Namun LGP hanya mempunyai satu fungsi tujuan. Fungsi tujuan tersebut bertujuan meminimumkan deviasi terhadap tujuan atau target yang telah
ditetapkan dengan memperhatikan berbagai kendala yang ada, yaitu kendala tujuan Gallagher and Watson 1980 yang diacu dalam Budiharsono 2001.
Selanjutnya dikemukakan bahwa LGP relatif berbeda dengan linear programming dalam beberapa hal, antara lain: 1 dapat memberikan solusi bagi permasalahan
dengan informasi kurang lengkap; 2 menganalisis permasalahan dengan tujuan multidimensional; 3 skala ukuran boleh dalam satuan berbeda; 4 terdapat skala
prioritas dalam fungsi tujuan; 5 terdapat kendala tujuan. Walaupun model goal programming
dapat menetapkan prioritas setiap tujuan, namun pada kasus penelitian ini tujuan-tujuan dianggap sama tanpa prioritas dengan fungsi tujuan
umum adalah: Minimumkan
1
K i
i i
da db
Z
. LGP pada dasarnya memiliki tiga unsur utama yaitu variabel keputusan,
fungsi tujuan, dan fungsi kendala Ma’arif dan Tanjung 2003. Variabel keputusan adalah variabel yang menentukan nilai tujuan yang hendak dicapai. Fungsi tujuan
merupakan model untuk menyelesaikan masalah, sedangkan fungsi kendala memberikan batasan ketersediaan sumberdaya yang dapat digunakan. Model LGP
telah banyak digunakan dalam analisis yang berkaitan dengan masalah penyusunan kebijakan.
2.8 Tinjauan Studi Empiris Kapasitas Perikanan
Penelitian kapasitas perikanan mulai intensif dan terfokus dilakukan secara global sejak FAO mengemukakan keprihatinannya terhadap manajemen kapasitas
penangkapan ikan. Pada saat itu, overcapacity telah merupakan isu kegagalan pasar dalam perikanan yang disebabkan oleh terlalu banyak perusahaan perikanan
tangkap memasuki industri perikanan dengan input-input yang sangat berlebihan Vestergaard 2005. Kekuatiran terhadap isu overcapacity telah menggugah para
peneliti untuk mengkaji isu tersebut sebagai upaya untuk memecahkan permasalahannya di bidang perikanan.
Studi kapasitas perikanan dengan orientasi output dilakukan oleh Vestergaard et al. 2003 yang mengkaji kapasitas perikanan multispesies di
Danish dengan pendekatan DEA. Studi tersebut bertujuan untuk mengukur
pemanfaatan kapasitas yang digunakan capacity utilization, CU. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai rata-rata CU armada gillnet berkisar antara 0,85 – 0,95,
dan kelebihan kapasitas tertinggi ditemui pada jenis ikan cod dibandingkan jenis lain, dan hasil studi merekomendasikan peningkatan input kapal penangkap
sebesar 27 pada periode penelitian. Hasil kajian Kirkley et al. 2003a mengenai kapasitas dan pengembangan
perikanan purse seine di laut lepas Semenanjang Barat Malaysia menunjukkan nilai efisiensi teknis atau CU yang sangat tinggi. Disimpulkan bahwa kebijakan
perikanan yang diterapkan di Malaysia bersifat ekonomis dan berkelanjutan. Hasil studi ini mengindikasikan keberhasilan kebijakan pemerintah Malaysia dalam
pengembangan perikanan ditinjau dari aspek ekonomi, penyedian lapangan kerja, devisa, dan pencegahan konflik antar nelayan skala kecil dan skala besar.
Kirkley et al. 2003b melakukan penelitian tentang kapasitas dan pemanfaatannya dalam perikanan bila data terbatas. Mereka menyimpulkan
bahwa 10 kapal penangkap yang dikaji dan beroperasi pada saat penelitian telah melebihi kapasitas penangkapannya. Kemudian disarankan bahwa jika ingin
mencapai batas kapasitas produksi sebanyak 20 juta pound, maka armada penangkapan harus dikurangi sebanyak 68 persen atau lebih.
Hsu 2003 melakukan studi awal mengenai indikator kapasitas dengan analisis Peak-To-Peak dan DEA. Indikator studi yang digunakan mencakup
jumlah nelayan, jumlah kapal, gross tonage kapal, dan pendaratan ikan per spesies per tahun. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa indikator studi yang dipakai dapat
digunakan sebagai indikator awal untuk mengestimasi kapasitas aktual, dan kecenderungan CU sesuai waktu pada perikanan di Kanada.
