Pengelolaan Sumber Daya Alam Migas

diteruskan dengan mengeksploitasikan cadangan. Beberapa kegiatan eksploitasi misalnya pengeboran sumur produksi, pengembangan sumur, perbaikan sumur, pipanisasi dan transportasi, serta menyiapkan fasilitas produksi dan kegiatan pendukung lainnya. Sementara itu kegiatan usaha hilir migas adalah kegiatan lanjutan dari kegiatan hulu. Minyak mentah yang sudah bersih tersebut menjadi bahan utama bagi kegiatan usaha hilir. Oleh karena itu kegiatan usaha hilir diawali dengan membeli minyak mentah atau gas bumi dari kegiatan usaha hulu kemudian mengolahnya dengan melakukan penyulingan minyak mentah dan mengemas ulang gas bumi agar dapat dujual secara retail. Minyak mentah diolah melalui proses refinery menjadi berbagai produk seperti bahan bakar dan petrochemical. Hasil olahan berikutnya disimpan, diperdagangkan dan disalurkan ke pengguna akhir baik masyarakat atau industri. Gas bumi dikompres dan dimasukan ke dalam tabung untuk dijual kepada masyarakat baik dalam bentuk LPG ataupun juga untuk BBG. Jadi pada prinsipnya kegiatan utama usaha hilir migas adalah mengolah migas dan mendistribusikan produk hasil olahan tersebut kepada masyarakat agar dapat dikonsumsi. dalam UU 22 tahun 2001 kegiatan usaha hilir migas dirinci dalam empat kegiatan yaitu pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Minyak memiliki karakteristik yang berbeda dengan gas. Produk minyak mentah, yaitu BBM dan petrochemical relatif lebih bervariasi namun mudah untuk dikemas dan dibawa kemana-mana. Sedangkan produk gas relatif tidak bervariasi dan produk gas kemasannya harus khusus dan diberlakukan secara khusus pula karena mudah menguap dan terbakar. Oleh karena itu kegiatan usaha hilir untuk minyak dibedakan dengan gas. Sejak UU Migas yang baru tahun 2004 telah dibuka kemungkinan bagi swasta nasional dan asing untuk berinvestasi di sektor hilir migas. Sebelum UU tersebut kegiatan usaha hilir migas hanya dilaksanakan oleh Pertamina. Beberapa perusahaan besar seperti Petronas, Total, dan Shell mulai ikut serta dalam usaha hilir migas. Ketiga perusahaan tersebut pada saat ini hanya terlibat pada tiga kegiatan hilir yaitu transportasi, penyimpanan dan niaga produk migas. Sedangkan kegiatan pengolahan minyak mentah di Indonesia saat ini hanya dilakukan oleh PT. Pertamina Persero. Ketidaktertarikan swasta asing dan domestik untuk ikut serta dalam pengolahan dan pengilangan minyak mentah karena faktor keekonomian. Saat ini hampir seluruh produk migas mendapat subsidi dari Pemerintah Pusat. Subsidi ini untuk menutupi selisih antara biaya produksi di kilang dan harga jual yang lebih rendah. Sebenarnya kegiatan usaha di sektor hilir migas memiliki resiko yang lebih kecil jika dibandingkan dengan kegiatan usaha di sektor hulu migas. Perusahaan- perusahaan yang bekerja di sektor hulu migas selalu menghadapi masa eksplorasi pada tahap awal kegiatannya, dan kegiatan ini mengandung resiko bisnis 100. Sebab bila eksplorasi yang dilakukan oleh perusahaan migas tidak membuahkan hasil atau tidak ditemukannya cadangan migas, maka perusahaan tersebut harus keluar dari wilayah kerja dan meninggalkan seluruh investasinya. Selanjutnya investasi yang sudah dilakukan oleh perusahaan tersebut secara otomatis akan menjadi milik pemerintah. Meskipun demikian, keuntungan yang diperoleh perusahaan tersebut sepadan dengan risiko yang harus ditanggung. Karena ketika perusahaan tersebut berhasil menemukan cadangan dan cadangan tersebut ekonomis untuk dikembangkan atau diproduksikan maka seluruh biaya yang dikeluarkan akan diganti melalui mekanisme Cost Recovery dan margin yang diperoleh akan dibagi hasilkan antata Pemerintah dan perusahaan. Sementara itu usaha hulu migas terbukti memberikan margin yang cukup besar. Sebagai gambaran, saat ini rata-rata biaya pengelolaan hulu migas di Indonesia berkisar antara US 8 - US 14 dollar per barel. Sedangkan harga jual harga minyak mentah berada pada kisaran US 53 - US 90 per barel yang berarti harga tersebut 4-7 kali lipat dari biaya operasi. Akan tetapi harga minyak mentah memiliki fluktuasi yang sangat tinggi. Harga minyak mentah pernah berada pada titik terendah yaitu sebesar US 11 per barel dan pernah mencapai tingkat yang paling tinggi yaitu sampai mendekati US140 per barrel. Dari titik terendah hingga titik tertinggi harga minyak mentah dunia bergerak pada range US 79.2. Fluktuasi harga minyak mentah disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: 1. perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang diikuti dengan perubahan komposisi Supply - Demand migas. 