Pembahasan Status Pemanfaatan Sumberdaya Ikan .1 Status perikanan pelagis kecil

MSY. Pada rezim MEY, upaya penangkapan yang alokasikan adalah lebih kecil tetapi menghasilkan produksi, rente ekonomi dan biomasa yang lebih besar jika dibandingkan dengan rezim open access. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan ikan pelagis kecil pada rezim pengelolaan MEY bersifat ekonomis dan bersifat lestari. Pada rezim MSY, dengan upaya penangkapan yang lebih rendah menghasilkan produksi ikan maksimal dengan rente ekonomi dan biomasa ikan yang lebih besar jika dibandingkan terhadap nilai pada sistem open access. Pada sistem MSY, sumberdaya ikan dimanfaatkan secara penuh, sehingga secara fisik produksi ikan meningkat. Pada sistem open access, walaupun upaya penangkapan lebih besar, tetapi hanya mampu menghasilkan produksi yang lebih rendah, tanpa rente ekonomi, dan biomasa ikan sangat rendah. Perikanan pada rezim ini bersifat tidak ekonomis dan berdampak terhadap degradasi sumberdaya ikan.

5.1.3 Pembahasan

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya didasarkan pada pertanyaan mendasar yaitu berapa besar sumberdaya ikan harus dieksploitasi saat ini dan bagaimana mengekploitasinya secara efisien dan optimal untuk memperoleh nilai ekonomi tinggi tanpa mengabaikan aspek kelestarian sumberdaya ikan. Pertanyaan tersebut dapat dikaji dari aspek biologis maupun ekonomis atau pendekatan bioekonomi yang lazimnya meggunakan model bioekonomi Gordon-Schaefer Anderson 1977. Pendekatan bioekonomi model GS didasarkan pada fungsi produksi lestari yang memiliki muatan biologis dan ekonomis dalam penelitian ini mampu menggambarkan kondisi perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda. Status perikanan dimaksud dapat dicermati melalui kondisi produksi maksimum lestari MSY, produksi ekonomi maksimum MEY, perikanan akses terbuka dan rente ekonomi sumberdaya ikan. Walaupun analisis bioekonomi model GS bersifat statis, namun hasil analisis dapat memberikan informasi awal untuk pengelolaan sumberdaya ikan pelagis Seijo et al. 1998, dan Fauzi 2004. Produksi ikan per unit upaya penangkapan CPUE yang diregresikan terhadap upaya penangkapan yang telah distandarisasi dengan basis pukat cincin berdasarkan penggunaan data runtun waktu tahun 1985 hingga 2006 dapat dijelaskan melalui persamaan regresi linier sederhana h t =1,1668182–9,015E-06 E t dengan nilai R 2 sebesar 0,58. Persamaan ini menjelaskan bahwa penambahan upaya pada waktu t akan menurunkan nilai CPUE, di mana laju penurunannya ditentukan oleh slop persamaan regresi sebesar 0,000009. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sekitar 58 keragaman dalam CPUE ikan pelagis kecil di WPP-714 Laut Banda mampu dijelaskan oleh upaya penangkapan standar, dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Dalam perhitungan parameter biologis dan teknis dengan teknik CYP diperoleh tingkat pertumbuhan intrinsik r sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda sebesar 0,23959. Angka ini menjelaskan bahwa sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda mempunyai kemampuan untuk tumbuh secara alamiah sebesar 23,95. Kemampuan sumberdaya pelagis kecil melakukan rekruitmen membutuhkan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan K terhadap proses pertumbuhan adalah 961.433. Nilai ini mengindikasikan perairan WPP-714 Laut Banda berkemampuan daya dukung terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 961.433 ton per tahun, sedangkan koefisien kemampuan tangkap q yang dihasilkan sebesar 0,0000151. Nilai pertumbuhan intrinsik, daya dukung perairan dan kemampuan tangkap yang dihitung secara bersama-sama dalam model produksi lestari memberikan nilai upaya standar optimal sebesar 7.945 trip per tahun, produksi maksimum lestari MSY sebesar 57.589,57 per tahun dan nilai biomasa sebesar 480.716,72 ton. Hasil perhitungan rente ekonomi atau penerimaan bersih pada kondisi MSY adalah sebesar Rp 200.499.420.000.