Penelitian kapasitas perikanan berorientasi input telah dilakukan oleh beberapa ahli. Zhou Yingqi et al. 2003 melakukan studi yang berkaitan dengan
pengukuran kapasitas penangkapan pada perikanan di Cina dan praktek pengendaliannya. Dalam kajian ini, jumlah kapal, jumlah kekuatan mesin dan
gross tonage GT digunakan dalam pemantauan dan pengendalian kapasitas
penangkapan. Tujuan penelitian adalah ukuran kuantitas kapasitas penangkapan untuk mengendalikan dan mereduksi tekanan terhadap sumberdaya ikan sehingga
dicapai pemanfaatan sumberdaya ikan secara berkelanjutan dan meningkatkan
manfaat ekonomi. Mereka menyarankan bahwa kapasitas penangkapan dari armada sebaiknya diestimasi pada tingkat rata-rata, bukan kapasitas individu
kapal. Kemudian, untuk mengendalikan dan membatasi peningkatan kapasitas penangkapan maka tingkat stok ikan, kondisi laut, dan faktor lainnya harus
dipertimbangkan. Dikemukakan
pula bahwa
pengembangan teknologi
penangkapan dan perubahan stok ikan mempengaruhi keragaman unit pengukuran kapasitas penangkapan, sehingga kapasitas sebaiknya diukur berdasarkan daerah
penangkapan atau wilayah. Chávez1 2003 melakukan studi tentang kapasitas penangkapan armada
tuna cakalang di Pasifik Tropis bagian timur, dengan menggunakan input yang terdiri dari parameter populasi, jumlah kapal, daya dukung, biaya dan manfaat
penangkapan ikan. Model yang digunakan dalam kondisi keseimbangan ekonomi TR = TC, mortalitas penangkapan 0.62, dan produksi 132 000 ± 2000 ton
diperoleh estimasi produksi potensil pada kondisi daya dukung maksimum sebesar 74 000 ton.
Inoue and Matsuoka 2003 melakukan kajian tentang distribusi hasil tangkapan per hauling pada perikanan pukat cincin dan trawl: yang berimplikasi
bagi pengurangan kapasitas penangkapan. Hasil kajian berdasarkan indikator hasil tangkapan dari purse seine dan trawl di laut lepas hasil tangkapan maksimum per
periode tertentu menunjukkan bahwa pengurangan kapasitas penangkapan sekitar 30 persen, akan menghasilkan 80–90 persen hasil tangkapan pada saat penelitian
tanpa mengurangi kapasitas penangkapan optimal. Penelitian Kishida and Wada 2003 tentang hubungan antara upaya
penangkapan dan kapasitas penangkapan dalam fluktuasi stok ikan. Dalam studinya, kapasitas penangkapan didefinisikan sebagai batas atas upaya
penangkapan kapaltrip untuk jumlah armada tertentu, dengan menggunakan model stok dinamik sederhana. Disarankan bahwa jumlah kapasitas penangkapan
optimal untuk mencapai produksi maksimum dan penerimaan maksimum dalam jangka panjang adalah sebesar 25-50 dari kapasitas penangkapan maksimum
pada tingkat keseimbangan bioekonomi. Penelitian kapasitas perikanan dengan menggunakan pendekatan SPF telah
dilakukan oleh Kirkley et al. 1995 dengan menerapkan model SPF untuk
mengkaji efisiensi teknis perikanan Scallop di laut Mid-Atlantic. Dalam kajian tersebut, efisiensi teknis dihitung dan kemudian dibandingkan terhadap
penggunaan input, kondisi sumberdaya, kinerja ekonomi, dan regulasi perikanan pada saat itu. Hasil studi menunjukkan bahwa pemilik dan nakoda kapal hanya
mengkompensasi sebagian dalam perubahan kondisi sumberdaya melalui penggunaan tenaga kerja dan upaya penangkapan, sedangkan regulasi secara
keseluruhan mungkin meningkatkan efisiensi total dalam jangka pendek. Sharma and Leung 1999 telah mengkaji tingkat determinan efisiensi teknis
kapal long-line domestik berbasis di Hawai pada tahun 1993 dengan pendekatan SPF, termasuk model inefisiensi teknis kapal penangkap. Yang dikaji mencakup
elastisitas output, marjinal produk input, dan return to scale. Hasil studi menunjukkan efisiensi teknis rata-rata adalah sebesar 84, dan kapal-kapal
Swordfish yang merupakan target penangkapan bervariasi menurut musim,
setting , dan trip penangkapan cenderung kurang efisien dibandingkan kapal-kapal
“tuna”. Kecuali pengalaman nelayan, variabel-variabel seperti ukuran kapal, tingkat pendidikan, dan umur kapal, berpengaruh nyata terhadap efisiensi teknis.
