Manfaat untuk Industri Analisis Konflik

Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat dengan keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan, penyedia bibit atau sarana produksi pertanian. Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan proses pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku. Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram. Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,- .per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam. Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,- per bulan melibatkan 138 orang.

8.5 Manfaat untuk Industri

Bilamana industri berhubungan dengan jaringan akan mendapatkan manfaat finansial berupa penghematan transaksi sebesar Rp 4.125.000,- untuk setiap 15 ton yang berasal dari biaya transportasi dari gudang jaringan ke gudang industri. Selain itu pengurangan biaya yang berasal dari memperoleh manfaat berupa mutu lebih baik dengan jaminan jaringan dan kepastian pasokan. Dengan demikian, secara keseluruhan akan mengurangi biaya pengolahan pemrosesan awal sebelum produksi dan mengurangi beban kendali prosessupervisi serta pengambilan sampling saat inspeksi penerimaan bahan baku.

8.6. Analisis Konflik

Konflik kemungkinan terjadi mengingat terdapatnya perubahan atas pola usaha tani dan cara pengaturan kehidupan petani yang semula sendiri dengan cara-cara yang dianggap petani paling tepat kemudian dikelola dengan tata cara budidaya dan pengolahan yang tertata. Akibat konflik dapat bersifat ketidaknyamanan, keengganan hingga penarikan diri yang melemahkan posisi lembaga jaringan dan pada akhirnya berpengaruh negatif terhadap kinerja tim dan kepuasan. Dalam hal mengubah ketidaksepakatan menjadi kesepakatan dapat dilakukan melalui bekerja bersama, bekerja terpisah dan memanfaatkan mediasi guna mencapai kompromi dan bekerja terpisah dan menggunakan intimidasi dan kekuatan untuk memperlemah pihak beroposisi Saaty, 1998. Pemecahan masalah konflik pada disertasi ini didekati dengan menggunakan AHP dimana proses penyelesaian harus memuaskan para pihak. Perlu diyakinkan apa yang diperoleh atau hilang dari satu pihak menjadi apa yang hilang dan didapatkan oleh pihak lain. Dalam hal ini digambarkan fokus konflik disusun secara hirarki untuk mengevaluasi biaya dan manfaat. Untuk penelusuran analisis konflik dipergunakan pendekatan Analytical Hierarchy Process dengan hasil struktur sebagai berikut : Meminimumkan konflik di dalam Jaringan SDM 0,1286 Pengelolaan Organisasi 0,2199 Pengelolaan Usaha Tani 0,6514 Pemenuhan Norma Organisasi 0,0277 Perilaku Anggota 0,0462 Kepemimpinan Fasilitator 0,0547 Distribusi Pasokan 0,0614 Pengelolaan Keuangan 0,0859 Standard Proses Operasi 0,0726 Budidaya 0,2606 Pemanenan 0,1706 Pascapa nen 0,2702 Penetapan Pinalti dan Pengendalian 0,1182 Penyuluhan dan Sosialisasi 0,5386 Pembinaan 0,3432 FOKUS FAKTOR ALTERNATIF SUB-FAKTOR Gambar 32. Struktur hirarki analisis konflik. 170 dan pengelolaan usaha tani. Penjabaran sub faktor dan penjelasannya sebagai berikut :

1. Pemenuhan norma jaringan.

Jaringan akan menetapkan cara bagaimana berorganisasi dan bertindak sehingga memberikan arahan untuk menjadi kelompok yang kohesif. Nilai budaya organisasi yang dianut dan diterapkan akan menata apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kondisi tersebut kemungkinan tidak sejalan dengan nilai anutan dari petani selama ini. Norma organisasi mencakup sikap dan pandangan-pandangan dalam kehidupan berorganisasi.

2. Perilaku anggota

Sehubungan dengan pemenuhan norma organisasi, diperlukan perilaku positif untuk menjadikan organisasi jaringan profesional dan diakui oleh pihak konsumen. Penyimpangan perilaku akan menghasilkan situasi di mana anggota tidak bersedia belajar berbagi pengetahuan informasi dan melanggar komitmen yang disepakati atau bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika terdapat larangan menjual hasil panen kepada pihak lain dilanggar oleh sejumlah anggota, maka anggota lain terdorong meniru tindakan negatif tersebut bilamana tidak dikenakan sanksi. Perilaku memproses hasil panen secara serampangan dan sengaja menyisipkan kontaminan merupakan bentuk perilaku negatif.

3. Kepemimpinan fasilitator

Kemungkinan konflik terjadi ketika anggota meragukan kemampuan fasilitator mengatasi perbedaan pendapat, menyatukan langkah dan mengarahkan pada keutuhan kelompok dalam rangka mencapai sasaran usaha. Konflik kepentingan dan ketidakpercayaan bisa saja terjadi ketika fasilitator tidak mampu menunjukkan kredibilitasnya. Keberpihakan pada seseorang atau sekelompok orang dan ketidakmampuan mengambil keputusan membuka ruang penolakan atas keberadaan fasilitator. Konflik ini terjadi bilamana keputusan atau kebijakan ditetapkan tanpa memperhatikan kepentingan bersama dan terdapat diskriminasi dalam pendistribusian pasokan. Pengaturan pembagian jumlah yang akan dipasok petani, jadwal penerimaan bilamana tidak dijelaskan secara transparan akan menimbulkan pandangan negatif dan kesalahpahaman. Ketika ketersediaan bahan baku berlimpah, perlu pengaturan pendistribusian sehingga adil dan dalam hal ini informasi sangat penting disampaikan agar tidak berkembang menjadi kabar berita negatif.