- per tahun dan lebih kecil dibandingkan rente ekonomi pada rezim MEY. Meskipun penerimaan berkurang pada kondisi MSY, namun aktivitas penangkapan terus dilakukan hingga rente ekonomi masih lebih besar dari nol π 0 atau hingga mendekati titik keseimbangan antara penerimaan total dan biaya total TR = TC, keseimbangan open access. Pada daerah sebelah kiri titik open access, maka nelayan cenderung memaksimal profit melalui penambahan trip penangkapan bahkan menambah alat tangkap Anderson 1977. Apabila produksi maksimum lestari MSY dibandingkan terhadap produksi aktual maka kondisi pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil mengindikasikan gejala overfishing pada tahun 2005 dan 2006. Hal ini disebabkan tingkat produksi aktual pada kedua tahun tersebut telah melampaui produksi maksimum lestari. Kondisi ini menunjukkan tekanan terhadap proses pemulihan stok. Keseimbangan stok yang kecil berpengaruh terhadap produksi nelayan. Kecenderungan menurunnya produksi mengakibatkan tingkat kemampuan pertambahan populasi ikan tidak seimbang dengan laju penangkapan. Indikasi ketidakseimbangan tersebut berupa penurunan stok ikan, penurunan jumlah tangkapan serta ukuran jenis ikan yang tertangkap cenderung mengecil. Menurut Clark 1985, sebagian populasi ikan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun karena produksi surplus dari stok ikan ditentukan oleh indeks laju kematian alami, pertumbuhan dan rekruitmen. Stok akan mengalamai kenaikan atau penurunan, jika terjadi gangguan pada salah satu variabel tersebut. Kondisi overfishing tersebut tidak dijumpai pada tahun 1999 hingga 2004. Kondisi ini diduga karena adanya kecenderungan penurunan upaya penangkapan atau aktivitas penangkapan ikan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda sebagai dampak konflik sosial di Provinsi Maluku pada periode tahun tersebut, sehingga produksi aktualpun menurun. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya ikan yang mengutamakan peningkatan produksi maksimal pada rezim MSY, secara ekonomis tidak menguntungkan jika dibandingkan dengan pengelolaan rezim MEY Anderson 1977; Fauzi 2004. Profit pada MSY yang lebih rendah dari MEY disebabkan produksi maksimal pada MSY belum tentu menghasilkan profit yang tinggi, karena dipengaruhi harga ikan dan biaya faktor produksi yang lebih tinggi pada MSY Anderson 1977; Fauzi 2004. Pada rezim pengelolaan MEY, produksi maksimum mencapai 57.535,23 ton pada tingkat upaya penangkapan sebesar 7.747,71 trip, dan biomasa ikan pelagis kecil sebesar 491.794,57 ton. Di bawah rezim ini, nilai biomasa ikan pelagis kecil lebih besar dibandingkan biomasa pada rezim MSY, sedangkan upaya penangkapan dan produksi lestari lebih rendah. Disamping itu, secara biologis maka tekanan terhadap sumberdaya ikan adalah rendah. Rente ekonomi yang dihasilkan sebesar Rp 200.542.580.000.- per tahun yang lebih besar, jika dibandingkan rente pada MSY. Ini mengindikasikan perikanan pelagis kecil pada rezim MEY lebih efisien karena alokasi upaya penangkapan lebih rendah tetapi menghasilkan rente ekonomi lebih besar Fauzi 2004. Dalam konteks industri penangkapan ikan, pencapaian rente ekonomi pada kondisi MEY akan merangsang masuk dan keluar kapal penangkapan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda. Hal ini dapat menimbulkan kompetisi di antara kapal penangkap sehingga rente ekonomi mulai menurun. Menurut Anderson 1977 rente ekonomi net benefit pada perikanan open access mencapai maksimum pada kondisi maximum economic yield MEY. Dalam pengelolaan sumberdaya ikan, kondisi tersebut di satu sisi dapat merangsang peningkatan unit penangkapan ikan, sedangkan di sisi lain dapat mengarah kepada fenomena lebih tangkap