Pembahasan Kapasitas Perikanan Pelagis .1 Efisiensi perikanan pelagis kecil

mempertahankan status tersebut; ii Tingkat penangkapan tahun 1986 mengindikasikan excess capacity dan diperlukan kebijakan pengurangan 349 unit alat tangkap dan 55.800 trip untuk mencapai pemanfaatan kapasitas penuh; iii Tingkat penangkapan tahun 1987 dan 1988 adalah fully utilized, dengan kebijakan mempertahankan tingkat fully utilized; iv Tingkat penangkapan tahun 1989 hingga 1999 mengindikasikan excess capacity dalam jangka panjang atau indikasi overcapacity , dan membutuhkan kebijakan pengurangan rata-rata alat tangkap 550 unit dan upaya penangkapan 85.308 trip untuk mencapai pemanfaatan kapasitas penuh; v Tingkat penangkapan tahun 2000 memperlihatkan kondisi fully utilized sehingga perlu dipertahankan; vi Tingkat penangkapan tahun 2001 hingga 2004 berada pada kondisi excess capacity dan membutuhkan kebijakan pengurangan kapasitas; dan vii Tingkat penangkapan tahun 2005 dan 2006 memperlihatkan kondisi fully utilized atau penggunaan input optimal sehingga status kapasitas perikanan pelagis kecil perlu dipertahankan. Secara keseluruhan, tingkat penangkapan ikan pelagis kecil dalam periode 1985 hingga 2006 telah menunjukkan status excess capacity dan indikasi overcapacity. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pengurangan kapasitas untuk menyeimbangkan upaya penangkapan maupun alat tangkap terhadap ketersediaan sumberdaya ikan pelagis kecil di WPP-714 Laut Banda.

5.2.2 Pembahasan

Pengelolaan perikanan pada hakekatnya adalah untuk menghasilkan manfaat ekonomi berupa rente ekonomi dari usaha perikanan dan menjamin keberlanjutan stok ikan. Manfaat ekonomi dan keberlanjutan stok ikan dapat terwujud jika perikanan dikelola secara berhati-hati dengan memperhatikan tingkat penggunaan input optimal dalam eksploitasi sumberdaya ikan. Tingkat penggunaan input secara efisien dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan perikanan. Penilaian terhadap penggunaan input akan memberikan kesimpulan mengenai kondisi kapasitas perikanan di suatu wilayah. Analisis DEA tipe CRS dan VRS dengan upaya penangkapan dan jumlah unit API sebagai input dan produksi ikan sebagai output digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan input. Hasil analisis menunjukkan bahwa efisiensi relatif penggunaan input selama periode penelitian adalah berfluktuasi. Nilai rata-rata efisiensi penggunaan input pada analisis DEA tipe CRS adalah lebih rendah dibandingkan nilai rata-rata analisis DEA tipe VRS. Skor efisiensi terendah dicapai pada tahun 2001, dan mengindikasikan perikanan pada tahun tersebut adalah sangat tidak efisien. Pada analisis DEA skala CRS, terlihat efisiensi penggunaan yang optimal terjadi pada tahun 1987, 2005, dan 2006. Artinya, pada ketiga tahun tersebut perikanan berada pada kondisi fully utilized , yang mengindikasikan perikanan telah mencapai efisiensi optimal. Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2005 dan 2006, proporsi peningkatan input upaya dan unit API adalah lebih rendah daripada proporsi peningkatan produksi ikan. Analisis DEA dengan skala CRS juga menunjukkan sebagian besar skor efisiensi adalah lebih kecil dari satu. Ini memberikan indikasi bahwa kinerja perikanan pelagis kecil pada periode tahun 1985 hingga 2006 umumnya bersifat inefisiensi teknis. Menurut Kirkley et al. 2004, pemanfaatan kapasitas berdasarkan hasil analisis DEA dengan kapal sebagai basis perhitungan dapat digunakan untuk menentukan produksi kapal, dan berimplikasi terhadap pembatasan kapasitas melalui program pengurangan kapal. Berbeda dengan skala CRS, analisis DEA skala VRS menghasilkan efisiensi penggunaan input yang bersifat increasing return to scale, constant return to scale dan decreasing return to scale. Artinya, terdapat perubahan skala efisiensi perikanan dalam periode 1985-2006 yang didominasi oleh increasing return to scale , sebanyak 17 DMU. Sifat increasing return to scale menunjukkan nilai proporsi tingkat penggunaan input adalah lebih rendah dibandingkan proporsi