penangkapan yang tercapai berdasarkan hasil analisis goal programming, karena nilai deviasinya DA6=0 dan DB6=0. Analisis sensitivitas parameter fungsi
tujuannya memperlihatkan nilai parameter DA5=1 dan DB=1 Perubahan nilai ruas kanan kendala tanpa perubahan variabel keputusan
berdasarkan analisis sensitivitas parameter nilai ruas kanan kendala menghasilkan nilai sebagai berikut Tabel 38. Dalam mengoptimalkan total hasil tangkapan di
perairan Laut Banda, perikanan pelagis kecil ditargetkan 57.589.000 kg nilai pada ruas kanan, yang diperbolehkan meningkat tak terbatas infinity dan dapat
diturunkan sebesar 9 kg. Untuk nilai upaya penangkapan sebesar 7.945 trip pada ruas kanan diperbolehkan meningkat tak terbatas, dan dapat diturunkan sebesar 1
386 trip. Begitu juga jumlah nelayan dengan target 4.5250 orang diperbolehkan meningkat tak terhingga, dan dapat diturunkan sebesar 38.644 orang. Berpatokan
pada pengelolaan berdasarkan kapasitas MSY sebagai dasar analisis, maka peningkatan yang tak terbatas infinity dari produksi ikan, upaya penangkapan,
dan jumlah nelayan tidak dianjurkan dalam eksploitasi sumberdaya ikan. Sebab, peningkatan input dan output secara infinity, akan menimbulkan excess capacity,
overexploited , dan berdampak terhadap degradasi sumberdaya.
Nilai PAD diperbolehkan meningkat Rp 786.- dapat diturunkan sebesar Rp 344.305.094. Kebutuhan konsumsi diperbolehkan meningkat 29.347.324 kg,
dan dapat diturunkan sebesar 5.323.220 kg. Pada alokasi optimal alat tangkap, ternyata nilai kendala PAD perikanan pelagis kecil mendekati maksimal. Di sisi
lain, kendala konsumsi protein boleh ditingkatkan ataupun diturunkan.
Tabel 38 Analisis sensitivitas pada optimalisasi alokasi alat tangkap di perairan WPP- 714 Laut Banda
Righthand Side Ranges RHS Row
Current RHS Allowable increase
Allowable decrease Produksi
Upaya Nelayan
PAD Protein
57589.000 7945.000
45250.000 4729496.000
45635488.000 INFINITY
INFINITY INFINITY
0.786 29347324.000
0.009 1386.152
38643.961 344305.094
5323220.000
5.4.4 Analisis pengembangan perikanan pelagis kecil
Pengembangan perikanan pelagis saat ini pada hakekatnya dapat dipandang sebagai sebuah proses perbaikan kondisi perikanan yang dilakukan melalui suatu
rencana yang berkesinambungan, karena kompleksitas dalam mendayagunakan sumberdaya manusia, sumberdaya ikan, sumberdaya ekonomi dan lainnya.
Perencanaan pengembangan tersebut membutuhkan informasi status sumberdaya ikan, kapasitas perikanan, efisiensi penangkapan dan alokasi optimal unit
penangkapan dengan visi ke depan adalah: “pengelolaan perikanan pelagis berbasis kapasitas dan efisiensi bagi kesejahteraan masyarakat”. Tujuan
pengelolaan: menyeimbangkan faktor-faktor input armada penangkapan dengan keberlanjutan sumberdaya ikan.
Terdapat elemen penting dalam pengelolaan perikanan menurut Undang- Undang No. 31 Tahun 2004. Elemen pengelolaan tersebut mencakup: i
Pengumpulan data informasi; ii Penganalisaan; iii Penegakan hukum; iv Konsultasi; v Alokasi sumberdaya. Perencanaan merupakan langkah awal
pengelolaan yang baik dan perumusan membutuhkan keterlibatan seluruh stakeholder
untuk mencapai tujuan pengelolaan. Pada hakekatnya pengelolaan perikanan dapat dibedakan menjadi akses terbuka dan pengelolaan yang diarahkan
pada berbagai sasaran. Masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda. Misalnya, rezim akses terbuka mengarah ke inefisiensi alokasi dan degradasi
sumberdaya, sedangkan pengelolaan bersifat arahan ke suatu sasaran tertentu, misalnya MSY ataupun MEY. Konsekuensi pengelolaan MSY dan MEY secara
berturut-turut memberikan dampak berbeda terhadap produksi termasuk konsumsi dan dampak ekonomi.
