Kondisi Usaha Tani a. Sumber pasokan

Mancur dapat dilihat pada halaman berikut ini : Pemasok Bahan baku Sortasi Quality specification Gudang simpan Penggorengan Pencucian Penguapan Pengeringan hembus Standarisasi Pengecilan dimensi Quality specification Bahan baku ruah Formulasi Produk antara

5.2. Kondisi Usaha Tani a. Sumber pasokan

Petani di daerah obyek penelitian lebih mendahulukan mengelola tanaman pangan dibanding tanaman obat karena tanaman obat diposisikan Gambar 10. Alur proses penanganan bahan baku tanaman obat berada di pekarangan, lahan kering atau lahan yang tidak cocok untuk tanaman pangan. Luas lahan tanaman obat yang diusahakan oleh petani relatif sempit berkisar 0,03 ha hingga 3 ha per petani. Petani biasanya tidak menanam untuk satu jenis tanaman obat atau monokultur, tetapi campuran atau polikultur dari beberapa tanaman obat seperti temulawak, kunyit, lempuyang wangi, lempuyang pahit, jahe dan sebagainya, dengan sifat penanaman berupa tanaman sela atau berada di bawah naungan tanaman tertentu. Tanaman obat di daerah Malang misalnya, ditanam pada ketinggian 1500 dpl dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman apel sebagai naungan. Sedangkan tanaman obat di Kediri pada ketinggian sekitar 800 dpl ditanam dengan naungan tanaman kopi. Tanaman obat di daerah Pacitan dilakukan tumpangsari dengan ketela dan jagung. Data dinas Pertanian Kabupaten Wonogiri 2004, menunjukkan tanaman obat familia Zingiberacea terutama jahe dan lengkuas, terdapat di seluruh kecamatan meliputi areal menghasilkan seluas 360 hektar, dengan produksi sebesar 1.839 ton. Jumlah produksi tersebut, melibatkan 3.082 kepala keluarga kk petani atau rata-rata setiap kk petani menangani 0,117 hektar atau 1.170 m2. Kecamatan Pracimantoro yang berbatasan dengan kabupaten Wonosari, merupakan wilayah yang paling sedikit membudidayakan tanaman obat dengan luas 7,97 hektar, melibatkan 55 kk petani. Kecamatan Karangtengah menghasilkan tanaman obat terbesar dibanding kecamatan lain di kabupaten Wonogiri dengan luas lahan 47 hektar. Pasokan tanaman obat jahe, dan kunyit paling banyak berasal dari kecamatan ini. Produksi tanaman obat sejumlah tersebut, melibatkan 222 kk petani. Berdasarkan data tahun 2002, kabupaten Karanganyar memiliki 504 hektar lahan tanaman obat dengan produksi sebesar 2.342,5 ton tersebar di 13 kecamatan dari total 17 kecamatan Dinas Pertanian Karanganganyar, 2002. Kecamatan Ngargoyoso yang berada di lereng Gunung Lawu merupakan daerah penghasil utama jahe dengan produksi sebesar 652,5 petani bilamana rata-rata petani memiliki lahan seluas 0,3 hektar. Sedangkan kunyit dan kencur lebih banyak terdapat di kecamatan Jumapolo dengan luas lahan masing-masing 20 dan 35 hektar dengan hasil produksi 175 ton kunyit dan 60 ton kencur. Dari kedua kabupaten tersebut, jahe merupakan tanaman obat paling banyak ditanam dibanding lainnya. Kabupaten Boyolali yang berbatasan dengan Surakarta, sangat dikenal sebagai penghasil kencur yang berkualitas, terutama dipasok dari kecamatan Nogosari dan Simo. Boyolali juga menghasilkan jahe yang baik, berada di kecamatan Ampel seluas 280 hektar dengan produksi pada tahun 1999 sebesar 1.540 ton. Sumber pasokan tanaman obat tersebar di beberapa kabupaten seperti : Karanganyar, Wonogiri, Boyolali termasuk Malang, Madiun dan Pacitan menjadi sumber pasokan penting untuk agroindustri farmasi besar yang berada di sekitar Solo dan Semarang serta industri skala menengah kecil yang berada di kabupaten Sukoharjo hingga Cilacap. Teknik budidaya tanaman obat yang digunakan petani umumnya berdasarkan informasi secara turun temurun dan hasil olah pengalaman petani sendiri. Beberapa petani menjadi anggota kelompok petani memperoleh masukan dari pertemuan kelompok atau dari petani yang lebih diandalkan. Kehadiran petani yang memiliki pengetahuan