Industrialiasi di Indonesia Gambaran Perekonomian Indonesia

54 proses industri Wirabrata, 1998. Dalam konsep klaster industri ini, peningkatan nilai tambah diperoleh dengan merangkaikan masing-masing proses sejak kegiatan di hulu petani sampai kegiatan yang paling hilir. Di samping itu, besarnya nilai tambah sangat menentukan oleh tingkat produktivitas. Strategi untuk meningkatkan nilai tambah pada industri adalah bergerak dalam seluruh alur mata rantai nilai baik bergerak ke kiri melalui penguasaan dari disain produk maupun bergerak ke kanan dengan lebih menguasai aspek pemasaran. Secara lebih detail, upaya peningkatan nilai tambah dapat dilihat pada Gambar 7.

2.2.4. Industrialiasi di Indonesia

Selama periode dari akhir tahun 1980-an sampai dengan sebelum krisis mata uang Asia pada tahun 1997, pembangunan ekonomi Indonesia mendapat perhatian dari berbagai negara, seperti halnya Malaysia dan Thailand yang tergabung dalam kelompok negara ASEAN. Bank Dunia melaporkan bahwa Indonesia merupakan salah satu perekonomian di Asia Timur dengan kinerja ekonomi yang tinggi, terutama dalam pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Bank Dunia, 1993. Industri non-migas menjadi kekuatan pendorong di balik pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode tersebut. Sejak krisis mata uang Asia tahun 1997, sektor industri di Indonesia terperosok dalam situasi yang sulit. Perekonomian Indonesia masih dalam proses perkembangan, dan sesuai dengan sejarah perubahan struktural industri di negara-negara lain, industri Indonesia masih dapat diandalkan sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional. Ishida 2003 melakukan kajian untuk mengetahui kondisi terkini sektor industri Indonesia dan untuk itu melihat kembali proses industrialisasi yang 55 dilakukan Indonesia. Ia membagi periode pembangunan industri Indonesia ke dalam 4 periode yaitu : Sumber : Departemen Perindustrian, 2008 Gambar 7. Peningkatan Nilai Tambah Sepanjang Rantai Nilai 1. Industrialisasi substitusi impor dan industrialisasi spektrum luas broad-base industrialization untuk orientasi ekspor periode tahun 1971 – 1985 2. Era orientasi ekspor dan substitusi impor selektif periode tahun 1985 – 1990 3. Penurunan orientasi ekspor dan kebangkitan kembali substitusi impor periode Nilai bergerak sepanjang Tambah rantai Menaikkan Per rantai nilai Tenaga Kerja Pengembangan Penjualan Pemasaran Produk Manufakturing - Produksi Penuh Distribusi Logistik meningkatkan Aktivitas Rantai Nilai Tambah Meningkatkan nilai tambah produktivitas - Perakitan Penjelasan RD 56 tahun 1990 – 1995 4. Perubahan struktur industri akibat krisis ekonomi periode tahun 1995 – 1999 Ishida 2003 mencoba untuk melakukan analisis perjalanan industrialisasi Indonesia dengan menggunakan dua ukuran yaitu substitusi impor dan orientasi ekspor. Alasan pendekatan ini adalah bahwa substitusi impor pada awalnya diperlukan bagi suatu industri moderen untuk keluar dari sektor konvensional termasuk pertanian dan produk-produk yang diproses secara sederhana. Selama periode setelah Indonesia merdeka, Indonesia tidak memiliki sektor industri moderen dan secara total sangat tergantung pada impor untuk produk-produk yang dibutuhkan pada proses industri moderen. Industrialisasi sektor moderen dimulai dengan substitusi impor dengan membangun pabrik-pabrik domestik untuk produk-produk industri yang sebelumnya diimpor. Pembangunan pabrik-pabrik moderen membutuhkan impor mesin-mesin dan barang modal lainnya, dimana impor produk-produk kapital membutuhkan mata uang asing, dan selanjutnya untuk mendapatkan mata uang asing dibutuhkan ekspor. Penelitian pada proses pembangunan ekonomi di Jepang, Taiwan dan Korea Selatan menunjukkan bahwa mata uang asing pada awalnya diperoleh melalui ekspor produk-produk konvensional seperti produk-produk pertanian dan tahap awal substitusi impor dimulai dengan industri ringan melalui impor mesin-mesin yang didanai dari mata uang asing yang diperoleh dari ekspor produk-produk konvensional. Namun demikian, ekspor produk-produk industri menghasilkan lebih banyak mata uang asing dibandingkan dengan pertanian dan produk-produk primer lainnya. Hal ini karena produk-produk industri membutuhkan teknologi yang lebih maju dan mempunyai nilai tambah yang lebih besar dengan harga-harga internasional untuk produk-produk industri yang lebih 57 stabil dibandingkan dengan