2. Gangguan produksi secara sporadis. Pengusahaan hulu migas bertumpu pada upaya mengangkat migas yang berada di dalam perut bumi yang jauhnya bisa mencapai puluhan ribu kaki. Proses pengangkatannya tidak sederhana dan membutuhkan tehnologi tinggi. Tidak jarang perusahaan- perusahaan mengalami gangguan tehnis yang berpengaruh terhadap proses pengangkatan migas ke permukaan. 3. Kebijakan OPEC. Data pada Tabel 5 menunjukan bahwa di tahun 2006 cadangan OPEC sebesar 914.5 miliar barel atau 75.7 dari total cadangan dunia. Sementara rasio RP yaitu total reserve dibagi tingkat produksi sekarang sebesar 70.4, berarti cadangan OPEC tersedia hingga kurun waktu 70 tahun 3 bulan. Sedangkan produksi OPEC dipertahankan pada posisi 25 hingga 30 dari total produksi minyak dunia. Kebijakan tingkat produksi yang diputuskan oleh OPEC akan mempengaruhi jumlah minyak mentah yang ada di dunia, dan mempengaruhi komposisi supply-demand. Ujungnya adalah perubahan atau fluktuasi harga minyak dunia. Oleh karena itu Sejak berdiri hingga sekarang kebijakan produksi OPEC ditunggu oleh semua kalangan dan menjadi acuan dalam melakukan estimasi terhadap harga minyak mentah di pasar dunia. 4. Geopolitik di Timur Tengah juga berpengaruh besar terhadap menentukan tingkat harga migas di pasar Internasional. Sebab cadangan minyak dunia sekarang ini 80 berada di Timur Tengah. Sementara lebih dari 50 cadangan gas dunia berada di Timur Tengah. Jadi wajar bila gejolak yang terjadi di Negara-Negara di Timur Tengah berpengaruh terhadap tingkat harga. Tabel 5. Cadangan Minyak Dunia, OPEC dan Non-OPEC Tahun 2006 Produse r Miliar Barre l Rasio RP OPEC 914.6 75.6 70.4 Non OPEC 294.6 24.4 13.6 Dunia 1209.2 100 40.5 Catatan : R adalah Reserve Cadangan Minyak Mentah dan P adalah Production Produksi per tahun Sumber: BP Statistics, 2007 Fluktuasi harga minyak dunia dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dunia. Misalnya revolusi Irak tahun 1979 berpengaruh terhadap peningkatan harga yang pada saat itu mencapai lebih dari US80 per barrel. Demikian juga dengan program net-backing oleh Negara Eropa dan Amerika yang terjadi pada tahun 1980 berhasil menurunkan harga. Demikian juga dengan invasi Irak ke Kuwait yang mempengaruhi harga naik di atas US40 barrel. Peristiwa dunia yang sering disebut peristiwa geopolitik mempengaruhi harga minyak mentah dunia yang terlebih dahulu mempengaruhi spekulasi pelaku pasar. Ekspektasi para pemain pasar akan berpengaruh besar terhadap keputusan untuk membeli atau menjual minyak mentah pada harga tertentu, yang akan terefleksikan pada harga minyak mentah dunia. Misalnya ekspektasi terhadap tindakan dan keputusan OPEC ke depan yang cenderung longgar dengan memberikan signal peningkatan produksi, maka pemain pasar akan bersikap relatif lebih tenang dengan tidak terburu-buru mengajukan permintaan minyak kepada penjual. Ketersediaan minyak mentah dunia yang berlimpah membuat pembeli cenderung untuk mengajukan penawaran dengan harga rendah. Demikian juga dengan ekspektasi terhadap musim dan cuaca, musim dingin di Eropa cenderung memberikan indikasi terhadap meningkatnya permintaan sumber energi global. Cuaca buruk yang terjadi pada kawasan akan menggangu operasi perusahaan minyak dan menghambat transportasi penjualan minyak mentah melalui kapal, yang berdampak terhadap kekawatiran kekurangan pasokan minyak dunia yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga untuk meningkat. Seperti telah diungkapkan bahwa kegiatan utama usaha hulu migas adalah eksplorasi dan ekploitasi. Kegiatan eksplorasi adalah kegiatan mencari cadangan migas