Perumusan strategi pengembangan perikanan tangkap didasarkan pada pendekatan analisis lingkungan strategis LINSTRA yang meliputi kekuatan
strength, kelemahan weakness, peluang opportunity, dan ancaman threats. Analisis LINSTRA perikanan tangkap pelagis kecil mengacu pada logika bahwa
institusi atau organisasi yang berwewenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan sumberdaya selalu berada dalam suatu sistem yang selalu saling
berhubungan dan saling mempengaruhi. Dengan demikian, untuk menghasilkan rencana pengelolaan, maka organisasi perlu mengenali dan menguasai informasi
lingkungan strategik berdasarkan analisis LAN RI 2007. Analisis tersebut bermanfaat
untuk mendeteksi
perubahan dan
peristiwa penting
dalam pengelolaan, merumuskan tantangan dan peluang akibat perubahan, menghasilkan
informasi tentang orientasi masa depan, dan merekomendasi kegiatan yang dibuat organisasi.
Perikanan pukat cincin dan jaring insang direkomendasikan untuk dikembangkan berdasarkan hasil analisis alokasi optimal alat penangkapan
dengan pendekatan goal programming, dan hasil analisis inefisiensi teknis. Dalam hal ini, pengembangan perikanan pukat cincin dan jaring insang dipilih dengan
beberapa dasar pertimbangan sebagai berikut: i status potensi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Laut Banda terindikasi overfishing, ii penyerapan
tenaga kerja nelayan, iii peluang peningkatan produksi, dan iv selektivitas alat tangkap.
Sumber-sumber untuk melakukan analisis LINSTRA meliputi task
environment , organization environment, dan macro environment LAN RI 2007.
Dalam konteks pengelolaan sumberdaya perikanan, task environment mencakup aktivitas pengelolaan oleh stakeholder atau pengguna sumberdaya dalam institusi
atau organisasi. Organization environment merupakan organisasi pemerintah maupun swasta yang berkaitan erat dengan institusi pengelola sumberdaya. Macro
environment terutama yang berkaitan dengan sektor sosial, politik, ekonomi, dan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi institusi pengelola. Di samping itu, indentifikasi faktor lingkungan strategis didasarkan pada arahan FAO
tentang pengelolaan kapasitas penangkapan FAO 2008. Faktor-faktor penting dalam pengelolaan kapasitas adalah partisipasi, tahapan pelaksanaan, pendekatan
secara holistik, konservasi, prioritas, teknologi, mobilitas, dan tranparansi. Pencermatan lingkungan strategik dalam pengelolaan sumberdaya perikanan
pelagis pada hakekatnya digunakan untuk mengetahui kondisi pengelolaan saat ini. Hal tersebut dilakukan dengan mencermati kondisi di dalam dan di luar
institusi pengelolaan berupa kelemahan dan kekuatan sebagai lingkungan internal, serta peluang dan tantangan sebagai lingkungan eksternal LAN RI 2007.
Indentifikasi lingkungan strategik perikanan pelagis kecil didasarkan pada hasil analisis bioekonomi, kapasitas penangkapan, efisiensi teknis penangkapan, alokasi
optimal alat tangkap, pengamatan lapangan, dan literatur penunjang. Hasil identifikasi LINSTRA sebagai berikut.