produk-produk primer. Karena alasan ini, ketika industri ringan telah cukup berkembang untuk memenuhi permintaan domestik, maka ekspor produk-produk industri ringan mulai dilakukan. Pada tahap ini, suatu perekonomian yang sedang berkembang memasuki tahap orientasi ekspor, mulai mengarah pada produk-produk industri ringan yang beragam untuk menggantikan ekspor produk-produk primer dan produk-produk konvensional Ishida, 2003. Kondisi yang hampir sama terjadi dimana produk-produk industri berat membutuhkan teknologi yang lebih maju lagi daripada yang dibutuhkan untuk membuat produk-produk industri ringan, dan biaya pembelian produk-produk kapital menjadi lebih besar. Untuk alasan ini, produk-produk industri berat mempunyai tingkat kelangkaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk- produk industri ringan, mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi, dan manfaat dari harga pasar internasional yang lebih stabil. Sebagai konsekuensinya, sebagaimana tahap untuk mengikuti ekspor produk-produk industri ringan, suatu ekonomi yang sedang berkembang membeli barang-barang modal untuk pengembangan sektor industri berat dengan mata uang asing yang diperoleh dari ekspor produk-produk industri ringan, selanjutnya memasuki periode substitusi impor kedua ketika ekonomi yang sedang berkembang fokus pada pengembangan industri berat untuk memproduksi barang-barang modal, produk-produk antara dan produk-produk konsumen tahan lama yang sebelumnya tergantung pada impor. Kemudian, ketika sektor industri berat telah berkembang dan telah memenuhi permintaan domestik, ekonomi yang sedang berkembang memasuki suatu periode dimana item-item ekspor bergeser dari produk-produk industri 58 ringan menjadi produk-produk industri berat, atau tahap orientasi ekspor pada produk-produk industri berat. Secara umum, perkembangan ekonomi mencakup tahapan-tahapan proses seperti yang telah diuraikan di atas. Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengembangan industri industri membutuhkan proses substitusi impor dan orientasi ekspor. Pada saat yang bersamaan, hal itu berarti bahwa proses substitusi impor dan orientasi ekspor secara alamiah memerlukan peningkatan nilai tambah dari produksi sektor industri. Banyak negara-negara sedang berkembang bertujuan untuk melakukan substitusi impor dan orientasi ekspor pada kebijakan industrialisasi mereka karena kedua-duanya dibutuhkan pada proses industrialisasi. Pada upaya merunut kembali jalur industrialisasi, penting untuk mengkaji kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk promosi substitusi impor dan orientasi ekspor dan juga melihat apakah kedua proses tersebut secara aktual membuat kemajuan pada industri oleh suatu basis industri lainnya. Untuk melihat proses industrialisasi di Indonesia, perlu untuk memperhatikan tiga hal berikut ini. Pertama, kondisi awal industrialisasi di Indonesia berbeda dari apa yang terjadi di Jepang, Taiwan atau Korea Selatan dimana Indonesia mempunyai tenaga kerja yang tidak terlatih yang melimpah dan juga melimpahnya sumber daya alam. Kedua, ketika Indonesia dengan cepat mengalami proses industrialisasi moderen karena tingginya harga minyak mentah membawa berkah pada tingginya pendapatan akibat dari ekspor minyak mentah pada peringkat pertama dalam perolehan devisa. Hal ini membuat industrialisasi Indonesia berbeda dengan industrialisasi di Korea Selatan atau Taiwan dimana pada tahap pertama industrialisasi mengarah pada industrialisasi penuh ketika substitusi impor untuk produk-produk industri berat bersamaan dengan substitusi 59 impor untuk produk-produk industri ringan. Ketiga, pengembangan industri- industri ringan di Indonesia terjadi setelah beroperasinya industri-industri berat, karena turunnya harga minyak mentah dunia membuat Indonesia harus keluar dari ketergantungan pada minyak dan gas bumi. Hal ini memaksa Indonesia untuk untuk bergeser dari kebijakan proteksi industri, sebagai implementasi substitusi impor, pada kebijakan orientasi ekspor, pergeseran ini berkontribusi pada pengembangan industri-industri ringan pada tahap ini. Ishida 2003 menggunakan indikator substitusi impor dari rasio impor terhadap permintaan domestik untuk setiap sektor industri rasio impor dan rasio komposisi impor setiap sektor terhadap total impor barang-barang industri rasio komposisi impor. Sementara itu untuk indikator orientasi ekspor digunakan rasio ekspor terhadap total penawaran domestik rasio ekspor dan rasio komposisi ekspor setiap sektor terhadap total ekspor barang-barang industri rasio komposisi ekspor. Sementara itu, menurut Departemen Perindustrian 2005, secara kronologis kebijakan pengembangan industri dapat digambarkan bahwa dalam periode rehabilitasi dan stabilisasi tahun 1967-1972 serta terjadinya boom minyak tahun 1973-1981, kebijakan yang diterapkan adalah mendorong tumbuhnya industri substitusi impor, seperti industri tekstil dan produk tekstil, kertas, semen, makanan dan minuman. Indonesia, di bawah pemerintahan Order Baru, membuka diri terhadap investasi asing yang ditandai dengan penetapan UU No. 1 tahun 1967. Kebijakan ini mengindikasikan liberalisasi pada awal era pemerintahan ORBA. Upaya menarik pemodal asing dilakukan berkaitan dengan usaha menggairahkan 60 perekonomian nasional yang lesu pasca pemerintahan ORLA. Pada saat itu, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan dilematis. Di satu sisi, kebijakan “pintu terbuka” akan menggairahkan perekonomian dengan aliran modal, teknologi dan penyerapan tenaga kerja, sementara itu di sisi lain, terdapat ancaman kemungkinan dominasi perekonomian oleh PMA Pangestu, 1995 dalam Kuncoro, 2007. Sejak awal dekade 1970-an hingga pertengahan dekade 1980-an, pemerintah mengembangkan strategi Industri Substitusi Impor ISI. Strategi industrialiasi bertujuan menghemat devisa dengan cara mengembangkan industri yang menghasilkan barang pengganti impor. Dengan berdasarkan pada strategi tersebut, pemerintah membatasi masuknya investor asing dengan berbagai ketentuan, antara lain pembatasan pemberian lisensi; penetapan pangsa modal PMA relatif terhadap modal domestik; dan pelarangan PMA bergerak di sektor pertahanan-keamanan, sektor strategis telekomunikasi dan sektor publik listrik dan air minum Pangestu, 1995 dalam Kuncoro, 2007. Meskipun strategi ISI diharapkan mampu menghemat devisa negara, hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Industri substitusi impor ternyata justru menguras cadangan devisa karena penekanan produksi barang mewah yang berteknologi tinggi dan padat modal. Industri pun sangat tergantung pada pasokan input negara- negara maju. Akibatnya, industri-industri yang ada banyak menguras devisa untuk pembelian barang modal dan input antara yang sebagian besar harus diimpor Arief, 1998 dalam Kuncoro, 2007. Dengan membaiknya harga minyak boom minyak, kebijakan yang ditempuh adalah mengupayakan agar industri mampu mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Hal ini tentunya dengan harapan selain dapat menghasilkan produk-produk konsumsi, substitusi impor, juga dapat menimbulkan 61 dampak pembangunan pada kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya yang terkait trickle-down effect. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya, meskipun kegiatan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat pertumbuhan yang tinggi, ternyata juga menimbulkan kesenjangan pendapatan di dalam masyarakat social gap mengingat pelaksanaan pembangunan, serta yang menikmati hasil-hasilnya sebagian besar masih terfokus pada beberapa kelompok masyarakat tertentu. Sementara dampak hasil pembangunan yang mengalir kepada sebagian besar anggota masyarakat lainnya masih sangat terbatas. Dengan melemahnya harga minyak pada era tahun 1982-1996, kebijakan dari tujuan semula hanya untuk pengembangan industri substitusi impor, ditambah misi baru dari pemerintah, yaitu pengembangan industri berorientasi ekspor yang harus didukung oleh usaha pendalaman dan pemantapan struktur industri. Kebijakan ini mulai diterapkan pada industri kimia, logam, kendaraan bermotor, industri mesin listrikperalatan listrik dan industri alatmesin pertanian. Di bidang industri padat teknologi dikembangkan penguasaan teknologi di beberapa bidang seperti pesawat terbang, permesinan dan perkapalan. Sedangkan langkah-langkah kebijakan yang diterapkan sejak terjadinya krisis moneter sampai dengan sekarang adalah program revitalisasi, konsolidasi dan restrukturisasi industri. Kebijakan yang ditempuh dengan tujuan untuk mengembalikan kinerja industri yang terpuruk akibat goncangan krisis ekonomi yang berlanjut dengan krisis multidimensi. Industri-industri yang direvitalisasi adalah industri yang mempekerjakan banyak tenaga kerja serta yang memiliki kemampuan ekspor. 62

2.2.5. Reindustrialisasi