Kirkley et al. 2004 telah mengestimasi kapasitas perikanan secara stochastic
dan deterministik untuk pengurangan kapasitas perikanan melalui pendekatan SPF, selain DEA dengan menggunakan panel data 10 kapal perikanan
scallop di wilayah barat laut Atlantic, USA. Hasil kajian menunjukkan bahwa
ukuran output dari pendekatan SPF adalah lebih rendah dibandingkan ukuran output
pendekatan DEA, tetapi kedua ukuran tersebut tergolong efisien. Coppola et al. 2004 telah mengkaji efisiensi produksi armada perikanan
Italia dengan menggunakan SPF, selain DEA. Hasil kajian menunjukkan bahwa sifat acak adalah penting dalam proses penangkapan ikan, sehingga disimpulkan
bahwa metode stochastic adalah lebih baik daripada DEA dalam estimasi efisiensi. Dikemukakan pula bahwa risiko yang berkaitan dengan pendekatan
DEA bersifat gangguan acak atau random noise, tidak teridentifikasi secara langsung pada fungsi produksi dengan kombinasi inefficiency term. Oleh sebab
itu, nilai efisiensi teknis melalui pendekatan SPF menggunakan data bulanan adalah lebih rendah dari pada nilai efisiensi dengan pendekatan DEA. Estimasi
efisiensi teknis dengan pendekatan SPF menggunakan volume produksi sebagai
output , sedangkan sebagai input adalah gross tonage, panjang kapal LOA,
kekuatan mesin PK sebagai input tetap; hari melaut dan jumlah nelayan sebagai input
variabel; kelimpahan stok agak sulit diestimasi sehingga variabel tersebut bersama variabel waktu diperlakukan sebagai variabel kategori dengan asumsi
bahwa kapal beroperasi dalam waktu yang sama hanya memanfaat stok yang sama. Nil
ai inefisiensi, γ, adalah bervariasi di mana Model IV bernilai 0,46 dan Model I bernilai 0,78.
Coglan et al. 1998, mengukur efisiensi relatif perusahaan perikanan trawls dasar di “English Channel” secara individual melalui pendekatan SPF dan DEA.
Mereka meyimpulkan bahwa dengan data yang sama, pendekatan SPF menghasilkan inefisiensi teknis pada beberapa kapal yang sebelumnya telah
dikategorikan efisien. Dalam studi kapasitas perikanan tangkap di Indonesia, pendekatan DEA
telah diterapkan oleh Fauzi dan Anna 2005 di perairan Teluk Jakarta dalam kaitannya dengan pengukuran efisiensi perikanan dari aspek kegiatan produksi
maupun nonproduksi. Dari sisi input, kapasitas perikanan sebagai indeks komposit dari berbagai kapital yang digunakan dalam penangkapan telah melebihi
yang seharusnya, seperti diindikasikan oleh nilai negatif dari variabel input potential improvement
pada alat tangkap bubu, muroami dan payang. Dengan demikian dibutuhkan kebijakan pengurangan input alat tangkap bubu, muroami,
dan payang di Teluk Jakarta. Sularso 2005 telah menggunakan model DEA dengan pendekatan model
Charnes, Cooper, Rhodes dengan orientasi input CCR-I untuk menganalisis alternatif pengelolaan perikanan udang di Laut Arafura. Hasil penelitiannya
menunjukkan telah terjadi economic overfishing dan inefisiensi atau overcapacity pada penangkapan udang saat penelitian, sehingga dibutuhkan alternatif
pengelolaan perikanan seperti penutupan musim penangkapan closed season, sistem kuota, dan pengurangan jumlah kapal.
Model DEA dengan pendekatan Banker, Charnes, Cooper BCC yang berorientasi input juga diterapkan oleh Efendi 2007 dalam mengkaji perikanan
pukat cincin di Pekalongan yang diasumsikan bersifat variable return to scale, VRS. Hasil kajian menunjukkan bahwa perikanan pukat cincin di Pekalongan
berada dalam kondisi inefisiensi overcapacity sehingga upaya penangkapan perlu dikurangi sebesar 18,8 persen.
Desiniarti 2007 telah menerapkan metode DEA dengan model yang dikembangkan oleh Fare et.al. 2000, Lindebo 2002, dan Kirkley et al. 2003,
untuk mengukur kapasitas perikanan tangkap ikan pelagis kecil di perairan pesisir Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan terjadi penurunan tingkat efisiensi
perikanan tangkap dari waktu ke waktu, pemanfaatan pelagis kecil telah mengarah ke overfishing dan perikanan tangkap telah mengarah ke overcapacity.
