Pembahasan Alokasi dan Strategi Pengembangan Perikanan Pelagis Kecil .1 Pemanfaatan sumberdaya ikan

1 Strategi-SO, kebijakannya: 1 Pemberdayaan nelayan perikanan pelagis kecil; 2 Peningkatan kualitas hasil tangkapan sesuai permintaan pasar; 3 Pengembangan kemitraan usaha perikanan. 2 Strategi-ST, kebijakannya: 1 Pembatasan dan pengawasan terhadap ijin penangkapan ikan; 2 Peningkatan efisiensi penangkapan unit pukat cincin dan jaring insang. 3 Strategi-WO, kebijakannya: 1 Peningkatan kualitas SDM nelayan dalam manajemen usaha; 2 Rasionalisasi alat tangkap berbasis kapasitas penangkapan; 3 Pengembangan kapasitas institusi; 4 Strategi-WT, kebijakannya: 1 Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis kapasitas dengan melibatkan stakeholder; 2 Pengembangan usaha alternatif yang lebih produktif dan ekonomis di luar sektor perikanan.

5.4.5 Pembahasan

Analisis linear goal programming alokasi unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Laut Banda menunjukkan kondisi feasible solution karena solusi yang dihasilkan memenuhi semua kendala dalam fungsi, dan data yang digunakan serta logika persamaan fungsi tujuan dan fungsi kendala layak diaplikasikan. Sehingga dapat dikemukakan bahwa hasil analisis goal programming yang diperoleh dapat digunakan dalam pengalokasian unit penangkapan ikan pelagis kecil secara optimal di perairan tersebut. Hasil analisis goal programming memperlihatkan terjadi penurunan jumlah alat tangkap bagan dan pukat pantai, kecuali pukat cincin dan jaring insang. Bagan dan pukat pantai mengalami penurunan sangat tajam, masing-masing sebanyak 781 unit dan 393 unit untuk mencapai alokasi yang optimal. Dalam perspektif pengelolaan sumberdaya berkelanjutan, pengurangan alat tangkap bagan dan pukat pantai adalah efektif untuk mengurangi tekanan terhadap sumberdaya ikan pada perairan dekat pantai. Oleh karena itu, dalam pemanfaatan sumberdaya ikan pelagis kecil yang mengacu pada solusi optimal basis tidak direkomendasikan penambahan alat tangkap bagan dan pukat pantai. Hal ini berkaitan dengan kedua jenis alat tangkap tersebut yang umumnya menggunakan mata jaring berukuran sangat kecil sehingga memungkinkan tertangkapnya ikan- ikan berukuran sangat kecil. Kebijakan pengurangan armada tangkap sangat menyulitkan dan dapat menimbulkan dampak besar bagi nelayan dan harus mendapat perhatian serius, ditinjau dari aspek kebijakan dan sosial tenaga kerja. Sebagian besar nelayan bagan dan pukat pantai akan kehilangan pekerjaan. Oleh karena itu, kebijakan pengurangan jumlah alat tangkap harus dilakukan secara berhati-hati dan bertahap untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik nelayan. Selain itu, pengurangan alat tangkap harus didahului dengan penyediaan mata pencaharian alternatif yang efektif bagi nelayan yang bersedia meninggalkan alat tangkap tersebut. Hasil analisis goal programmimg merekomendasikan pukat cincin untuk tetap dikembangkan sesuai jumlah alokasi aktual sebanyak 251 unit. Pengembangan pukat cincin tersebut perlu dilakukan dengan memperhatikan perubahan kapasitas perikanan pelagis kecil di perairan Laut Banda. Dalam hal ini, gejala excess capacity dan overexploited yang ditemui di perairan tersebut berdasarkan hasil analisis pada bagian sebelumnya mengharuskan perikanan pukat cincin dikelola secara lebih efisien. Pada kondisi excess capacity yang bersifat jangka pendek unit penangkapan secara individual sebaiknya menerapkan prinsip efisiensi alokasi faktor produksi atau upaya penangkapan untuk menghindari kerugian dalam penangkapan ikan. Kondisi overexploited dalam jangka panjang membutuhkan kebijakan pembatasan jumlah alat tangkap melalui pembatasan Ijin Penangkapan Ikan sehingga penangkapan ikan menjadi lebih efisien. Beberapa pertimbangan untuk mengembangkan pukat cincin di perairan Laut Banda berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, antara lain: i sumberdaya ikan pelagis kecil cukup potensil; ii teknologi penangkapan lebih baik dan dikuasai oleh nelayan lokal; iii armada dapat menjangkau daerah penangkapan ikan yang lebih jauh dari basis penangkapan; iv lebih produktif; dan v penyerapan tenaga kerja cukup besar. Hasil analisis alokasi optimal alat tangkap menunjukkan pengembangan jaring insang sebanyak 10 011 unit atau sesuai jumlah aktual. Pengembangan alat tangkap ini sangat tepat bila ditinjau dari aspek kelestarian sumberdaya, karena ikan yang tertangkap dengan jaring insang sangat selektif dalam ukuran. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan dan data lapangan di lokasi sampel, mata jaring yang digunakan nelayan berukuran 2,5 inci, terutama untuk menangkap ikan kembung. Namun, tingkat penyerapan tenaga kerja nelayan dan produktivitas jaring insang tergolong rendah, meskipun alat tangkap tersebut mudah dioperasikan dengan biaya rendah. Pengembangan jaring insang ke depan dapat dilakukan melalui peningkatan motorisasi kapal penangkap dan perbaikan desain teknologi alat tangkap yang lebih produktif, selain perbaikan manajemen usaha penangkapan menjadi lebih efisien. Analisis alokasi optimal alat tangkap berbasis MSY, telah memperlihatkan perubahan jumlah bagan dan pukat pantai sangat tajam. Secara keseluruhan, apabila hasil alokasi optimal dikaitkan dengan total alat tangkap pelagis kecil secara aktual, maka terjadi pengurangan alat tangkap sebanyak 1.174 unit, sehingga jumlah alokasi optimal alat tangkap menjadi 10.484 unit. Alokasi optimal alat tangkap adalah memenuhi kendala MSY 57.589 tontahun dan kendala upaya 7.945 trip, termasuk pemenuhan kendala tenaga kerja, protein hewani dan PAD. Di sisi lain, hasil analisis kapasitas perikanan dengan DEA tahun 2006 menunjukkan tingkat efisiensi penuh TE=1, dengan alokasi alat tangkap 11.658 unit, upaya penangkapan 269.917 trip, dan menghasilkan produksi sebanyak 62.315 ton. Dapat dikatakan bahwa jumlah alokasi optimal alat tangkap adalah lebih rendah dibandingkan alokasi alat tangkap pada efisiensi penuh. Selanjutnya, alokasi alat tangkap pada kondisi efisiensi penuh menghasilkan produksi yang lebih tinggi dari kendala produksi alokasi optimal. Pengalokasian unit penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis sensitivitas pada goal programming masih menghasilkan target sasaran yang tidak tercapai. Target yang tidak tercapai diindikasikan oleh perubahan nilai RHS fungsi kendala. Sebagai contoh, untuk mencapai alokasi optimal unit penangkapan, maka peningkatan nilai ruas kanan fungsi kendala total hasil tangkapan diperbolehkan hingga tak terbatas, dan hanya dapat diturunkan dalam jumlah yang sangat kecil, jika dibandingkan jumlah kendala produksi. Seperti pola perubahan kendala hasil tangkapan, kecendrungan serupa dijumpai pada perubahan nilai ruas kanan fungsi kendala optimalisasi upaya penangkapan. Perubahan nilai ruas kanan fungsi kendala PAD mengindikasikan peningkatan sangat kecil, tetapi perubahan nilai ruas kanan diperbolehkan menurun sekitar Rp 344.000.000.- Perubahan nilai ruas kanan fungsi kendala konsumsi protein mengalami peningkatan sangat besar, tetapi juga diperbolehkan menurun dalam jumlah besar. Nilai ruas kanan fungsi kendala upaya penangkapan hanya menunjukkan perubahan kecil. Perubahan nilai-nilai tersebut mengindikasi seberapa besar fungsi kendala dapat mempengaruhi hasil alokasi optimal unit penangkapan di perairan Laut Banda. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 38, perubahan nilai ruas kanan fungsi kendala produksi, upaya, nelayan, PAD dan protein sangat mempengaruhi optimalisasi alokasi unit penangkapan. Implementasi optimalisasi alokasi unit penangkapan di perairan Laut Banda dapat dilakukan melalui instrumen perijinan dari pemegang otoritas sumberdaya lokal, sesuai kewenangan yang dimiliki. Perijinan kapal ikan berkuran ≤30 GT, yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kota perlu dikelola dengan pertimbangan kapasitas yang tersedia. Optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Laut