Bahan Baku Agroindustri Farmasi.

IKOT 2002 2000 2001 2002 No Provinsi IOT IKOT IOT IKOT IOT IKOT 1 DI Aceh - 25 - 25 - 25 2 Sumatera Utara 3 49 3 50 3 50 3 Suamtera Barat - 4 - 4 - 4 4 Riau - 8 - 8 - 8 5 Jambi - 11 - 11 1 11 6 Sumatera Selatan - 6 1 6 1 7 7 Bengkulu - - - - - - 8 Lampung - 4 - 4 - 4 9 DKI Jakarta 23 128 23 134 24 134 10 Jawa Barat 46 94 55 108 34 98 11 Banten - - - - 22 16 12 Jawa Tengah 15 200 17 207 17 207 13 Yogyakarta - 20 - 21 22 14 Jawa Timur 8 176 14 186 - 190 15 Bali - 8 - 8 16 8 16 NTB - 12 - 14 - 14 17 NTT - - - - - - 18 Kalbar - 9 - 10 - 2 19 Kalteng - 2 - 2 - 2 20 Kalsel - 33 - 36 - 36 21 Kaltim - 10 - 11 - 11 22 Sulawesi Utara - 7 - 7 - 7 23 Sulawesi Tengah - 1 - 1 - 1 24 Sulawesi Tenggara - 2 - 2 - 2 25 Sulawesi Selatan - 26 - 26 - 26 26 Maluku - 17 - 17 - 17 27 Papua - 3 - 3 - 3 28 Indonesia 94 856 113 903 118 917

2.1.1. Bahan Baku Agroindustri Farmasi.

Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber kekayaan hayati dengan 9.606 spesies tanaman obat, baru sekitar 4 dimanfaatkan secara komersiil Sastroamidjojo, 1997. Bahan baku obat tradisional berasal dari panen hasil hutan dan pembudidayaan. Tumbuhan liar kurang baik dijadikan sumber bahan baku dibandingkan dengan tanaman budidaya, disebabkan keragaman umur tanaman, homogenitas spesies kurang terjamin dan lingkungan tempat tumbuh yang berlainan. Kondisi tersebut berakibat pada Sumber : Badan pengawas obat dan makanan 2003 plasma nutfah dapat dikurangi dengan pelaksanaan pembudidayaan tanaman obat. Walaupun demikian, pemanenan hasil hutan masih saja berlangsung sehingga dikhawatirkan dengan berjalannya waktu akan mengalami kepunahan. Tanaman obat memiliki sifat khusus dengan kandungan metabolit sekunder yang berkhasiat obat baik diperoleh dari akar hingga daun . Metabolit sekunder sebagaimana dinyatakan Jamaran 1995, memiliki karakteristik biosintesis adaptif, spesifik dan variatif. Tanaman obat dalam satu familia mensintesis metabolit sekunder yang menyerupai ditinjau dari struktur kimia inti namun berbeda dengan familia lain. Respon terhadap rangsangan yang tidak selalu sama antara spesies satu dengan yang lain, berakibat kandungan senyawa metabolit sekunder bervariasi baik kadar maupun komposisinya ketika metabolit sekunder menyerupai dari beberapa spesies dari salah satu keluarga disintesis. Agroindustri farmasi memerlukan jaminan kebenaran jenis tanaman obat, kestabilan dan keseragaman kualitas. Keseragaman kualitas dipengaruhi oleh keterkaitan proses satu dengan lainnya dimulai saat pemilihan bibit, proses penanganan saat panen, pascapanen hingga produk jadi Sudarsono, 2004. Keseragaman kadar senyawa aktif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan tumbuh, perlakuan selama masa tumbuh, saat panen dan pascapanen. Adapun penentuan masa panen tergantung pada waktu dan bagian tanaman yang dibutuhkan. Waktu panen tersebut, terkait dengan pembentukan senyawa aktif pada bagian tanaman yang dipanen, sehingga waktu yang tepat adalah saat bagian tanaman mengandung senyawa aktif dalam jumlah terbesar Sudiatso, 2002. Bilamana mengharapkan penelusuran historikal hasil panen dan terstandarisasi maka budidaya merupakan cara yang tepat karena melalui praktek pertanian yang baik good agricultural practices dengan perpaduan teknologi agronomik. Praktek budidaya demikian, mencakup penggunaan bibit terpilih, pengolahan tanah, pengaturan tanaman, pemupukan, perlindungan dan penentuan masa panen. cara monokultur dan polikultur. Pendekatan monokultur dilakukan dengan menanam jenis