lebih, bertindak sebagai pembina untuk rekan petani lainnya dan keberadaan merekan sangat membantu. b. Penanganan pascapanen Penanganan pascapanen tanaman obat tidak memerlukan peralatan yang mahal. Kegiatan pembersihan, dan bilamana dilanjutkan dengan pengeringan atau penggerusan menjadi serbuk dilakukan secara padat karya dan cenderung melibatkan anggota keluarga. Proses perajangan umum dikerjakan oleh buruh perempuan, sedangkan tenaga kerja laki-laki lebih menangani kegiatan pengeringan. Proses pengeringan memerlukan tenaga fisik lebih besar, mengingat bahan baku yang dihamparkan pada lantai gudang. Tanaman obat bentuk segar lebih dipilih sebagai produk yang dijual petani dengan alasan lebih mudah penanganan, tidak memerlukan waktu dan tenaga serta langsung dijual guna memperoleh uang tunai. Tanaman obat segar tersebut, biasanya dijual dengan kondisi tanpa sortasi sehingga berakibat bervariasinya ukuran dan kondisi bahan baku. Bilamana petani menilai bahwa harga pembelian bahan baku tidak menarik maka tanaman obat tetap dibiarkan tidak dipanen. Penanganan bahan baku segar harus dilaksanakan segera untuk mencegah kerusakan. Petani biasa menyimpan bahan baku di dalam rumah tempat tinggal atau pada bangunan sederhana di pekarangan yang diperuntukkan sebagai gudang. Cara menyimpan bahan baku dengan ditumpuk di atas tanah atau di atas para-para dalam kemasan karung bekas berisi bahan baku irisan kering. Cara perhitungan biaya pada tingkat petani terbatas pada komponen biaya yang langsung dikeluarkan seperti biaya bibit, sewa lahan bilamana lahan tidak dimiliki sendiri, biaya pemeliharaan tanaman dan biaya buruh. Apabila tenaga keluarga dipakai atau dilibatkan maka tidak dikatagorikan sebagai penyumbang biaya. Kegiatan yang dilakukan saat panen terdiri dari : 1. melakukan pencabutan pembongkaran tanaman yang telah memenuhi umur panen dengan bantuan garpu. 2. membersihkan rimpang dari tanah, diikuti pemotongan sulur akar tanaman. 3. membersihkan tanah dengan pencucian menggunakan air bertekanan sehingga tanah-tanah yang melekat akan jatuh dan kulit tidak cacad atau tergores. Namun, biasanya petani hanya melakukan pencucian sekedarnya. 4. mengemas dalam karung seberat 50 sampai 60 kilogram bilamana dijual dalam bentuk segar menggunakan karung bekas. Berdasarkan hasil pengamatan, petani terlibat di dalam kelompok sebagai sarana berbagi pengalaman serta membahas berbagi masalah usaha tani secara umum. Pelaksanaan pertemuan kelompok tidak diatur secara kaku dan dapat dilaksanakan dimana saja. Pengurus desa ada yang terlibat aktif untuk mengembangkan pengetahuan petani, tetapi lebih sering petani berusaha sendiri memperoleh masukan dari petani lainnya anggota kelompok. Walaupun terdapat tenaga penyuluh dari kantor dinas kabupaten, cakupan penyuluhan belum menjangkau petani yang letaknya lebih di pelosok. Menurut petani, program penyuluhan jarang diperoleh sehingga petani cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri. Bentuk kerjasama melibatkan petani ditemui di daerah observasi antara lain: 1. Kerjasama industri dan lembaga penelitian untuk mengembangkan tanaman tertentu dan mendorong petani membudidayakan dan mengelola pascapanen secara tepat. Contoh : kerjasama antara Balai Penelitian Tanaman Obat Tawangmangu dengan agroindustri farmasi tertentu yang melakukan pembinaan dengan petani-petani setempat. Selanjutnya hasil produksi petani tersebut dipasok ke agroindustri farmasi dimaksud, dengan terlebih dahulu menyepakati teknis pemasokan dan harga pembelian. 2. Kerjasama antara agroindustri farmasi dan pemerintah daerah dalam program pembinaan petani pada desa-desa yang ditetapkan. Contoh : pemerintah daerah kabupaten Karanganyar bekerjasama dengan Air Mancur. 3. Kerjasama langsung antara industri dengan kelompok tani yang menjadi pembinaan dari petani andalan seperti dijumpai di Wonogiri kemudian memasok bahan baku ke agroindustri farmasi yang membina. Dari pertanyaan yang diajukan melalui kuisioner kepada 30 responden petani mengenai , “ pernahkah mendapatkan penyuluhan dan dari instansi mana “, diperoleh hasil 60 responden tidak pernah mendapatkan kadangkala penyuluhan diperoleh. Pihak yang memberikan penyuluhan berasal petugas kecamatan, atau dinas perkebunan kabupaten. Dari tiga perusahaan yang menjadi responden, memang telah melakukan penyuluhan pada kelompok petani sebagai bagian dari kegiatan pengembangan lingkungan tetapi masih bersifat insidental. Sejumlah 76 responden petani mengatakan tidak terdapat hubungan dengan agroindustri farmasi besar maupun menengah-kecil. Pada kenyataannya, petani cenderung mengandalkan sesama petani yang lebih memiliki akses dan selanjutnya bertindak sebagai pedagang pengumpul desa dalam pola dagang atau istilah di desa disebut jual putus. Prinsip jual beli sederhana dengan aturan yang mudah, lebih dimengerti oleh petani dimana antara petani dan pembeli lebih berpegang pada unsur kepercayaan dengan ketentuan formal yang longgar. Untuk mengetahui faktor penentu dalam menetapkan keputusan menjual diajukan pertanyaan apa alasan keputusan menjual kepada pihak pembeli tertentu atau menjual bebas. Hasilnya adalah 74 menyatakan harga merupakan alasan utama keputusan menjual pada pembeli tertentu atau bebas. Faktor lain yang menjadi pertimbangan selain harga adalah: 1 kontinuitas pembelian 2 standar penolakan kualitas, 3 bantuan pembinaan pascapanen, 4 bantuan peningkatan kesejahteraan dan 5 informasi. Selain pedagang pengumpul desa, pejabat desa atau perwakilan kelompok petani yang aktif dapat bertindak sebagai mediator dalam pemasaran hasil panen petani. Petani yang memiliki akses pemasaran ke agroindustri farmasi akan diminta membantu menjual bahan baku milik petani lainnya. Pedagang pengumpul membeli bahan baku dengan kondisi harga beli lokasi petani sehingga petani tidak harus mengupayakan alat transportasi. Alternatif lain adalah menjual tanaman obat melalui pasar yang hanya dibuka pada “hari pasaran”. Pasaran adalah hari dalam penanggalan Jawa saat pembeli dan penjual bertransaksi. Petani yang menjual hasil di hari dan pembeli lain tidak terlalu mencolok. Pola penjualan ini ditemui di daerah Slahung dan Caruban. Petani tanaman obat datang dari berbagai desa dan menawarkan hasil panennya pada pedagang penerima di pasar dimaksud dan kemudian transaksi harga berlangsung hingga tercapai kesepakatan. Harga menjadi kriteria penting dalam keputusan menjual bahan baku dibandingkan alasan kedekatan hubungan dengan pembeli. Harga masih merupakan harapan tertinggi dibandingkan dengan jumlah, kepastian waktu, frekuensi pembelian, bantuan modal, bibit dan pupuk terhadap pertanyaan apa harapan petani terhadap pembeli. Tidak jarang petani dikecewakan oleh perilaku pedagang yang tidak memenuhi janji pembelian atau menunda pembelian dalam waktu yang tidak jelas. Merujuk pada hubungan pembeli-pemasok menurut Choi et al. 2002, hubungan petani tanaman obat dengan pedagang pengumpul merupakan permodelan hubungan diadik dyadic buyer-supplier model dengan mengandalkan logika resiko ekonomi yang kemudian diatur melalui kontrak. Ketika pembeli menerapkan tipe kompetitif maka berpeluang mengatur dan mengkoordinasikan informasi dan pengaturan pertukaran material. Kepemilikan kendali terhadap aliran informasi tersebut dapat diarahkan untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan pihak pembeli. Kondisi ini disebut sebagai sifat oportunisme sebagaimana dinyatakan oleh Williamson di dalam Ghoshal dan Moran 1995 Ketakutan atas resiko ekonomi, mendorong diterapkannya mekanisme bertahan dalam wujud negosiasi yang sangat tegas dan kontrak terbatas.

5.3. Pergerakan Harga Tanaman Obat