overfishing dalam jangka panjang. Economic overfishing merupakan lebih tangkap secara ekonomis yang terjadi ketika rasio biaya terhadap harga terlalu besar atau jumlah input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input pada tingkat rente ekonomi maksimum Fauzi, 2005. Economic overfishing tersebut dapat disebabkan oleh peningkatan jumlah unit penangkapan ikan yang tidak diatur sampai terjadi keseimbangan ekonomi, ataupun karena ikan-ikan yang masih kecil dieksploitasi sehingga menghilangkan benefit ekonomi di waktu mendatang. Pada rezim pengelolaan open access, produksi lestari yang dicapai sebesar 5.184,11 ton dengan tingkat upaya penangkapan sebesar 15.495,41 trip, dan biomass ikan pelagis kecil sebesar 22.156 ton. Dalam hal ini, produksi yang dihasilkan lebih rendah sedangkan upaya penangkapan yang dikorbankan lebih tinggi, bila dibandingkan terhadap rezim pengelolaan MSY dan MEY. Pada kondisi tersebut, terjadi tekanan terhadap sumberdaya ikan secara biologis, seperti diindikasikan oleh nilai biomasa yang lebih rendah. Pada rezim pengelolaan open access , alokasi sumberdaya modal dan tenaga kerja bersifat tidak efektif, karena kegiatan penangkapan tidak produktif. Artinya secara ekonomis, perikanan open access menunjukkan kondisi inefisiensi, kelebihan investasi, dan potensi rente ekonomi menjadi hilang. Pada kondisi rente ekonomi adalah negatif atau hilangnya profit TRTC tersebut akan mendorong nelayan untuk meninggalkan industri penangkapan Anderson 1977. Namun sifat perikanan tangkap yang spesifik mengakibatkan nelayan tetap melakukan aktivitas penangkapan. Fakta empiris menunjukkan bahwa peningkatan upaya mengakibatkan penurunan sumberdaya ikan dan daerah penangkapan ikan semakin jauh, sehingga mempengaruhi pendapatan nelayan. Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak BBM lebih menyulitkan nelayan untuk menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh karena meningkatnya biaya produksi. Peningkatan harga BBM sebagai komponen terbesar pada biaya operasi mengakibatkan penurunan aktivitas penangkapan sehingga tekanan terhadap sumberdaya ikan berkurang. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, pengelolaan perikanan pelagis kecil pada kondisi MSY dapat merupakan suatu jawaban bagi tujuan peningkatan produksi ikan terutama. Pengelolaan yang bersifat open access merupakan jawaban bagi perluasan kesempatan kerja masyarakat nelayan. Pengelolaan pada kondisi MEY merupakan jawaban bagi pengembangan perikanan tangkap yang ekonomis ditinjau dari sisi rente ekonomi yang dihasilkan dan kelangsungan sumberdaya ikan. Peningkatan produksi, perluasan kesempatan kerja nelayan, dan rente ekonomi mencerminkan relevansinya dengan tiga pilar utama dalam kebijakan pembangunan nasional, yaitu pro-job, pro-poor, dan pro-growth. Fakta lapangan menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda bersifat akses terbuka, karena belum ada pengaturan oleh otoritas pemegang sumberdaya tentang berapa jumlah unit penangkapan yang seharusnya dialokasikan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda. Selain itu, indikasinya dapat dicermati melalui Ijin Penangkapan Ikan pelagis kurang mempertimbangkan status potensi sumberdaya ikan dan lemahnya pengawasan terhadap ijin penangkapan, karena minimnya informasi dan fasilitas yang tersedia. Pada posisi open access walaupun tingkat upaya penangkapan dari sudut pandang jumlah nelayan adalah efektif tetapi jumlah penerimaan menyamai jumlah biaya, semua rente ekonomi dari sumberdaya menghilang. Pada kondisi ini, unit penangkapan milik perorangan hanya mampu menutupi biaya-biayanya saja. Oleh karena itu, selama sumberdaya pelagis kecil masih bersifat open access, maka kondisi tersebut tidak akan menjamin secara ideal peningkatan pendapatan nelayan dan hasil tangkapan lestari. Gordon 1954 