yang mencakup kegiatan mengidentifikasi potensi migas didalam bumi, kegiatan untuk mendapatkan peta potensi dan membuktikan potensi mengandung sumber daya alam migas yang secara komersial layak untuk diangkat ke permukaan bumi dan dijual ke pasar. Cara pencarian potensi cadangan migas di dalam perut bumi utamanya dilakukan dengan kegiatan seismic dan studi geologigeofisika. Kegiatan seismic adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh gambaran kondisi dan peta bawah tanah. Cara yang dipergunakan dalam kegiatan seismik adalah membuat getaran ke dalam tanah yang kemudian dipantulkan kembali ke atas pemukaan. Getaran balik ke permukaan tersebut dicatat sehingga membentuk gambar yang memungkinkan untuk mengidentifikasi kondisi di bawah tanah dan dapat mendeteksi kemungkinan adanya cekungan yang berpotensi mengandung cadangan migas. Studi geologi dan geofisika dibutuhkan untuk membaca kemungkinan terdapat jebakan migas dengan mempelajari struktur batuan dan kondisi fisik dalam tanah. Sebab cadangan migas secara umum mengendap dalam batuan berpori-pori yang spesifik. Cadangan terbukti yang layak dan memenuhi kriteria keekonomian sehingga layak untuk diproduksikan akan diangkat kepermukaan melalui kegiatan eksploitasi dan produksi yang sering disebut dengan pengembangan lapangan. Lebih detail kegiatan pengembangan lapangan terdiri dari kegiatan pengeboran sumur produksi, menyiapkan fasilitas produksi, kegiatan pemeliharaan fasilitas produksi, dan pemeliharaan sumur. Proses produksi yang dimaksudkan dalam usaha hulu migas utamanya adalah kegiatan memisahkan minyak atau gas dari lumpur, air dan pasir, serta material kimia lainnya. Dari proses ini diharapkan akan dihasilkan minyak mentah dan gas bumi murni yang dapat diperjualbelikan. Seperti kegiatan usaha pada umumnya yang memiliki ciri dan karakteristik tertentu, demikian juga dengan kegiatan usaha hulu migas sangat khas terutama dalam proses pencarian migad an pengelolaannya. Seluruh kegiatan hulu migas dikuasai, dimiliki, dan dikelola oleh Pemerintah. Hal ini tercantum dalam UU No 22 tahun 2001 yang menegaskan bahwa sumber daya alam migas adalah kekayaan nasional yang dikuasai oleh Negara, yang kemudian pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah selaku pemegang kuasa pertambangan. Untuk melaksanakan kegiatan usaha hulu migas tersebut Pemerintah membentuk Badan Pelaksana yang juga disebut BPMIGAS. Dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, BPMIGAS bekerjasama dengan perusahaan swasta atau perusahaan Negara yang berupa Badan Usaha BU atau Badan Usaha Tetap BUT. BU dan BUT yang bekerja sama dengan BPMIGAS di dalam kontrak disebut kontraktor. Bentuk kerjasama yang umum digunakan adalah Kontrak Bagi Hasil Production Sharing Contract. Kontraktor yang terlibat pada kegiatan hulu migas disebut dengan Kontraktor Kontrak Kerjasama atau disingkat KKKS. Kontrak bagi hasil adalah kesepakatan bisnis yang mengadopsi sistem bagi hasil dalam usaha pertanian di pedesaan. Di Jawa misalnya, sistem bagi hasil telah dikenal sejak lama. Sistem bagi hasil pertanian di Jawa disebut dengan istilah “maro”, yang berasal dari kata separo, yang berarti setengah. Pada sistem maro pemilik lahan tidak mengerjakan sendiri lahannya akan tetapi mempekerjakan penggarap sawah. Penggarap tidak menerima gaji atau upah bulanan atau harian, upah yang diberikan diwujudkan dalam bentuk beras hasil panenan jika sawah telah menghasilkan. Pada sistem bagi hasil pertanian “maro” hasil panen dibagi berdua antara pemilik lahan dan penggarap masing- masing setengah bagian. Sistem ”maro’ tersebut kemudian dimodifikasi menjadi pola bagi hasil untuk sumber daya alam migas yang disusun dengan mempertimbangkan kompleksitas pengolalan migas. Pola bagi hasil ini juga dibuat mengikuti kaidah perjanjian internasional, mempertimbangkan risiko eksplorasi yang besar, kebutuhan tehnologi tinggi, kebutuhan dana yang besar, dan peran Negara sebagai pemilik ladang minyak. Dalam kontrak bagi hasil pemilik lahan migas dalam hal ini Pemerintah tidak mengeluarkan modal untuk kegiatan di masa