1 Strength kekuatan 1 Kebijakan pembangunan sub-sektor perikanan tangkap oleh Pemerintah
Daerah dan implementasinya di Maluku; 2 Ketersediaan tenaga kerja nelayan ABK yang relatif banyak dalam
kaitannya dengan peningkatan produksi; 3 Pengalaman nelayan dalam penangkapan pelagis kecil serta penguasaan
teknologi penangkapan dan relevansinya dengan peningkatan efisiensi; 4 Ketersediaan prasarana perikanan di Maluku, seperti pelabuhan perikanan
dan fasilitas ruang penyimpanan dingin; 5 Pengembangan pukat cincin dan jaring insang sebagai faktor produksi
panjang dan lebar alat tangkap berdasarkan analisis stochastic production frontier
dan optimalisasi alokasi alat tangkap. 2 Weakness kelemahan
1 Pengaruh faktor manajerial nahkoda umur, pendidikan terhadap efisiensi teknis penangkapan;
2 Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap peraturan perikanan, seperti ukuran mata jaring yang tidak sesuai dengan
peruntukannya; 3 Pengaturan bersama antar kabupatenkota di Maluku dalam pengelolaan
sumberdaya ikan berdasarkan kapasitas penangkapan; 4 Total hasil tangkapan ikan pelagis kecil relatif berfluktuasi menurut
ukuran dan kualitas produksi relatif tidak seragam; 5 Penghasilan nelayan dari subsektor perikanan tangkap belum memadai dan
lebih rendah dari pada upah minimum regional subsektor perikanan di Maluku.
3 Peluang opportunity; 1 Ketersediaan potensi pasar domestik maupun ekspor bagi produksi;
2 Ketersediaan prasarana ekonomi wilayah yang dibangun oleh pihak pemerintah dan swasta seperti sistem transportasi dan komunikasi;
3 Perhatian investor cukup tinggi terhadap pembangunan subsektor perikanan tangkap;
4 Keinginan masyarakat pesisir di kabupatenkota yang kuat untuk berusaha dalam bidang perikanan;
5 Kebijakan pemerintah kabupatenkota dalam pembangunan perikanan sebagai salah satu sektor penghasil penerimaan asli daerah PAD.
4 Ancaman threats; 1 Kelebihan kapasitas dan gejala overfishing pada perikanan pelagis kecil di
perairan Laut Banda; 2 Peningkatan harga dan pengurangan subsidi BBM dalam kaitannya dengan
kelangsungan usaha perikanan tangkap; 3 Kompetisi tinggi dalam kegiatan penangkapan ikan sebagai konsekuensi
dari sistem pengelolaan yang bersifat akses terbuka; 4 Kesulitan dalam memperoleh kredit investasi untuk pengembangan unit
penangkapan sebagai akibat usaha perikanan tangkap yang berisiko tinggi; 5 Kondisi cuaca yang tidak menentu sehingga mempengaruhi proses
penangkapan. Seperti telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa kebijakan
pembangunan perikanan tangkap di Provinsi Maluku mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan. Sasaran kebijakan
pemerintah Provinsi Maluku dalam bidang kelautan adalah termanfaatkan potensi kelautan secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program-program
pembangunan sesuai tujuan pembangunan perikanan Maluku. Secara ringkas, tujuan ini dirumuskan sebagai optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan dalam rangka peningkatan penerimaan devisa, kesejahteraan nelayan, kecukupan gizi, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Kebijakan
tersebut pada hakekatnya merupakan suatu pijakan yang strategis bagi pengembangan perikanan tangkap ke depan.
Dalam konteks sistem perikanan tangkap, peran serta masyarakat adalah sangat penting sebagai aktor pengembangan. Sumberdaya manusia adalah cukup
tersedia di Kabuapten Maluku Tengah dan Kota Ambon. Dari sisi teknologi, mereka cukup berpengalaman dan menguasai teknologi penangkapan sehingga
memudahkan pelaksanaan proses penangkapan ikan. Ketersediaan tenaga kerja nelayan berkaitan dengan produksi adalah ditunjukkan oleh analisis SPF. Analsis
ini memperlihatkan korelasi antara jumlah nelayan ABK per kapal dengan peningkatan produksi.
Tingkat penguasaan teknologi alat tangkap diperlihatkan oleh kemampuan dan pengalaman mereka dalam mendesain dan mengoperasikan pukat cincin dan
jaring insang. Ternyata pengalaman sebagai salah satu modal sosial berperan penting dalam meningkatkan efisiensi teknis penangkapan. Hasil analisis
inefisiensi teknis penangkapan menunjukkan pengalaman nahkoda berkontribusi positif terhadap efisiensi.
