responden sebanyak 12 orang berasal dari Kelompok Tani

“Bersama”, delapan orang petani dari Kelompok Tani “Langor Indah”, dan sebanyak 10 orang merupakan petani yang tidak tergabung ke dalam Kelompok Tani. Hal ini bertujuan untuk melihat saluran yang berbeda yang digunakan petani dalam melakukan penjualan kubis ke lembaga perantara selanjutnya.

Penarikan responden petani didasarkan atas informasi dari ketua Kelompok Tani dan Penyuluh Pertanian di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Penarikan responden untuk lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode

snowball sampling, yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga kubis yang dominan digunakan petani di daerah penelitian berdasarkan informasi yang didapat dari petani responden.

4.4. Metode Analisis data

Analisis data dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Analisis kualitatif secara deskriptif terdiri dari analisis lembaga dan saluran tataniaga, fungsi-fungsi tataniaga serta struktur dan perilaku pasar. Sedangkan analisis data kuantitatif menganalisis besaran margin tataniaga, farmers’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya (π/c). Alat analisis data kuantitatif yang digunakan berupa kalkulator dan program komputer microsoft excel dan SPSS 17 .


(29)

29

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif kondisi pemasaran kubis. Selanjutnya kondisi tersebut diformulasikan dalam bentuk tabel dan gambar.

4.4.2. Analisis Lembaga, Saluran Tataniaga, dan Fungsi-fungsi Tataniaga

Analisis lembaga tataniaga dan saluran tataniaga dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga dapat berbeda antara satu dengan lainnya. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Manfaat dari analisis fungsi tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya yang dihasilkan oleh setiap lembaga tataniaga.

Aliran kubis dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan diawali dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya sampai ke konsumen akhir. Jalur tataniaga tersebut akan menggambarkan saluran tataniaga. Semakin panjang saluran tataniaga, maka margin tataniaga yang terjadi antara produsen dan konsumen akan semakin tinggi.

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Penentuan struktur pasar kubis yang dihadapi oleh masing-masing lembaga tataniaga didasarkan pada kondisi saluran yang dilalui yang dikaitkan dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat (penjual dan pembeli), sifat produk (homogen/heterogen), kebebasan keluar masuk pasar, dan informasi harga pasar yang terjadi. Perilaku pasar kubis dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.

4.4.4. Analisis Margin Tataniaga

Margin tataniaga merupakan salah satu indikator untuk menentukan efisiensi tataniaga. Efisiensi tataniaga dengan indikator ini diketahui dengan cara


(30)

30 menghitung nilai margin tataniaga yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga dan kemudian membandingkan nilai margin tersebut untuk setiap saluran. Saluran tataniaga yang memiliki nilai margin yang terkecil diantara saluran tataniaga yang lainnya dapat dikatakan sebagai saluran yang efisien. Namun perlu diketahui bahwa margin tataniaga bukan merupakan satu-satunya indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan tataniaga yang diperoleh masing-masing lembaga tataniaga atau merupakan selisih antara harga pada tingkat petani dengan harga di tingkat lembaga perantara (pedagang pengumpul dan pedagang pengecer). Menurut Asmarantaka (2009) secara matematis margin tataniaga dirumuskan sebagai berikut:

mji = Psi – Pbi ……… (1)

mji = Bti + πi ………... (2)

dengan demikian :

πi = mji –Bti ………. (3) jadi besarnya total margin tataniaga adalah:

Mij = Σ mji, i = 1,2,3,...n

Keterangan:

mji = Margin tataniaga pada lembaga ke-i (Rp/kg) Psi = Harga penjualan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Pbi = Harga pembelian lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Bti = Biaya tataniaga lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg)

πi = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Mij = Total margin tataniaga (Rp/kg)

4.4.5. Analisis Farmer’s Share

Perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen disebut farmer’s share (Asmarantaka 2009). Secara matematis farmer’s share dihitung sebagai berikut:

Fsi =

Pf Pr


(31)

31 Keterangan:

Fsi : Persentase pendapatan yang diterima petani Pf : Harga di tingkat atau yang diterima petani Pr : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir

Farmer’s share juga merupakan indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Farmer’s share antara suatu saluran tataniaga dengan saluran tataniaga lainnya memiliki nilai yang berbeda. Efisiensi tataniaga dapat diketahui dengan melihat nilai farmer’s share yang paling tinggi pada setiap saluran tataniaga.