tingkat pertambahan output. Fluktuasi tingkat efisiensi penggunaan input diakibatkan oleh penggunaan upaya penangkapan yang cenderung menurun, unit API cenderung meningkat, dan produksi ikan cenderung meningkat selama periode 1985 - 2006. Hasil analisis DEA skala VRS menggambarkan efisiensi penggunaan input optimal terjadi pada tahun 1985, 1987, 1988, 2000, 2005 dan 2006. Namun efisiensi optimal pada tahun 1985, 1988, dan 2000 masih berada pada skala increasing rate to return . Dalam konteks efisiensi optimal, maka penggunaan input pada tahun 1987, 2005 dan 2006 dianggap mempunyai efisiensi optimal karena skala efisiensinya bersifat konstan dan ketiga tahun tersebut memiliki nilai efisiensi optimal yang sama dengan nilai efisiensi dari hasil DEA skala CRS keduanya menggunakan data sama dan menghasilkan nilai output yang sama. Skor efisiensi = 1 menunjukkan kondisi penggunaan input optimal pada perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda pada tahun 1987, 2005 dan 2006 atau perikanan bersifat fully utilized. Skor efisiensi penggunaan input selama tahun 1985 hingga 2006 berkisar antara 0,763 sampai 1. Skor ini bermakna bahwa penggunaan input upaya dan alat tangkap cukup tinggi dan berfluktuasi selama periode tersebut. Selain itu, terdapat kecenderungan peningkatan efisiensi pemakaian input selama periode tersebut dan pada dua tahun terakhir pengamatan tahun 2005 dan 2006 efisiensi penggunaan input adalah optimal. Fare et al. 2000, mengemukakan bahwa jika efisiensi input lebih kecil dari 1, berarti input yang digunakan tidak efisien dan dapat dikurangi sebesar 1 dikurangi nilai efisiensi input. Hasil analisis DEA menunjukkan sebagian besar nilai efisiensi DMU1 dan potensi peningkatan input DMU secara tahunan adalah bersifat negatif Lampiran 11. Menurut Kirkley et al. 2004, nilai efisiensi DMU1, dapat digolongkan sebagai excess capacity. Kondisi excess capacity yang terjadi dalam jangka panjang menimbulkan overcapacity. Hal ini memberikan indikasi overcapacity pada perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda. Indikasi overcapacity ini diduga sebagai terlalu banyak pertambahan faktor produksi unit API oleh perusahaan perikanan atau individu nelayan ke dalam industri penangkapan ikan tanpa mempertimbangkan potensi sumberdaya ikan. Fauzi 2005 menyatakan bahwa salah satu fenomena menonjol pada masalah perikanan di Indonesia adalah overcapacity. Jika permasalahan tersebut tidak ditangani secara hati-hati, dapat menimbulkan krisis perikanan dalam jangka waktu mendatang. Dengan demikian dibutuhkan pengendalian alokasi faktor produksi perikanan kapal, nelayan, dan sebagainya dalam eksploitasi sumberdaya ikan. Timbulnya overcapacity akan menyebabkan perikanan pelagis kecil tidak efisien dalam jangka panjang. Walaupun secara faktual produksi ikan pelagis kecil cenderung meningkat pada periode 1985 hingga 2006, namun upaya penangkapan cenderung menurun. Perubahan upaya dan produksi aktual mengindikasikan nelayan mengurangi aktivitas penangkapan untuk memperoleh manfaat ekonomi atau meningkatkan efisiensi dalam penangkapan ikan. Pengurangan aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil agak kontraproduktif dengan kecenderungan penambahan unit API baru oleh nelayan. Hal ini diduga sebagai suatu cara untuk lebih meningkatkan produktivitas nelayan secara individual. Pada hal dalam kondisi tersebut sangat diperlukan kebijakan pengurangan kapasitas penangkapan ikan untuk meningkatkan efisiensi dalam pemanfaatan perikanan pelagis kecil. Menurut FAO 2008, pada perikanan bersifat open access, seperti di Provinsi Maluku, langkah awal untuk mengurangi kelebihan kapasitas adalah pembatasan armada yang masuk ke industri perikanan tangkap. Selain itu, diperlukan pengelolaan kapasitas melalui pembatasan izin penangkapan untuk mengurangi kapasitas terutama perikanan yang telah terindikasi overcapacity FAO 2008. Indikasi kapasitas berlebih excess capacity pada perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda merupakan masalah yang perlu dicermati. Indikasi