eksplorasi. Seluruh kebutuhan dana dipenuhi oleh investor atau kontraktor. Jika cadangan migas ditemukan dan dapat diproduksikan secara ekonomis, baru investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan akan dikembalikan dari hasil migas tersebut. Dalam bahasa tehnis, hal ini dikenal dengan mekanisme cost recovery. Karena seluruh biaya dan investasi yang dikeluarkan akan dikembalikan melalui mekanisme cost recovery maka seluruh asset yang sudah dibeli oleh kontraktor menjadi milik Pemerintah. Selain tidak menanggung pengeluaran investasi di awal, pemilik lahan juga tidak menanggung risiko kegagalan eksplorasi. Oleh karena itu dipersyaratkan dalam kontrak kerjasama dengan pola bagi hasil, bahwa kontraktor memiliki ketrampilan dan tehnologi yang cukup untuk menemukan cadangan migas. Kontraktor diberi waktu 6 tahun hingga 10 tahun untuk menemukan cadangan migas. Jika ternyata dalam jangka waktu tersebut kontraktor tidak berhasil menemukan cadangan migas maka kontraktor yang bersangkutan tidak lagi diperkenankan untuk malakukan pencarian cadangan pada wilayah kerja tersebut. Sementara seluruh biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor tidak dikembalikan dan seluruhnya menjadi beban kontraktor. Bila di wilayah kerja pertambangan ditemukan lapangan atau lahan yang mengandung cadangan migas yang layak dan komersial untuk diproduksikan, maka hasil pengangkatan minyak setelah dikurangi cost recovery, akan dibagikan berdasarkan prosentase tertentu antara Pemerintah dan kontraktor. Pembagian tersebut sesuai dengan kontrak yang telah disepakati bersama, yang disebut production split . Pola perhitungan bagi hasil migas antara Pemerintah dan Kontraktor secara umum dapat dilihat pada Gambar 5, yang menunjukan bagaimana hasil migas dibagi antara pemerintah dan kontraktor. Pertama, yang perlu dicatat bahwa konsep pola bagi hasil migas merupakan pola pembagian minyak dan gas. Pola pembagian ini sering disebut dengan pembagin secara inkind atau dalam bentuk barang. Misalnya saja diasumsikan Pemerintah bersama-sama kontraktor hanya memproduksikan minyak mentah dan hasil produksi dalam satu tahun sebesar 10000 barel. Harga minyak rata-rata dalam satu tahun misalnya US 50 per barrel. Pajak sebesar 48 dengan production split sebelum pajak sebesar 85 untuk Pemerintah dan 15 untuk kontraktor. Langkah pertama adalah menyusun production split dalam bentuk gross sebelum pajak. Jika setelah pajak bagian kontraktor sebesar 15 maka prosentase sebelum pajak dapat dihitung dengan rumus: 15 1 - 48 = 28.8462 Jika split atau bagian kontraktor sebelum pajak sebesar 28.8462 maka bagian Pemerintah sebelum pajak akan sebesar 71.1538. Selanjutnya prosentase tersebut akan dipergunakan untuk membagi bagian masing-masing pihak. Pertama yang dibagi adalah First Tranch Petroleum FTP, yaitu produksi minyak mentah yang disisihkan untuk dibagikan kepada masing-masing pihak sebelum minyak mentah dipergunakan untuk mengembalikan biaya-biaya operasional perminyakan. Besarnya FTP berkisar antara 10 hingga 20. Akan tetapi yang umum dipergunakan dalam kontrak adalah 20. FTP 20 pada kasus tersebut sama dengan 2000 barrel yang akan dibagi ke kontraktor dan Pemerintah berturut-turut sebesar 28.8462 dan bagian sebesar 577 barrel dan Pemerintah akan memperoleh 1423 barrel. Setelah dikurangi FTP maka minyak yang tersisa adalah sebesar 8000 barrel. Sesuai dengan kontrak maka setelah FTP diambil oleh keduabelah pihak maka selanjutnya biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh kontraktor untuk kegiatan usaha hulu migas akan dikembalikan. Pada contoh tersebut, jumlah barrel yang diperlukan untuk mengembalikan biaya-biaya yang sudah dikeluarkan adalah sebesar 2000 barrel. Angka tersebut diperoleh dari membagi biaya yang sudah dikeluarkan yaitu sebesar US 100000 dengan harga minyak mentah US 50 per barrel. Setelah dikurangi dengan cost recovery maka minyak mentah yang tersisa tinggal 6000 barrel. Sisa minyak ini disebut dengan istilah equty to be split atau disingkat ETS. 6000 barrel dibagi kepada Pemerintah dan kontraktor berdasarkan prosentase