4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga dengan biaya tataniaga. Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan seberapa besar setiap satuan biaya yang dikeluarkan selama tataniaga dapat memberikan besaran keuntungan tertentu selama proses penyaluran produk. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan terhadap biaya =

Keterangan:

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp)

Jika rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) > 0 maka tataniaga dapat dikatakan efisien dan sebaliknya jika (π/c) < 0 maka tataniaga dikatakan tidak efisien. Tataniaga yang efisien dapat pula dilihat melalui sebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) yang merata untuk setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga (Asmarantaka 2009).

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i Biaya pemasaran ke-i


(32)

32

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Wilayah dan Topografi

Secara geografis Kota Pagar Alam berada pada 40 Lintang Selatan (LS) dan 103.150 Bujur Timur (BT). Kota Pagar Alam terletak di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sekitar 298 kilometer dari Kota Palembang (Ibu Kota Provinsi). Batas wilayah Kota Pagar Alam meliputi sebelah selatan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah utara, timur dan barat berbatasan dengan Kabupaten Lahat. Kota Pagar Alam memiliki luas lebih kurang 633,66 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yaitu 126.181 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 199,13 jiwa/ Km2. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut

Kecamatan di Kota Pagar Alam pada Tahun 2010 No. Kecamatan

Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

Km2 % Jiwa %

1. Dempo Selatan

217,95 34,39 11.611 9,20 53,27 2. Dempo

Tengah

173,09 27,32 12.663 10,03 73,16 3. Dempo Utara 123,98 19,57 19.934 15,80 160,78 4. Pagar Alam

Selatan

63,17 9,97 44.755 35,47 708,49 5. Pagar Alam

Utara

55,47 8,75 37.218 29,50 670,96

Total 633,66 100,00 126,181 100,00 199,13

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011)

Wilayah Kota Pagar Alam terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Kecamatan Dempo Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara, Pagar Alam Selatan dan Pagar Alam Utara. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Dempo Selatan (239,08 Km2) sedangkan Kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Pagar Alam Utara (55,47 Km2). Selain itu, jumlah penduduk terbanyak di Kota Pagar Alam berada di Kecamatan Pagar Alam Selatan yaitu 44.755 jiwa dan kepadatan penduduk 708,49 jiwa/Km2 sedangkan Kecamatan Dempo Selatan merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk yang terendah yaitu 11.611 jiwa dengan kepadatan penduduk 53,27 jiwa/Km2.

Penduduk Kota Pagar Alam pada tahun 2010 berdasarkan hasil survei angkatan kerja nasional sebagian besar bekerja di sektor pertanian, perkebunan,


(33)

33 kehutanan dan perikanan yaitu sebanyak 58,64 persen dari total penduduk usia lima belas tahun ke atas yang bekerja (63.905 jiwa). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian turut memiliki kontribusi terhadap perekonomian Kota Pagar Alam. Kontribusi tersebut dapat juga dilihat dari persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2010 pada Gambar 4.

Sektor pertanian menempati urutan pertama dalam memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Regional pada tahun 2010 sebesar 36 persen. Selain itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga memberikan konstribusi yang cukup besar yaitu 21 persen. Urutan terakhir ditempati oleh sektor industri pengolahan sebesar 1 persen.

Kecamatan Dempo Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Pagar Alam yang dijadikan sebagai sentra pengembangan pertanian berupa sayuran. Pada tahun 2009 jumlah produksi sayuran di Kecamatan Dempo Utara yaitu 377 ton dan merupakan produksi terbesar jika dibandingkan dengan produksi padi yaitu 58 ton. Kecamatan Dempo Utara terletak sekitar 14 kilometer dari pusat

Gambar 4. Persentase PDRB Kota Pagar AlamTahun 2010 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, 2010


(34)

34 Kota Pagar Alam. Sebelah Utara Kecamatan Dempo Utara berbatasan dengan Kecamatan Pagar Alam Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dempo Selatan dan Kabupaten Lahat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Sakti Kabupaten Lahat dan sebelah Timur berbatasan dengan Dempo Selatan dan Dempo Tengah. Kecamatan Dempo Utara terdiri dari tujuh kelurahan, yaitu Agung Lawangan, Bumi Agung, Pagar Wangi, Jangkar Mas, Burung Dinang, Muara Siban, dan Rebah Tinggi.

Kelurahan Agung Lawangan merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Dempo Utara. Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari lima desa yaitu desa Kerinjing, Gunung Agung Lama, Gunung Agung Tengah, Gunung Agung Paoh, dan Suka Mulya. Terdapat lima kepala RW (Rukun Warga) dan 16 kepala RT (Rukun Tetangga) di Kelurahan tersebut.

Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Agung Lawangan berjumlah 4.873 jiwa atau sekitar 23,81 persen dari total penduduk keseluruhan (20.460 jiwa) (Tabel 7). Jumlah penduduk tersebut merupakan jumlah tebanyak jika dibandingkan dengan beberapa Kelurahan lainnya.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dirinci Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Tahun 2010

No. Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa)

1. Agung Lawangan 4.873

2. Bumi agung 2.972

3. Pagar Wangi 3.094

4. Jangkar Mas 2.219

5. Burung Dinang 2.012

6. Muara Siban 3.057

7. Rebah Tinggi 2.233

Sumber: Profil Kecamatan Dempo Utara, Kantor Kecamatan Dempo Utara (2011)

Sebagian besar penduduk di Kelurahan Agung Lawangan bekerja si sektor pertanian, yaitu sebanyak 1.850 jiwa pada tahun 2010 (Tabel 8). Usaha pertanian yang menjadi lapangan pekerjaan dominan bagi petani di wilayah tersebut yaitu di bidang budidaya sayuran terutama kubis. Banyaknya petani yang melakukan budidaya sayuran khususnya kubis di wilayah tersebut didukung oleh kondisi geografis wilayah tersebut yang cocok untuk budidaya kubis.


(35)

35 Tabel 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan Mata

Pencarian Pokok Pada Tahun 2010

No. Mata Pencarian Pokok Jumlah (jiwa)

1. Belum Bekerja 716

2. PNS 35

3. TNI/POLRI 1

4. Wiraswasta 11

5. Pelajar/Mahasiswa 2.135

6. Tenaga Muda 20

7. Petani 1.850

8. Pensiunan 21

9. Buruh 22

10. Swasta/Dagang 58

11. Dosen 4

Sumber: Profil Kelurahan Agung Lawangan, Kantor Kelurahan Agung Lawangan (2011)

5.2. Karakteristik Petani Responden

Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian yaitu 30 orang petani. Sebagian besar sebanyak 28 orang petani responden berjenis kelamin laki-laki dan dua orang petani berjenis kelamin perempuan. Petani tersebut merupakan penduduk yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Responden petani dikategorikan berdasarkan beberapa karakteristik meliputi kelompok umur, tingkat pendidikan, luas lahan yang diusahakan dan status kepemilikan lahan, serta pengalaman dalam melakukan budidaya kubis. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 9 dan Gambar 5.

Petani responden berusia antara 22-52 tahun. Petani yang berumur antara 35-44 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 14 orang (46,7 persen). Sedangkan petani yang berumur 15-24 yaitu tiga orang (10,0 persen) merupakan jumlah yang paling sedikit. Sebagian besar petani responden (50,0 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) dan petani yang tidak bersekolah sebanyak 6,7 persen.

Luas lahan yang diusahakan petani responden berbeda-beda antara 0,5 hektar hingga tiga hektar. Petani paling banyak melakukan kegiatan budidaya sayuran termasuk kubis pada lahan yang memiliki luas 0,6-1 hektar (sekitar 56,7 persen petani). Status kepemilikan lahan petani sebagian besar merupakan lahan milik sendiri yaitu sebanyak 19 responden petani (63,3 persen). Pengalaman petani responden dalam melakukan budidaya kubis sangat bervariasi antara 1-13


(36)

36 tahun. Petani yang memiliki pengalaman antara 6-10 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 46,7 persen.

Tabel 9. Analisis Frequencies Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik Statistics

Umur

Tingkat

Pendidikan Luas Lahan

Kepemilikan

Lahan Pengalaman

N Valid 30 30 30 30 30

Missing 0 0 0 0 0

Frequency Table

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Umur (Tahun)

Valid 15-24 25-34 35-44

Lebih dari atau sama dengan 45 Total 3 7 14 6 30 10.0 23.3 46.7 20.0 100.0 10.0 23.3 46.7 20.0 100.0 10.0 33.3 80.0 100.0 Tingkat Pendidikan

Valid Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Total 2 15 4 9 30 6.7 50.0 13.3 30.0 100.0 6.7 50.0 13.3 30.0 100.0 6.7 56.7 70.0 100.0

Luas Lahan yang Dimiliki (Ha)