tanaman obat tertentu pada satu hamparan lahan. Pendekatan polikultur dilakukan secara tumpang sari dengan alasan mengurangi resiko kegagalan panen akibat hama dan penyakit, mengurangi kerugian saat harga tanaman obat rendah dan mengoptimalkan pemanfaatan lahan. Tanaman keluarga Zingiberaceae sebagai contoh, lazim ditumpangsarikan dengan jagung Zea mays, kacang tanah Arachis hipogea dan ketela pohon Manihot utilisima. Pemilihan jenis tanaman tumpangsari tergantung pada iklim, selera dan harga pasar, dimana petani akan memperoleh manfaat ganda Paimin dan Murhananto, 1999. Sampai saat ini, aspek kelayakan usaha tani untuk beberapa tanaman obat telah berhasil dikaji seperti jahe gajah, temulawak, kunyit, lengkuas, adas, cabai jawa, katuk, dan kapulaga. Tumbuhan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam sebagai berikut : 1 Tumbuhan obat tradisional Merupakan spesies yang diketahui atau dikenal masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Contoh : temulawak, jahe, kencur, kumis kucing. 2 Tumbuhan obat modern Merupakan spesies yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertangungjawabkan secara medis. 3 Tumbuhan obat potensial Merupakan spesies yang diduga mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan penggunaanya secara ilmiah sebagai bahan obat Zuhud, 2001. Ditinjau dari aliran pasokan, tanaman obat dapat langsung dipasok ke industri atau terlebih dahulu diolah menjadi bahan setengah jadi, minyak atsiri atau bentuk lain oleh industri antara Suharti, 2000. Tanaman obat juga pedagang jamu gendong di berbagai kota di Indonesia. Pedagang demikian, sering disebut sebagai pedagang racikan. Kata racikan adalah istilah yang ditujukan terhadap pedagang jamu yang membuat jamu berdasarkan resep yang dipahami turun temurun untuk kegunaan sediaan dasar. Pedagang pengumpul kabupaten dapat pula berlaku sebagai pedagang racikan. Petani dalam kelompok, yang berkemampuan memasok dalam jumlah dan kontinuitas sebagaimana dikehendaki industri dapat menjual langsung kepada industri. Skema aliran pasokan bahan baku dapat digambarkan sebagai berikut : Data Direktorat Jenderal Bina Produksi dan Hortikultura 2004 menunjukkan empat jenis tanaman obat yang banyak dibutuhkan yakni : lempuyang Zingiberis aromatica rhizoma, jahe Zingiberis rhizoma, temulawak Curcuma xanthoriza rhizoma dan kunyit Curcuma domestica rhizoma. Industri yang memanfaatkan temulawak sebagai bahan baku ramuan obat sejumlah 916 produk dengan klaim penggunaan untuk menjaga stamina dan pemeliharaan kesehatan. Jahe dimanfaatkan pada 753 produk dan kunyit 664 jenis produk. Ditinjau dari kategori produk yang banyak Gambar 1. Skema aliran pasokan bahan baku Petani tanaman obat Pedagang pengumpul desa Pedagang kecamatankabupaten Eksportir Pedagang Racikan Agroindustri farmasi Kerjasama contract farming Konsumen Jamu gendong produk untuk pemeliharaan kesehatan Badan POM, 2003. Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan baku dapat berasal dari daun, akar, kulit batang, buah, semua bagian, batang kayu, biji, bunga, getah, pucuk daun tunas, rimpang, umbi, cabang ranting, dan air batang. Menurut Zuhud et al. 2001, daun merupakan bagian tanaman yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku. Data pada Tabel 2, menyajikan dua puluh nama bahan baku yang digunakan di delapan Agroindustri farmasi industri obat tradisional IOT pada tahun 2002. Dari data tersebut menunjukkan temulawak sebagai tanaman obat paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku produk. Tabel 2 Urutan