excess capacity timbul jika selisih antara kapasitas input target dengan input aktual dalam penangkapan bernilai negatif. Hasil estimasi kapasitas input upaya dan unit API perikanan pelagis kecil ditentukan oleh input aktual yang dialokasikan dan skor efisiensi relatif yang dihasilkan dalam analisis DEA. Dalam kasus ini skor efisiensi diperoleh dari analisis DEA skala VRS dengan orientasi input . Secara keseluruhan nilai kapasitas input adalah lebih rendah, dan atau sama dengan nilai input aktual. Variasi nilai kapasitas disebabkan input aktual yang berfluktuasi, sehingga berpengaruh terhadap kapasitas berlebih. Berdasarkan hasil perhitungan input aktual dan kapasitas input, terdapat nilai yang bertanda negatif pada sebagian besar DMUTahunan. Hal tersebut mengindikasikan terjadi kapasitas berlebih excess capacity secara tahunan pada perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda. Indikasi excess capacity tersebut bersifat jangka pendek dan tidak kontinu, seperti ditunjukkan oleh skor kapasitas berlebih pada periode lima tahun pertama sejak 1985 hingga 1989 Tabel 18. Diasumsikan bahwa kapasitas berlebih yang tertinggi adalah lebih besar dari 15 persen 15, maka kapasitas berlebih terbesar terjadi pada tahun 1998, diikuti berturut-turut oleh kapasitas pada tahun 1989, 1996 dan 2004. Hasil analisis menunjukkan bahwa kapasitas berlebih terjadi hampir setiap tahun sejak 1985 hingga 2006, kecuali pada tahun 1985, 1987, 1988, 2000, 2005 dan 2006. Indikasi kapasitas berlebih tersebut diduga sebagai akibat perubahan permintaan dan penawaran produksi, sehingga mendorong nelayan atau perusahaan akan menangkap ikan lebih banyak. Dengan demikian terjadi peningkatan penggunaan input oleh nelayan atau perusahaan dalam aktivitas penangkapan. Kapasitas berlebih atau excess capacity yang terjadi akan berdampak terhadap penurunan keuntungan nelayan atau perusahaan, menimbulkan inefisiensi dalam penangkapan ikan, dan diduga dapat menimbulkan overfishing dalam jangka panjang. Kapasitas berlebih yang terjadi sejak tahun 1989 hingga 1999 secara kontinyu mengindikasikan bahwa perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda mengalami overcapacity dalam jangka panjang, periode 1989 - 1999. Indikasi overcapacity juga diperkuat oleh fluktuasi perubahan produksi total dan CPUE yang cenderung menurun pada periode 1989-1999. Kondisi overcapacity tersebut menimbulkan kelebihan eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil dan penggunaan seluruh input dalam aktivitas penangkapan menjadi semakin tidak efisien. FAO 2008 mengemukakan bahwa untuk mencapai efisiensi perikanan tangkap diperlukan suatu upaya pengurangan kapasitas penangkapan ikan. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui suatu mekanisme kontrol kapasitas perikanan, yaitu pengurangan modal investasi, penyesuaian jenis alat tangkap dan jumlahnya, penyesuaian periode maupun daerah penangkapan FAO, 2008. Menurut Kirkley et al . 2004, pengurangan kelebihan kapasitas dapat meningkatkan efisiensi teknis. Dapat disimpulkan bahwa kapasitas perikanan pelagis kecil periode 1985 hingga 2006 telah berhasil dianalisis dengan pendekatan DEA. Analisis DEA tipe VRS telah memberikan hasil estimasi efisiensi teknis, skala efisiensi, dan efisiensi alokasi faktor input. Hasil analisis telah menunjukkan perubahan kapasitas perikanan secara tahunan, dengan 6 DMU yang bersifat efisiensi penuh atau kondisi perikanan pelagis kecil pada tahun 1985, 1987, 1988, 2000, 2005, dan 2006 bersifat fully utilized. Selain itu, analisis DEA telah memperlihatkan indikasi excess capacity , atau bersifat tidak fully utilized. Excess capacity tertinggi ditemui pada tahun 1998, artinya perikanan pelagis kecil pada tahun 1998 memiliki efisiensi terendah, sehingga diperlukan kebijakan pengurangan kapasitas upaya dan alat tangkap masing-masing sebesar 23,71 persen. Terdapat indikasi overcapacity pada perikanan pelagis kecil periode 1989 hingga 1999. 5.3 Efisiensi Teknis Penangkapan Ikan 5.3.1 Keragaan perikanan pelagis kecil di lokasi sampel