dikonfirmasikan dengan responden dan diperoleh konsistensi sebagaimana dijelaskan pada hasil analisis konflik. Konsistensi sangat penting dalam
pengambilan keputusan dimana apabila konsistensi sangat rendah seperti pertimbangan menjadi acak, tetapi sebaliknya tidak ada konsistensi
sempurna juga sulit dicapai.
8.2. Verifikasi
Verifikasi dilakukan dengan menghitung penerimaan petani anggota bilamana menyalurkan bahan baku melalui lembaga jaringan. Asumsi yang
digunakan sebagaimana tabel 24 dan 25. Data yang dipergunakan diperoleh dari daerah sumber pasokan Karanganyar dan Wonogiri. Selanjutnya,
dilakukan verifikasi dengan menghitung kemampuan jaringan memasarkan produk menggunakan ketetapan meraih pangsa pasar tanaman obat untuk
agroindustri farmasi penghasil obat tradisional rata-rata 8 dan mampu menjual ke industri tanpa mengalami masa tunggu, yakni bahan baku setelah
diproses langsung diserahkan kepada pihak pembeli.
1. Komponen Biaya Usaha Tani Dalam penelusuran di lapangan, lahan tidak pernah dinilai sebagai
biaya, mengingat perhitungan petani sangat sederhana. Biaya-biaya yang diperhitungkan adalah :
a. Biaya budidaya tani Biaya penggunaan bibit, buruh saat penanaman, pemeliharaan, pupuk
kandang dan buatan, serta obat-obatan. b. Biaya pemanenan dan pengolahan pascapanen
Terdiri dari biaya tenaga buruh yang digunakan dalam masa panen dan pembersihan hasil panen, biaya kemasan karung plastik baru, walaupun
petani biasa menggunakan karung bekas dan biaya buruh kuli mengangkat dan menurunkan kemasan seberat rata-rata 50 kg per karung
yang ditanggung petani bilamana bahan baku dikirimkan ke gudang pembeli di tempat tujuan atau saat melakukan pemuatan ke truk.
Merupakan sejumlah nilai yang dikeluarkan untuk bertransaksi dengan pembeli, dapat berwujud biaya transportasi untuk bertemu dengan
pembeli di desa atau kota kecamatan, atau biaya perjalanan untuk mencari pembeli.
d. Biaya pengelolaan Merupakan sejumlah nilai sebagai biaya ganti waktu, perhatian dalam
pengelolaan seluruh kegiatan usaha tani. Biaya pengelolaan biasanya tidak diperhitungkan oleh petani.
Tabel 24 Asumsi penggunaan bibit, pupuk, buruh dan biaya per hektar Uraian
Satuan Jahe Temulawak
Lempuyang wangi
Lempuyang pahit
Kunyit Kencur
Bibit kg
2.500 1.875
2.000 2 000
1.700 2.000
Harga bibit Rpkg
1.000 250
400 400
400 400
Pengolahan tanah orang
25 25
25 25
25 25
Penanaman orang
40 30
30 30
30 30
Pemeliharaan orang
40 30
30 30
30 30
Pupuk kandang kwintal
25 10
15 15
15 15
Panen orang
40 30
30 30
30 30
Biaya pembersihan Rpkg
15 15
15 15
15 15
Obat-obatan Kg
20 20
20 20
20 20
Uraian Satuan
Nilai
Tingkat kerusakan dan penolakan
Rata-rata kerusakan panen 5
Penolakan oleh pembeli 5
Produksi rata-rata
Jahe kghathn
15.000 Temulawak
kghathn 15.000
Lempuyang wangi kghathn
10.000 Lempuyang pahit
kghathn 10.000
Kunyit kghathn
10.000 Kencur
kghathn 10.000
Rasio panen terhadap bibit
Jahe 6
Temulawak 8
Lempuyang wangi 8
Lempuyang pahit 8
Kunyit 6
Kencur Per kg
panen
6
Pembiayaan
Sewa lahan Rphath
2.500.000,- Kapasitas karung
Kgunit 50
Biaya karung kemasan Rp unit
1.000,- Biaya buruh naik dan turun
Rpkg 50-
Biaya pengelolaan Rpkg
20,- Biaya truk angkutan
Rpkg 75,-
Biaya pemasarantransaksi Rpkg
20,- Suku bunga
14 Biaya investasi dalam 5 tahun
Rp 5.000.000,-
2. Perhitungan Biaya Usaha Tani Hasil perhitungan usaha tani per hektar dengan alat bantu
program TO Net untuk masing-masing tanaman obat jahe, kunyit, temulawak, dan campuran beberapa tanaman obat dapat dilihat pada
Gambar 28. Untuk mendistribusikan nilai perolehan tanaman obat maka terlebih dahulu dibuat proporsi penggunaan lahan menggunakan
perbandingan berpasangan dengan kriteria kesesuaian lahan, kemudahan bertanam, kebutuhan komoditas, dan dampak finansial sehingga
diperoleh proporsi lahan untuk penanaman : jahe 45 dari seluruh lahan, temulawak sebesar 10,5 , kunyit 14,3 dan tanaman lainnya
sebesar 30,2 .
temulawak paling rendah dibandingkan tanaman obat lainnya. Menurut pendapat responden petani di lapangan, penanganan tanaman temulawak
relatif tidak terlalu rumit dan membutuhkan penanganan seksama dibandingkan dengan jahe. Petani lebih menyebutkan sebagai tanaman
yang mudah dikelola dan tidak memerlukan upaya pemeliharaan tanaman yang rumit. Bahkan petani cenderung membiarkan tanaman
temulawak dengan alasan temulawak tidak memiliki harga jual tinggi, walaupun kenyataannya digunakan di banyak industri obat tradisional
.
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Jahe Kunyit
Temulawak Campuran
Bi a
y a
u s
a h
a t
a n
i
R p
. ju
ta h
e k
ta r
11.38 17.2
9.17
11.85
Gambar 29 Biaya usaha tani tanaman obat.
Untuk menghitung biaya usaha tani, diperoleh dari penambahan biaya budidaya dengan biaya kemasan, pemasaran, pengelolaan, tenaga
buruh angkut dan biaya transportasi. Walaupun pada kenyataan di lapangan petani sering menggunakan karung bekas sebagai kemasan,
tetapi pada perhitungan ini kemasan diasumsikan baru. Biaya transportasi berupa kendaraan angkutan untuk mengangkut hasil panen
tanaman obat ke gudang yang dimiliki jaringan dengan jarak dari desa sampai ke kota kabupaten.
obat sebagaimana tertera pada Gambar 30. Berdasarkan penelusuran di lapangan, harga tanaman obat temulawak dibandingkan dengan
tanaman satu keluarga lainnya terendah, sedangkan harga jual jahe segar petani berada pada tingkat paling tinggi dibandingkan dengan
komoditas lain.
- 1.000
2.000 3.000
4.000 5.000
6.000 7.000
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
11 12
Pergerakan Harga setiap bulan
H a
rga T
O R
p k
g
Jahe Temulawak
Kunyit
Gambar 30 Harga tanaman obat dijual ke Jaringan.
Hasil perhitungan keuntungan usaha tani petani jahe monokultur, lebih baik dibandingkan tanaman obat kunyit dan temulawak. Hasil
perhitungan keuntungan menanam tanaman campuran tampak mendekati pencapaian keuntungan tanaman jahe. Selain itu, penananam
polikultur akan mengurangi resiko kerugian ketika salah satu tanaman kurang memperoleh respons pasar atau terjadi kegagalan panen, petani
masih memperoleh pendapatan dari tanaman lainnya. Hasil perhitungan keuntungan jahe untuk lahan seluas 1 hektar
sebesar 62 dibandingkan usaha tani secara polikultur sebesar 56,35 dan keuntungan menanam kunyit sebesar keuntungan 10 . Namun,
bilamana lahan hanya ditanami temulawak akan mengalami kerugian sebesar 32,50 . Pada kenyataannya, tidak ada lahan yang hanya
ditanami tanaman temulawak. Hasil perhitungan keuntungan petani
budidaya dan biaya operasional. Temulawak baru memperoleh keuntungan sebesar 6 bilamana
biaya-biaya seperti sewa lahan, investasi pembelian alat, biaya transaksi dan pengelolaan tidak diperhitungkan. Kondisi demikian menunjukkan
bahwa petani sesungguhnya tidak menikmati jerih payah bertanam temulawak, terkecuali secara polikultur sehingga terjadi subsidi silang
antar tanaman obat. Walaupun menurut petani sudah memperoleh keuntungan, sesungguhnya dengan tidak memasukkan biaya-biaya yang
seharusnya diperhitungkan. Kebutuhan temulawak sebagai tanaman obat penting banyak digunakan oleh agroindustri farmasi besar maupun
menengah dan termasuk lima besar kebutuhan tanaman obat yang diperlukan oleh industri, ternyata masih belum dapat memberikan nilai
manfaat bagi petani. Dibandingkan dengan menjual kepada pengumpul, petani
jaringan memperoleh hasil lebih baik sampai dengan 23,5 . Kondisi ini terjadi karena aliran bahan baku melalui rantai lebih pendek dengan
kualitas penanganan pascapanen lebih baik hasil sosialisasi dan pembelajaran.
Hasil verifikasi menunjukkan petani belum dapat menopang kebutuhan rumahtangga bilamana mengandalkan hasil penjualan
tanaman obat. Perhitungan nilai sekarang net present value untuk tanaman obat campuran sebesar Rp 12.418.046,- untuk satu kali panen
yang menyita waktu selama 9 bulan dengan luas hamparan satu hektar. Lahan yang dimiliki petani rata-rata sangat sempit.
Data statistik kabupaten Wonogiri menunjukkan rata-rata lahan yang ditanami tanaman jahe berkisar 0,195 hektar atau sekitar 2000 m2
per petani. Sedangkan hasil penelusuran luas lahan yang dimiliki petani responden bergerak antara : 500 m2 - 3000 m2. Walaupun terdapat
kepemilikan di atas satu hektar namun jumlah petani yang memiliki tidak terlalu banyak. Bilamana digunakan asumsi rata-rata lahan yang
dimiliki petani seluas 2000 m2, maka nilai sekarang atas penjualan
Kalau petani tidak menyertakan tanaman lainnya dan hanya mengandalkan tanaman obat maka penghasilan keluarga masih di
bawah nilai upah minimum propinsi Jawa Tengah 2005 sebesar Rp 390.000,-. Pendapatan petani per bulan untuk 1 hektar baru terlihat
signifikan sebesar Rp 1.035.000,- Dari pandangan petani, hasil penjualan tanaman obat hanya
sebagai tambahan penghasilan keluarga dan belum sebagai mata pencaharian utama. Petani tetap masih memfokuskan pada tanaman
pangan padi. Pandangan yang dianut adalah padi merupakan lumbung keluarga dan sisa panen kemudian baru dijual. Penggunaan tenaga kerja
yang berasal dari keluarga lazim terlibat dalam kegiatan usaha tani desa. Penggunaan tenaga tersebut tidak diperhitungkan sebagai biaya
karena dianggap sudah seharusnya membantu usaha keluarga. Menurut Gittinger 1986, sesungguhnya terjadi kehilangan biaya
peluang atau opportunity loss. Seharusnya petani berpeluang memperoleh tambahan pendapatan bilamana waktu yang dihabiskan
untuk melaksanakan kegiatan tanaman obat dialihkan pada kegiatan lain. Dengan kata lain, terdapat kondisi waktu kerja yang harus
dikorbankan. Pernyataan petani responden bahwa masih menikmati keuntungan sebesar 10 – 15 menjadi benar bilamana beberapa
komponen biaya tidak dimasukkan. Sehingga, bilamana penghasilan dari tanaman obat akan dikonversikan kepada nilai keekonomian maka
perlu menghitung peralihan biaya oportunitas.
3. Analisis Keuangan Jaringan
Skenario perhitungan menggunakan penyaluran bahan baku dalam bentuk kombinasi bahan baku segar simplisia segar dan irisan
kering simplisia kering. Jaringan dirancang mampu memenuhi kebutuhan industri dalam berbagai bentuk tanaman obat. Agroindustri
farmasi penghasil obat tradisional umumnya telah menetapkan standar penerimaan bahan baku yang ketat sehingga berpeluang menghasilkan
diasumsikan mampu mengendalikan tingkat penolakan akibat mutu tidak sesuai standar sebesar 3 . Penolakan atas mutu pasokan
diasumsikan dengan kondisi rimpang patah atau tampilan kurang memenuhi syarat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan
adalah :
Tabel 26 Skenario asumsi analisis usaha Jaringan No
Keterangan Satuan
Angka
1 Penolakan bahan baku oleh pembeli
3 2
Tingkat kerusakan pengolahan ditetapkan 1
3 Pasokan ke pasar industri, mengambil pangsa
pasar rata-rata 7
4 Biaya transaksi perkilogram
Rp 15,-
5 Biaya pengelolaan perkilogram
Rp 20,-
6 Biaya pembersihan dan pengemasan perkilogram
Rp 100,-
7 Biaya perajangan perkilogram
Rp 125,-
8 Biaya transportasi perkilogram
Rp 150,-
9 Biaya kunjungan ke petani perbulan
Rp 400.000,-
10 Biaya kuli angkut perkilogram
Rp 25,-
11 Biaya kunjungan pemasaran ke prospek industri
Rp 300.000,-
12 Biaya tetap perbulan
Rp 6.700.000,-
13 Modal sendiri
50 14
Bunga 14
Perhitungan diawali dengan menetapkan prioritas penjualan tanaman obat jaringan menggunakan teknik MPE. Adapun kriteria
yang dipergunakan untuk mengatur penjualan komoditas adalah : 1 kemudahan pembudidayaan, 2 perkiraan keuntungan yang diperoleh
dan 3 jumlah permintaan. Dari hasil perhitungan dihasilkan sebagai berikut : jahe 2.109, campuran 1.498, temulawak 993 dan kunyit
649. Dengan demikian komposisi penjualan tanaman obat jaringan diatur sebagaimana hasil olahan MPE.
Hasil analisis dengan skenario pada Tabel 27, menggunakan kombinasi penjualan bahan baku segar dan irisan kering. Investasi awal
jaringan untuk mengelola usaha membutuhkan Rp 100.000.000- dengan penjelasan rinci terdapat pada Lampiran 8. Adapun biaya kantor
gaji manajer, tenaga pelaksana, tenaga lepas dan biaya umum dengan perincian sebagaimana dilihat pada lampiran. Penetapan gaji tenaga
pelaksana dimaksud menggunakan standar upah minimum regional daerah setempat.
Modal investasi tersebut, diharapkan dapat diperoleh dari kredit mikro yang diberikan kepada petani dengan bunga maksimum 14 .
Jaringan dapat menjadi penanggung dan pemrakarsa industri membantu meyakinkan lembaga pemberi pinjaman dengan jaminan surat
pemesanan.
Tabel 27 Hasil analisis kelayakan usaha jaringan dan analisis sensitivitas
Kriteria Keuangan
Nilai pada kondisi Normal
Nilai pada biaya operasi naik 10,
harga tetap Nilai pada biaya
operasi
tetap, harga jual turun
10
Nilai pada
biaya operasi naik
10, harga
jual turun 10
NPV Rp 2.229.719.300
2.077.995.786 1.698.091.832
1.506.023.615 IRR
22,75 21.04
17,85 15,83
Payback period bl
7,.52 8,67
11,53 13,41
BC Ratio 20,39
19.07 15,77
14,10
Analisis kelayakan pada skenario jaringan menjual tanaman obat campuran menghasilkan IRR sebagaimana terlihat pada Tabel 27.
Apabila dilanjutkan dengan analisis sensitivitas, maka ketika harga diturunkan 10 berakibat lebih buruk dibandingkan dengan biaya
operasi naik 10 , terlihat dari IRR menurun dan pay back period lebih lama. Dengan demikian, harga jual menjadi faktor sangat berpengaruh
terhadap kinerja jaringan dibandingkan dengan kenaikan biaya-biaya pascapanen.
Hasil analisis keuntungan bilamana jaringan memperdagangkan tanaman obat dengan kombinasi segar dan irisan kering dibandingkan
menjual tanaman obat segar adalah 15,88 dan 13,21 . Rata-rata
umum dan variabel sebesar 10, 2 dari penjualan. Kondisi ini terjadi karena harga jual tanaman obat kering rata-rata
tujuh kali dibanding harga tanaman segar terkecuali temulawak yang berkisar tiga kali. Dengan kata lain harga temulawak sebesar Rp 550,-
per kilogram segar akan menjadi sekitar Rp 1.650,- perkilogram bahan baku temulawak kering. Analisis jaringan menunjukkan lebih
menguntungkan menjual bahan baku irisan kering. Selain memperoleh keuntungan lebih baik, juga lebih tahan disimpan dan memudahkan
dalam transportasi. Jaringan baru dapat beroperasi pada titik impas jaringan sebesar
332 ton dengan komposisi tanaman obat dan harga sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dengan hasil perhitungan arus kas sebagaimana
dapat dilihat pada Lampiran 13 dan 14. Perhitungan BEP dimaksud dilakukan tidak dengan metode konvensional tetapi berdasarkan
pencapaian NPV nol dengan memasukkan faktor diskonto melalui beberapa kali putaran perhitungan dengan program Generalized
Reduced Gradient . Biaya tetap pada posisi BEP sebesar Rp
705.836.908,- dan biaya variabel sebesar Rp 4.409.219.558,-. Menggunakan skenario perencanaan usaha jaringan selama 5
tahun masih memungkinkan untuk mendistribusikan pembagian
keuntungan jaringan kepada anggota. Besarnya prosentase keuntungan yang akan didistribusikan ditetapkan berdasarkan keputusan bersama.
Besarnya keuntungan jaringan menggunakan semua skenario yang telah ditetapkan dapat dilihat pada Gambar 31 berikut.
5 14
16 17
18
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
Tahun 1 Tahun 2
Tahun 3 Tahun 4
Tahun 5
K e
u n
tu n
g a
n j
a ri
n g
a n
Gambar 31 Keuntungan jaringan selama 5 tahun
Analisis nilai tambah dilakukan untuk meninjau berapa pertambahan nilai setiap perubahan proses. Menurut Gittinger 1986,
nilai tambah diukur dengan perbedaan antara nilai output dan nilai seluruh input karena pengolahan lebih lanjut. Secara detil, perhitungan
nilai tambah memerlukan data : a. Output atau total produksi
b. Input bahan baku c.
Faktor konversi output terhadap input d.
Harga output e. Harga input bahan baku
f. Sumbangan input lainnya Nilai tambah adalah : nilai output faktor konversi x harga output
dikurangi harga input dan nilai sumbangan input lainnya. Sebagai contoh perhitungan nilai tambah digunakan komoditas tanaman obat jahe.
Walaupun jaringan memperdagangkan bentuk irisan kering dan segar dalam proporsi yang sama setiap tahun yakni 6 bulan memasok irisan
kering dan sisanya bentuk segar, namun di dalam perhitungan nilai tambah difokuskan pada irisan kering dengan nilai output dihitung
berdasarkan harga output irisan kering. Adapun total produksi output tetap menggunakan total produksi jaringan. Dengan cara yang sama
lainnya. Nilai sumbangan input yang berasal dari tenaga kerja pusat
manajemen jaringan, dialokasikan untuk seluruh tanaman obat, sehingga untuk perhitungan jahe ditetapkan secara proporsional. Hasil
perbandingan nilai tambah dua komoditas dalam komposisi segar dan campuran irisan kering dapat di lihat pada Tabel 28.
Tabel 28 Hasil perhitungan nilai tambah tanaman obat jenis kering dan segar
Data nilai output jahe kering berasal dari pengolahan jahe kering. Nilai tambah yang diperoleh per kilogram bahan baku sebesar Rp
3.952,- artinya untuk pengolahan rata-rata satu kilogram jahe segar menjadi kering secara campuran menghasilkan nilai tambah sebesar Rp
3.952,- . Nilai tambah tersebut berasal dari data tahun pertama jaringan beroperasi. Sedangkan nilai tambah bilamana jahe seluruhnya dijual
masih dalam jenis segar terkemas sebesar Rp 115,- Namun, ketika kunyit dijual dalam jenis segar terkemas tidak memperoleh nilai tambah
sama sekali. Kondisi ini menunjukkan bahwa lebih baik tanaman obat
memberikan pembinaan kepada anggota sehingga integrasi proses dapat mengarahkan pada pencapaian mutu bahan baku kering lebih baik.
Mengingat temulawak dibutuhkan oleh agroindustri farmasi, namun harga temulawak tidak terlalu menarik bagi petani, berikut
dilakukan perhitungan harga termulawak yang memungkinkan petani masih memperoleh keuntungan lebih baik. Pendekatan yang dilakukan
adalah penelusuran produk agroindustri farmasi menggunakan bahan baku tanaman obat yang diteliti. Produk yang dipergunakan sebagai
basis perhitungan ditetapkan secara sengaja yakni produk jamu keluaran PT Air Mancur. Asumsi yang digunakan adalah :
a. Harga eceran produk jamu pegel linu persachet 7 gram dari
toko pengecer dengan harga jual tingkat konsumen Rp 900,- sachet.
b. Komposisi biaya bahan baku pabrik ditetapkan dengan skenario
65 , biaya pemrosesan 20 dan biaya umum 15 . c.
Menghitung harga bahan baku plafon pabrik dengan harga untuk tanaman obat penelitian digunakan harga yang berlaku di pasar.
d. Skenario skala produksi 6 juta sachet dengan komposisi
temulawak, kunyit, lempuyang, laos, temu kunci, lada dan tambahan 2 jenis tanaman obat lainnya.
e. Tanaman obat yang tidak menjadi bahan penelitian ditetapkan
harga sebagaimana dengan harga beli pabrik. Terlebih dahulu menentukan nilai harga produk pabrik yang
diperoleh dengan menghapuskan keuntungan pengecer sebesar 20 . Rata-rata harga 1 sachet produk sebagaimana butir a di atas sehingga
harga beli pengecer sebesar Rp 720,-. Setelah menghilangkan keuntungan industri sebesar 20 , maka diperoleh harga pabrik. Dari
harga pabrik sebesar Rp 580, per sachet kemudian diperoleh plafon harga bahan baku persatuan sachet dengan ketentuan 65 dialokasikan
untuk bahan baku serbuk.
baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku
tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik sebesar Rp 2.475.000.000,-. Apabila digunakan nilai pembelian
tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp
2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku berdasarkan perhitungan proporsi biaya bahan baku dibandingkan
dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri
sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 . Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan
dan industri diperoleh sama sebesar 22 , maka harga beli temulawak berdasarkan simulasi dapat menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan
kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga
sebagaimana ditetapkan industri. Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga
marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani. Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan
mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila
pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap
berbudidaya tanaman tersebut .
8.3. Manfaat untuk Petani