Banda membutuhkan suatu kondisi pengelolaan sumberdaya ikan secara terpadu dari berbagai stakeholder, karena posisi perairan tersebut bersinggungan langsung dan mencakup hampir seluruh wilayah administratif kabupatenkota di Maluku. Dalam rangka pengembangan perikanan ke depan, dengan terinspirasi oleh Undang-Undang Nomor: 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, setiap pemerintah kabupatenkota cenderung menentukan besar potensi sumberdaya ikan sesuai luas wilayah administrasinya. Jumlah potensi kemudian digunakan sebagai dasar alokasi unit penangkapan, tanpa memperhatikan sifat sumberdaya ikan, yang beruaya dari suatu perairan ke perairan lain sehingga sulit untuk menentukan hak kepemilikannya. Selain itu, sumberdaya bersifat common property resources dan pengelolaannya bersifat open access. Kondisi ini menimbulkan kesulitan pengendalian alokasi unit penangkapan. Nikijuluw 2002 mengemukakan bahwa sifat eskludabilitas sumberdaya ikan yang berkaitan dengan upaya pengendalian dan pengawasan terhadap akses ke sumberdaya bagi stakeholder tertentu menjadi semakin sulit karena sifat sumberdaya ikan yang bergerak luas di laut. Kesulitan pengendalian dan pengawasan tersebut menimbulkan kebebasan pemanfaatan oleh siapa saja yang ingin masuk ke dalam industri perikanan tangkap. Sehingga pengawasan oleh pemegang otoritas manajemen sumberdaya menjadi semakin sulit diimplementasikan. Begitupun sifat indivisibilitas mengakibatkan sumberdaya ikan sebagai milik bersama agak sulit dipisahkan, walaupun pemisahan secara adminitratif dapat dilakukan. Kebebasan pemanfaatan dan kesulitan pengawasan sumberdaya ikan menghendaki suatu Rencana Pengelolaan Perikanan RPP pelagis kecil secara terpadu oleh kabupatenkota yang memanfaatkan sumberdaya secara langsung di perairan Laut Banda. RPP tersebut pada hahekatnya dapat memberikan arah pengelolaan yang lebih jelas, terorganisir, dan transparan bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya ikan. Penyusunan RPP sebaiknya melibatkan para stakeholders perikanan seperti nelayan, pengolah, pedagang ikan, pemasok alat tangkap, pemerintah dan sebagainya. Keterlibatan seluruh stakeholders dalam proses penyusunan dengan sendirinya mendorong peningkatan “rasa memiliki” sekaligus “rasa tanggung jawab” untuk mengelola sumberdaya ikan dalam rangka pencapaian tujuan pengelolaan Martosubroto 2007. Kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Maluku mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Departemen Kelautan dan Perikanan, yang diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No.31 Tahun 2004. Undang-Undang tersebut telah memberikan mandat kepada pemerintah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan bagi kesejahteraan masyarakat. Mandat pemerintah dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dilaksanakan melalui fungsi-fungsi sebagai berikut Nikijuluw 2002. 1 Fungsi alokasi, dilakukan melalui peraturan untuk membagi sumberdaya menurut tujuan yang telah ditetapkan; 2 Fungsi distribusi, dijalankan oleh pemerintah demi perwujudan keadilan dan kewajaran sesuai pengorbanan atau biaya yang ditanggung setiap orang, selain keberpihakan pemerintah kepada mereka yang lebih lemah; 3 Fungsi stabilisasi, dimaksudkan agar kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan tidak berpotensi menimbulkan kondisi instabilitas yang dianggap dapat merusak tatanan sosial ekonomi masyarakat. Kebijakan pengelolaan sumberdaya melalui fungsi-fungsi di atas senantiasa telah mempertimbangkan tujuan dan akibat. Dalam hal ini, azas manfaat yang sebesar-besarnya terhadap banyak orang perlu diperhatikan dalam implementasi tindakan. Pembangunan perikanan tangkap di Maluku pada dasarnya mengacu pada kebijakan perikanan tangkap nasional tahun 2005-2009. Inti kebijakan tersebut antara lain: i menjadikan perikanan tangkap sebagai salah satu andalan perekonomian dengan membangkitkan industri perikanan nasional; ii rasionalisasi, nasionalisasi dan modernisasi armada perikanan tangkap secara bertahap dan keberpihakan kepada nelayan lokal maupun perusahaan nasional; iii mendorong Pemerintah Daerah untuk proaktif mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya di wilayahnya secara berkelanjutan. Pada tingkat provinsi, kebijakan pemerintah dalam bidang kelautan adalah termanfaatkan potensi kelautan secara optimal. Sasaran tersebut dijabarkan dalam program pembangunan yang dikembangkan sesuai tujuan pembangunan perikanan Maluku. Intinya mencakup optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan dalam rangka peningkatan penerimaan devisa, kesejahteraan nelayan, kecukupan gizi, dan peningkatan penyerapan tenaga kerja. Pada hakekatnya, kebijakan tersebut dapat merupakan pijakan strategis dan bermanfaat bagi pengembangan perikanan tangkap. Seperti di Indonesia, pengelolaan sumberdaya perikanan di Maluku dilakukan dalam akses terbuka dan pengendalian ijin penangkapan. Bentuk pengelolaan pertama dapat menimbulkan inefisiensi alokasi dan degradasi sumberdaya. Kondisi pengelolaan akses terbuka masih terus berlangsung hingga saat ini. Bentuk pengelolaan kedua menghasilkan efisiensi alokasi sumberdaya. Secara teoritis, bentuk pengelolaan kedua dapat dilakukan pada titik maximum economic yield . Perubahan paradigma pembangunan sub-sektor perikanan tangkap dalam sistem desentralisasi perlu didorong untuk lebih mengikuti kondisi saat ini. Ini perlu dilakukan dengan memperhatikan aspek status sumberdaya ikan, sistem manajemen dan strategi investasi. Oleh karena itu, perubahan paradigma pembangunan pada sub-sektor perikanan tangkap menurut Soemokaryo 2006, sebaiknya mengacu pada: 1 Landasan redistribusi, partisipatif, dan sustainable, yaitu redistribusi program pembangunan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat untuk melakukan pembangunan berkelanjutan; 2 Sistem manajemen sumberdaya manusia seutuhnya desentralisasi, yaitu sistem pengelolaan yang melibatkan peran manusia seutuhnya, bukan sistem manajemen industri; 3 Sumberdaya ikan terbatas dan kondisi overfishing, yaitu sumberdaya ikan sebagai salah satu sumberdaya hayati adalah terbatas dan statusnya terindikasi overfishing ; 4 Limiting entry atau efisiensi manajemen, yaitu pembatasan ijin penangkapan sehingga menghasilkan efisiensi manajemen atau penangkapan ikan sebaiknya dilakukan pada titik MEY; 5 Kapital dan teknologi diutamakan bagi small medium enterprises, yaitu baik modal maupun teknologi lebih diperuntukan bagi pengembangan usaha perikanan skala kecil dan skala menengah. Selanjutnya, perubahan paradigma di atas perlu diikuti dengan pendekatan labor intensive dalam pengembangan usaha perikanan yang menyerap tenaga kerja nelayan cukup banyak seperti usaha perikanan pukat cincin. Pendekatan ini perlu ditunjang oleh penggunaan capital technology intensive untuk meningkatkan catch ability agar menghasilkan keuntungan optimal. Implementasi capital technology intensive harus diterapkan dengan prinsip kehati-hatian, karena menurut Cunningham and Whitemarsh 1985 yang diacu oleh Soemokaryo 2006, perbaikan catch ability dapat menimbulkan dampak, sebagai berikut. 1 Introduksi teknologi intensif menyebabkan eksternalitas bagi seluruh perikanan yang tidak selalu mendatangkan profit dan peningkatan pendapatan nelayan; 2 Pengaruhnya terhadap bisnis perikanan adalah berbeda tergantung sifat elastisitas permintaan ikan. Artinya, jika permintaan sangat elastis maka produksi ikan akan meningkat dan berakibat harganya menurun, tetapi profitnya membaik. Jika permintaan bersifat inelastis, maka perubahan teknologi berakibat produksi menurun drastis dan harga meningkat, tetapi masih merugi karena biaya membengkak. 3 Kapal berukuran kecil akan tergusur, dan masyarakat menanggung social cost akibat over investment. Dengan demikian, penerapan capital technology intensive tanpa kehati- hatian dalam pembangunan perikanan tangkap, akan berakibat negatif terhadap pengembangan pukat cincin maupun jaring insang. Ini disebabkan lebih 80 kapal penangkap adalah berukuran kecil. Namun, intensifikasi modal dan teknologi masih diperlukan bagi peningkatan kemampuan kapal penangkap. Misalnya, untuk menjangkau daerah penangkapan yang lebih jauh, dibutuhkan kemampuan kapal pukat cincin yang dilengkapi dengan peralatan navigasi untuk pelayaran dan alat deteksi ikan echosounder untuk meningkatkan efektivits operasi penangkapan. Eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan Laut Banda berdasarkan hasil kajian Nurhakim et al. 2007 disimpulkan bahwa tingkat eksploitasinya masih tergolong moderat. Sementara berdasarkan laporan Statistik Kelautan dan Perikanan pada Departemen Kelautan dan Perikanan 2006, hasil analisis bioekonomi dan analisis kapasitas perikanan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di perairan tersebut terindikasi excess capacity dan overfishing . Hal ini berarti, telah terjadi kelebihan alokasi input dalam penangkapan ikan. Status overfishing diduga sebagai konsekuensi dari kebijakan pengelolaan yang lebih bersifat sentralistik. Pendekatan tersebut ditandai dengan adanya landasan, sistem, manajemen, anggapan kelimpahan sumberdaya dan pelaku yang kurang mengedepankan aspek keberlanjutan dalam pengelolaan Soemokaryo 2006. Landasan pengelolaan pada saat itu terlalu bertumpu pada aspek pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Dengan anggapan sumberdaya ikan melimpah, diterapkan sistem manajemen industri yang sentralistik berakibat pada degradasi sumberdaya. Pengelolaan bersifat open access menyebabkan manajemen tidak efisien dan mempengaruhi kelangsungan usaha perikanan. Di sisi lain, kapital dan teknologi pada saat itu hanya dimiliki oleh sebagian kecil pelaku, tetapi kurang dimiliki oleh pelaku usaha perikanan skala kecil dan menengah. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, perikanan pelagis kecil di perairan Laut Banda telah berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1980-an. Perkembangan ini ditandai dengan peningkatan jumlah alat tangkap seperti pukat cincin, jaring insang dan bagan. Sebagai wilayah dengan intensitas penangkapan tinggi, seringkali perkembangan tersebut adalah tidak terkendali akibat sistem pengelolaan yang menyulitkan pengawasan. Selanjutnya, berbagai paket bantuan alat tangkap dan peningkatan kemampuan nelayan telah diberikan oleh instansi terkait di daerah. Namun, kondisi saat ini menunjukkan bahwa kebijakan pengembangan cenderung tidak diikuti dengan peningkatan produktivitas penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian, patut diduga bahwa kondisi perikanan pelagis kecil saat ini berada pada kondisi kelebihan kapasitas sehingga perikanan tidak efisien. Mengacu pada anggapan di atas, mungkinkah perikanan pelagis kecil di perairan Laut Banda masih dapat dikembangkan sesuai kondisi faktual. Dalam kasus ini, analisis LINSTRA dimanfaatkan untuk mengkaji lingkungan strategik pengelolaan berdasarkan hasil analisis bioekonomi, kapasitas perikanan, efisiensi teknis penangkapan, alokasi optimal alat tangkap dan kebijakan pemerintah mengenai perikanan tangkap. Fauzi 2004 mengemukakan bahwa kajian bioekonomi penangkapan ikan dimaksudkan untuk mengetahui status pengelolaan perikanan sekaligus perilaku ekonomi penangkapan ikan. Perpaduan metode SPF dan pendekatan DEA dalam analisis kapasitas perikanan adalah sangat efektif bagi arahan implementasi kebijakan pembangunan perikanan Kirkley et al. 2004. Hasil kajian berdasarkan analisis LINSTRA dapat memberikan beberapa alternatif strategi kebijakan LAN RI 2007, yang dapat digunakan bagi pengembangan perikanan pelagis kecil berbasis kapasitas. Hasil analisis LINSTRA pengembangan perikanan pelagis kecil menunjukkan bahwa strategi kebijakan strength-opportunity, menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk memanfaatkan peluang, menempati prioritas utama. Mempertimbangkan faktor peluang potensi pasar yang