Prasarana perikanan seperti pelabuhan merupakan faktor pendukung operasi penangkapan. Pelabuhan berfungsi sebagai i pusat layanan perbekalan dan
informasi, ii tempat tambat labuh kapal, iii pendaratan dan pembokaran hasil tangkapan, dan iv tempat pengolahan dan pemasaran hasil tangkapan. Proses
pengolahan dan penyimpanan dilakukan dengan penyimpanan pada ruang pendingin untuk mempertahankan mutu hasil tangkapan. Dalam program
pembangunan, pemerintah telah merevitalisasi prasarana pelabuhan perikanan, seperti Pangkalan Pendaratan Ikan PPI Eri di Kota Ambon, PPI Amahai di
Kabupaten Maluku Tengah, dan Pelabuhan Perikanan Nusantara PPN Ambon. Prasarana tersebut sangat memudahkan pendaratan hasil tangkapan dan distribusi
bahan bakar minyak. Selain itu, dimanfaatkan sebagai tempat transaksi bisnis hasil tangkapan.
Faktor kekuatan lain adalah rekomendasi pengembangan pukat cincin dan jaring insang berdasarkan alokasi optimal alat tangkap. Dalam konteks efisiensi
teknis, pukat cincin dan jaring insang merupakan alat tangkap berefisiensi relatif tinggi serta lebih selektif dalam penangkapan. Dengan demikian, dampak
penggunaannya terhadap degradasi sumberdaya ikan adalah relatif kecil, jika dibandingkan dengan penggunaan pukat pantai dan bagan. Panjang dan lebar alat
tangkap merupakan faktor yang cukup berperan dalam peningkatan produksi. Hasil analisis SPF menunjukkan bahwa panjang dan lebar alat tangkap berkorelasi
positif terhadap peningkatan produksi, sehingga merupakan faktor penting dalam pengembangan.
Manajerial nahkoda merupakan faktor kelemahan dalam manajemen operasi penangkapan berdasarkan hasil analisis inefisiensi teknis penangkapan. Faktor
tersebut mempengaruhi efisiensi teknis penangkapan, melalui kemampuan manajerial dalam proses pengambilan keputusan ketika melakukan operasi.
Pengambilan keputusan tepat sangat diperlukan untuk menentukan daerah penangkapan dan mengalokasikan faktor produksi pada saat yang tepat, karena
kegiatan penangkapan terkait dengan sifat khusus yang melekat pada sumberdaya ikan. Karakteristik tersebut sering memberi kesan bahwa perikanan tangkap penuh
dengan unsur ketidakpastian yang tinggi. Dengan demikian, diperlukan nahkoda yang memiliki kemampuan manajerial lebih baik dalam meningkatkan efisiensi
teknis penangkapan. Pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan sumberdaya ikan
merupakan kelemahan yang perlu diminimalkan. Tanpa pengawasan efektif, akan menyulitkan
penentuan jumlah
kapasitas penangkapan
yang seharusnya
digunakan sebagai dasar pengelolaan. Disamping itu, menurunnya potensi di perairan laut pesisir mengindikasikan perlunya suatu upaya pengaturan bersama
dalam pengelolaan potensi sumberdaya ikan. Pengelolaan bersama seyogianya akan meminimalkan fluktuasi hasil tangkapan termasuk ukuran dan kualitas ikan.
Fluktuasi ukuran, jumlah, dan kualitas hasil tangkapan dapat mempengaruhi pendapatan nelayan. Sehingga, diperlukan upaya menaikan pendapatan melalui
peningkatan efisiensi teknis penangkapan. Jumlah penduduk yang besar merupakan potensi pasar bagi produk
perikanan. Pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang produk perikanan sebagai makanan sehat dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk memasarkan
hasil tangkapan. Dalam hal ini, pemasaran produk perikanan secara domestik dan ekspor dapat dilakukan oleh perusahaan perikanan dalam bentuk ikan beku.