menyatakan bahwa tidak jelasnya hak kepemilikan sumberdaya ikan di laut dapat mengarah pada kondisi inefisiensi alokasi rente sumberdaya dalam perikanan. Menurut Smith 1987, program yang mungkin diimplementasikan pada perikanan bersifat open access untuk meningkatkan pendapatan nelayan adalah: 1 perbaikan teknologi armada tangkap termasuk penggunaan alat bantu penangkapan atau fishing aggregating devices, 2 subsidi input, 3 perbaikan pemasaran dan teknologi pasca panen, 4 pengembangan sumber pendapatan lain atau tambahan. Ketiga program yang disebut pertama memungkinkan adanya peningkatan produktivitas nelayan, meningkatkan harga-harga yang diterima nelayan, dan menekan biaya yang harus ditanggung nelayan. Disisi lain, program yang terakhir diperlukan jika status sumberdaya ikan terindikasi overfishing dan over-exploited dalam jangka menengah. Namun, secara teoritis pengembangan jumlah alat tangkap maupun tingkat penangkapan sebanyak-banyaknya oleh nelayan pada kondisi sumberdaya ikan bersifat open access akan menimbulkan inefisiensi ekonomis, di mana keuntungan yang diperoleh semakin berkurang bahkan tidak diperoleh keuntungan sekalipun dari kegiatan penangkapan. Pada kondisi open access, terdapat dua makna penting sebagai berikut: 1 Jika upaya penangkapan yang digunakan memberikan suatu kondisi total cost TC lebih tinggi dari total revenue TR, nelayan akan kehilangan penerimaan dan timbul pilihan untuk meninggalkan perikanan. 2 Jika upaya penangkapan yang digunakan membuat kondisi total cost lebih kecil dari total revenue , nelayan akan lebih tertarik dan masuk untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan. Kondisi TC menyamai TR, atau keseimbangan open access akan tercapai jika seluruh rente ekonomi telah terambil sehingga tidak ada lagi rangsangan untuk masuk dan keluar serta tidak ada perubahan tingkat upaya yang sudah ada. Pemberian subsidi input untuk pengembangan upaya penangkapan pada perikanan open access memberikan dampak yang berbeda terhadap kesejahteraan nelayan. Pemberian subsidi kepada nelayan pada kondisi perikanan overcapacity dan kapasitas penuh memberikan dampak penurunan pendapatan nelayan, kecuali pada kondisi kapasitas masih rendah. Dengan kondisi kapasitas rendah, peluang pengembangan upaya penangkapan melalui subsidi masih dapat dilakukan dengan asumsi sumberdaya ikan mampu menerima tambahan upaya penangkapan, namun membutuhkan pengawasan dari pemegang otoritas sumberdaya ikan. Pada kondisi open access , pemberian subsidi berdampak buruk terhadap sumberdaya ikan, keberlangsungan usaha penangkapan dan pemborosan upaya penangkapan. Menurut FAO 2008, pemberian subsidi di bidang perikanan adalah kompleks. Dikemukakan bahwa subsidi dapat diberikan langsung ke nelayan atau pada sektor perikanan. Subsidi ke nelayan dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya penangkapan. Subsidi ke sektor perikanan dapat diberikan dalam bentuk biaya manajemen. Selain itu, subsidi berupa biaya modal untuk motorisasi armada penangkapan merupakan faktor penting untuk meningkatkan kapasitas penangkapan ikan, jika penerima subsidi adalah nelayan penuh FAO 2008. Mengacu pada model bioekonomi statis, maka menurut Smith 1987 kemungkinan akibat keempat program sebelumnya terhadap produksi lestari, pendapatan dan jumlah nelayan dapat dijelaskan melalui skenario sebagai berikut. 1 Akibat perbaikan teknologi penangkapan ikan maka akan menghemat tenaga kerja nelayan pada suatu level tertentu. Dengan anggapan bahwa keseimbangan telah tercapai, atau jumlah biaya penangkapan menyamai jumlah penerimaan, maka perbaikan teknologi penangkapan ikan pertama-tama akan meningkatkan upaya penangkapan sedemikian rupa sehingga jumlah biaya akan melampaui jumlah penerimaan. Pada kondisi demikian, usaha penangkapan skala kecil seperti usaha perikanan pelagis kecil akan tergeser dari armada penangkapan dalam konteks industri penangkapan, produksi lestari dan penerimaan akan menurun, selain jumlah nelayan berkurang. Begitupun nelayan pelagis kecil yang masih melakukan akitivitas penangkapan ikan hanya mampu menutupi pembiayaan. 2 Penurunan biaya penangkapan seperti biaya subsisi BBM yang lebih murah, tetapi dengan dengan kapasitas penangkapan yang sama, pada kondisi awal akan merupakan peningkatan upaya penangkapan. Penurunan jumlah biaya dan biaya rata-rata penangkapan ikan pelagis kecil dengan hasil keuntungan yang lebih tinggi akan menyebabkan peningkatan jumlah nelayan hingga tercapai keseimbangan baru di mana jumlah biaya menyamai jumlah penerimaan. Dalam konteks perubahan teknologi, penurunan biaya input juga meningkatkan penangkapan melebihi batas tangkap dan produksi lestari yang lebih rendah. Penurunan produksi lestari akibat perubahan teknologi karena pemakaian kapal dan alat tangkap yang lebih produktif, sedangkan penurunan akibat biaya input rendah karena makin banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang ada atau terjadi peningkatan intensitas penangkapan. 3 Kenaikan harga akan meningkatkan keuntungan sehingga kondisi tersebut akan merangsang lebih banyak nelayan, yang akan menaikkan biaya input hingga tercapai keimbangan baru antara biaya dan penerimaan. Pada perikanan pelagis kecil di perairan WPP-714 Laut Banda yang bersifat akses terbuka, perbaikan kapal dan alat tangkap yang lebih produktif akan menguntungkan sebagian kecil nelayan dalam jangka pendek, terutama pada daerah penangkapan ikan yang belum dieksploitasi penuh secara biologis. Sebaliknya, pada daerah penangkapan yang sudah tereksploitasi penuh, perbaikan kapal dan alat tangkap dapat mengakibatkan teknanan terhadap sumberdaya ikan pelagis kecil. Perlu dicermati bahwa dalam pengelolaan perikanan yang bersifat open access seperti di perairan WPP-714 Laut Banda, pertambahan unit penangkapan agak sulit dikendalikan dan penambahan upaya akan berhenti jika semua penerimaan hanya mampu menutupi seluruh biaya yang dialokasikan dalam penangkapan ikan. Menurut FAO 2008, pemberian subsidi sebagai insentif untuk meningkatkan kapasitas penangkapan sebaiknya dilakukan jika profit yang diperoleh nelayan bersifat kontinu. Pengendalian harga input oleh pemerintah pada saat ini perlu dilakukan melalui subsidi input penangkapan, seperti subsidi harga BBM komponen terbesar dalam operasi penangkapan di bawah harga pasar. Kebijakan pengendalian harga tersebut dalam jangka pendek akan berdampak terhadap pertambahan jumlah nelayan, yang memungkinkan pertambahan intensitas penangkapan dan tekanan terhadap sumberdaya ikan pelagis. Namun, pengendalian harga input BBM akan memperbesar pendapatan nelayan, jika harga ikan bersifat relatif konstan. Eksploitasi sumberdaya ikan di suatu wilayah perairan telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 54 Tahun 2002, tentang Usaha Perikanan dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per 17Men2006 tentang Usaha Perikanan Tangkap. Kebijakan perijinan tersebut merupakan salah satu instrumen untuk mengendalikan tingkat eksploitasi sumberdaya ikan. Namun, dalam implementasi kebijakan pemerintah tersebut masih terdapat nelayan terutama dengan kapal penangkap ikan ukuran kecil yang memasuki suatu perairan tanpa hambatan untuk menangkap ikan. Hal ini masih dijumpai di perairan WPP-714 Laut Banda. Kondisi tersebut mengindikasikan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan WPP-714 Laut Banda masih bersifat open access. Eksistensi rezim open access pada perairan ini menimbulkan inefisiensi ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan, karena hilangnya potensi rente ekonomi dan pemborosan kapital yang seyogianya dapat dialokasi untuk kegiatan produktif lain Fauzi 2004. Selain instrumen