Setting Agenda Kebijakan Publik

Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air catchment ecosystem yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi. Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Asdak 2010, dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut: 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik danatau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan. 2. Eksternalities, adalah dampak positifnegatif suatu aktifitasprogram dan atau kebijakan yang dialamidirasakan di luar daerah dimana programkebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa negative ekternalities dapat mengganggu tercapainya keberlanjutan pengelolaan DAS bagi: a masyarakat di luar wilayah kegiatan spatial externalities , b masyarakat yang tinggal pada periode waktu tertentu setelah kegiatan berakhir temporal externalities, dan c kepentingan berbagai sektor ekonomi yang berada di luar lokasi kegiatan sectoral externalities. 3. Dalam kerangka konsep “externalities”, maka pengelolaan sumber daya alam dapat dikatakan baik apabila keseluruhan biaya dan keuntungan yang timbul oleh adanya kegiatan pengelolaan tersebut dapat ditanggung secara proporsional oleh para aktor organisasi pemerintah, kelompok masyarakat atau perorangan yang melaksanakan kegiatan pengelolaan sumberdaya alam termasuk sumber daya air dan para aktor yang akan mendapatkan keuntungan dari adanya kegiatan tersebut. Agar proses terpeliharanya sumber daya tanah lahan akan terjamin, maka setiap kawasan pertanian atau budidaya tersedia kelas-kelas kemampuan dan kelas kesesuaian lahan. Dengan tersedianya kelas kemampuan dan kelas kesesuaian ini, pemanfaatan lahan yang melebihi kemampuannya dan tidak sesuai jenis penggunaannya dapat dihindari. Pada salah satu bentuk model pengelolaan DAS, pengelolaan DAS hulu-hilir yang dikaitkan dengan masalah ekonomi-sosial- budaya, pengembangan wilayah dalam bentuk ekologis maupun adminstratif, yang menuju pada optimalisasi penggunaan lahan dan mengefisienkan pemanfaatan sumber daya air melalui perbaikan kelembagaan, teknologi, serta penyediaan pendanaan. Selama ini metodologi perencanaan pengelolaan DAS kurang memperhatikan aspek tata ruang dan kurang mengintegrasikan berbagai kepentingan kegiatan pembangunan. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bertujuan mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan; a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan buatan, b.terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan SD alam buatan dengan mempehatikan SDM, c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Untuk itu perencanaan pengelolaan SDA harus memperhatikan kepentingan pengembangan pertanian, kepentingan industri dan kepentingan daya dukung lingkungan ecological demands. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan eksploitasi huatan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu DAS dan menyebabkan berkurangnya kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air pada musim kemarau. Kurang tepatnya perencanaan tata ruang dapat menimbulkan adanya degradasi daerah aliran sungai yang mengakibatkan lahan menjadi gundul, tanahlahan menjadi kritis dan erosi pada lereng-lereng curam. Pada akhirnya proses degradasi lahan dan air tersebut dapat menimbulkan banjir yang besar di musim hujan, debit sungai menjadi sangat rendah di musim kemarau, kelembaban tanah di sekitar hutan menjadi berkurang di musim kemarau sehingga dapat menimbulkan kebakaran hutan, terjadinya percepatan sedimen pada waduk-waduk dan jaringan irigasi yang ada, serta penurunan kualitas air. Pada prinsipnya kebijakan pengelolaan daerah aliran sungai DAS secara terpadu merupakan hal yang sangat penting dalam rangka mengurangi dan menghadapi permasalahan sumberdaya air baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Kebijakan ini merupakan bagian terintegrasi dari kebijakan lingkungan yang terkait dengan sumber daya air pada data akademis maupun teknis, beragamnya kondisi lingkungan pada beberapa daerah dan perkembangan ekonomi dan sosial sebagai suatu keseluruhan dimana perkembangan daerah. Beragamnya kondisi, maka beragam dan spesifik juga solusinya. Keberagaman ini harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan terkait tata ruang termasuk tata ruang air untuk memastikan bahwa perlindungan dan penggunaan sumber daya air secara berkelanjutan ada dalam suatu rangkaian kerangka kerja framework. Keberadaan daerah aliran sungai secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan dan Undang-undang Nomor 7 tahun 2004. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1970, daerah aliran sungai dibatasi sebagai suatu daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan suatu kesatuan dengan sungai dan anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsi untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya, penyimpanannya serta pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum alam sekelilingnya demi keseimbangan daerah tersebut. Perkembangan pembangunan di bidang permukiman, pertanian, perkebunan, industri, eksploitasi sumber daya alam berupa penambangan, dan ekploitasi hutan menyebabkan penurunan kondisi hidrologis suatu daerah aliran sungai. Gejala penurunan fungsi hidrologis DAS ini dapat dijumpai di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, dan Pulau Kalimantan, terutama sejak tahun dimulainya Pelita I yaitu pada tahun1972. Penurunan fungsi hidrologis tersebut menyebabkan kemampuan DAS untuk berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan kemudian dipergunakan melepas air sebagai“base flow” pada musim kemarau, telah menurun. Ketika air hujan turun pada musim penghujan air akan langsung mengalir menjadi aliran permukaan yang kadang-kadang menyebabkan banjir dan sebaliknya pada musim kemarau aliran “base flow” sangat kecil bahkan pada beberapa sungai tidak ada aliran sehingga ribuan hektar sawah dan tambak ikan tidak mendapat suplai air tawar. Walaupun masih banyak parameter lain yang dapat dijadikan ukuran kondisi suatu daerah aliran sungai, seperti parameter kelembagaan, parameter peraturan perundang-undangan, parameter sumber daya manusia, parameter letak geografis, parameter iklim, dan parameter teknologi, akan tetapi parameter air masih merupakan salah satu input yang paling relevan dalam model DAS untuk mengetahui tingkat kinerja DAS tersebut, khususnya apabila dikaitkan dengan fungsi hidrologis DAS. Dalam prosesnya, maka kejadian-kejadian tersebut merupakan fenomena yang timbul sebagai akibat dari terganggunya fungsi DAS sebagai satu kesatuan sistem hidrologi yang melibatkan kompleksitas proses yang berlaku pada DAS. Salah satu indikator dominan yang menyebabkan terganggunya fungsi hidrologi DAS adalah terbentuknya lahan kritis. Hasil inventarisasi lahan kritis menunjukkan bahwa terdapat ± 14,4 juta hektar di luar kawasan hutan dan ± 8,3 juta hektar di dalam kawasan hutan Pasaribu, 1999.