Kebijakan di Era Otonomi Daerah

Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan SDA mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan pemungutan manfaat. Awalnya, perencanaan pengelolaan SDA lebih banyak dengan pendekatan pada faktor fisik dan bersifat sektoral. Namun, sejak sepuluh tahun yang lalu telah dimulai dengan pendekatan holistik, yaitu melalui rencana pengelolaan SDA terpadu, yang antara lain dimulai dari DAS prioritas. Namun urutan prioritas tersebut dikaji ulang, dengan pertimbangan seperti: 1 urutan DAS prioritas perlu disesuaikan dengan pertimbangan teknik yang lebih maju dan pertimbangan kebijakan yang berkembang pada saat ini, 2 pengelolaan DAS juga memerlukan asas legalitas yang kuat dan mengikat bagi instansi terkait dalam berkoordinasi dan merencanakan kebijakan pengelolaan DAS, dan 3 perubahan arah pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumber daya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi SDA yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan SDA secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan SDA sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang dmulai dari daerah hulu sampai hilir. Pengelolaan SDA ditujukan untuk terwujudnya kondisi yang optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan bagi kesejahteraan manusia. Selain itu pengelolaan SDA termasuk DAS, dipahami sebagai suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di SDA untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya kerusakan sumber daya air dan tanah. Dalam hal ini termasuk identifikasi keterkaitan antara tataguna lahan, tanah dan air, dan keterkaitan antara daerah hulu dan hilir suatu DAS Asdak, 2002, seperti yang tertera pada Gambar 4 berikut ini. Gambar 2. Hubungan biofisik antara bagian hulu dan hilir DAS Asdak, 2010 Dalam menjabarkan model pengelolaan air maka setiap unit SDA termasuk DAS, secara substansi dan strateginya, serta bentuk-bentuk DAS harus dipelajari dengan seksama. Hal ini perlu dilakukan karena bentuk DAS merupakan refleksi kondisi bio-fisik dan merupakan wujud dari proses alamiah yang ada. Implikasi dari hal tersebut adalah memperlihatkan bahwa pengelolaan SDA merupakan suatu sistem hidrologi dan sistem produksi, dan hal ini membuka terjadinya konflik kepentingan antar institusi terhadap pengelolaan komponen-komponen sistem pengelolaan air. DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, sistem pengelolaan DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air catchment ecosystem yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi. Pengkajian permasalahan pengelolaan SDA dapat dilakukan dengan mengkaji komponen-komponen SDA dan menelusuri hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga kegiatan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan SDA dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Bahkan terdapat sungai yang hulunya berada di wilayah provinsi a dan melewati provinsi b, padahal hulunya sampai kepada provinsi c atau lintas wilayah provinsi. Oleh karena itu, daerah-daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Asdak 2010, dalam keterkaitan biofisik wilayah hulu-hilir suatu DAS, perlu adanya beberapa hal yang menjadi perhatian, yaitu sebagai berikut: 1. Kelembagaan yang efektif seharusnya mampu merefleksikan keterkaitan lingkungan biofisik dan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut beroperasi. Apabila aktifitas pengelolaan di bagian hulu DAS akan menimbulkan dampak yang nyata pada lingkungan biofisik danatau sosial ekonomi di bagian hilir dari DAS yang sama, maka perlu adanya desentralisasi pengelolaan DAS yang melibatkan bagian hulu dan hilir sebagai satu kesatuan perencanaan dan pengelolaan. 2. Eksternalities, adalah dampak positifnegatif suatu aktifitasprogram dan atau kebijakan yang dialamidirasakan di luar daerah dimana programkebijakan dilaksanakan. Dampak tersebut seringkali tidak terinternalisir dalam perencanaan kegiatan. Dapat dikemukakan bahwa