kebijakan perijinan di atas, pencegahan masalah inefisiensi ekonomi pada rezim open access dalam pengelolaan sumberdaya ikan secara teoritis dapat dilakukan melalui instrumen ekonomi seperti pajak input, pajak output dan kuota Fauzi 2004. Namun, pengenaan pajak input untuk mengoreksi kelebihan input perlu dicermati secara berhati-hati. Selanjutnya, dikemukakan bahwa pengenaan pajak terhadap input atau faktor produksi akan menimbulkan peningkatan biaya per unit upaya penangkapan, yang pada gilirannya akan menaikkan biaya total penangkapan ikan. Dalam hal ini pengenaan pajak input akan mengurangi tingkat upaya penangkapan, tetapi rente ekonomi yang dihasilkan oleh kegiatan penangkapan tidak dimiliki nelayan tetapi ditransfer ke pemerintah sebagai pemegang otoritas sumberdaya ikan. Penerapan instrumen pajak input dalam kegiatan perikanan tangkap dianggap kurang efektif untuk mengurangi kelebihan upaya penangkapan, karena input atau faktor produksi perikanan tangkap terdiri atas jenis input yang dapat dikenai pajak dan jenis input yang tak dapat dikenai pajak secara langsung, misalnya tenaga kerja nelayan dan trip penangkapan. Sifat input tersebut akan menimbulkan subsitusi dari input yang dikenai pajak ke input yang tidak dikenai pajak. Pajak output merupakan penerapan pajak terhadap setiap kilogram ikan hasil tangkapan, sehingga penerimaan total menurun Fauzi 2004. Dalam hal ini, terjadi pengurangan upaya penangkapan, dan jumlah pajak yang dihasilkan adalah diperoleh pemerintah. Walaupun terjadi pengurangan upaya penangkapan, namun instrumen pajak output dianggap tidak efektif karena kesulitan enforcement. Penerapan pajak output pada perikanan pelagis kecil di wilayah penelitian membutuhkan penanganan serius karena faktor enforcement, tempat pendaratan ikan berbeda-beda dan sulit dikontrol, tingkat pemasaran bervariasi dan armada penangkapan umumnya berskala kecil. Aplikasi instrumen pajak input dan output untuk mencegah kelebihan upaya penangkapan sangat membutuhkan langkah- langkah pembenahan terhadap masalah enforcement dalam kegiatan pendaratan ikan di lokasi yang ditentukan dan terkontrol dan tingkat pemasaran yang tepat, selain pembenahan terhadap perikanan tangkap yang masih tradisional. Dapat disimpulkan bahwa aplikasi model bioekonomi GS dalam penelitian ini merupakan instrumen penting untuk memahami status pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil di WPP-714 Laut Banda. Model analisis ini bersifat statis dan telah mengakomodir prinsip dasar pengelolaan perikanan. Informasi yang dihasilkan berupa upaya penangkapan, produksi lestari, biomasa, dan rente ekonomi dapat digunakan sebagai informasi awal untuk mengetahui status pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil pada rezim MEY, MSY, dan open access . Terdapat gejala overfishing pada perikanan pelagis kecil di WPP-714 Laut Banda tahun 2005 hingga 2006. Perikanan pelagis kecil mencapai keseimbangan open access pada tingkat produksi 5.184,11 ton per tahun dengan upaya sebesar 15.495,41 trip. Pengelolaan pada kondisi MSY mencapai produksi 57.589 ton per tahun, tingkat upaya optimum 7.945 trip, dan rente ekonomi sebesar Rp. 200.499.420.000.- Pada kondisi MEY, produksi yang dicapai 57.535,23 ton per tahun, upaya optimal 7.747,71 trip, dengan rente ekonomi yaitu sebesar Rp 200.542.580.000.- Kapasitas output pada MSY adalah tertinggi dibanding MEY dan open access, tetapi menghasilkan profit yang lebih rendah dari MEY. 5.2 Kapasitas Perikanan Pelagis 5.2.1 Efisiensi perikanan pelagis kecil Bagian ini menguraikan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan WPP- 714 Laut Banda, periode 1985 hingga 2006, dengan menggunakan teknik data envelopment analysis , DEA, skala CRS maupun VRS. Pendekatan DEA pada umumnya digunakan untuk mengevaluasi efisiensi dari beberapa objek atau