5. Pengelolaan keuangan

Faktor keuangan merupakan pemicu konflik yang rawan memecah keutuhan anggota dan merusak kepercayaan. Ketidakjelasan pencatatan, pertanggungjawaban, dan ukuran – ukuran keuangan bilamana tidak disampaikan akan membuka peluang kecurigaan. Informasi pergerakkan harga harus disampaikan sehingga tidak terdapat kecenderungan mengabaikan aturan jaringan.

6. Standar prosedur operasi

Konflik pada standar prosedur operasi terjadi bilamana tidak terdapat pengaturan dan kejelasan di setiap proses bisnis seperti : prosedur pengadaan bahan baku, pemeriksaan penerimaan bahan baku, pemrosesan, penyimpanan, dan penjualan. Prosedur operasi akan mencakup persyaratan-persyaratan, tata aturan yang harus dianut bersama. 7. Budidaya Perbedaan cara budidaya antara yang dikenal secara turun temurun dan menurut ilmu pengetahuan dapat membuka ruang konflik. Petani di daerah terpencil yang jauh dari akses informasi, dimungkinkan masih memegang tata cara sebagai dikenal saat ini walaupun cara tersebut sesungguhnya kurang tepat. Kultur yang menghormati apa yang diajarkan oleh pendahulunya dianggap sebagai sesuatu yang benar, disementara pihak harus dilakukan perubahan. Konflik terjadi karena perbedaan dalam melaksanakan pemanenan mencakup jadwal panen bulan dan waktu, cara panen. Keinginan segera memanen hasil dengan pertimbangan memperoleh uang tunai, akan mendorong ketidakpatuhan atas aturan dan bilamana terjadi tidak saja berakibat pada pemenuhan persyaratan mutu tetapi juga harga terbaik tidak tercapai dan perencanaan pasokan menjadi terganggu.

9. Pascapanen.

Ketidaksesuaian mungkin terjadi dikarenakan petani menggunakan cara sendiri pada masa pascapanen yang tidak sesuai dengan standar prosedur yang diatur jaringan. Berdasarkan olahan AHP, hasil menunjukkan pengelolaan usaha tani 0,65 berada pada bobot tertinggi diikuti dengan pengelolaan organisasi 0,22. Resolusi konflik yang diharapkan dapat meredakan sehingga tercapai kondisi yang lebih baik adalah aktivitas penyuluhan 0,54 dan pembinaan anggota berorganisasi 0,34. Dalam perhitungan tersebut telah dilakukan analisis konsistensi perbandingan elemen yang berpengaruh sebagai berikut : Tabel 29. Analisis konsistensi AHP No Perbandingan elemen terhadap Consistency Index Consistency ratio 1 Analisis konflik 0.0001 0,0001 2 Pemenuhan norma 0,0254 0,0438 3 Perilaku anggota 0,0016 0,0027 4 Kepemimpinan fasilitator 0,0009 0,0016 5 Distribusi pasokan 0,0001 0,0001 6 Pengelolaan keuangan 0,0001 0,0002 7 Standar proses 0,0001 0,0001 8 Budidaya 0,0004 0,0007 9 Pemanenan 0,0100 0,0172 10 Pasca panen 0,0117 0,0201 Tujuan pembentukan rekayasa sistem rantai pasokan berbasis jaringan yang mengarah pada kesejahteraan petani, dilengkapi dengan pertimbangan atas tinjauan manfaat Benefit dan pertimbangan biaya Cost, maupun peluang Opportunity dan resiko Risk di kemudian hari. Pendekatan BOCR, akan menyempurnakan analisis dengan mempertimbangkan faktor kualitatif dan melengkapi perhitungan kuantitatif. Metode ANP mensyaratkan konsistensi untuk penilaian kriteria. Hasil penilaian pendapat dikelompokkan menjadi normal, pesimistis dan optimistis. Penilaian normal dengan masih mempertahankan faktor peluang dan resiko memiliki formula : R C O B Hasil × × = 1 B = benefit O = opportunity C = cost R = risk Rumus penilaian optimistis dengan mengabaikan resiko dalam pengambilan keputusan sebagaimana disajikan dalam persamaan pada butir 2. Adapun rumus penilaian pesimistis tanpa mempertimbangkan peluang dapat dilihat pada butir 3. C O B Hasil × = 2 R C B Hasil × = 3 Hasil verfikasi BOCR sebagaimana tabel 30 menyimpulkan bahwa dalam kondisi optimistis tanpa memperhitungkan faktor resiko tujuan kesejahteraan petani memiliki bobot paling tinggi 0,58 dimungkinkan terwujud dibandingkan dengan kelangsungan hubungan anggota yang memiliki bobot 0,28. Dengan demikian, peluang alternatif tujuan kesejahteraan menjadi keputusan terbaik setelah ditelaah dari pertimbangan manfaat, biaya, dan peluang. Tabel 30 Hasil analisis BCOR

8.8. Implikasi Kebijakan