111 lain, penghematan modal infrastruktur menyebabkan Dutch Disease atau
deagrokulturasi pada sektor ekspor tetapi perluasan pada sektor industri yang padat modal.
Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan sektor industri khususnya sektor industri non-migas Indonesia mengalami tekanan yang cukup
berat. Wie 2000 melakukan penelitian untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap perekonomian dan sektor industri Indonesia. Krisis ekonomi
menyebabkan GDP Indonesia pada tahun 1998 mengalami kontraksi sebesar 13.7 persen. Dari sembilan sektor ekonomi, hanya dua sektor yang masih mencatat
pertumbuhan positif yaitu sektor pertanian 0.2 persen dan sektor listrik, gas dan air 3.7 persen. Sektor industri sendiri mengalami kontraksi sebesar 12.9 persen.
Untuk melihat dampak krisis ekonomi terhadap sektor industri, Wie 2000 melihatnya pada dampak terhadap output, dampak pada perusahan industri skala
menengah besar, dampak pada tenaga kerja industri skala menengah besar, dampak pada utilisasi industri skala menengah besar, dampak pada industri rumah tangga
dan industri kecil, dampak pada pembentukan kapital, dampak pada ekspor produk- produk industri dan dampak pada kinerja industri.
2.5. Studi tentang Peranan Sektor Industri
Pada subbab 2.4 telah dijelaskan berbagai studi tentang deindustrialisasi, dengan fokus utama membahas faktor-faktor yang mendorong terjadinya proses
deindustrialisasi. Pada subbab ini penjelasan lebih difokuskan pada tinjauan studi tentang peranan sektor industri secara umum dan sektor industri yang
dikelompokkan menjadi industri berskala kecil, menengah dan besar.
112 Akita 1991 melakukan studi dengan tujuan menjelaskan perubahan sumber-
sumber pertumbuhan industri dan struktur produksi yang terjadi sejak tahun 1970 dan untuk mengetahui kebijakan-kebijakan pemerintah yang efektif dalam
mengubah struktur ekonomi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan analisis input-output dengan menggunakan Tabel Input-Output 1971,
1975, 1980 dan 1985. Periode studi dibagi menjadi tiga subperiode : 1 1971 –
1975; 2 1975 – 1980; dan 3 1980 – 1985.
Akita 1991 menggunakan metode dekomposisi faktor yang diusulkan oleh Chenery untuk mengidentifikasi sumber-sumber pertumbuhan industri dari sisi
permintaan untuk tiap periode, perhatian khusus ditujukan untuk mengetahui perubahan sumber-sumber pertumbuhan industri antara periode pertumbuhan yang
cepat 1971 – 1980 dan periode pertumbuhan yang lambat 1980 – 1985. Metode
dekomposisi faktor diperluas, perubahan output karena permintaan akhir domestik selanjutnya diuraikan menjadi perubahan karena setiap permintaan akhir domestik
sektor, seperti : konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Selanjutnya studi ini menggunakan dekomposisi rata-rata sederhana menggunakan ukuran
tahun dasar dan tahun akhir dari matriks invers Leontief. Dalam analisis input- output ini, Tabel I-O 37 sektor digunakan, tetapi gambaran umum dari proses
industrialisasi dan perubahan struktur dikelompokkan ke dalam 5 klasifikasi sektor. Hasil studi Akita 1991 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi
Indonesia mengalami perubahan yang substansial dalam struktur produksi dan perdagangan baik pada periode pertumbuhan lambat maupun pada periode
pertumbuhan cepat. Sejumlah structural adjustment policy kebijakan penyesuaian struktural seperti devaluasi, deregulasi dan liberalisasi memegang peranan yang
signifikan. Turunnya harga minyak pada tahun 1986 mendorong pemerintah
113 Indonesia untuk menggalakkan ekspor dan liberalisasi perdagangan. Penerapan
kebijakan tersebut berdampak terhadap struktur perekonomian Indonesia, menggeser kebijakan dasar dari inward-looking industrialisasi bersubstitusi impor
pada kebijakan yang lebih outward-looking industrialisasi berorientasi ekspor. Berbeda dengan Akita, Supriyanto 2002 menganalisis sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran. Di samping itu, Akita menggunakan data time series, sedangkan Supriyanto menggunakan data cross section. Studi
yang dilakukan Supriyanto 2002 bertujuan untuk mengidentifikasi sumber- sumber pertumbuhan total factor productivity TFP, sumber-sumber pertumbuhan
industri kecil dan menengah IKRT dan peranan teknologi dan implikasinya terhadap pertumbuhan IKRT. Studi dekomposisi sumber-sumber pertumbuhan ini
menggunakan analisis stochastic statistical translog production frontier, yang hanya menganalisis tiga sektor industri, yaitu : 1 pertanian, 2 industri pakaian
jadi sebagai wakil sektor yang padat tenaga kerja dan modal, dan 3 industri kayu sebagai wakil sektor yang mewakili keahlian dan kultur masyarakat dan terkait
dengan sektor pertanian. Hasil analisis pada studi Supriyanto 2002 menyebutkan bahwa
pertumbuhan TFP meningkat pada sektor makanan, tekstil dan kayu pada periode sebelum krisis ekonomi, sedangkan pada saat krisis ekonomi hanya sektor makanan
yang mengalami pertumbuhan TFP yang positif. Hal ini mengindikasikan bahwa industri yang berbasis pada sumberdaya lokal merupakan sumber pertumbuhan
TFP yang cukup besar. Lebih lanjut, dikatakan bahwa peningkatan kualitas tenaga kerja pada sektor pertanian, peningkatan kualitas bahan baku pada sektor tekstil
dan peningkatan kualitas kapital pada sektor kayu sangat penting bagi pertumbuhan
114 dan keberlanjutan IKRT, di samping penciptaan lingkungan usaha yang kondusif.
Sementara itu, hasil analisis efisiensi menunjukkan bahwa peningkatan efisiensi skala usaha lebih penting daripada peningkatan efisiensi tekniks pada industri kecil
dan rumah tangga. Sementara itu, Haryono 2008 melakukan penelitian untuk melihat dampak
industrialisasi pertanian terhadap kinerja sektor pertanian dan kemiskinan perdesaan di Indonesia. Haryono 2008 menggunakan model Computable General
Equilibrium CGE recursive dynamic sebagai alat analisis utama. Data yang digunakan adalah tabel input output dan Social Accounting Matrix SAM
Indonesia tahun 2003, serta data Survey Sosial Ekonomi Nasional SUSENAS tahun 2002. Model CGE yang digunakan adalah Model Agroindustri Indonesia
CGE-AGRINDO yang diperoleh dengan cara mengkombinasikan model CGE ORANI-F, INDOF, WAYANG dan ORANIGRD. Model CGE-AGRINDO
bersama-sama data penunjang lainnya diolah dengan menggunakan program GEMPACK. Hasil simulasi kebijakan menunjukkan bahwa peningkatan
produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap jumlah output yang dihasilkan. Apabila peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh
peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan, maka hampir seluruh sektor ekonomi mengalami peningkatan jumlah output. Peningkatan
produktivitas agroindustri berdampak pada penurunan harga output hanya di sektor agroindustri, sedangkan harga output di sektor lainnya justru mengalami
peningkatan. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan lembaga keuangan secara bersamaan berdampak terhadap penurunan harga output pada
hampir seluruh sektor dan mempunyai dampak yang bervariasi dalam penyerapan tenaga kerja. Peningkatan penyerapan tenaga kerja terdidik skilled lebih besar
115 dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik unskilled, sebaliknya penurunan
penyerapan tenaga kerja terdidik lebih rendah dibandingkan dengan tenaga kerja tidak terdidik.
Hasil penelitian Haryono 2008 juga menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas agroindustri berdampak positif terhadap pengurangan tingkat
kemiskinan perdesaan, kondisi sebaliknya terjadi di perkotaan, kecuali pada kelompok rumah tangga golongan bawah. Kondisi serupa akan terjadi apabila
peningkatan produktivitas agroindustri diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian. Peningkatan produktivitas agroindustri, sektor pertanian dan
sektor keuangan secara bersamaan berdampak negatif terhadap tingkat kemiskinan rumah tangga pertanian dan rumah tangga golongan rendah, sebaliknya kelompok
rumah tangga nonpertanian dan rumah tangga golongan atas mendapat manfaat yang lebih besar. Berdasarkan hasil simulasi nampak bahwa apabila hanya ditinjau
dari aspek pengendalian laju inflasi, maka upaya peningkatan produktivitas agroindustri justru akan memberikan dampak negatif. Namun demikian, apabila
dilihat dari dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat, maka peningkatan produktivitas agroindustri yang diikuti dengan peningkatan produktivitas sektor
pertanian, merupakan pilihan yang strategis untuk dilakukan mengingat manfaat terbesar dari upaya ini akan dinikmati oleh masyarakat golongan miskin di
perdesaan tanpa merugikan masyarakat golongan atas di perkotaan. Rodrigo dan Thorbecke 1997 membangun model ekonomi keseimbangan
umum Indonesia yang dikembangkan dengan menentukan pertumbuhan Total Factor Productivity TFP dalam sektor industri manufaktur sebagai variabel
endogenus. Pertumbuhan produktivitas dikonsepkan sebagai akumulasi modal
116 sumber daya manusia dan kapital, yang didorong melalui pembelajaran dan
pengembangan institusi yang distimulasi oleh rejim perdagangan. Sementara itu Love 1997 membangun suatu model keseimbangan umum yang dinamis dalam
suatu sistem perekonomian yang peran industrinya semakin kecil. Ahammad 2002 menggunakan pendekatan ekonomi keseimbangan umum untuk mengukur
kontribusi sektoral dalam suatu perekonomian pada sektor pertanian di Australia barat.
Di samping beberapa hasil studi di atas, ditemukan sejumlah studi yang melakukan pembahasan tentang kondisi dan peranan sektor industri pada masa
krisis moneter krismon di Indonesia. Studi-studi tersebut antara lain dilakukan oleh Wie 2000, Aswicahyono dan Pangestu 2000, Fukuchi 2000 dan Sato
2000. Studi yang dilakukan Wie 2000 memaparkan dampak krismon terhadap
berbagai komponen sektor industri, seperti produksi, jumlah usaha menengah dan besar, kesempatan kerja pada usaha-usaha tersebut, level pemanfaatan kapasitas
dalam usaha tersebut, trend usaha kecil dan rumah tangga, investasi, espor dan prestasi daya guna. Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa krismon
memberikan dampak yang besar terhadap sektor industri. Pertama, output sektor industri menurun sebesar 12.9 persen pada tahun 1998, di mana alat dan mesin
transportasi, semen dan bahan nonmetal serta subsektor besi dan baja yang paling terpuruk. Kedua, antara tahun 1996 dan 1998 jumlah usaha menengah dan besar
menurun sebesar 2500 unit usaha - 11 persen, tenaga kerja menurun sebanyak 680 ribu pekerja - 16 persen, pemanfaatan kapasitas menurun dari 78 persen
menjadi 72 persen, dan jumlah industri kecil dan rumah tangga menurun sekitar 670 ribu unit usaha - 23 persen. Ketiga, dari tahun 1997 ke 1998 impor barang-
117 barang kapital menurun dari 9.3 juta menjadi 5.8 juta - 38 persen, investasi
domestik menurun dari Rp 79 triliun menjadi Rp 45 triliun - 43 persen dan investasi langsung luar negeri menurun dari 23 juta menjadi 8 juta - 64
persen. Keempat, walaupun nilai tukar terdepresiasi sangat besar, ekspor sektor industri masih tetap konstan 35.0 juta pada tahun 1997 dan 34.6 juta pada
tahun 1998. Kelima, hasil survey terhadap 1200 perusahaan yang dilakukan oleh World Bank
– BAPPENAS – BPS menyebutkan bahwa dampak krisis terhadap prestasi perusahaan beragam, yaitu : 1 perusahaan-perusahaan yang berorientasi
pasar domestik menderita kerugian lebih besar daripada perusahaan-perusahaan yang berorientasi ekspor dan perusahaan-perusahaan afiliasi luar negeri, 2 jumlah
perusahaan-perusahaan yang berada di Jawa menurun tajam, 3 sejumlah perusahaan yang paling berpengaruh dan berpengalaman mengalami penurunan
yang kecil karena perusahaan-perusahaan tersebut berorientasi ekspor, 4 penyebab utama penurunan output perusahaan adalah penurunan permintaan
domestik, peningkatan biaya impor bahan baku dan biaya kapital yang lebih tinggi. Berdasarkan temuan tersebut, Wie 2000 menyatakan bahwa penting untuk
merestrukturisasi perbankan dan hutang perusahaan dan meningkatkan ekspor produk industri. Sementara itu, perbaikan teknologi industri diperlukan untuk
mewujudkan pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan dari sektor industri. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Aswicahyono dan Pagestu 2000
memfokuskan pada evaluasi terhadap competitive power daya saing dari sektor industri Indonesia dan menganalisis trend sebelum dan sesudah krismon. Studi ini
melihat volume dan nilai ekspor non minyak pada periode 1991 – 1999. Kemudian
melakukan analisis keunggulan komparatif dan pemetaan perdagangan RCA,
118 analisis constant market share CMS dari ekspor dan impor pada periode sebelum
krisis 1986 – 1996, dan kemudian menggambarkan efek komoditas, negara dan
daya saing menurut subsektor. Observasi dan analisis berdasarkan pada dekomposisi sektor industri ke dalam ISIC subsektor tiga digit atau subkelompok
yang memadai. Hasil studi ini menyatakan ada dua konsekuensi penting dari krismon. Pertama, terjadi penurunan upah riil yang besar akibat inflasi yang tinggi,
walaupun upah nominal meningkat. Kedua, investasi perusahaan merosot. Penulis menyatakan bahwa ekspor dalam jangka pendek tidak akan menjadi penggerak
economic recovery perbaikan ekonomi karena mereka mengandalkan input impor. Dalam rangka perbaikan ekonomi ditekankan pentingnya peranan
pendidikan dan foreign direct investment FDI. Fukuchi 2000 menggunakan pendekatan ekonometrika untuk menganalisis
dampak krismon terhadap sektor industri dengan menggunakan data time series Januari 1996
– Desember 1998. Fukuchi membagi sektor industri ke dalam sembilan subsektor dan membagi periode krismon menjadi tiga subperiode, yaitu :
bandwagon subperiod Agustus – Desember 1997, free fall subperiod Januari –
Juli 1998 dan stagnation period Agustus – Desember 1998.
Fukuchi menyatakan bahwa satu corak signifikan dari krismon adalah ketidakstabilan politik secara substansial yang terjadi dalam subperiode kedua yang
menyebabkan kekacauan ekonomi. Nilai tukar mengalami penurunan yang tajam terutama pada bulan Januari dan Juni 1998, yang tidak dapat dijelaskan dengan
baik secara ekonomi karena hal tersebut sebagian besar disebabkan oleh gangguan non ekonomi. Oleh karena itu, Fukuchi memperkirakan suatu fungsi nilai tukar
menggunakan data sampai dengan akhir subperiode pertama berdasarkan pada lima variabel ekonomi yang penting. Ia kemudian menghitung kesalahan prediksi dari
119 nilai tukar dalam subperiode kedua dan ketiga, dan mendefinisikan sebagai
gangguan nonekonomi. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk menganalisis secara ekonometrik trend indeks produksi untuk subsektor industri berdasarkan
pada indeks ekonomi seperti halnya pada gangguan non ekonomi. Setelah mengobservasi trend, Fukuchi menggolongkan subsektor ke dalam tiga kelompok :
1 agriculture-related-industry industri yang terkait dengan pertanian, 2 light industry industri ringan, dan 3 capital goods industry industri barang modal.
Kelompok yang pertama dirusakkan tetapi dengan cepat disembuhkan dan mencapai tingkatan output paling tinggi pada bulan Desember 1998. Kelompok
yang kedua menunjukkan perubahan yang mudah menguap dan tingkat produksinya pada bulan Desember 1998 adalah 11 persen di bawah tingkat
produksi pra-krismon. Kelompok yang ketiga cukup baik sebelum krismon, tetapi dirusak dengan sangat parah oleh krisis, dan tingkat produksinya pada bulan
Desember 1998 hanya setengah dari tingkat produksi pra-krismon. Beberapa subsektor diuntungkan dari depresiasi rupiah dan terjadi ekspansi ekspor yang
cepat, sedangkan subsektor lainnya sangat menderita dari sisi penawaran kekurangan bahan baku yang diimpor dan keterbatasan finansial dan juga dari sisi
permintaan permintaan domestik merosot. Fukuchi mengestimasi persamaan- persamaan untuk menjelaskan trend bulanan dari indeks produksi menurut
subsektor Januari 1996-Desember 1998, dan menunjukkan pentingnya kontribusi faktor. Ia juga memperkenalkan hasil proyeksi sampai Desember 1999 dan
menunjukkan lanjutan dari efek yang membandingkan krismon pada subsektor yang berbeda. Mengacu pada analisisnya tentang dampak krismon dari dua sisi,
Fukuchi menekankan pentingnya diversifikasi sektor industri dalam jangka pendek
120 dalam rangka menjamin pengembangan sektor industri Indonesia yang
berkesinambungan. Studi yang dilakukan Wie 2000, Aswicahyono dan Pangestu 2000 dan
Fukuchi 2000 belum membedakan sektor industri menjadi industri kecil, menengah dan besar, padahal perilaku ekonomi kelompok industri ini berbeda
dalam merespon krisis moneter di Indonesia. Salah satu studi yang merinci sektor industri menjadi industri kecil, menengah dan besar adalah studi yang dilakukan
Sato 2000. Sato 2000 melakukan suatu studi lapangan tentang industri logam di Pulau
Jawa yang berkonsentrasi pada analisis dampak krismon terhadap usaha kecil dan menengah UKM di Indonesia. Dampak terhadap UKM sulit untuk dinilai secara
menyeluruh sebab data statistik industri tahunan pemerintah hanya mencakup perusahaan ukuran menengah dan besar. Studi ini mengulas keterbatasan data
statistik yang tersedia dan melakukan studi yang berhubungan dengan UKM selama periode krisis dan kemudian melakukan studi lapangan yang menghasilkan
sejumlah aspek seperti dampak terhadap prestasi UKM, faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi UKM dan respon UKM terhadap krisis. Studi lapangan
dilakukan pada beberapa lokasi terpilih di Pulau Jawa yang mencakup DKI Jakarta, kota besar lokal dan cluster di pedesaan.
Sato melakukan wawancara intensif dengan lima puluh pemilik UKM, semua berhubungan dengan barang logam dan memproduksi komponen mesin. Industri
ini menjadi subsektor yang menderita selama krisis, dan 65 persen dari responden melaporkan bahwa prestasi perusahaan mereka kurang baik. Tetapi studi juga
menemukan bahwa prestasi UKM pada sektor ini menunjukkan variasi yang lebar, berkisar antara tidak memperoleh keuntungan dan produksi terhenti sampai pada
121 tingkat keuntungan beberapa kali lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi
sebelum krisis. Studi ini menguji sejumlah faktor yang mungkin untuk menjelaskan prestasi yang beragam : orientasi pasar, ukuran, lokasi, keterkaitan
dan ekspose hutang UKM. Studi ini menemukan bahwa faktor yang paling penting adalah keterkaitan dan orientasi pasar.
Prestasi terbaik UKM adalah keberhasilan dalam mengalihkan atau menggeser produk ke proyek yang terkait dengan pemerintah atau berorientasi
ekspor. Peningkatan permintaan terhadap barang-barang inferior dan substitusi impor adalah hal positif lainnya dari pasar faktor. Dalam pergeseran produk, UKM
secara selektif menggunakan keterkaitan mereka dengan pedagang besar yang mampu menemukan pasar. Di sisi lain, UKM yang mempunyai keterkaitan dengan
asembler tertentu dan pabrik pengguna pada umumnya dipengaruhi secara negatif. UKM yang masih baru saja memulai untuk tumbuh sebagai subkontraktor dalam
aglomerasi industri perkotaan adalah suatu kasus belakangan. Studi menunjukkan bahwa sangat banyak prestasi UKM selama krisis. Yang menarik, respon UKM
untuk tetap bertahan bervariasi menurut individu perusahaan dan tidak tergantung pada derajat penderitaan atau pada ukuran. Studi ini menunjukkan heterogenitas
UKM pada sektor yang sama dalam merespon krisis Sato, 2000. Sebagai perbandingan atas berbagai studi yang menjelaskan tentang peranan
UKMIKM di Indonesia, selanjutnya dipaparkan tentang peranan IKM pada berbagai negara. Berbagai studi tentang peranan IKM pada berbagai negara yang
dipaparkan, antara lain studi IKM di Korea oleh Shin 2002 dan Jung 2002; studi perbandingan IKM di Korea dan Taiwan oleh Abe dan Kawakami 1997 serta Hall
122 dan Harvie 2003, studi IKM di Kroasia oleh Cziraky et al. 2002; dan studi IKM
di China oleh Yonggui et al. 2002. Shin 2002 melakukan studi tentang supply chain management for SMEs di
ASIAN, khususnya di Korea. UKM berperan penting dalam perekonomian nasional Korea, terutama diperlihatkan oleh kontribusi UKM dari aspek pangsa
penyerapan tenaga kerja sebesar 70 persen, pangsa output lebih dari 40 persen, dan volume ekspor lebih dari 42 persen. Studi ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat
dan dampak penerapan sistem point of sales POS, karakteristik organisasi dan aplikasi sistem POS oleh pengguna. Perusahaan-perusahaan yang diklasifikasi
sebagai UKM adalah perusahaan-perusahaan dengan tenaga kerja tidak lebih dari 300 orang. Hasil utama studi ini menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan
berskala besar mampu menerapkan sistem POS dengan baik sampai pada level 3, sedangkan UKM hanya mampu menerapkan sistem POS sampai pada level 2.
Konsekuensinya perusahaan-perusahaan berskala besar memperoleh manfaat lebih besar dengan menerapkan sistem POS daripada perusahaan-perusahaan berskala
kecil dan menengah. Dalam artikelnya, Jung 2002 menyatakan bahwa Korea Selatan telah
mengubah arah pengembangan usaha dari penekanan pada kelompok UB pada UKM sejak tahun 1999. Perubahan arah ini dilakukan berdasarkan pada kenyataan
bahwa pada saat terjadi krisis ekonomi yang melanda Korea Selatan sejak Juli 1997, sepertiga dari UB di Korea Selatan collaps sedangkan UKM tetap tumbuh
dan berkembang dengan baik. Sejak tahun 1999, kontribusi UKM dalam perekonomian Korea Selatan menunjukkan peningkatan yang berarti dan lebih baik
dari UB. Untuk mendorong pengembangan UKM, pemerintah Korea Selatan telah menerapkan sistem jaminan kredit kepada UKM sebagai upaya untuk
123 memperlancar upaya meminjam uang di bank. Di samping itu, pemerintah Korea
Selatan juga mengimplementasikan program pengembangan sumberdaya manusia, teknologi dan manajemen jasa konsultasi. Jung menegaskan bahwa di satu sisi
intervensi pemerintah akan menciptakan usaha-usaha baru, di sisi lain intervensi langsung dari pemerintah dapat menyuburkan opportunistic behaviour dan moral
hazard di antara pelaku bisnis. Abe dan Kawakami 1997 serta Hall dan Harvie 2003 melakukan studi
tentang perbandingan kondisi UKM di Korea dan Taiwan. Abe dan Kawakami 1997 melakukan studi tentang perbandingan ukuran usaha di Korea dan Taiwan.
Mereka menyatakan bahwa pemerintah Korea lebih menekankan pada pengembangan UB conglomerate business groups, chaebols, sedangkan
pemerintah Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM. Selanjutnya Hall dan Harvie 2003 melakukan studi tentang kinerja UKM di Korea dan Taiwan.
Hall dan Harvie menyatakan bahwa pascakrisis ekonomi, pemerintah Korea dan Taiwan lebih menekankan pada pengembangan UKM untuk meningkatkan
perekonomian mereka. Walaupun Korea dan Taiwan sama –sama menekankan
pada pengembangan UKM, namun permasalahan yang dihadapi oleh UKM pada kedua negara tersebut berbeda. UKM di Korea dihadapkan pada masalah suku
bunga yang tinggi dan akses terhadap bank yang sulit, sedangkan UKM di Taiwan tidak menghadapi kedua persoalan tersebut. Jumlah dan kinerja UKM di Korea
tumbuh lebih cepat dan lebih besar daripada di Taiwan. Pertumbuhan produktivitas UKM di Taiwan lebih rendah dari perusahaan besar dan relatif stagnan sejak awal
tahun 1990-an, sedangkan di Taiwan menunjukkan peningkatan dan lebih besar daripada ukuran besar.
124 Studi lainnya yang merinci sektor industri menjadi industri kecil, menengah
dan besar dilakukan oleh Cziraky et al. 2002 dan Yonggui et al. 2002. Studi yang dilakukan Cziraky et al. 2002 dilatarbelakangi oleh fenomena bahwa UKM
mendominasi perekonomian Kroasia, namun UKM di negara ini mengalami kesulitan dalam memperoleh pinjaman dan akses terhadap kredit yang terbatas.
Berdasarkan permasalahan tersebut, studi ini bertujuan untuk menganalisis faktor- faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat pinjaman UKM di Kroasia. Studi ini
menggunakan pendekatan multivariate berdasarkan pada model persamaan struktural LISREL dengan menggunakan latent variables aplikasi pinjaman.
Mereka menguji perbedaan dalam matriks kovarians dari variabel-variabel yang diobservasi dan implikasi model yang dapat diterima atau ditolak dan
membandingkan sub-sub sampel antara berbagai bank. Hasil utama studi Cziraky et al. 2002 menunjukkan bahwa bank-bank lebih menyukai perusahaan-
perusahaan kecil yang meminjam uang lebih sedikit. Hasil ini menegaskan bahwa bank-bank secara individual memiliki kriteria dan preferensi besar pinjaman yang
berbeda serta tidak ada korelasi positif antara ukuran bank dan preferensi besar pinjaman.
Yonggui et al. 2002 melakukan studi yang bertujuan untuk menguji satu set variabelfaktor internal dan eksternal yang mungkin secara kritis untuk
membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari prestasi UKM yang rendah. Studi berdasarkan pada sampel UKM yang besar di wilayah utara China. Studi ini
mengikuti tahapan analisis sebagai berikut. Pertama, menentukan faktor-faktor yang
mempengaruhi dan
faktor-faktor pembeda
seperti tim
top manajemenenterpreneur, karakteristik perusahaan, strategi organisasi dan
lingkungan eksternal diidentifikasi berdasarkan berbagai studi terdahulu. Kedua,
125 menggunakan factor analysis analisis faktor untuk mengurangi variabel dan
menguji reliabilitas dan validitas skala. Ketiga, menggunakan teknik one-way ANOVA untuk mengkonfirmasikan kehadiran diferensial prestasi pertumbuhan
antara kelompok-kelompok yang berbeda dari perusahaan menurut standar yang berbeda. Keempat, analisis regresi logistik digunakan untuk mengindentifikasi
faktor-faktor kunci yang membedakan pertumbuhan UKM yang tinggi dari UKM dengan pencapaian pertumbuhan yang rendah.
Hasil studi Yonggui et al. 2002 menunjukkan bahwa faktor tim top manajemen, karakteristik perusahaan, strategi organisasi dan faktor lingkungan
eksternal mempunyai pengaruh penting terhadap prestasi pertumbuhan UKM dan menjadi kunci faktor pembeda. Bagaimanapun, tidak semua faktor mempunyai
pengaruh yang sama atau mempunyai pengaruh yang signifikan seperti diusulkan oleh studi lain yang berhubungan dengan kejadian di luar China. Atas dasar
sampel wilayah yang besar, lebih dari 10 ribu perusahaan kecil dan menengah, ditemukan bahwa general managerpemilik dan rata-rata umur tim top manajemen
secara signifikan berpengaruh negatif terhadap prestasi pertumbuhan UKM, sedangkan tingkat pendidikan direkturpemilik berpengaruh positif. Begitu juga
dengan sebagian faktor karakteristik perusahaan, seperti ukuran perusahaan, jumlah karyawan terampil yang lebih muda dan umur perusahaan berpengaruh positif.
Untuk kelompok faktor strategi organisasi dan lingkungan eksternal, peubah yang berpengaruh positif adalah strategi inovasi, strategi diversifikasi, strategi kerjasama
dalam produksi, derajat tingkat penguasaan dan lingkungan eksternal yang baik terhadap percepatan pertumbuhan UKM, sedangkan strategi perbedaan
berpengaruh negatif terhadap prestasi pertumbuhan bisnis.
126 Sementara itu, Djaimi 2006 melakukan penelitian untuk menganalisis
peranan, perilaku dan kinerja industri kecil menengah IKM dalam perekonomian Indonesia. Analisis peranan IKM menggunakan pendekatan Social Accounting
Matrix dengan 43 neraca endogen yang terdiri dari 33 sektor produksi, 8 kelompok rumah tangga, institusi pemerintah dan swasta, dan 3 neraca eksogen. Analisis
perilaku dan kinerja IKM menggunakan pendekatan Structural Equation Model yang diestimasi dengan metode Asymtotically Distribution Free. Hasil studi
dengan menggunakan pendekatan Social Accounting Matrix memperlihatkan bahwa peranan IKM lebih besar daripada industri skala besar dalam menciptakan
pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, dan pemerataan pendapatan di Indonesia. IKM yang memiliki peranan paling besar adalah industri-industri yang berbasis
pertanian. Karena mayoritas penduduk Indonesia hidup di perdesaan, dan didominasi oleh penduduk miskin, maka strategi untuk memperbaiki kinerja
industri berbasis pertanian merupakan pilihan terbaik. Kebijakan redistribusi pendapatan dari rumah tangga golongan atas ke rumah tangga golongan bawah
merupakan salah satu alternatif solusi untuk mempercepat pendapatan. Lebih lanjut, hasil studi dengan pendekatan Structural Equation Model mengimplikasikan
ketersediaan bahan baku dan bahan penolong dengan harga terjangkau diperlukan untuk meningkatkan kinerja industri. Langkah-langkah sistematis untuk
mentranformasikan industri kecil ke industri menengah diperlukan sehingga tujuan utama pembangunan nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan distribusi pendapatan yang merata segera dapat direalisasikan. Penelitian mengenai stuktur skala usaha dan sumber-sumber pertumbuhan
industri telah dilakukan oleh Sunaryanto 2006. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa hanya 10 persen perusahaan memiliki kedinamisan. Usaha menengah yang
127 berbasis pada pertanian atau berorientasi ekspor lebih dinamis dibandingkan
dengan yang lainnya. Analisis multinomial logistic regression MLR menunjukkan bahwa faktor-faktor internal kecuali produktivitas tenaga kerja, dan
juga faktor-faktor eksternal pajak dan tingkat suku bunga mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan usaha menengah menjadi usaha berskala besar. Biaya
pajak formal relatif rendah dan tidak menyebabkan usaha menengah bergerak menjadi usaha besar. Karena usaha menengah tidak mempunyai kredit dari
perbankan dan mereka menggunakan modal sendiri atau modal keluarga, maka mereka tidak merisaukan dengan tingkat suku bunga untuk bergerak menuju usaha
besar. Fenomena missing of the middle MOM benar-besar terjadi dalam struktur industri Indonesia. Stuktur industri yang berdasarkan usaha kecil, menengah dan
besar menunjukkan pola U. Sebaliknya, jika berdasarkan produktivitas hasil output, pendapatan dan produktivitas tenaga kerja, struktur industri menunjukkan
pola U terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa usaha menengah mempunyai potensi untuk menjadi tulang punggung struktur industri dan menjadi mesin utama
pertumbuhan ekonomi. Heatubun 2008 melakukan penelitian untuk melihat peranan usaha kecil
dan menengah UKM dalam pertumbuhan ekonomi dan ekspor dengan membangun sebuah model ekonomi agregat secara simultan pada sisi produksi
dengan melibatkan skala usaha berdasarkan sektor ekonomi. Dengan menggunakan pool data cross section 9 sektor ekonomi dan time series 1997
– 2005, model diestimasi dengan metode pendugaan 2SLS Two Stages Least
Squares. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku UKM dan Usaha Besar UB secara umum dipengaruhi oleh variabel investasi, human capital, teknologi,
128 tenaga kerja, unit usaha, jumlah produksi, ekspor, harga output, UMR, nilai tukar,
suku bunga, jumlah eksportir, pengeluaran pemerintah, rencana investasi nasional dan kenaikan GDP. UKM menunjukkan peran lebih besar dalam meningkatkan
investasi, teknologi, penyerapan tenaga kerja, produksi, ekspor, dan kontribusi pada GDP dibandingkan UB ketika terjadi peningkatan unit usaha, jumlah eksportir,
nilai tukar, human capital dan pengeluaran pembangunan. Sebaliknya, UB menunjukkan peran lebih besar dibandingkan UKM bila terjadi peningkatan input
dan jumlah ekspor. UKM memperlihatkan daya tahan lebih kuat terhadap penurunan investasi dan penyerapan tenaga kerja ketika suku bunga dan UMR
dinaikkan lebih tinggi. Dari sisi produksi, keunggulan jumlah unit usaha UKM memberikan kontribusi sangat besar pada pertumbuhan GDP, ekspor, investasi, dan
penyerapan tenaga kerja jauh melebihi UB. Sebaliknya, dari sisi konsumsi, dampak pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah lebih kuat mendorong
kenaikan produksi, ekspor, investasi dan kemajuan teknologi UB. Peningkatan ekspor UKM memberikan kontribusi cukup besar bagi pertumbuhan GDP, tetapi
masih di bawah dominasi UB. Jika jumlah eksportir UKM ditingkatkan maka peranan UKM makin menonjol dalam hal penanaman investasi, perbaikan
teknologi, penyerapan tenaga kerja dan jumlah ekspor. Mencermati uraian yang telah dikemukakan di atas, dapat dinyatakan bahwa
tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkesinambungan diiringi dengan penciptaan kesempatan kerja
yang tinggi dan distribusi pendapatan yang merata. Upaya untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut terkait erat dengan strategi pengembangan industri yang
diterapkan. Secara umum industri yang dikembangkan dapat dikelompokkan menjadi : 1 industri yang berbasis bahan baku domestik dan bahan baku impor,
129 dan 2 industri dengan teknologi padat tenaga kerja dan industri dengan teknologi
padat modal. Pada banyak negara berkembang seperti yang dikemukakan Gillis et al.,
1992 kunci untuk mencapai tujuan pembangunan adalah mengurangi ketergantungan terhadap negara lain, yaitu mengembangkan industri dengan
kemampuan sendiri. Namun demikian, terdapat sejumlah alternatif untuk menciptakan industri yang menghasilkan barang dan jasa secara efisien.
Bagaimanapun, ekonom yang baik harus mampu menjelaskan bagaimana alternatif kebijakan yang ditawarkan relevan dan bagaimana proses industrialisasi dilakukan
untuk mencapai tujuan.
III. KERANGKA TEORITIS
3.1. Perubahan Struktur Ekonomi
Pembangunan ekonomi jangka panjang dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto PDB akan membawa suatu perubahan mendasar dalam struktur
ekonomi, dari ekonomi tradisional dengan pertanian sebagai sektor utama ke ekonomi moderen yang didominasi oleh sektor-sektor non-primer, khususnya
sektor industri dengan increasing return to scale relasi positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas yang dinamis sebagai motor utama
penggerak pembangunan ekonomi Weiss, 1988. Ada kecenderungan dapat dilihat sebagai suatu hipotesis bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi
yang membuat semakin tinggi pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi faktor-faktor penentu lain mendukung
proses tersebut seperti manusia tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia. Meminjam istilah Kuznets, perubahan struktur ekonomi, umum disebut
transformasi struktural, dapat didefinisikan sebagai suatu rangkaian perubahan yang saling terkait satu dengan lainnya dalam komposisi permintaan agregat,
perdagangan luar negeri ekspor dan impor, penawaran agregat yaitu produksi dan penggunaan faktor-faktor produksi yang diperlukan guna mendukung proses
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan Chenery, 1979. Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme
transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsistens dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke
struktur perekonomian yang lebih moderen, yang didominasi oleh sektor-sektor