69 tingkat desa dan pedagang pengumpul pasar luar kota non-lokal tidak
membayar kubis yang dijual oleh petani secara tunai melainkan dibayar kemudian hutang. Umumnya pembayaran dilakukan setelah kubis yang
dibeli dari petani habis terjual ke lembaga tataniaga berikutnya. Sebenarnya sistem pembayaran kemudian hutang menyulitkan petani
karena bertani merupakan mata pencarian pokok dan petani membutuhkan modal untuk melakukan budidaya sayuran selanjutnya. Namun petani
tidak memiliki banyak pilihan karena petani hanya dapat menjual kubis dalam jumlah besar ke pedagang pengumpul tingkat desa dan pedagang
pengumpul pasar luar kota non-lokal. Sistem pembayaran tunai dan hutang juga dilakukan oleh lembaga-
lembaga tataniaga di Desa Cimenyan, Kabupaten Bandung dan di Desa Argalingga, Majalengka. Namun masih terdapat satu jenis sistem pembayaran
yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga di kedua desa tersebut yaitu sistem bayar di muka atau bayar setengah dimana para pedagang membayar
terlebih dahulu setengah dari harga kubis yang mereka borong sebelum dibawa ke pasar tujuan untuk dijual.
6.5.4. Kerjasama Antar Lembaga Tataniaga
Kerjasama yang terjadi antar lembaga tataniaga didasarkan pada lamanya hubungan dagang sehingga muncul rasa saling percaya antara satu dengan yang
lainnya. Kerjasama yang berkelanjutan tersebut dapat mengurangi pengeluaran lembaga tataniaga dalam pengeluaran biaya berganti pemasok
.
Kerjasama yang dilakukan yaitu dalam bentuk penyampaian dan pertukaran informasi antar
lembaga tataniaga. Petani juga melakukan kerjasama dengan pedagang pengumpul tingkat desa dalam bentuk penyediaan modal dan input produksi
seperti pupuk dan pestisida.
6.6. Analisis Margin Tataniaga
Margin tataniaga merupakan salah satu indikator untuk menentukan efisiensi tataniaga. Margin tataniaga yang merupakan perbedaan harga pada
tingkat yang berbeda dalam sistem tataniaga dihitung melalui pengurangan harga jual terhadap harga beli oleh lembaga tataniaga. Komponen-komponen dari
tataniaga antara lain biaya tataniaga dan keuntungan tataniaga. Biaya tataniaga
70 merupakan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga dalam
mengalirkan kubis hingga ke konsumen akhir. Biaya tataniaga tersebut terdiri dari biaya pengangkutan, pembelian karung, tali, kantong plastik, biaya retribusi, dan
lain sebagainya. Keuntungan tataniaga diperoleh dengan mengurangkan harga jual terhadap harga beli yang ditambah dengan biaya tataniaga. Margin yang diperoleh
pada setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga dapat dilihat pada Lampiran 6.
Berdasarkan lampiran 6 dapat diketahui margin tataniaga yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga. Total margin tataniaga terbesar terdapat
pada saluran II dan saluran III yaitu Rp 2.000,00 per kilogram 66,67 persen. Meskipun saluran II dan saluran III bukan merupakan saluran terpanjang namun
jarak pasar yang jauh kubis dikirim ke luar kota menuntut pedagang untuk mengambil margin yang cukup besar karena biaya dan risiko yang ditanggungpun
besar. Selanjutnya, pada saluran I dan saluran IV total margin tataniaga yang diperoleh masing-masing saluran yaitu Rp 1.000,00 per kilogram 50,00 persen
dan Rp 900,00 per kilogram 45,00 persen. Pada saluran I dan saluran IV kubis dialirkan menuju pasar lokal Kota Pagar Alam dan jarak yang ditempuh tidak
terlalu jauh dibandingkan saluran II dan III sehingga pedagang mengambil margin yang tidak terlalu besar pula. Pada saluran I total margin yang diperoleh lebih
besar dibandingkan saluran IV. Hal ini disebabkan saluran I melibatkan banyak lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang
pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer lokal. Sedangkan pada saluran IV hanya melibatkan pedagang pengecer lokal. Pada saluran V tidak terdapat
margin tataniaga karena tidak melibatkan perantara seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer.
Pada saluran I petani menjual kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa dengan harga Rp 1.000,00 per kilogram yang kemudian oleh pedagang
pengumpul tingkat desa dijual dengan harga Rp 1.200,00 per kilogram ke pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul pasar lokal menjual kubis
tersebut dengan harga Rp 1.600,00 per kilogram ke pedagang pengecer lokal. Pedagang pengecer menjualnya kembali dengan harga Rp 2.000,00 per kilogram.
Pedagang pengumpul pasar lokal dan pedagang pengecer lokal pada saluran I
71 merupakan lembaga tataniaga yang memperoleh margin terbesar dalam
penyaluran kubis ke pasar lokal Kota Pagar Alam yaitu Rp 400,00 20,00 persen. Sedangkan pedagang pengumpul tingkat desa memperoleh margin
terkecil yaitu Rp 200,00 per kilogram 10,00 persen. Pada saluran II petani menjual kubis ke pedagang pengumpul tingkat desa
dengan harga Rp 1.000,00 per kilogram. Pedagang pengumpul tingkat desa kemudian menjual beberapa bagian kubis yang tersebut ke pedagang pengumpul
luar kota non-lokal 3,3 persen dengan harga Rp 1.200,00. Pedagang pengumpul luar kota non-lokal pada saluran II menjual kubis ke pedagang
pengecer luar kota non-lokal dengan harga yang sama pada saluran III Rp 2.000,00 per kilogram meskipun pada saluran II pedagang pengumpul pasar luar
kota non-lokal memperoleh kubis dari pedagang pengumpul tingkat desa dengan harga yang lebih mahal dari petani pada saluran III Rp 1.000,00 per kilogram.
Pada saluran II dan saluran III lembaga tataniaga yang memperoleh margin terbesar yaitu pedagang pengecer luar kota non-lokal yaitu Rp 1.000,00 per
kilogram 33,33 persen. Pedagang pengumpul tingkat desa pada saluran II juga memperoleh margin yang terkecil yaitu Rp 200,00 6,67 persen. Hal ini
dikarenakan risiko yang ditanggung pedagang pengumpul tingkat desa lebih kecil dibandingkan risiko yang ditanggung oleh lembaga tataniaga lainnya seperti
pedagang pengumpul pasar luar kota non-lokal dan pedagang pengecer luar kota non-lokal. Pedagang pengumpul tingkat desa umumnya telah memiliki
langganan untuk tujuan penjualan kubis yang dibelinya sehingga kemungkinan tidak terjual menjadi sangat sulit terjadi.
6.7. Farmer’s Share