Ketersediaan prasarana ekonomi wilayah yang dibangun oleh pemerintah dan swasta berupa sistem tarnsportasi dan komunikasi merupakan peluang yang harus
dimanfaatkan dalam rangka pengembangan. Di samping itu, perhatian investor sebagai respons terhadap program pemerintah adalah cukup besar dalam hal
investasi pada subsektor perikanan tangkap. Perhatian tersebut terlihat pada upaya merevitalisasi usaha perikanan tangkap dan sekaligus penyediaan ruang
penyimpanan dingin bagi penyimpanan hasil tangkapan. Perhatian investor tersebut adalah relevan dengan hasil analisis SPF di mana variabel investasi
memberikan respons positif terhadap peningkatan produksi. Investasi berperan dalam pengadaan dan perbaikan unit penangkapan. Hal ini dibutuhkan nelayan
karena pada umumnya mereka memiliki keterbatasan modal untuk pengembangan usaha. Modal investasi diperuntukan bagi pengembangan pukat cincin dan jaring
insang sesuai hasil analisis optimal alokasi alat tangkap. Dengan demikian, investasi merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan dalam pengembangan
perikanan tangkap. Respons nelayan terhadap investasi tentunya ditunjang oleh keinginan masyarakat pesisir di Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon
untuk berusaha dalam bidang perikanan tangkap. Faktor peluang keinginan berusaha dari masyarakat pesisir adalah searah dengan kebijakan pemerintah
kabupatenkota di Maluku tentang peningkatan PAD melalui sektor perikanan. Sehingga, perpaduan faktor kebijakan pemerintah dan keinginan berusaha
masyarakat pesisir merupakan faktor penting pengembangan perikanan tangkap. Informasi awal tentang potensi sumberdaya ikan merupakan salah satu
faktor penting bagi pengembangan. Indikasi kelebihan kapasitas pada perikanan pelagis kecil di perairan Laut Banda dapat merupakan ancaman bagi
pengembangan perikanan. Hasil analisis menunjukkan potensi MSY ikan pelagis kecil sekitar 57.589 tontahun. Eksploitasi sumberdaya pada tingkat lebih rendah
dari MSY dapat mempertahankan kelestarian sumberdaya bagi pengembangan perikanan masa depan. Pada kondisi kelebihan kapasitas, pengembangan atau
penambahan input
mengakibatkan penurunan
penerimaan dan
degradasi sumberdaya. Eksistensi kelebihan kapasitas dan overfishing menghendaki
pengelolaan potensi sumberdaya secara bijaksana untuk mengurangi gejala dimaksud. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penangkapan ikan
semakin jauh karena perairan dekat pantai telah mengalami eksploitasi cukup tinggi. Misalnya, teridentifikasi bahwa nelayan pukat cincin yang berbasis di
wilayah Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah melakukan operasi penangkapan sampai di perairan Kabupaten Seram Bagian Barat dan sekitarnya.
Selain itu, nelayan di Kecamatan Nusanive Kota Ambon melakukan operasi pada daerah penangkapan yang cukup jauh dari pantai kearah Laut Banda. Berdasarkan
hasil analisis, unit pukat cincin dari fishing base Kecamatan Leihitu dan Nusanive
tersebut memiliki tingkat efisiensi teknis relatif tinggi dibandingkan dengan fishing base
lainnya. Kenaikan harga dan pengurangan subsidi BBM berdampak terhadap pola
operasi penangkapan, karena BBM merupakan komponen terbesar biaya operasi harus ditanggung nelayan. Kebijakan kenaikan harga BBM dan pengurangan
subsidi tentunya merupakan ancaman bagi kelangsungan usaha penangkapan. Di sisi lain, kompetisi yang tinggi terus berlangsung dan dihadapi nelayan dalam
operasi penangkapan. Kompetisi mengakibatkan sumberdaya dieksploitasi secara intensif, penurunan rente ekonomi dan tingkat efisiensi teknis. Sehingga, untuk
mencapai tingkat efisiensi lebih tinggi dibutuhkan alokasi faktor produksi seminimal mungkin dalam operasi penangkapan.
Tabel 39 Evaluasi lingkungan internal-eksternal pengembangan perikanan pelagis
A. Faktor-faktor internal Bobot
Rating Skor
Kekuatan 1. Kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Maluku
0.06 3
0.18 2. Ketersediaan tenaga kerja
0.15 4
0.60 3. Pengalaman nelayan dan penguasaan teknologi
0.15 4
0.60 4. Ketersediaan prasarana perikanan di Maluku
0.10 3
0.30 5. Efisiensi pukat cincin dan jaring insang
0.05 2
0.10
Sub-total 1.78
Kelemahan 1. Kemampuan manajerial dan efisiensi teknis penangkapan
0.20 1
0.20 2. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum
0.06 2
0.12 3. Pengaturan penangkapan bersama berdasarkan kapasitas
0.05 2
0.10 4. Fluktuasi produksi total, ukuran dan kualitas tidak seragam
0.08 1
0.08 5. Penghasilan nelayan belum memadai
0.10 1
0.10
Sub-total 0.60
Total skor 2.38
B. Faktor-faktor eksternal Bobot
Rating Skor
Peluang 1. Ketersediaan potensi pasar domestik dan ekspor
0.15 4
0.60 2. Prasarana ekonomi wilayah dan sistem transportasi
0.12 2
0.24 3. Perhatian investor pada sub-sektor perikanan tangkap
0.10 4
0.40 4. Keinginan masyarakat untuk usaha perikanan
0.05 3
0.15 5. Prioritas pembangunan perikanan untuk PAD
0.05 3
0.15
Sub-total 1.54
Ancaman 1. Kelebihan kapasitas dan gejala overfishing
0.15 3
0.45 2. Peningkatan harga dan pengurangan subsidi BBM
0.20 2
0.40 3. Kompetisi tinggi dalam penangkapan ikan
0.08 1
0.08 4. Kesulitan memperoleh kredit investasi alat tangkap
0.05 1
0.05 5. Kondisi cuaca tidak menentu
0.05 2
0.10
Sub-total 1.08
Total skor 2.62
Keterangan: = hasil analisis; = pendapat responden; = pendapat peneliti
Faktor kesulitan memperoleh fasilitas kredit dari institusi keuangan akan berimplikasi terhadap kemampuan nelayan untuk mengembangkan usaha
penangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya investasi pada tahun 2005 untuk pukat cincin mencapai Rp 190.000.000.- per unit, sedangkan jaring
insang sebesar Rp 23.000.000.- Kondisi cuaca yang tidak menentu mempengaruhi operasi penangkapan dan selanjutnya berdampak terhadap fluktuasi hasil
tangkapan, sehingga perlu diantisipasi dalam operasi penangkapan. Fluktuasi produksi mempengaruhi pendapatan nelayan, yang diperoleh melalui sistem bagi
hasil perikanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan nelayan di Maluku tergolong rendah dan belum memadai, jika dibandingkan dengan upah
minimum regional sektor perikanan Provinsi Maluku Tahun 2005, sebesar
Rp 615.000.- per bulan. Matriks internal-eksternal dibuat berdasarkan hasil identifikasi faktor
lingkungan internal dan eksternal pengelolaan. Faktor-faktor tersebut merupakan pendapat responden dan peneliti serta hasil analisis penelitian. Pembuatan maktris
dilakukan dengan pembobotan masing-masing faktor, yaitu mulai 1.0 sangat penting sampai dengan 0.0 tidak penting dalam konteks pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap posisi strategi pengembangan. Pemberian rating terhadap faktor- faktor yang mempengaruhi dilakukan dengan rentang nilai rating 1 kurang
berpengaruh hingga 5 sangat berpengaruh terhadap kondisi pengembangan Rangkuti 2000.
Analisis pilihan strategi dikembangkan berdasarkan matriks internal- eksternal LAN RI 2007. Analisis ini menyatakan apa yang harus dicapai dalam
pengelolaan, dan kegiatan spesifik apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam hal ini, pengalokasian sumberdaya perlu dilakukan
secara efektif dan optimal dalam pengelolaan perikanan. Pilihan strategi dilakukan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan strategi pengembangan perikanan
pelagis kecil. Strategi-strategi pengembangan yang dihasilkan, membutuhkan kebijakan untuk diimplementasikan.