Penelitian Olii 2007 menggunakan model DEA untuk menghitung efisiensi dan kapasitas perikanan tangkap dalam rangka pengelolaan armada penangkapan
di Provinsi Gorontalo. Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan efisiensi pada tahun 1988–1992, namun cenderung menurun pada
periode berikutnya. Selanjutnya disimpulkan bahwa alat tangkap yang efisien pada periode penelitian adalah pukat cincin, jaring insang dan pancing.
Walaupun penelitian kapasitas perikanan dengan model SPF dalam perikanan telah dilakukan secara global, namun di Indonesia hampir tidak
dijumpai aplikasi model SPF dalam mengukur efisiensi perikanan tangkap. Pendekatan SPF baru diterapkan oleh Suyasa 2007 dalam mengkaji
keberlanjutan dan produktivitas perikanan pelagis kecil di pantai Utara Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata efisiensi teknis alat tangkap purse
seine 0,635, payang 0,638, dan gillnet 0,677. Selanjutnya disimpulkan bahwa hasil tangkapan nelayan dipengaruhi oleh ukuran kapal, lama trip penangkapan,
pengalaman nakhoda dan anak buah kapal sebagai nelayan. Hasil studi empiris sebelumnya mengenai kapasitas dan efisiensi teknis
penangkapan masing-masing menggunakan input yang berbeda sebagai variabel bebas. Perbedaan tersebut dapat dipahami melalui rangkuman hasil studi empiris
Tabel 1 yang dilakukan oleh para peneliti dalam kasus penelitian kapasitas perikanan di USA, Malaysia, Inggris, Italia dan Indonesia. Pemilihan variabel
tersebut adalah sesuai dengan status perikanan dan tujuan penelitian. Di Provinsi Maluku, selain Laut Arafura oleh Sularso 2005 dengan
menerapkan pendekatan DEA, penelitian kapasitas perikanan dengan pendekatan DEA dan SPF belum pernah dilakukan. Pada hal hasil-hasil penelitian empiris
tentang kapasitas perikanan seperti yang dijelaskan sebelumnya menggambarkan bahwa penelitian kapasitas khususnya bagi wilayah dengan perkembangan
perikanan yang pesat seperti Maluku adalah sangat dibutuhkan untuk memperoleh informasi berharga bagi perumusan strategi kebijakan pembangunan perikanan
tangkap berkelanjutan. Dengan demikian, penelitian ini dirancang dengan menerapkan pendekatan DEA dan SPF untuk mengevaluasi kapasitas perikanan
dan efisiensi penangkapan ikan pelagis kecil di wilayah Provinsi Maluku.
Tabel 1 Variabel input studi empiris efisiensi teknis penangkapan ikan Peneliti
Model Kasus
Variabel input dalam studi efisiensi teknis
Kirkley, Squires and Strand 1995
SPF Perikanan scallop
laut Mid-Atlantic Kelimpahan sumberdaya ikan,
karakteristik kapal dan alat tangkap, trip penangkapan, jumlah
nelayan, ketrampilan manajerial
Sharma and Leung 1999 SPF
Perikanan scallop barat laut Atlantic,
USA. Musim, setting, trip penangkapan,
pengalaman nelayan,ukuran kapal, tingkat pendidikan, umur kapal
Viswanathan, Omar, Jeon, Kirkley, Squires and
Susilowati 2002 SPF
Perikanan trawl Malaysia
Pengalaman nakhoda, jumlah anggota keluarga, jumlah nelayan
per kapal, nakhoda pemilik kapal, pendidikan formal nakhoda, lokasi
pendataran ikan, ethnis nakhoda, penangkapan pada musim puncak,
ukuran GRT kapal
Kirkley, Paul and Squires 2004
SPF, DEA
Perikanan scallop Northwest
Atlantic, USA Kapital GRT kapal, tenaga mesin,
lebar “dredge”, upaya penang- kapan hari melaut, jumlah
nelayan, stok biomasa.
Coglan, Pascoe and Mardle 1998
SPF, DEA
Perikanan trawls dasar di “English
Channel” Panjang kapal, lebar kapal, tenaga
mesin, jumlah jam penangkapan, kelimpahan stok.
Coppola, Gambino
and Spagnolo 2004
SPF, DEA
Armada perikanan Italia
Gross Tonage , panjang kapal
LOA, kekuatan mesin PK, hari melaut dan jumlah nelayan
sebagai input variabel Suyasa 2007
SPF Perikanan pelagis
kecil di pantai Utara Jawa,
Indonesia Ukuran kapal, jumlah nelayan,
lama trip, pengalaman nakhoda, pendidikan formal nakhoda.
3 METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Teoritis