Manfaat untuk Petani Rekayasa sistem rantai pasokan bahan baku berbasis jaringan pada agroindustri farmasi

baku kering, dapat diketahui total kebutuhan bahan baku irisan kering untuk menjadi enam juta sachet. Dari total kebutuhan bahan baku tersebut diperoleh plafon pembelian bahan baku yang ditetapkan pabrik sebesar Rp 2.475.000.000,-. Apabila digunakan nilai pembelian tanaman obat dengan harga yang berlaku di pasar sebesar Rp 1.600,- per kilogram temulawak kering, diperoleh realisasi pembelian sebesar Rp 2.264.636.000,-. Dengan demikian, dari alokasi pembelian bahan baku berdasarkan perhitungan proporsi biaya bahan baku dibandingkan dengan realisasi pembelian, masih terdapat kelebihan anggaran pembelian bahan baku. Dari simulasi perhitungan tersebut, industri sesungguhnya memperoleh keuntungan sebesar 24,08 . Apabila diskenariokan prosentase keuntungan antara jaringan dan industri diperoleh sama sebesar 22 , maka harga beli temulawak berdasarkan simulasi dapat menjadi Rp 3.450,- per kilogram irisan kering. Sedangkan harga tanaman obat lainnya yang relatif baik dan menghasilkan keuntungan bagi petani, tetap berada pada harga sebagaimana ditetapkan industri. Harga produk akhir obat tradisional yang dijual dengan harga marginal sesungguhnya tidak memberikan manfaat berarti bagi petani. Berdasarkan survei, harga produk jadi agroindustri farmasi akan mengambil harga premium bilamana dijual dalam bentuk herbal terstandaridisi atau produk ekstraksi. Penghargaan kepada petani apabila pembelian bahan baku berkualitas lebih baik diberikan harga lebih tinggi, sehingga akan memberikan dorongan kepada petani untuk tetap berbudidaya tanaman tersebut .

8.3. Manfaat untuk Petani

Dengan bergabung melalui jaringan, petani memperoleh manfaat berupa keuntungan yang lebih baik dan manfaat non finansial dalam hal kontinuitas permintaan, pembinaan dan integrasi proses berkelanjutan serta akses pasar. Menggunakan kapasitas lahan 1 hektar dengan komposisi 45 petani diperhitungkan memperoleh net present value sebesar Rp 70.605.849,-. Hasil tersebut berbeda sebesar Rp 28.372.361,- dibandingkan bilamana petani menjual di luar jaringan. Bilamana batas bawah keuntungan ditetapkan sebesar 10 dengan asumsi sedikit diatas bunga deposito bank setahun, maka insentif dapat dibagikan kepada anggota bilamana keuntungan jaringan dicapai lebih besar dari batas tersebut. Berdasarkan perhitungan, anggota jaringan dapat memperoleh rata-rata Rp 93.000,- per anggota per tahun. Selain itu petani masih memperoleh tambahan penghasilan yang berasal dari penjualan tanaman obat reject yang diolah lebih lanjut sehingga menjadi bahan baku bubukserbuk. Perhitungan konversi tanaman obat segar menjadi serbuk adalah setiap sepuluh kilogram simplisia segar akan menjadi satu kilogram serbuk dengan harga jual rata-rata sebesar dua puluh lima kali dari harga simplisia segar. Bilamana hasil penjualan bahan baku reject yang telah diolah menjadi serbuk didistribusikan semua kepada anggota maka rata-rata anggota akan mendapatkan sebesar Rp 156.000,- per tahun. Jaringan akan melibatkan 620 petani dengan asumsi rata-rata lahan petani seluas 2000 m2. Atas dasar tersebut diperlukan sejumlah 5 petani untuk setiap satu hektar. Kebutuhan fasilitator sangat tergantung dari jumlah petani dan jangkauan jarak satu desa dengan yang lainnya agar kegiatan fasilitasi efektif. Bilamana menggunakan asumsi bahwa masih dimungkinkan terdapat satu hamparan seluas 3 hektar di satu desa atau berdekatan maka diperkirakan terdapat 15 petani untuk digabungkan di dalam satu kelompok. Sehingga menggunakan skenario tersebut, diperkirakan dibutuhkan 41 orang fasilitator. Guna mendukung kegiatan usaha jaringan skenario kebutuhan lahan adalah seluas 124 hektar yang layak ditanami tanaman obat. Namun, seluruh perhitungan ini berlaku bilamana penyerapan atau pembelian bahan baku oleh industri bersifat langsung tanpa masa tunggu, sehingga tidak diperlukan perhitungan penurunan nilai uang. Kehadiran lembaga jaringan memberikan manfaat tambahan dengan turut bergeraknya ekonomi di lingkungan sekitar usaha tanaman obat dengan keterlibatan masyarakat menjadi tenaga lepas untuk proses perajangan, tenaga panen, tenaga yang memproses pascapanen maupun tenaga kuli angkut. Bahkan usaha pendukung turut berkembang sejalan dengan majunya lembaga jaringan misalnya usaha persewaan angkutan, penyedia bibit atau sarana produksi pertanian. Kondisi ini tidak saja memberikan dampak berupa peluang kerja tetapi juga tambahan penghasilan keluarga. Pemrosesan yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan adalah proses perajangan. Sedangkan proses pengeringan yang masih mengandalkan sinar matahari masih memerlukan tenaga laki-laki untuk melakukan pembalikan bahan baku. Tenaga perajang akan mendapatkan upah atas dasar prestasi kerja atau jumlah hasil perajangan yang mampu dihasilkan. Pendapatan setiap perajang akan dipengaruhi oleh kemampuan olah dan biaya perkilogram. Biaya proses perajangan sekaligus mengeringkan rata-rata Rp 125,- .per kilogram. Buruh perajang akan mendapatkan pendapatan lebih tinggi tergantung jumlah hasil yang mampu diselesaikan. Rata-rata kemampuan perajangan secara manual sebesar 50 kilogram per satuan orang. Tetapi apabila digunakan alat perajang akan menghasilkan keluaran yang lebih tinggi. Biasanya proses perajangan menggunakan alat dikerjakan oleh buruh perajang yang diberikan upah harian. Hasil perajangan menggunakan alat dinilai responden kurang baik, karena ketebalan irisan kurang seragam. Hasil verfikasi manfaat yang diperoleh oleh perajang sebesar Rp 162.500,- per bulan melibatkan 138 orang.

8.5 Manfaat untuk Industri