Valid Kurang dari atau sama dengan 0,5 0,6-1,0 1,1-1,5 >2 Total 9 17 3 1 30 30.0 56.7 10.0 3.3 100.0 30.0 56.7 10.0 3.3 100.0 30.0 86.7 96.7 100.0 Kepemilikan Lahan

Valid Milik Sendiri Sewa Garapan Total 19 2 9 30 63.3 6.7 30.0 100.0 63.3 6.7 30.0 100.0 63.3 70.0 100.0 Tingkat Pengalaman (Tahun)

Valid Kurang dari atau sama dengan 5

6-10 >10 Total 11 14 5 30 36.7 46.7 16.7 100.0 36.7 46.7 16.7 100.0 36.7 83.3 100.0


(37)

37

Gambar 5. Pie Chart Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik

5.3. Karakteristik Pedagang Responden

Pedagang yang dijadikan responden yaitu sebanyak 10 orang, terdiri dari empat orang pedagang pengumpul tingkat desa, dua orang pengumpul luar kota (non-lokal), dua orang pedagang pengumpul pasar lokal, dan dua orang pedagang pengecer (lokal). Semua pedagang responden berjenis kelamin perempuan. Pedagang responden dikategorikan berdasarkan beberapa karakteristik meliputi


(38)

38 kelompok umur, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman. Karakteristik tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 10 dan Gambar 6.

Tabel 10. Analisis Frequencies Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik

Statistics

Umur Tingkat Pendidikan Tingkat Pengalaman

N Valid 10 10 10

Missing 0 0 0

Frequency Table

Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Umur (Tahun)

Valid 25-29 30-34 35-39 40-44

Lebih dari atau sama dengan 45 Total 1 3 1 1 4 10 10.0 30.0 10.0 10.0 40.0 100.0 10.0 30.0 10.0 10.0 40.0 100.0 10.0 40.0 50.0 60.0 100.0 Tingkat Pendidikan

Valid Tidak Sekolah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Sarjana Total 1 3 2 3 1 10 10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 100.0 10.0 30.0 20.0 30.0 10.0 100.0 10.0 40.0 60.0 90.0 100.0 Tingkat Pengalaman (Tahun)

Valid Kurang dari atau sama dengan 5

>5 Total 4 6 10 40.0 60.0 100.0 40.0 60.0 100.0 40.0 100.0


(39)

39 Gambar 6. Pie Chart Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik

Pedagang yang menjadi responden berumur antara 29 tahun hingga 62 tahun. Responden pedagang paling banyak berumur lebih dari 45 tahun yaitu empat orang terdiri dari dua orang pedagang pengumpul luar kota (non-lokal), satu orang pedagang pengumpul tingkat desa dan satu orang pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul tingkat desa paling banyak berumur antara 30-34 tahun.

Tingkat pendidikan terendah pedagang yang menjadi responden yaitu tidak tamat Sekolah Dasar (SD) dan tertinggi yaitu sarjana. Jumlah pedagang yang


(40)

40 tidak tamat Sekolah Dasar (SD) yaitu satu orang dan merupakan pedagang pengumpul tingkat desa. Pedagang yang merupakan sarjana hanya satu orang, yaitu pedagang pengumpul luar kota (non-lokal).

Tingkat pengalaman pedagang yaitu antara 1-13 tahun. Pedagang responden yang memiliki pengalaman kurang dari atau sama dengan lima tahun yaitu sebanyak empat orang. Sedangkan pedagang yang memiliki pengalaman di atas lima tahun terdiri dari enam orang pedagang.

5.4. Gambaran Umum Budidaya Kubis di Kelurahan Agung Lawangan

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, budidaya kubis yang umumnya dilakukan oleh petani di Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut yaitu; (1) persemaian, (2) pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam, (3) penanaman, dan pemeliharaan, (4) panen. Varietas kubis yang banyak ditanam petani yaitu Grand-11.

1). Persemaian

Benih kubis disemaikan terlebih dahulu secara merata pada luasan lahan tertentu sebelum ditanam pada lahan tetap. Pada umur lebih kurang tiga hingga empat minggu benih yang ditanam tersebut tumbuh menjadi bibit kubis yang siap dipindahkan ke lahan tetap. Penyemaian dilakukan untuk mempermudah penyiraman. Selain itu jika benih disemaikan terlebih dahulu, pengawasan terhadap pertumbuhannya lebih mudah dilakukan. Rata-rata benih yang yang digunakan petani responden untuk budidaya kubis yaitu sekitar 10 kantong benih dengan berat 15 gram per kantong. Benih tersebut dibeli petani dengan harga yang variatif mulai dari Rp 40.000,00 hingga Rp 48.000,00.

2). Pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam

Cara pengolahan tanah yang dilakukan oleh petani yaitu melalui pencangkulan. Tanah dicangkul kemudian dibiarkan selama tiga sampai empat hari untuk mendapatkan sinar matahari. Selanjutnya dibuat bedengan dengan ukuran yang disesuaikan dengan keadaan tanah. Setelah dibuat bedengan kemudian diberi pupuk kandang yang terbuat dari kotoran ayam dan selanjutnya dibuat lubang tanam untuk penanaman bibit kubis. Pupuk kandang yang digunakan yaitu rata-rata 10 karung pupuk dengan berat sekitar 35 kilogram per


(1)

93 No. Nama Petani Jenis Kelamin Umur (Tahun) Pendidikan Luas Lahan

(Ha)

Kepemilikan Lahan

Lama Bertani Kubis (Tahun)

22. Jumiyem Perempuan 42 Tamat SD 1,0 Garapan 7

23. Sumadi Laki-laki 35 Tamat SD 0,5 Sewa 10

24. Bujang Laki-laki 22 Tamat SD 1,0 Garapan 2

25. Ndi Laki-laki 45 Tamat SD 1,0 Garapan 2

26. Suris Laki-laki 30 Tamat SD 0,5 Garapan 3

27. kasdin Laki-laki 38 Tamat SD 0,5 Milik Sendiri 13

28. Juli Laki-laki 24 Tamat SD 0,5 Garapan 12

29. Mus Laki-laki 39 Tidak

Sekolah

1,0 Garapan 4

30. Ating Laki-laki 32 Tamat SD 1,5 Garapan 10


(2)

93 Lampiran 8. Data Pedagang Responden Berdasarkan Karakteristik di Kelurahan Agung Lawangan

No. Nama pedagang Jenis Kelamin Umur (Tahun) Pendidikan Lama Berdagang

(Tahun)

1. Yuli Perempuan 32 Tamat SMP 3

2. Yeni Perempuan 29 Tamat SMA 2

3. Lena Perempuan 40 Tamat SD 6

4. Sukarsih Perempuan 50 Tamat SMP 8

5. Yunarti Perempuan 38 Tamat SD 7

6. Indah Perempuan 32 Tamat SMA 3

7. Admawati Perempuan 50 Tidak Tamat SD 10

8. Hensi Perempuan 32 Tamat SMA 4

9. Sayati Perempuan 62 Tamat SD 10

10. Risna Perempuan 49 Sarjana 8


(3)

93 Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian di Kelurahan Agung Lawangan

Benih kubis yang sedang

disemaikan

Penanaman bibit kubis setelah berumur sekitar 3 minggu

Kubis

Pemanenan kubis setelah berumur sekitar 120 hari

Pengangkutan kubis dari lahan


(4)

93

Pengangkutan kubis dari lahan menuju ke tempat pedagang menggunakan ojek khusus

Kubis di tempat pedagang pedagang pengumpul

Pengangkutan kubis menggunakan mobil pick up

menuju pasar lokal

Pengangkutan kubis menuju pasar luar kota (non lokal)


(5)

RINGKASAN

ARINI PRIHATIN. Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan).Skripsi. Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor (Dibawah bimbingan NARNI FARMAYANTI).

Kontribusi Produk Domestik Bruto (PDB) setiap tahunnya mengalami peningkatan. Sayuran sebagai salah satu komoditas hortikultura yang turut memberikan sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB). Kubis merupakan salah satu dari delapan belas jenis sayuran komersial yang mendapat prioritas dalam pengembangannya. Sumatera Selatan turut memproduksi kubis dan produksi kubis tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2010. Kota Pagar Alam adalah penghasil kubis nomor satu di Sumatera Selatan. Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, merupakan sentra pengembangan kubis di Kota Pagar Alam. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, (2) menganalisis efisiensi setiap saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.

Penelitian dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam pada bulan Februari-Maret 2012. Responden petani yang digunakan sebanyak tiga puluh responden dengan metode penarikan responden dilakukan secara sengaja (purposive sampling), sedangkan penarikan responden untuk lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga kubis yang dominan di daerah penelitian. Penelitian dilakukan dengan menganalisis lembaga dan saluran tataniaga, struktur dan perilaku pasar, margin tataniaga, farmer’s

share, dan rasio keuntungan terhadap biaya.

Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat yaitu petani, pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal), dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Terdapat lima saluran yang terbentuk dalam tataniaga kubis yaitu (1) petani- pedagang pengumpul tingkat desa- pedagang pengumpul pasar lokal- pedagang pengecer (lokal)- konsumen akhir (lokal), (2) petani- pedagang pengumpul tingkat desa - pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) - pedagang pengecer luar kota (non-lokal)- konsumen akhir (non-lokal), (3) petani- pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) - pedagang pengecer luar kota (non-lokal)- konsumen akhir (non-lokal), (4) petani- pedagang pengecer (lokal)- konsumen akhir (lokal), (5) petani- konsumen akhir (lokal). Saluran tataniaga I dan III merupakan saluran yang banyak digunakan petani. Volume penjualan pada saluran I yaitu 117,4 ton dan pada saluran III yaitu 131,4 ton. Fungsi –fungsi yang dijalankan oleh lembaga – lembaga tataniaga yang terlibat meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Semua lembaga tataniaga tidak menjalankan fungsi penyimpanan dan fungsi sortasi dan grading. Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sebagai pembeli yaitu pasar persaingan sempurna, sedangkan struktur


(6)

pasar yang dihadapi pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yaitu pasar oligopsoni murni. Struktur pasar yang dihadapi petani sebagai penjual yaitu pasar persaingan sempurna. Pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal) sebagai penjual menghadapi pasar oligopoli murni. Perilaku pasar diketahui dari praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.

Hasil analisis tataniaga menunjukkan bahwa masing- masing lembaga memiliki sebaran margin dan keuntungan yang berbeda-beda sesuai fungsi tataniaga yang dilakukan. Nilai margin tataniaga terbesar terbentuk pada saluran II dan saluran III yaitu 66,67 persen. Pada saluran I dan IV nilai margin tataniaga yaitu 50,00 persen 45,00 persen. Pada saluran V tidak terbentuk margin tataniaga karena petani menjual kubis langsung ke konsumen akhir (lokal). Farmer’s share terbesar diperoleh pada saluran V yaitu 100,00 persen. Saluran II dan saluran III merupakan saluran tataniaga dengan nilai farmer’s share terendah yaitu 33,33 persen. Pada saluran I dan saluran IV nilai farmer’s sharenya masing-masing yaitu 50,00 persen dan 55,00 persen. Nilai rasio keuntungan terhadap biaya yang terbesar terdapat pada saluran I yaitu 3,44 dan yang terendah terdapat pada saluran IV yaitu 2,63. Pada saluran II dan saluran III nilai rasio keuntungan terhadap biaya yaitu 2,68 dan 2,74. Volume penjualan terbesar terdapat pada saluran III yaitu 134,4 ton, sedangkan volume penjualan terkecil terdapat pada saluran II yaitu 4,00 ton. Pada saluran I volume penjualan menempati urutan terbesar kedua yaitu 117,4 ton. Volume penjualan pada saluran IV dan saluran V yaitu 16,15 ton dan 40,45 ton. Berdasarkan uraian tersebut maka saluran yang relatif lebih efisien yaitu saluran I dan Saluran III.

Saran yang dapat direkomendasikan yaitu lembaga-lembaga tataniaga dapat melalui saluran tataniaga yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan. Namun saluran I dan saluran III merupakan saluran yang relatif lebih efisien bagi petani. Petani yang bukan anggota kelompok tani ada baiknya jika bergabung ke kelompok tani karena kelompok tani merupakan wadah bertukar pikiran terkait masalah on farm (budidaya) sehingga dapat meningkatkan produktivitas kubis yang dibudidayakan. Selain itu, peran serta kelompok tani (Poktan) dan gabungan kelompok tani (Gapoktan) dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan dapat juga dijadikan pertimbangan karena hal tersebut dapat meningkatkan posisi tawar petani kubis. Pemerintah khususnya dinas pertanian Kota Pagar Alam sebagai penanggung jawab harus mendukung dan memfasilitasi keberadaan Sub Terminal Agribisnis (STA) agar dapat berperan lebih aktif. Adanya fluktuasi harga dan volume penjualan yang melimpah pada saat panen raya, menuntut adanya industri pengolahan kubis. Sortasi dan grading sebaiknya dilakukan baik oleh petani maupun pedagang untuk meningkatkan pendapatan. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai analisis keterpaduan pasar antara pasar acuan dengan pasar produsen di tingkat petani Kelurahan Agung Lawangan untuk melihat efisiensi dari sisi harga.