Latar Belakang Status eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di Perairan Maluku dan kapasitas penangkapannya

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat 4,512 juta ton per tahun Ditjen Perikanan Tangkap, 2008. Angka tersebut menunjukkan tingkat pemanfaatan pada tahun 2006 telah mencapai 70,5 per tahun. Berdasarkan Tatalaksana Untuk Perikanan Yang Bertanggungjawab Code of Conduct for Responsible Fisheries, CCRF yang diterbitkan oleh FAO, jumlah tangkapan yang diperbolehkan total allowable catch, TAC adalah sebesar 80 dari maximum sustainable yield, MSY, FAO 1995. Mengacu pada TAC tersebut, maka produksi maksimum lestari di Perairan Indonesia yang diperbolehkan diestimasi sekitar 5,12 juta ton per tahun. Sebagai salah satu aset bangsa maka potensi sumberdaya perikanan harus dimanfaatkan secara bijaksana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya nelayan dan sekaligus menjaga kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya sesuai amanat Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Amanat pemanfaatan tersebut telah diperluas dalam tujuan pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kontribusi sub-sektor perikanan tangkap terhadap pembangunan perekonomian nasional, terutama untuk membantu mengatasi krisis ekonomi bangsa dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, penerimaan devisa, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak Mangga Barani 2003b. Pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya perikanan laut sebagai penggerak utama pembangunan nasional memiliki beberapa alasan utama Dahuri 2004 sebagai berikut: 1 bahwa laut secara fisik merupakan faktor dominan dengan potensi ekonomi yang besar dan beragam; 2 adanya peningkatan permintaan global terhadap produk perikanan akibat pertambahan penduduk serta kesadaran tentang gizi ikani; 3 industri kelautan dapat menciptakan backward and forward-linkage industries yang tinggi dengan industri lain; 4 sebagian besar sumberdaya kelautan bersifat dapat diperbaharui renewable resources; 5 sebagian besar kegiatan ekonomi kelautan dan perikanan berada pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; 6 dengan penguasaan dan penegakan kedaulatan di laut maka aspek pertahanan dan keamanan, dan kedaulatan wilayah terjamin. Seperti disebutkan bahwa tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya ikan total secara nasional pada tahun 2006 telah mencapai 70,5. Namun, ditinjau dari Wilayah Pengelolaan Perikanan WPP maupun kelompok sumberdaya maka status pemanfaatan potensi adalah beragam. Misalnya, WPP Selat Malaka dan WPP Laut Jawa diklasifikasi overexploited, sedangkan WPP lainnya masih berstatus underexploited DKP RI 2006. Selain itu, status pemanfaatan menurut kelompok sumberdaya ikan yaitu kelompok ikan pelagis besar, pelagis kecil, demersal, udang penaeid, ikan karang konsumsi, lobster, dan cumi-cumi bervariasi pada masing-masing WPP. Teridentifikasi bahwa kelompok sumberdaya yang sama, telah berstatus overexploited pada beberapa WPP tertentu, sedangkan di WPP lainnya masih underexploited. Sebagai contoh, pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil telah berstatus overexploited pada WPP Selat Malaka, Laut Jawa dan Laut Banda, sedangkan pada WPP lainnya pemanfaatan pelagis kecil masih berstatus underexploited DKP RI 2006. Fluktuasi tingkat pemanfaatan potensi tersebut tergantung pada aspek biologi sumberdaya ikan, aspek ekonomi, dan pengelolaan sumberdaya. Kebijakan modernisasi perikanan rakyat melalui pengembangan kapal motor dan perbaikan teknologi alat penangkapan ikan telah dilakukan sejak tahun 1967. Modernisasi tersebut menurut Choliq 1996 yang diacu dalam Masyahoro 2004, telah memacu perkembangan produksi perikanan laut sebesar 4,19 per tahun. Pada periode tahun 1999-2004 jumlah armada penangkapan nasional relatif mengalami peningkatan rata-rata 3,3 per tahun. Namun, armada penangkapan nasional masih didominasi oleh perahu-perahu berukuran kecil yaitu Perahu Tanpa Motor PTM. Jumlah armada penangkapan ikan PTM rata-rata mencapai sekitar 50 dari total armada penangkapan nasional. Sedangkan selebihnya merupakan Perahu Motor Tempel PMT sekitar 30 dan Kapal Motor 20. Implementasi kebijakan modernisasi perikanan belum terkendali dan tingkat pemanfaatan potensi sumberdaya ikan adalah tidak merata di seluruh perairan Indonesia, bahkan sumberdaya ikan di beberapa perairan pesisir di bawah 12 mil laut tertentu telah dimanfaatkan intensif dan mengindikasikan gejala overfishing Mangga Barani 2003a. Potensi sumberdaya perikanan di Perairan Provinsi Maluku diestimasi sekitar 1,22 juta ton, yang terdistribusi pada WPP Laut Banda, WPP Laut Arafura dan WPP Laut Seram dan sekitarnya DKP RI 2006. Potensi ini didominasi oleh kelompok jenis ikan pelagis kecil sebesar 558.306 ton per tahun dan pelagis besar 261.490 ton per tahun. Sedangkan potensi ikan demersal diestimasi sekitar 300.500 ton per tahun, udang panaeid 44.000 ton per tahun, ikan karang konsumsi 47.700 ton per tahun, lobster 800 ton per tahun dan cumi-cumi 10.570 ton per tahun. Selain itu, Data Statistik Perikanan Maluku menunjukkan bahwa total produksi perikanan laut pada tahun 2004 mencapai 424.735 ton dan tahun 2005 tercatat 484.747 ton, dengan kenaikan rata-rata 14,12. Angka-angka potensi sumberdaya dan produksi perikanan tersebut mengindikasikan bahwa perikanan laut masih dapat dikatakan memiliki prospek pengembangan ke depan. Sebagai provinsi kepulauan yang didominasi oleh lautan sekitar 90 dari total luas wilayah Maluku dan memperhatikan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang batas-batas kewenangan pemerintah pusatpropinsikabupatenkota pada wilayah perairan laut Indonesia, maka potensi sumberdaya ikan merupakan tumpuan bagi pengembangan sub-sektor perikanan tangkap di Maluku ke depan. Pemanfaatan dan pengembangan potensi sumberdaya ikan di Provinsi Maluku bertujuan untuk: 1 memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan secara optimal dan berkelanjutan, 2 meningkatkan penerimaan devisa negara dari ekspor hasil perikanan dan kelautan, 3 meningkatkan kesejahteraan nelayan, 4 meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia perikanan, 5 meningkatkan kecukupan gizi masyarakat dari hasil perikanan, 6 meningkatkan penyerapan tenaga kerja dan kesempatan berusaha, 7 menurunkan tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan DKP Maluku, 2005b. Untuk mencapai tujuan di atas, telah digariskan sasaran pembangunan perikanan dan kelautan Maluku sampai dengan tahun 2008 sebagai berikut 1 Meningkatkan armada penangkapan sebesar 39.881 buah yang terdiri dari PTM 37.349 buah, PMT 1.773 buah, dan KM 759 buah; 2 Penyerapan nelayan perikanan tangkap sebesar 121.791 orang; 3 Produksi perikanan tangkap minimal sebesar 441.172 ton; 4 Ekspor produksi perikanan minimal 338.599 ton; 5 PAD minimal mencapai Rp 11,4 milyar; 6 Meminimalisir tingkat pelanggaran pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Salah satu kawasan perairan Provinsi Maluku yang penting dan perlu mendapat perhatian adalah WPP Laut Banda, dikenal saat ini sebagai “WPP-714 Laut Banda” Nurhakim et al. 2007. WPP-714 Laut Banda mencakup hampir seluruh wilayah perairan Kabupaten Maluku Tengah termasuk Kota Ambon. Kawasan WPP tersebut diestimasi mengandung potensi sumberdaya ikan sekitar 278.400 ton per tahun, yang terutama didominasi oleh kelompok sumberdaya ikan pelagis kecil dan pelagis besar DKP RI 2006. Menurut hasil kajian Nurhakim et al. 2007, sumberdaya ikan pelagis kecil yang cukup penting di WPP-714 Laut Banda adalah ikan layang, teri, dan lemuru. Potensi pelagis kecil tersebut terutama dimanfaatkan oleh para nelayan yang berbasis di Kabupaten Maluku Tengah dan Kota Ambon. Kedua wilayah KabupatenKota ini merupakan pusat-pusat kegiatan perikanan tangkap khususnya perikanan pelagis kecil yang sangat berkembang di Maluku. Alat tangkap utama yang digunakan adalah pukat cincin, jaring insang, bagan, dan pukat pantai. Keempat alat tangkap dan produksi ikan cenderung meningkat di Kabupaten Maluku Tengah selama periode tahun 2001 hingga 2004. Sedangkan alat tangkap dan produksi ikan di Kota Ambon adalah relatif berfluktuasi, kecuali jumlah pukat cincin dan jaring insang cenderung meningkat namun produksinya relatif menurun. Jenis ikan pelagis kecil yang merupakan target penangkapan adalah ikan layang, kembung, selar, tembang, teri, dan julung-julung DKP Maluku 2005a. Sub-sektor perikanan tangkap tergolong unik, karena beberapa sifat dasar yang melekat di dalamnya. Karakteristik tersebut mencakup sifat fugitive resource atau sumberdaya yang bergerak, kompleksitas biologis, sifat perairan laut, dan peliknya hak kepemilikan Nikijuluw 2002; Fauzi 2005. Perpaduan sifat-sifat tersebut menimbulkan eksternalitas dan kemudian mengakibatkan penangkapan ikan yang berlebih excessive. Pengelolaan sumberdaya ikan umumnya memperlihatkan kecenderungan peningkatan investasi dan tenaga kerja, penurunan stok ikan dan hasil tangkapan, dan menurunnya pendapatan nelayan. Kemampuan sub-sektor perikanan tangkap dalam memberikan kontribusi langsung terhadap kesejahteraan nelayan dan pertumbuhan ekonomi adalah sangat tergantung pada tingkat pendapatan usaha dan surplus yang dihasilkan oleh sub- sektor perikanan tangkap. Tingkat pendapatan dari usaha penangkapan menentukan kesejahteraan nelayan dan berperan penting dalam mengkondisikan pertumbuhan ekonomi. Tingkat pendapatan usaha ditentukan oleh efisiensi alokasi sumberdaya ke dalam alternatif kegiatan perikanan tangkap. Efisiensi alokasi memberi makna, jika sumberdaya tidak digunakan secara efisien, maka terdapat potensi yang belum tereksploitasi untuk peningkatan pendapatan dan penciptaan surplus. Sebaliknya, jika sumberdaya dialokasikan sangat efisien, maka tambahan sub- sektor perikanan tangkap dapat diperoleh melalui usaha pengembangan berorientasi pertumbuhan. Oleh karena itu, diperlukan identifikasi efisiensi penggunaan sumberdaya untuk menentukan eksistensi berbagai peluang pada perikanan tangkap. Kapasitas perikanan merupakan stok kapital maksimum dalam perikanan yang dapat digunakan secara penuh pada kondisi efisiensi maksimum secara teknis pada waktu dan kondisi pasar tertentu Fauzi dan Anna 2005. Kapasitas tersebut bersifat krusial dan telah mendapat perhatian Food and Agriculture Organization , FAO, sejak tahun 1999. Perhatian FAO diwujudkan melalui seruannya agar perikanan di dunia termasuk Indonesia dikelola dalam kapasitas perikanan yang efisien, equitable, dan transparan Fauzi 2005. Dalam konteks pengembangan perikanan ke depan, kapasitas perikanan merupakan dimensi penting untuk menghasilkan informasi strategis bagi arahan implementasi kebijakan, ketika timbul gejala penurunan produksi perikanan tangkap. Secara teoritis, penambahan alat tangkap pada kondisi regulated open- access tanpa memperhatikan kapasitas perikanan akan menyebabkan kegiatan penangkapan tidak efisien. Kelebihan kapasitas perikanan dapat menimbulkan overfishing , inefisiensi dan pemborosan sumberdaya ekonomi pada kegiatan perikanan, masalah subsidi, dan kemiskinan nelayan. Dengan kata lain, kelebihan kapasitas dapat mengarah pada tekanan terhadap potensi sumberdaya ikan, kelebihan modal atau kapal penangkap dan “under-utilizatiton” kapasitas penangkapan yang mengarah pada pemborosan sumberdaya ekonomi. Tantangan untuk mempertahankan ketersediaan potensi sumberdaya ikan secara berkelanjutan adalah sangat kompleks, ditinjau dari sisi pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya ikan. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan: “berapa jumlah potensi sumberdaya ikan yang dapat ditangkap tanpa menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan usaha perikanan dan kondisi sumberdaya ikan untuk masa mendatang?” Pertanyaan tersebut sulit dijawab tanpa suatu kajian empiris melalui evaluasi kinerja usaha perikanan tangkap ikan pelagis kecil berupa kapasitas dan efisiensi teknis penangkapan, serta status pemanfaatan sumberdaya.

1.2 Perumusan Masalah