Strategi Industrialisasi Substitusi Impor

38

2.2.1. Strategi Industrialisasi Substitusi Impor

Menurut Arief 1998, industrialisasi substitusi impor dilaksanakan atas dasar pemikiran berikut : 1. Pengembangan industri substitusi impor akan membuahkan hasil yang cepat oleh karena itu memungkinkan pengusaha-pengusaha di dalam negeri dapat segera menggarap pasaran dalam negeri yang sudah ada yang ditunjukkan oleh volume impor barang-barang sebelum pengembangan industri-industri substitusi impor ini. 2. Substitusi impor akan menimbulkan penghematan devisa dan bersamaan dengan itu memperbesar nilai tambah di dalam negeri. Program industrialisasi substitusi impor pada taraf permulaannya didominasi oleh investasi dalam memproduksi barang-barang konsumsi. Sektor ini lebih menarik perhatian karena faktor-faktor berikut Arief, 1998 : 1. Pasaran dalam negeri di negara-negara yang sedang berkembang umumnya adalah pasaran barang-barang konsumsi. Ketiadaan atau langkanya industri barang modal di negara-negara ini oleh karena tidak berkembangnya industri di negara-negara ini dalam zaman kolonial di mana negara-negara ini dipaksa agar berspesialisasi dalam produksi bahan-bahan mentah primer untuk industri di negara-negara penjajah, menyebabkan kecilnya pasaran barang-barang modal di dalam negeri. 2. Industri barang-barang konsumsi umumnya tidak memerlukan investasi yang besar dan teknologinya tidaklah begitu rumit. Pengembangan industrialisasi substitusi impor dijalankan dengan pemberian fasilitas-fasilitas fiskal, kredit dan juga perlindungan tarif. Perlindungan tarif dalam bentuk bea masuk yang tinggi terhadap barang sejenis dari luar negeri 39 cenderung mengakibatkan industrialis-industrialis dalam negeri menaikkan harga barang-barangnya sekurang-kurangnya sama dengan barang-barang impor, sehingga tarif pada dasarnya menjadi subsidi terselubung yang dinikmati oleh produsen barang-barang industri ini di dalam negeri. Lee 1997 mengemukakan bahwa umumnya negara-negara berkembang mendorong industri-industri yang masih bayi infant industries dengan berbagai macam fasilitas. Dalam kasus di Korea, industri-industri yang diproteksi tersebut cenderung berkembang menjadi industri yang matang. Sementara itu, fasilitas bea masuk terhadap bahan-bahan mentah dan barang- barang modal dalam situasi harga produksi industri dalam negeri yang relatif tinggi oleh adanya perlindungan tarif, pada dasarnya merupakan pajak terselubung yang diderita oleh para konsumen barang-barang produksi industri dalam negeri. Jika dilihat dari sudut subsidi terselubung yang dinikmati oleh produsen dan pajak terselubung yang diderita oleh konsumen, maka telah terjadi proses redistribusi pendapatan yang menguntungkan pemilik modal. Proses redistribusi ini pada hakikatnya adalah salah satu esensi utama dari strategi yang semata-mata berorientasi pada pertumbuhan, yaitu suatu strategi yang memberikan layanan istimewa terhadap kelompok pemilik modal yang dianggap sebagai pencipta surplus. Program industrialisasi substitusi impor yang dilaksanakan oleh banyak negara yang sedang berkembang ditandai juga dengan tiga ciri utama Arief, 1990. 1. Industri-industri substitusi impor umummya bersifat padat modal sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat minimal, apalagi kalau diperhitungkan pula dengan tutupnya banyak industri rakyat yang kalah 40 bersaing dengan industri-industri substitusi impor ini. Penggunaan teknologi padat modal dalam industri substitusi impor adalah akibat dari distorsi dalam harga relatif faktor-faktor produksi, terutama faktor modal dan tenaga buruh, yang timbul karena adanya kebijaksanaan pemberian fasilitas fiskal, kredit dan perlindungan tarif, bunga riil kredit menjadi sangat rendah bahkan negatif. Fasilitas ini dan fasilitas bea masuk untuk faktor modal membuat harga relatif faktor modal lebih murah dari harga relatif faktor buruh sehingga kalangan industrialis cenderung menggunakan teknologi padat modal. Pendapat lain mengatakan mengapa kalangan industrialis memilih teknologi padat modal karena tidak adanya basis teknologi industri di negara-negara sedang berkembang yang memungkinkan mereka menggunakan teknologi dalam negeri. Ketiadaan technological base ini adalah produk kebijaksanaan penjajah di zaman kolonial yang pada dasarnya melaksanakan deindustrialisasi di negeri-negeri ini. 2. Komposisi produksi dalam program industrialisasi substitusi impor banyak mengandung produksi barang-barang mewah untuk konsumsi kalangan berpendapatan tinggi, dimana nilai produksinya dibandingkan dengan nilai produksi barang-barang kebutuhan rakyat banyak tidak proporsional dengan jumlah penduduk berpendapatan tinggi. Produksi barang-barang mewah ini yang diiringi dengan bekerjanya demonstration effect dari kalangan berpendapatan tinggi mengakibatnya timbulnya suatu proses consumption liberalization dimana pola konsumsi tinggi menjalar ke seluruh strata masyarakat sehingga tingkat tabungan di dalam negeri menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. 41 3. Program industrialisasi substitusi impor sangat tergantung pada input luar negeri. Hal ini terjadi karena, pertama, adanya suatu tingkah laku pemegang kebijaksanaan yang ingin meniru pola industri negara-negara maju, baik dalam teknologi yang digunakan maupun dalam jenis atau bentuk barang yang diproduksi. Kedua, adanya penguasaan pihak asing dalam keputusan produksi. Akibatnya, kendati program industrialisasi substitusi impor bersifat inward looking dalam orientasi pemasarannya, tetapi program industrialisasinya bersifat outward looking dalam orientasi permintaannya terhadap input, sehingga kaitannya dengan sektor-sektor lainnya terutama sektor pertanian menjadi sangat minimal. Efek pengganda multiplier effects yang ditimbulkan investasi di sektor industri pada hakikatnya diekspor ke luar negeri, yang berarti bahwa kendati investasi di sektor industri memperbesar kapasitas produksi di dalam negeri, tetapi investasi ini tidak menimbulkan pertambahan permintaan efektif di dalam negeri dalam skala yang sama.

2.2.2. Strategi Industrialisasi Promosi Ekspor