tersedia, perhatian investor, keinginan masyarakat pesisir untuk berusaha, prasarana ekonomi wilayah, dan prioritas pembangunan perikanan Maluku, maka strategi kebijakan adalah memanfaatkan berbagai peluang tersebut dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki. Dalam hal ini, peluang potensi pasar yang tersedia sebaiknya dihitung dalam permintaan ril untuk lebih mengetahui berapa besar permintaan pasar terhadap produksi ikan. Strategi kebijakan berupa pemberdayaan nelayan perikanan pelagis kecil, di mana tersedia banyak tenaga kerja nelayan dengan tingkat penguasaan teknologi yang cukup memadai. Pemberdayaan nelayan dimaksudkan untuk lebih meningkatkan penyerapan tenaga kerja sesuai keahlian yang dimiliki. Hal ini tentunya didukung oleh prioritas kebijakan pembangunan perikanan dan pembangunan infrastruktur ekonomi wilayah. Namun, hal ini dilakukan sepanjang kapasitas perikanan masih berada pada kondisi di mana industri perikanan tangkap belum mencapai kapasitas penuh. Kebijakan peningkatan kualitas hasil tangkapan perlu diperhatikan dan dilakukan sejak ikan ditangkap hingga tiba di tangan konsumen. Ini dimaksudkan untuk menghasilkan nilai jual tinggi, karena tingkat kesegaran ikan adalah identik dengan harga. Sebab itu, langkah kebijakan untuk membangun kemitraan yang saling menguntungkan antara nelayan dengan para pengusaha perikanan tangkap ataupun pelaku pasar diperlukan untuk menunjang distribusi hasil tangkapan bermutu ke konsumen. Namun, kemitraan membutuhkan persepsi, loyalitas, transparansi, keselarasan hubungan, manfaat dan tanggung jawab bersama dari pemitra. Strategi kebijakan strength-threats yaitu menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk menghindari ancaman merupakan prioritas kedua. Ancaman utama dalam strategi kebijakan tersebut adalah status sumberdaya terindikasi kelebihan kapasitas, selain peningkatan harga dan pengurangan subsidi BBM. Strategi kebijakan yang diperlukan untuk mengatasi ancaman adalah pembatasan ijin penangkapan sekaligus pengawasan oleh pemegang otoritas sumberdaya ikan. Tentunya dalam jangka menengah, kebijakan tersebut perlu ditunjang oleh partisipasi aktif stakeholder agar kondisi sumberdaya ikan tidak terdegradasi dan rente ekonomi yang diperoleh tetap tinggi. Faktor ancaman berikutnya berupa kompetisi tinggi dalam kegiatan penangkapan ikan dan kondisi cuaca yang tidak menentu dalam operasi penangkapan. Untuk menghindari ancaman tersebut diperlukan strategi kebijakan tentang peningkatan efisiensi teknis penangkapan. Artinya, alokasi input perlu diminimalkan dalam operasi untuk menghasilkan output tertentu. Menurut Kirkley et al. 1995, pengurangan input dapat meningkatkan efisiensi teknis penangkapan. Hal ini dapat ditunjang dengan kemampuan manajerial dan pengalaman nahkoda sebagai pembuat keputusan saat melakukan operasi penangkapan. Pembuatan keputusan yang efektif sangat diperlukan ketika perikanan berada pada kondisi kelebihan kapasitas. Strategi pembangunan dengan prioritas ketiga adalah strategi weakness- opportunity , yaitu untuk memanfaatkan peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan yang ada. Peluang pasar domestik dan ekspor, ketersediaan prasarana ekonomi wilayah, investasi perikanan tangkap, keinginan masyarakat nelayan, dan prioritas pemerintah dalam pembangunan perikanan sebaiknya dimanfaatkan semaksimal mungkin. Strategi kebijakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia nelayan dibutuhkan dalam manajemen usaha perikanan. Ini diperlukan untuk mengatasi fluktuasi jumlah, ukuran dan kualitas produksi, sekaligus untuk menaikkan pendapatan nelayan. Selain itu, kebijakan rasionalisasi alat tangkap diperlukan untuk menyeimbangkan alat tangkap terhadap potensi sumberdaya ikan. Implementasi kebijakan rasionaliasi diperlukan untuk mengurangi kelebihan kapasitas penangkapan. FAO 2008 menyatakan bahwa manajemen kapasitas penangkapan seyogianya dibutuhkan untuk menyerasikan faktor input dengan keberlanjutan sumberdaya ikan. Pengukuran dan pengelolaan berbasis kapasitas merupakan kegiatan yang dapat dikatakan relatif baru dalam pengelolaan perikanan. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan kapasitas institusi diperlukan untuk mengukur dan menentukan kapasitas penangkapan bagi kepentingan pengelolaan perikanan pelagis kecil di waktu mendatang. Kapasitas institusi dapat dibangun melalui perpaduan skill, pengetahuan, dan informasi yang saling berkaitan. Pengembangan kapasitas institusi membutuhkan kegiatan penelitian, data, pelatihan dan kolaborasi bagi pengembangan institusi tersebut FAO 2008. Di samping itu, kapasitas institusi diperlukan untuk meningkatkan pemantauan dan pengawasan perikanan tangkap. Strategi kebijakan yang memperoleh prioritas terakhir adalah strategi weakness-treats , yaitu kebijakan untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki dan menghindari berbagai ancaman. Faktor-faktor lingkungan eksternal seperti kelebihan kapasitas penangkapan, kesulitan perolehan kredit investasi, peningkatan harga dan pengurangan subsidi BBM, kompetisi penangkapan yang disertai dengan faktor cuaca yang tidak menentukan merupakan ancaman terhadap perikanan tangkap. Untuk itu dibutuhkan strategi kebijakan berupa perencanaan dan pengelolaan sumberdaya ikan dengan melibatkan seluruh stakeholder. Perencanaan dan pengelolaan bersama dimaksudkan untuk menyusun strategi pengelolaan yang efektif untuk meminimalkan kelemahan yang dimiliki. Pada strategi ini, berbagai ancaman memerlukan strategi defensif untuk mengurangi berbagai kelemahan seperti overfishing dan excess capacity , lemahnya pengawasan, belum adanya pengaturan penangkapan ikan secara bersama antar Pemerintah KabupatenKota, fluktuasi produksi termasuk jenis dan ukuran, dan pendapatan nelayan yang kurang memadai. Strategi kebijakan perencanaan dan pengelolaan yang melibatkan stakeholder bersama Pemerintah Daerah, diharapkan agar terbentuk rencana pengelolaan perikanan terpadu dalam rangka pembangunan perikanan pelagis kecil berkelanjutan. Pertimbangan terhadap faktor ancaman dan kelemahan menghendaki upaya pengembangan jenis usaha lain di luar sektor perikanan. Hal ini disebabkan status sumberdaya ikan kurang mendukung, produksi berfluktuasi dan pendapatan nelayan kurang memadai, serta besarnya ancaman perubahan harga dan subsidi BBM termasuk kondisi cuaca dalam operasi penangkapan yang harus dihadapi dalam pengembangan perikanan tangkap. Pada kondisi demikian, modal yang dimiliki sebaiknya dialokasikan pada usaha yang lebih produktif di luar sektor perikanan untuk menghindari pemborosan sumberdaya ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa alokasi optimal alat tangkap telah berhasil dianalisis dengan LGP. Empat variabel keputusan dan lima fungsi kendala, dengan MSY sebagai target kapasitas yang dianalisis secara simultan dengan LGP telah dapat memberikan hasil optimal alokasi alat tangkap yang memenuhi target kapasitas dan fungsi kendala upaya optimal, jumlah nelayan, PAD, dan fungsi protein hewani. Hasil analisis telah menyediakan informasi penting bagi pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil, sementara analisis sensitivitas memberikan hasil perubahan nilai RHS yang perlu diinterpretasi sesuai kondisi realitas sumberdaya. Strategi pengembangan perikanan telah dapat disusun berdasarkan hasil analisis LINSTRA terhadap faktor internal dan eksternal pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis kapasitas di WPP-714 Laut Banda. Faktor-faktor tersebut diekstrak dari hasil analisis bioekonomi yang menjelaskan status pengelolaan sumberdaya, kapasitas perikanan, efisiensi teknis penangkapan ikan, determinan inefisiensi teknis, dan alokasi optimal alat tangkap. Prioritas strategi kebijakan pengembangan perikanan pelagis kecil adalah strategi strength-opportunity, strength-threats , weakness-opportunity dan weakness-threats. 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan