178 Variabel endogen adalah variabel yang nilainya ditentukan di dalam model.
Variabel eksogen adalah variabel yang nilainya ditentukan di luar model. Variabel eksogen ini dapat digunakan sebagai ”shock” di dalam model yang menunjukkan
kebijakan ekonomi yang mengubah keseimbangan awal. Untuk mendapatkan solusi dari sistem persamaan yang ada, maka jumlah variabel endogen harus sama
dengan jumlah persamaannya. Pada simulasi jangka pendek, stok modal capital stoks normalnya adalah tetap eksogen dan terdapat kekakuan rigid di pasar
tenaga kerja. Pada simulasi jangka panjang, beberapa variabel lainnya dipilih untuk menjadi variabel eksogen, misalnya tingkat pengembalian rates of return
diasumsikan tetap pada simulasi jangka panjang sehingga stok modal berubah dan berpindah dari satu industri ke industri yang lain Oktaviani, 2008.
Terdapat beberapa model ekonomi keseimbangan umum Indonesia. Model CGE untuk Indonesia pertama kali adalah INDOGEM Trewin et al., 1995,
kemudian muncul model-model CGE lainnya seperti model WAYANG Wittwer, 1999, INDOF Oktaviani, 2000, dan INDORANI Abimanyu, 2000. Untuk
mengaplikasikan model tersebut dalam menganalisis dampak kebijakan, diperlukan beberapa penyesuaian baik pada sistem persamaan maupun pada formulasi dan
konstruksi data atau dilakukan modifikasi dari model awal pada satu blok persamaan atau menambah blok persamaan yang baru.
3.6. Kerangka Pemikiran Konseptual
Menurut Palma 2008, dalam pembangunan ekonomi jangka panjang, perubahan dalan struktur tenaga kerja sejalan dengan peningkatan produktivitas
pada sektor pertanian. Peningkatan produktivitas pada sektor pertanian menurunkan kebutuhan tenaga kerja untuk sektor tersebut, dan pada saat yang sama
179
meningkatkan baik permintaan input-input antara dan modal pada sektor pertanian, dan permintaan barang-barang konsumsi sebagai akibat dari peningkatan
produktivitas pada sektor pertanian. Sebagai hasilnya adalah, terjadinya dua proses dalam suatu saat yang bersamaan. Pertama adalah tenaga kerja mulai keluar dari
sektor pertanian dan kedua tenaga kerja secara progresif terserap ke sektor-sektor lain dalam perekonomian. Selama fase baru ini, umumnya disebut dengan fase
industrialiasasi dimana tenaga kerja umumnya diserap oleh sektor industri dan jasa. Selama fase berikutnya, terjadinya kontraksi tenaga kerja pada sektor
pertanian dan ekspansi tenaga kerja pada sektor jasa sehingga memunculkan kecenderungan pangsa tenaga kerja sektor industri dalam total tenaga kerja menjadi
stabil. Akhirnya, suatu fase baru muncul dimana tenaga kerja pada sektor industri mulai menurun baik dalam nilai relatif maupun nilai absolut. Sementara itu, di
sisi lain, sektor jasa menjadi sumber penyerapan tenaga kerja. Fase inilah yang umumnya disebut sebagai fase deindustrialisasi.
Beberapa literatur mencoba untuk mengembangkan berbagai hipotesis untuk menjelaskan menurunnya tenaga kerja sektor industri di beberapa negara maju
sejak akhir tahun 1960-an. Empat hipotesis yang paling banyak dikenal adalah sebagai berikut :
1. Penurunan tenaga kerja tersebut bukan lagi suatu “statistical illusion”
umumnya disebabkan oleh realokasi tenaga kerja dari sektor industri ke sektor jasa mengikuti peningkatan yang sangat cepat berbagai aktivitas yang
dilakukan perusahaan-perusahaan manufaktur menjadi produsen jasa terspesialisasi, termasuk transpor, kebersihan, desain, keamanan, katering,
perekrutan, dan pengolahan data.
180 2. Penurunan tenaga kerja sebagai akibat dari penurunan yang signifikan dalam
elastisitas pendapatan terhadap permintaan barang-barang manufaktur. 3. Penurunan tenaga kerja sebagai konsekuensi dari pertumbuhan produktivitas
yang cepat dalam sektor industri. 4. Penurunan tenaga kerja sebagai akibat dari pembagian tenaga kerja
internasional termasuk outsourcing yang merugikan tenaga kerja sektor industri di negara-negara maju, khususnya yang berhubungan dengan tenaga
kerja tidak terlatih non-skilled labour. Lebih lanjut Palma 2007, menjelaskan ada empat indikator terjadinya
deindustrialisasi : 1.
Bentuk hubungan “inverted-U” antara tenaga kerja manufaktur dan pendapatan
per kapita.
Titik awal pendekatan deindustrialisasi sebagai “inverted-U” dikembangkan oleh Rowthorn 1994 yang mendefinisikan deindustrialisasi
sebagai penurunan dalam tenaga kerja manufaktur yang terjadi pada suatu negara jika mencapai level tertentu pendapatan per kapita; dalam regresi cross-
section-nya untuk tahun 1990 dibangun dari sampel 70 negara, level ini diperkirakan US 12 000 dalam dollar internasional 1991.
2. Hubungan yang menurun antara pendapatan per kapita dan tenaga kerja manufaktur. Fenomena pertama pada hubungan “inverted-U”-nya Rowthorn
ternyata tidak stabil sepanjang waktu, tetapi mengikuti suatu bentuk slope yang menurun untuk negara-negara berpendapatan menengah dan tinggi.
3. Penurunan dalam pendapatan per kapita yang berhubungan dengan titik balik turning point suatu regresi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Eswaran
dan Kotwal 2002 yang menyatakan bahwa peningkatan pendapatan
181
mendorong terjadinya peningkatan dalam konsumsi dan permintaan berbagai jasa sehingga menurunkan biaya pengeluaran barang-barang manufaktur.
4. Dutch disease. Fenomena dutch disease terjadi pada suatu negara ketika terjadi penemuan dan eksplorasi sumber-sumber daya alam ekstraktif sehingga
menurunkan pangsa output sektor industri di negara tersebut. Corden dan Neary 1982 fenomena Dutch Disease terjadi dalam banyak kasus seperti penemuan
sumber-sumber mineral di Australia, penemuan gas alam di Belanda, minyak di Inggris, Norwegia dan beberapa negara anggota pengekspor minyak OPEC.
Deindustrialisasi pada beberapa studi seperti Palma 2007; Rowthorn dan Ramaswamy 1997; Mickiewicz dan Zalewska 2002; Aiginger 2003; Watts
dan Valadkhani 2001 lebih banyak disoroti dari penurunan pangsa tenaga kerja yang bekerja pada sektor industri. Penurunan pangsa tenaga kerja biasanya seiring
dengan turunnya pangsa output sektor industri terhadap total output nasional suatu perekonomian. Penurunan pangsa tenaga kerja dan pangsa sektor industri dalam
pembentukan PDB mengarah pada deindustrialisasi. Dalam penelitian ini deindustrialisasi dilihat dari terjadinya penurunan pangsa nilai tambah sektor
industri terhadap total PDB Indonesia. Identifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya deindustrialisasi menjadi hal
yang penting untuk melihat akar permasalahan dan merumuskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk keluar dari permasalahan tersebut. Faktor-faktor penyebab
terjadinya deindustrialisasi dikaji dengan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pangsa output sektor industri baik dari sisi permintaan maupun sisi
penawaran. Dari sisi permintaan, output nasional sektor industri sangat tergantung pada pangsa investasi di sektor industri, pangsa ekspor dan pangsa impor produk-
182 produk industri. Sementara itu, output nasional sektor industri dari sisi penawaran
dipengaruhi tingkah upah sektor industri, harga energi listrik dan BBM, dan produktivitas sektor industri yang bersangkutan. Perkembangan atau penurunan
output sektor industri akan mempengaruhi pangsa sektor industri dan pangsa sektor-sektor yang lain.
Faktor-faktor signifikan yang menjadi penyebab deindustrialisasi akan berdampak pada perekonomian nasional secara makro seperti PDB riil, konsumsi
rumah tangga, investasi, inflasi, kesempatan kerja, ekspor dan impor serta neraca perdagangan dan kinerja sektoral khususnya sektor industri non-migas baik
menurut skalanya industri kecil, industri menengah dan industri besar maupun kelompoknya kelompok industri agro, kelompok industri basis manufaktur, dan
kelompok industri alat angkut yang dilihat dari segi perkembangan output dan penyerapan tenaga kerja.
Untuk dapat keluar dari kondisi deindustrialisasi, maka selanjutnya dilakukan reindustrialisasi untuk meningkatkan kembali kontribusi sektor industri non-migas
dalam perekonomian nasional. Simulasi dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro dan kinerja sektor industri non-migas dilakukan dengan menggunakan
model ekonomi keseimbangan umum terkomputasi Computable General EquilibriumCGE. Dari hasil simulasi reindustrialisasi untuk mendorong kembali
peran sektor industri non-migas dalam perekonomian nasional selanjutnya direkomendasikan sebagai suatu strategi reindustrialisasi yang dapat dilakukan oleh
pemerintah. Kerangka
pemikiran konseptual
faktor-faktor penyebab
deindustrialisasi dan dampak reindustrialisasi terhadap ekonomi makro serta kinerja sektor industri non-migas di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 24.
183
Dampak Reindustrialisasi terhadap
Gambar 24. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi
Penawaran Supply Side
Faktor-Faktor Penyebab Deindustrialisasi dari Sisi
Permintaan Demand Side
Kinerja Ekonomi Makro Kinerja Sektor Industri Non-
Migas Pangsa Investasi pada Sektor
Industri, Pangsa Ekspor dan Pangsa Impor Produk Industri
Non-Migas Input Sektor Industri Non-Migas
Tingkat Upah, Harga BBM dan Listrik, dan Produktivitas Sektor
Industri Non-Migas
Faktor-Faktor Signifikan Penyebab
Deindustrialisasi
Strategi Reindustrialisasi yang Direkomendasikan
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Aplikasi Model Regresi
Model merupakan penjelas dari fenomena aktual sebagai suatu sistem atau proses Koutsoyiannis, 1977. Model ekonometrika adalah suatu pola khusus dari
model aljabar, yakni suatu unsur yang bersifat stokastik yang mencakup satu atau lebih peubah pengganggu Intriligator, 1978.
Model ekonometrika merupakan gambaran dari hubungan masing-masing variabel penjelas explanatory varibles terhadap peubah endogen dependent
variables khususnya yang menyangkut tanda dan besar magnitude and sign dari penduga parameter sesuai dengan harapan teoritis secara apriori. Model yang baik
haruslah memenuhi kriteria teori ekonomi theoritically meaningfull, kriteria statistika yang dilihat dari suatu derajat ketepatan goodness of fit yang dikenal
dengan koefisien determinasi R
2
serta nyata secara statistik statistically significant. Sedangkan kriteria ekonometrik menetapkan apakah suatu taksiran
memiliki sifat-sifat yang dibutuhkan seperti unbiasedness, consistency, sufficiency, efficiency. Statistik DW adalah salah satu kriteria ekonometrika yang digunakan
untuk menguji taksiran, yaitu menguji validitas dari asumsi otokorelasi Koutsoyiannis, 1977.
Spesifikasi model yang dirumuskan dalam penelitian ini sangat terkait dengan tujuan penelitian yaitu menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya deindustrialiasi di Indonesia. Dalam penelitian ini digunakan dua model regresi untuk melihat faktor-faktor yang menyebabkan deindustrialisasi yang
dilihat dari penurunan pangsa nilai tambah sektor industri sebagai dependent