dan  pembeli  lain  tidak  terlalu  mencolok.  Pola  penjualan  ini  ditemui  di daerah Slahung dan Caruban. Petani tanaman obat datang dari berbagai desa
dan  menawarkan  hasil  panennya  pada  pedagang  penerima  di  pasar dimaksud  dan  kemudian  transaksi  harga  berlangsung  hingga  tercapai
kesepakatan. Harga  menjadi  kriteria    penting  dalam  keputusan  menjual  bahan
baku  dibandingkan  alasan  kedekatan  hubungan  dengan  pembeli.  Harga masih  merupakan harapan tertinggi dibandingkan dengan jumlah, kepastian
waktu,  frekuensi  pembelian,  bantuan  modal,  bibit  dan  pupuk  terhadap pertanyaan  apa  harapan  petani  terhadap  pembeli.  Tidak  jarang  petani
dikecewakan  oleh  perilaku  pedagang  yang  tidak    memenuhi    janji pembelian atau menunda pembelian dalam waktu yang tidak jelas.
Merujuk  pada  hubungan  pembeli-pemasok  menurut  Choi  et  al. 2002,  hubungan  petani  tanaman  obat  dengan  pedagang  pengumpul
merupakan  permodelan  hubungan  diadik  dyadic  buyer-supplier  model dengan mengandalkan logika resiko ekonomi yang kemudian diatur melalui
kontrak.  Ketika  pembeli  menerapkan  tipe  kompetitif  maka  berpeluang mengatur  dan  mengkoordinasikan  informasi  dan  pengaturan  pertukaran
material.  Kepemilikan  kendali  terhadap  aliran  informasi  tersebut  dapat diarahkan untuk memperoleh manfaat bagi kepentingan pihak pembeli.
Kondisi ini disebut sebagai sifat oportunisme sebagaimana dinyatakan oleh Williamson di dalam Ghoshal dan Moran 1995 Ketakutan atas resiko
ekonomi,  mendorong  diterapkannya  mekanisme  bertahan  dalam  wujud negosiasi yang sangat tegas dan kontrak terbatas.
5.3. Pergerakan Harga Tanaman Obat
Rata-rata tanaman obat keluarga Zingiberaceae dipanen pada bulan  Mei sampai  dengan  Agustus.  Pada  bulan-bulan  ini,  bahan  baku  tersedia  dalam
jumlah  besar  dan  menurun  memasuki  musim  penghujan.  Pedagang  tanaman obat harus jeli mengamati perubahan harga. Ketidaktepatan menghitung harga
dijual kembali akan berakibat kerugian karena kesalahan penetapan harga jual. Harga pembelian bahan baku yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul
berfluktuasi dari waktu ke waktu. Pergerakan  harga tersebut dipengaruhi oleh kegagalan  panen  di  beberapa  daerah  sumber  pasokan,  peningkatan  produksi
produk  dari  industri  yang  membutuhkan  pasok  tanaman  obat  tertentu, peningkatan  ekspor  atau  terdapat  pedagang  besar  yang    sengaja  menahan
bahan baku di gudang dengan tujuan mencari harga tinggi. Harga temulawak berada pada    kisaran Rp 400,- - Rp 700,- dan relatif
stabil  selama  dua  tahun  dibandingkan  dengan    harga  jahe  segar  berkisar  Rp 1.500,-  hingga  Rp  2.500,-  per  kilogram  pada  lokasi  gudang  petani.  Alasan
yang  dikemukakan  pedagang  terhadap  perbedaan  harga  mencolok  antara temulawak dan jahe karena temulawak mudah diperoleh dan penggunaan lebih
terbatas  dibandingkan  jahe  sehingga  mengurangi  tarik-menarik  antara kebutuhan  agroindustri  farmasi  dengan  industri  lainnya  yang  menggunakan
jahe.  Jahe  dan  kunyit  selain  dimanfaatkan  oleh    agroindustri  farmasi  juga dibutuhkan industri minuman,  kosmetik dan keperluan rumahtangga.
- 100
200 300
400 500
600 700
Ja nu
ar i
Fe br
ua ri
M ar
et A
pr il
M ei
Ju ni
Ju li
A gu
st us
Se pt
em be
r O
kt ob
er N
ov em
be r
D es
em be
r
Gambar 11. Kondisi harga temulawak di lapangan
- 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000
Ja nu
ar i
Fe br
ua ri
M ar
et A
pr il
M ei
Ju ni
Ju li
A gu
st us
Se pt
em be
r O
kt ob
er N
ov em
be r
D es
em be
r
h a
rg a
k il
o g
ra m
R p
Gambar 12. Kondisi harga Jahe di Lapangan Penyimpanan  bahan  baku  segar  memiliki  resiko  penyusutan  berat  dan
kerusakan,  sehingga  petani  cenderung  menjual  secepatnya.  Petani  memilih menunda  panen  atau  disimpan  sementara  pada  tempat  penyimpanan  yang
lembab  ketika  kondisi  harga  kurang  menarik.  Mengubah  bentuk  tanaman obat  segar  menjadi  irisan  kering  pada  musim  penghujan,  cenderung
merugikan karena akan dihasilkan kualitas bahan baku yang kurang baik. Bahan  baku  yang  dikeringkan  pada  musim  penghujan  membutuhkan
jumlah  bahan  baku  lebih  banyak  dibandingkan  saat  pengeringan  di  musim kemarau.  Petani  biasa  menggunakan  istilah  satu  banding  lima  yakni  lima
kilogram  tanaman  obat  segar  untuk  menjadikan  satu  kilogram  irisan  kering, dan meningkat menjadi satu berbanding tujuh pada musim penghujan.
Biaya  produksi  atau  biaya  budidaya  untuk  tiga  jenis  bahan  baku temulawak,  jahe  dan  kunyit    dengan  menghitung  unsur  biaya    sewa  lahan
untuk  lahan  yang  tidak  dimiliki  sendiri,  biaya  pupuk,  kemasan,  buruh  tani, pestisida, bibit  diperoleh gambaran sebagai berikut :
Tabel 9  Biaya  dan  hasil produksi  hektar
Komoditas Biaya produksi
Hasil produksiha
Temulawak Rp     8.250.000,-
12  ton Jahe
Rp   12.000.000,- 15 ton
Kunyit Rp     9.000.000,-
7 ton
Data observasi lapangan bulan Juli 2003
5.4 .  Permasalahan  Petani Tanaman Obat