pemakaian bahan baku yang banyak digunakan di delapan IOT No Nama Bahan baku Nama Indonesia Total pemakaian kgtahun 1 Curcuma Rhizoma Temulawak 324.832 2 Zingiberis aromatica rhizoma Lempuyang wangi 202.445 3 Languatis rhizoma Lengkuas 190.904 4 Zingiberis rhizoma Jahe 157.599 5 Foeniculli fructus Adas 156.419 6 Alyziae cortex Pulosari 94.932 7 Kaemferiae rhizoma Kencur 87.959 8 Curcuma domestica rhizoma Kunyit 83.371 9 Retrofrati fructus Cabe Jawa 59.213 10 Imperatae radix Alang – alang 57.333 11 Eugenia aromaticae folium Cengkeh 56.468 12 Zingiberis zerumbeti rhizoma Lempuyang 55.986 13 Zingiberis purpurei rhizoma Bengle 46.467 14 Boesenbergiae rhizoma Temu Kunci 43.687 15 Orthosiphonis folium Kumis Kucing 40.647 16 Centellae herba Pegagan 40.467 17 Piperis nigri fructus Merica 39.200 18 Myristicae fructus Pala 34.802 19 Parkiae semen Kedawung 34.604 20 Physalis peruvianum folium Alba 34.467 Sumber : Badan Pengawas Obat dan Makanan 2003 seluruh tanaman obat obyek penelitian jahe, kunyit, temulawak dipergunakan di kelompok produk : jamu sehat perempuan, sehat laki-laki, pegal linu dan masuk angin. Kebutuhan pasokan jahe, temulawak meningkat 8 dan kunyit hampir 10 pada tahun 2002 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 3. Permintaan jahe dari industri menduduki peringkat pertama. Saat kebutuhan tanaman obat jahe, kunyit, dan temulawak meningkat, produksi komoditas jahe menurun sebesar 7 , kunyit 11 sedangkan temulawak mengalami kenaikan produksi sebesar 15 pada tahun 2002. Tabel 3 Kebutuhan tanaman obat IOT dan IKOT tahun 2000-2002 No Komoditas 2000 2001 2002 1 Jahe 106.194 111.670 121.204 2 Lengkuas 26.566 27.934 30.195. 3 Kunyit 22.572 23.740 25.999 4 Kencur 12.215 12.848 14.116 5 Temulawak 6.813 7.170 8.104 6 Lempuyang 4.309 4.531 4.917 7 Temuireng 2.889 3.040 3.386 8 Kejibeling 582 612 683 9 Dringo 348 366 400 10 Kapulaga 681 718 860 olahan. Ukuran dalam ton tahun Tabel 4 Produksi tanaman obat tahun 2000 - 2002 No Komoditas 2000 2001 2002 1 Jahe 115.092 128.437 118.496 2 Lengkuas 27.512 26.154 27.934 3 Kunyit 24.813 27.195 23.993 4 Kencur 9.490 11.112 12.848 5 Temulawak 5.674 6.089 7.174 6 Lempuyang 4.485 4.794 4.531 7 Temu ireng 2.853 1.663 3.040 8 Keji beling 470 678 611 9 Dringo 140 115 366 10 Kapulaga 2.490 1.929 3.539 Jumlah 193.018 208.167 202.533 Sumber : Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Ditjen Bina Produksi Holtikultura 2004 Ukuran dalam tontahun Kadar senyawa aktif simplisia berbeda-beda tergantung dari bagian tanaman yang digunakan, umur, saat waktu panen dan lingkungan tumbuh. Tanaman obat yang banyak mengandung minyak atsiri, akan lebih baik dipanen pada pagi hari. Bahan baku yang dipanen harus bebas dari tanaman lain yang mengandung komponen bioaktif. Menurut Sandra 2001, kurangnya keahlian pada tingkat hulu mendorong terjadinya kesalahan penanganan lepas panen. Akibatnya, bahan baku mudah ditumbuhi jamur penghasil aflatoksin, kontaminasi nabati, mikroorganisme dan mineral tanah yang disebabkan oleh proses pencucian yang kurang bersih. Penanganan pascapanen terdiri dari pembersihan tanah, kotoran, batu atau benda asing lainnya, pencucian, dan pengemasan bilamana tidak terjadi pemrosesan perubahan bentuk. Pencucian dilakukan dengan air bersih yang mengalir seperti menggunakan air dari mata air. Penggunaan air sumur harus dilakukan secara tepat agar tidak menambah jumlah mikroba. Penggunaan air yang kotor akan berakibat pada pertambahan jumlah mikroba pada permukaan dan air yang menempel pada permukaan mempercepat pertumbuhan mikroba. Tanaman obat jenis akar dan umbi perlu mengalami perubahan bentuk berupa irisan tipis apabila akan diproses menjadi simplisia kering dengan tujuan mempermudah proses pengeringan. Proses dilakukan melalui perajangan berupa penipisan dengan tebal 5 – 7 mm menggunakan pisau atau mesin perajang. Semakin tipis bahan yang akan dikeringkan semakin dapat membantu mempercepat penguapan air sehingga waktu pengeringan menjadi lebih singkat. Namun, perajangan yang sangat tipis dapat menyebabkan berkurangnya zat berkhasiat mudah menguap sehingga mempengaruhi bau dan rasa yang diinginkan. Proses perajangan tanaman obat temulawak, kencur, jahe, dan temu giring, perlu dijaga agar tidak banyak kehilangan kandungan minyak atsiri. Pengeringan sampai mencapai kadar air 10–12 sebagaimana permintaan industri atau pedagang pengumpul dilakukan agar bahan baku berkisar 60 – 80 , sedangkan bahan kering yang diperoleh rata – rata berkisar 50 – 60 dari bahan asalnya Paimin dan Murhananto, 1999. Lama pengeringan menggunakan sinar matahari berkisar 5 – 8 hari, sedangkan bilamana menggunakan alat bantu pengeringan membutuhkan 3 – 4 hari. Cara pengeringan dengan bantuan sinar matahari, lebih biasa digunakan. Bahan baku yang telah diiris tipis dihamparkan pada lantai pengeringan menggunakan alas plastik, tikar, tampah atau lantai pengeringan saja. Proses pengeringan dengan cara ini memang sederhana tetapi sangat mengandalkan kondisi cuaca dan intensitas matahari. Bahan baku harus sering dilakukan pembalikan dan relatif rawan kontaminasi akibat pengeringan tidak sempurna. Bahan baku yang tidak melalui proses pengeringan, hanya dilakukan pencucian kemudian diseleksi dan dikemas dengan menggunakan karung plastik. Biasanya pedagang pengumpul akan mengambil bahan baku pada gudang petani terkecuali bilamana dipersyaratkan bahan baku dikirim ke gudang pengumpul pada lokasi yang ditetapkan. Tanaman obat hasil panen rentan terhadap kehilangan kadar air. Laju kehilangan kadar air bahan baku segar tergantung pada cara penanganan bahan baku, penggunaan kemasan dan cara mengemas, lama pengiriman, penyusunan bahan baku dalam kendaraan pengangkut dan selama proses penyimpanan. Penanganan bahan baku segar perlu dilakukan secara cepat agar terhindar dari penyusutan volume dan kehilangan kesegarannya. Tanaman obat irisan kering dapat disimpan lebih lama dengan pengaturan suhu, kelembaban dan cara penyimpanan yang tepat agar tidak terkontaminasi oleh kutu, rayap, dan jamur. Bahan baku tanaman obat irisan kering dapat diproses lebih lanjut menjadi serbuk. Petani jarang melakukan pengolahan menjadi serbuk disebabkan alat kerja yang tidak memadai dan keinginan petani segera menjual hasil guna untuk mendapatkan uang tunai. Skema pada gambar 2, memaparkan proses yang dilalui untuk menghasilkan bahan baku kering. Sarana dan cara pengolahan yang kurang memadai menjadi penyebab kontaminasi dan rendahnya kualitas bahan baku. Selain itu, kualitas bahan baku dari masing – masing sentra pasokan bervariasi karena perbedaan agroklimat, dan penanganan pascapanen. Perbedaan kualitas tersebut menimbulkan permasalahan bagi industri penghasil produk fitofarmaka, karena harus melakukan pengaturan standarisasi dosis dan formulasi. Bahan baku tanaman obat rentan terhadap cahaya dan oksigen udara karena dapat terjadi kerusakan atau perubahan kualitas. Senyawa tertentu dalam bahan baku dapat mengalami perubahan kimiawi karena proses oksidasi, reaksi kimia intern oleh enzim, dehidrasi dan pengaruh penyerapan air.

2.1.3. Pengadaan Bahan Baku