Tabel 40 Strategi-strategi pengembangan perikanan pelagis
Faktor Internal Kekuatan S
Kelemahan W
Faktor Eksternal
1. Kebijakan pembangunan perikanan tangkapMaluku.
2. Ketersediaan tenaga kerja 3. Pengalaman nelayan dan
penguasaan teknologi 4. Ketersediaan prasarana
perikanan di Maluku 5. Efisiensi unit pukat cincin
dan jaring insang 1. Kemampuan manajerial dan
efisiensi teknis enangkapan 2. Lemahnya pengawasan dan
penegakan hukum 3. Pengaturan penangkapan
berdasarkan kapasitas 4. Fluktuasi produksi total,
ukuran dan kualitas tidak seragam
5. Penghasilan nelayan belum memadai
Peluang O Strategi SO
Strategi WO
1. Ketersediaan potensi pasar domestik dan ekspor
2. Prasarana ekonomi wilayah dan sistem tranportasi
3. Perhatian investor pada sub- sektor perikanan tangkap
4. Keinginan masyarakat untuk usaha perikanan
5. Prioritas pembangunan perikanan utuk PAD
1. Pemberdayaan nelayan perikanan pelagis kecil
2. Peningkatan kualitas hasil tangkapan sesuai
permintaan pasar 3. Pengembangan kemitraan
usaha perikanan 1. Peningkatan kualitas SDM
nelayan dalam manajemen usaha
2. Rasionalisasi alat tangkap berbasis kapasitas
penangkapan 3. Pengembangan kapasitas
institusi
Ancaman T Strategi ST
Strategi WT
1. Kelebihan kapasitas dan gejala overfishing
2. Peningkatan harga dan pengurangan subsidi BBM
3. Kompetisi tinggi dalam penangkapan ikan
4. Kesulitan memperoleh kredit investasi alat tangkap
5. Kondisi cuaca tidak tentu 1. Pembatasan dan pengawasan
terhadap ijin penangkapan ikan
2. Peningkatan efisiensi penangkapan unit pukat
cincin dan jaring insang 1. Perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya ikan berbasis kapasitas
dengan melibatkan stakeholder
2. Pengembangan usaha alternatif yang lebih
produktif dan ekonomis di luar sektor perikanan
Prioritas strategi pengembangan didasarkan pada skor masing-masing faktor yang disusun berdasarkan tabel IFAS internal strategic factor analysis summary
dan tabel EFAS external strategic factor analysis summary. Penentuan prioritas strategi dilakukan dengan instrumen analisis SWOT Rangkuti 2000.
Tabel 41 Prioritas strategi pengembangan perikanan pelagis IFAS
EFAS Kekuatan S
1.78 Kelemahan W
0.60 Peluang O
1.54 Strategi SO
3.32
Strategi WO
2.14
Ancaman T 1.08
Strategi ST
2.98
Strategi WT
1.8
Berdasarkan matrik skor strategi, maka prioritas kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil adalah sebagai berikut.
1 Strategi-SO, kebijakannya: 1 Pemberdayaan nelayan perikanan pelagis kecil;
2 Peningkatan kualitas hasil tangkapan sesuai permintaan pasar; 3 Pengembangan kemitraan usaha perikanan.
2 Strategi-ST, kebijakannya: 1 Pembatasan dan pengawasan terhadap ijin penangkapan ikan;
2 Peningkatan efisiensi penangkapan unit pukat cincin dan jaring insang. 3 Strategi-WO, kebijakannya:
1 Peningkatan kualitas SDM nelayan dalam manajemen usaha; 2 Rasionalisasi alat tangkap berbasis kapasitas penangkapan;
3 Pengembangan kapasitas institusi; 4 Strategi-WT, kebijakannya:
1 Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis kapasitas dengan melibatkan stakeholder;
2 Pengembangan usaha alternatif yang lebih produktif dan ekonomis di luar sektor perikanan.
5.4.5 Pembahasan