Konsepsi Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu
Alokasi air merupakan masalah ekonomi untuk menentukan bagaimana suplai air yang tersedia harus dialokasikan kepada pengguna atau calon pengguna.
Penggunaan air sendiri pada dasarnya terbagi dalam dua kelompok yaitu Kelompok konsumtif, yakni mereka yang memanfaatkan suplai air untuk konsumsi, dan kelompok
non-konsumtif. Kelompok konsumtif antara lain rumah tangga, industri, pertanian, kehutanan. Kelompok ini memanfaatkan air melalui proses yang disebut diversi
diversion, baik melalui transformasi, penguapan, penyerapan ke tanah, maupun
pendegradasian kualitas air secara langsung pencemaran. Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya tidak terbarukan. Di sisi lain,
pengguna non-konsumtif memanfaatkan air hanya sebagai media seperti: • Medium pertumbuhan ikan pada kasus perikanan.
• Sumber energi listrik pada pembangkit listrik tenaga air. • Rekreasi berenang, kayaking, dan sebagainya.
Kelompok pengguna ini memperlakukan sumber daya air sebagai sumber daya terbarukan, dan pengelolaan sumber daya air tidak terlalu menimbulkan masalah
ekonomi mengingat suplai air tidak banyak dipengaruhi oleh pemanfaatannya, namun jika tidak dikelola, pemanfaatan non-konsumtif ini pun akan menimbulkan
eksternalitas air itu kemudian dijadikan sebagai barang public. Berdasarkan hal tersebu,t maka teknik non-market valuation lebih cocok digunakan untuk analisis ekonomi
sumber daya air untuk pemanfaatan non-konsumtif. Khusus yang menyangkut penggunaan konsumtif, alokasi sumber daya air diarahkan dengan tujuan suplai air yang
terbatas tersebut dapat dialokasikan kepada pengguna, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan biaya yang rendah. Berdasarkan hal tersebut
maka alokasi sumber daya air harus memenuhi kriteria efisiensi, equity dan sustainability
keberlanjutan. Tabel 2 berikut menyajikan ketiga kriteria tersebut beserta tujuan pengelolaannya.
Tabel 2. Kriteria alokasi sumber daya air
Kriteria Tujuan
Efisiensi • Biaya penyediaan air yang rendah - Penerimaan per unit
sumber daya air yang tinggi • Mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
Equity • Akses air bersih untuk semua masyarakat
Sustainability • Menghindari terjadinya deplesi pada air bawah tanah
groundwater depletion • Menyediakan cadangan air yang cukup untuk memelihara
ekosistem dan generasi mendatang • Meminimalkan pencemaran air baku
Sumber: UU Nomor 72004 dan PP Nomor 162005. diolah Selain kriteria di atas, Howe et al. 1986 menambahkan kriteria alokasi sumber
daya air antara lain: • Fleksibilitas flexibility dalam penyediaan air sehingga sumber daya air dapat
digunakan pada periode waktu yang berbeda dan dari satu tempat ke tempat lainnya sesuai dengan perubahan permintaan.
• Keterjaminan security bagi pengguna yang haknya sudah terkukuhkan
sehingga mereka dapat memanfaatkan air seefisien mungkin. • Akseptabilitas acceptability politik dan publik sehingga tujuan pengelolaan bisa
diterima oleh rnasyarakat. Pada beberapa kriteria di atas, pengelolaan sumber daya air, khususnya yang
menyangkut alokasi, memang menjadi sangat kompleks. Secara umum ada beberapa mekanisme alokasi yang umum digunakan, yakni queuing sistem, water pricing, alokasi
publik, dan user-based allocation. Menurut Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air pasal 26 ayat 1 pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui
kegiatan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan sumber daya air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap
wilayah sungai. Selanjutnya pada pasal 34 ayat 1 pengembangan sumber daya air
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat 1 pada wilayah sungai ditujukan untuk kepentingan kemanfaatan fungsi sumber daya air guna memenuhi kebutuhan air baku
untuk kepentingan rumah tangga, pertanian, industri, pariwisata, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan untuk berbagai keperluan lainnya.
Kelemahan dalam manajemen penyediaan air selama ini lebih banyak terletak pada sisi demand. Sehingga tidak jarang ditemui, seiring dengan
perkembangan dan waktu, akhirnya demand melebihi supply, yang mengakibatkan ketidaktaatan hukum para pengguna air dan bermuara pada
degradasi sumber daya air dan lingkungan sekitar. Oleh sebab itu langkah awal perencanaan adalah adanya informasi besaran kebutuhan akan air. Kebutuhan
akan air untuk suatu peruntukan tertentu sudah harus diketahui pada saat perencanaan. Kebutuhan ini menyangkut jumlah dan mutu yang diinginkan sesuai
peruntukannya. Tingkat kebutuhan harus juga mencakup prediksi untuk jangka waktu panjang long term. Strategi Penyediaan Air Bersih
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20PRTM2006, memiliki misi untuk meningkatkan jangkauan dan kualitas pelayanan air minum, meningkatkan
kemam puan manajemen dan kelembagaan penyelenggaraan SPAM dan penegakan
hukum dan meyiapkan peraturan. Dalam hal penegakkan hukum dan penyiapkan peraturan untuk menyiapkan penyelenggaraan SPAM antara lain:
• Penyusunan peraturan perundangan yang terkait dengan penyediaan air minum dan perlindungan air baku di pusat dan daerah.
• Pemerintah pusat menyiapkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan fasilitasi dan pendampingan kepada daerah, termasuk petunjuk teknis
penyelenggaraan SPAM. • Pemerintah daerah menetapkan peraturan daerah dalam rangka
penyelenggaraan SPAM. • Penegakan hukum diberlakukannya sanksi-sanksi bagi pelanggar peraturan
terkait dengan penyelenggaraan SPAM. Sasaran global dari kebijakan dan strategi nasional pengembangan SPAM
mengacu pada sasaran yang telah terukur dalam RPJMN dan sasaran dalam Pencapaian MDG 2015 serta beberapa sasaran terukur lainya. Selain itu juga
menuju sasaran yang normatif seperti tertuang dalam PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM. Sasaran yang tertuang dalam RPJMN 2004-2009
dalam pengembangan air bersih adalah: meningkatkan pelayanan air bersih melalui perpipaan secara nasional menjadi 40 dengan cakupan layanan untuk
penduduk di kawasan perkotaan dapat meningkat menjadi 66 dan kawasan perdesaan menjadi 30.
Pada kondisi pelayanan air bersih secara nasional pada tahun 2004 sebesar 17,96 atau 39 juta jiwa yang terlayani, maka perlu peningkatan sampai 22,04
selama kurun waktu lima tahun pada tahun 2009 jumlah penduduk yang memiliki akses air bersih perpipaan diprediksi sekitar 92,4 juta jiwa, atau sebesar 40 dari
total penduduk Indonesia 231 juta jiwa. Kebijakan nasional tentang air bersih mentargetkan cakupan pelayanan air bersih untuk masyarakat perkotaan pada
tahaun 2010-2014 sebesar 66. Sedangkan untuk masyarakat DKI Jakarta, pemerintah mentargetkan cakupan pelayanan air bersih pada tahun 2014 sebesar
80. Kebijakan Pemerintah DKI Jakarta dalam penyediaan air bersih oleh PAM
Jaya belum maksimal walau telah diprivatisasi dalam bentuk konsesi selama 25 tahun kepada perusahaan swasta dari Prancis dan Inggris kemudian dibeli Jerman
dan pengusaha Indonesia. Berdasarkan data statistik dari BPS DKI Jakarta tahun 1998, sekitar 50 rumah tangga menggunakan air ledeng PAM Jaya, air tanah
dengan pompa sebesar 42,67, sumur gali 3,16 dan lainnya 0,63. Sementara tarif PAM sudah sangat tinggi, dengan rata-rata Rp. 5.000 meter
3
, gedung perkantoran, hotel berbintang dan pusat perbelanjaan mall melakukan ekstraksi
air tanah dengan volume yang tinggi. Akibatnya, air dalam tanah deep water mengalami penurunan yang luar biasa. Sebagaimana dikemukakan ahli teknik
lingkungan dari Universitas Indonesia, terjadi penurunan tanah di Kawasan Jln. MH. Thamrin hingga 10 cm per tahun Nugroho, 2002.
Penambahan cakupan pelayanan untuk 53,4 juta jiwa dari total penduduk Indonesia, bilamana digunakan tingkat konsumsi normal air rata-rata nasional
sebesar 120 ltoranghari untuk sambungan rumah dan 60 lthari untuk akses hidran umum serta ratio SR dan HU adalah 80:20. Berdasarkan hal tersebut maka
diperlukan peningkatan kapasitas produksi perpipaan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perkiraan kebutuhan nasional kapasitas pengembangan SPAM sampai 2009
No Jenis pelanggan
Persentase cakupan
Kebutuhan air rata-rata
Loh Kehilangan
air Kapasitas
tambahan m
3
detik 1
Sambungan langsung
80 120 20 71,2 2
Hidran umum 20 60 20 8,9
Total kapasitas 80,1
Sumber: Data dan perhitungan diolah
Beberapa kebijakan yang terkait dengan sumber daya air dan pengelolaan
air minum antara lain: UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan SPAM, Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum Nomor 20PRTM2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan SPAM KNSP-SPAM dan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor18PRTM2007 tentang Penyelenggaraan Pengembangan SPAM
Dep PU Direktorat Jenderal Cipta Karya.
Pada masa penjajahan Belanda, sebenarnya sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah lingkungan yang terbentuk dan
berkembang berdasarkan ajaran dan teori hukum pada jaman tersebut atau disebut juga hukum lingkungan klasik. Beberapa pengaturan tersebut misalnya Undang-
undang Gangguan hinder ordonnantie 1926, Undang-undang Perlindungan Binatang Liar Dierenbeschermings Ordonnantie 1931, Undang-undang
Perlindungan Alam Natuurbeschermings Ordonnantie 1941, Undang-undang Pembentukkan Kota Stadsvorming Ordonnantie 1948. Undang-undang tersebut
dimaksudkan sebagai undang-undang payung umbrella act bagi undang-undang lain yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai undang-
undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup sejak lahirnya UU No 4 Tahun 1982 antara lain Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.
Pada masa Proklamasi Kemerdekaan 1945 hingga tahun 1982, sudah ada beberapa undang-undang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup.
Namun, berbagai undang-undang tersebut masih bersifat sektoral dan eksploitatif atau used oriented law. Undang-undang tersebut misalnya Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1967 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. Sejak tahun 1982, Indonesia mulai memasuki era baru hukum lingkungan
yang lebih bersifat environment oriented law dengan disahkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut diakui telah menandai awal pengembangan perangkat hukum sebagai dasar bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup Indonesia sebagai
bagian integral dari upaya pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan .
Dalam kurun waktu lebih dari satu dasawarsa sejak diberlakukannya undang-undang tersebut, kesadaran lingkungan hidup masyarakat telah meningkat
dengan pesat, yang ditandai antara lain oleh makin banyaknya ragam organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup selain lembaga swadaya
masyarakat. Pada kurun waktu tersebut terlihat pula adanya peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup, sehingga
masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi juga mampu berperan secara nyata.
Pada perkembangan selanjutnya, disadari bahwa permasalahan hukum lingkungan hidup yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat memerlukan
pengaturan dalam bentuk hukum demi menjamin kepastian hukum. Di sisi lain, perkembangan lingkungan global serta aspirasi internasional akan makin
mempengaruhi usaha pengelolaan lingkungan hidup Indonesia. Dalam mempertimbangkan perkembangan keadaan tersebut, dipandang perlu untuk
menyempurnakan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, selanjutnya
lahir Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasca reformasi 1998 hingga saat ini 2008 yang ditandai dengan semangat keterbukaan, demokrasi dan desentralisasi telah dilahirkan berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Undang-undang yang lahir pasca reformasi antara lain Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.