gross split sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka masing- masing pihak secara berturut turut akan menerima 1731 barel untuk kontraktor sedangkan Pemerintah akan menerima 4269 barrel. Assumption: Lifting 10000 bbl Price 50 bbl Split 8515 Tax 0.48 Gross up Split Cont 29 Gov 71 CR U 100000 576.924 FTP ETS 3587 Cont Ent 721 Gov Ent 6413 DMO BPMIGAS Share Contractor Share 1731 Cost Recovery 2000 6000 Equity to be Split 1423 577 2000 10000 Total Lifting FTP - 20 1423.076 4269 Sumber: Bahan Sosialisasi Usaha Hulu Migas, 2010 Gambar 5. Pola Bagi Hasil Migas menurut PSC Setelah pembagian tersebut, kontraktor masih memiliki kewajiban untuk memberikan minyak mentah dari bagiannya yang disebut dengan Domestik Market Obligation atau DMO. Kewajiban kontraktor ini dikaitkan dengan kewajiban moral dari kontraktor untuk turut menyediakan dan berkontribusi terhadap kebutuhan bahan bakar minyak BBM dalam negeri. Rumus yang digunakan untuk menghitung DMO adalah: 25 X Gross Split Kontraktor X total lifting. Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh angka 721 barrel, yaitu sejumlah barrel yang dikurangkan dari bagian kontraktor dan diserahkan atau ditambahkan menjadi bagian Pemerintah. Hasil akhirnya, secara total masing- masing akan menerima dari hasil produksi minyak mentah, kontraktor sebesar 3587 barrel dan Pemerintah menerima 6413 barrel. Pemerintah melalui penjual yang ditunjuk oleh BPMIGAS dapat menjual bagiannya ke kilang-kilang dalam negeri dan kepada swasta atau juga bisa melakukan ekspor. Pada umumnya, BPMIGAS akan memprioritaskan pasokan minyak mentah dalam negeri untuk pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri. Apabila tipe dan jenis minyak yang dihasilkan tidak memungkinkan untuk dikirim ke kilang domestik, baik karena ketidakcocokan spesifikasi antara produk minyak mentah dengan kondisi kilang, ataupun karena perhitungan ekonomis yang tidak memungkinkan minyak mentah tersebut untuk dikirim kepada kilang domestik, maka BPMIGAS dapat memilih untuk melakukan ekspor minyak mentah. Hasil penjualan minyak mentah seluruhnya akan masuk kedalam rekening Pemerintah di Bank Indonesia dan diakui sebagai penerimaan Negara bukan pajak.

2.7. Dana Bagi Hasil Migas

Desentralisasi dalam rangka otonomi daerah di Indonesia pertama kali dicanangkan pada tahun 1999. Secara yuridis desentralisasi ditandai dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kebijakan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi. Meskipun demikian kebijakan otonomi daerah itu sendiri berkiblat pada kebijakan yang dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah yang dipercaya mampu memperkuat semangat ikatan kebangsaan Syaukani et. al, 2002. Sebab, selama lebih dari tiga puluh tahun daerah-daerah mengalami proses marginalisasi politik dan ekonomi. Dengan otonomi daerah diharapkan pertumbuhan dan pembangunan daerah bisa dipercepat. Di samping itu juga diharapkan tercipta keseimbangan pembangunan antar daerah di Indonesia. Pada sisi lain, UU No 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota diharapkan mampu mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, serta memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dan meningkatkan efesiensi pelayanan publik di daerah. Pada akhirnya diharapkan pula tercipta cara berpemerintahan yang baik good governance. Tata kelola keuangan Negara pada masa pemerintahan Orde Baru bersifat sentralistik, sehingga penerima Negara dialokasikan atau dibelanjakan terutama untuk kepentingan Pemerintah Pusat. Pada jaman otonomi daerah digunakan asas desentralisasi, sehingga konsekuensinya daerah akan menerima manfaat lebih besar dari alokasi belanja jika dibandingkan dengan jaman Orde Baru. Meski mengandung cita-cita dan harapan yang luhur, otonomi daerah tidak otomatis menjadi sebuah solusi yang tepat bagi persoalan daerah. Beberapa pakar bidang pemerintahan, masyarakat dan akademisi menaggapi otonomi daerah secara positif bagi daerah bersangkutan. Nada optimistis ini mengisyaratkan bahwa otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat