Kebijakan Fiskal KERANGKA TEORI
terhadap perekonomian secara menyeluruh. Oleh karena itu kebijakan fiskal dapat disetarakan dengan jenis-jenis kebijakan lain seperti kebijakan moneter dan
kebijakan makro ekonomi lainnya. Untuk memberikan gambaran yang lebih komplit ambil contoh kebijakan
tentang subsidi Bahan Bakar Minyak. Diskusi dan rancangan kebijakannya dibahas secara mendalam oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Pemberlakukan subsidi atau pembatasan subsidi harus menyentuh substansi perekonomian dan mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian
nasional. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan makro lainnya dalam hal
penggunaan instrumen kebijakan. Kebijakan fiskal adalah kebijakan Pemerintah dengan menggunakan instrumen penerimaan dan pengeluaran Negara. Praktek
yang terjadi di Indonesia, rancangan penerimaan dan pengeluaran Pemerintah dituangkan dalam prognosis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Salah satu contoh kebijakan fiskal untuk meningkatkan penerimaan Negara adalah kebijakan perpajakan. Sedangkan kebijakan fiskal yang
menggunakan instrumen pengeluaran adalah kebijakan yang terkait dengan pengalokasian belanja. Kebijakan untuk mengalokasikan belanja pendidikan lebih
besar dari tahun sebelumnya, adalah salah satu bentuk dari kebijakan fiskal menggunakan intrumen pengeluaran.
Perubahan komposisi penerimaan dan pengeluaran, termasuk besarannya dapat mempengaruhi variabel-variabel lain dalam perekonomian. Kenaikan pajak
akan berdampak pada investasi dan belanja perusahaan, yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat produksi dan output nasional. Demikian juga belanja
pegawai yang tinggi akan berdampak pada kenaikan konsumsi nasional yang berikutnya dapat berdampak pada inflasi. Sedangkan kenaikan belanja
pembangunan yang berarti akan terjadi kenaikan investasi Pemerintah, maka akan berdampak secara jangka panjang terhadap peningkatan output pada periode-
periode berikutnya. Di luar kebijakan fiskal sebenarnya teori fiskal juga terkait dengan sistem
pengangaran. Di banyak Negara sistem anggaran umumnya ditampilkan dalam bentuk neraca, dengan menampilkan penerimaan pada sisi kiri dan pengeluaran
pada sisi kanan, yang disebut juga dengan penyajian anggaran berimbang. Sistem anggaran berimbang mempertahankan agar anggaran disajikan dalam bentuk
seimbang antara pemasukan dan pengeluaran. Jika ternyata terjadi penerimaan yang lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran, atau sebaliknya pengeluaran
lebih besar dibandingkan dengan penerimaan, maka akan ditampung dalam rekening surplus atau defisit.
Persoalan dan perdebatan sebenarnya lebih banyak terkait dengan pemilihan strategi atau kebijakan anggaran. Apakah anggaran pengeluaran
disesuaikan dengan penerimaan sehingga tidak ada defisit dan tidak ada surplus? Ataukah pengeluaran dibuat lebih besar dari penerimaan, yang disebut dengan
kebijakan defisit anggaran? Ataukah kebijakan yang diambil adalah kebijakan surplus anggaran? Yang berarti pengeluaran dijaga lebih rendah dibandingkan
penerimaannya. Kebanyakan ekonom berpendapat bahwa anggaran yang seimbang dalam
setiap tahun bukan merupakan kondisi yang diinginkan. Para ekonom yang yang berpendapat demikian meyakini bahwa strategi tersebut tidak berdampak baik
terhadap perekonomian. Kondisi dimana pengeluaran selalu sama dan disesuaikan dengan penerimaan bukan merupakan kondisi yang akan berdampak optimal
terhadap pertumbuhan ekonomi. Justru dalam kondisi paceklik atau perekonomian dalam situasi sulit, defisit anggaran dapat menjadi salah satu solusi untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Para ekonom mengacu kepada teori ekonomi Keynes bahwa kebijakan Pemerintah dan interfensi Pemerintah mampu
mengendalikan perekonomian. Oleh karena diharapkan defisit anggaran akan memberikan stimulus fiskal, sementara surplus anggaran diharapkan dapat
mempertahankan perekonomian booming berlangsung lebih lama. Secara umum ada tiga dampak dari kebijakan fiskal yang diambil, yaitu
bersifat netral, ekspansif dan kontraktif. Kebijakan fiskal bersifat netral mengisyaratkan terjadinya perekonomian yang seimbang, dimana belanja
Pemerintah sepenuhnya didanai oleh penerimaan pajak dan hasil anggaran keseluruhan memiliki efek netral terhadap aktivitas perekonomian. Kebijakan
fiskal bersifat ekspansif, berarti kebijakan fiskal yang menetapkan pengeluaran pemerintah melebihi pendapatan. Sedangkan kebijakan fiskal yang bersifat
kontraktif adalah kebijakan yang menetapkan belanja Pemerintah dibuat lebih rendah dari pendapatan.
Pemerintah dapat menggunakan kebijakan fiskal untuk mempengaruhi tingkat permintaan agregat dalam perekonomian dan mencapai tujuan ekonomi
seperti stabilitas harga, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi. Pengikut Keynes menunjukkan bahwa pemerintah dapat meningkatkan pengeluaran dan
menurunkan tarif pajak untuk merangsang terjadinya peningkatan permintaan agregat. Sedangkan dalam keadaan surplus anggaran, Pemerintah dapat
menggunakan surplus anggaran tersebut untuk memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan untuk menstabilkan harga ketika inflasi terlalu tinggi.
Stimulus fiskal melalui kebijakan fiskal tersebut masih dalam perdebatan dari para ekonom. Perdebatan tersebut lebih banyak terkait dengan konsep
crowding out , yaitu sebuah fenomena di mana pinjaman pemerintah akan
berdampak terhadap kenaikan suku bunga yang mengimbangi dampak stimulus pengeluaran. Sebab ketika Pemerintah menjalankan strategi defisit anggaran,
maka diperlukan tambahan dana yang dapat diperoleh dari masyarakat melalui penerbitan obligasi pemerintah, pinjaman luar negeri, atau mendapatkan hutang
dari bank. Dampak dari penerbitan obligasi adalah kenaikan suku bunga di pasar, karena pinjaman pemerintah menciptakan permintaan yang lebih tinggi untuk
kredit di pasar keuangan. Namun dampak dari hal ini adalah permintaan agregat barang dan jasa akan menurun. Jadi dampaknya bertentangan dengan tujuan awal
dari stimulus fiskal. Para penganut Keynesian berpendapat bahwa kebijakan fiskal masih bisa efektif karena mereka berpendapat bahwa crowding out minimal.
Sedangkan pengikut ekonom klasik dan neoklasik berpendapat bahwa crowding out
sepenuhnya saling meniadakan, oleh karena kebijakan fiskal dan campur tangan Pemerintah dalam perekonomian tidak diperlukan karena tidak efektif.
Stimulus fiskal tersebut dikenal sebagai Treasury View, yang mengacu pada pendapat para ekonom klasik di Departemen Keuangan Inggris, yang menentang
kebijakan Keynes pada tahun 1930 yang melakukan stimulus fiskal. Argumentasi tersebut diulang oleh beberapa ekonom neoklasik sampai sekarang.
Bagi penganut teori klasik atau neo klasik kebijakan fiskal ekspansif juga dapat menurun ekspor bersih yang dapat berdampak terhadap penurunan output
nasional dan pendapatan nasional. Sebagai contoh Pemerintah menutup defisit anggaran dengan mengeluarkan obligasi Pemerintah. Seperti yang telah dijelaskan
di depan, maka dampaknya bisa menurunkan suku bunga. Dampak lainnya adalah menarik modal asing dari investor asing. Jika hal-hal lain dianggap tetap, maka
obligasi yang diterbitkan dari Negara pelaksana kebijakan fiskal ekspansif harus ditetapkan pada tingkat pengembalian rate of return yang relatif tinggi agar
menarik investor atau dana masyarakat. Sementara itu perusahaan yang ingin membiayai proyek-proyeknya mempertimbangkan hal tersebut, dengan
menawarkan tingkat pengembalian yang lebih tinggi dari obligasi Pemerintah. Hal ini akan berdampak terhadap peningkatan biaya produksi yang akan menaikan
harga jual. Kenaikan harga jual akan berdampak terhadap penurunan daya saing produk yang pada akhirnya akan berdampak pada penurunan ekspor, karena harga
barang tidak mampu bersaing dengan produk-produk Negara lain. Para ekonom klasik dan neo klasik juga menilai bahwa stimulus fiskal
memiliki jeda waktu antara implementasi kebijakan dan efeknya terhadap perekonomian. Secara teori stimulus fiskal tidak akan menyebabkan inflasi ketika
menggunakan sumber daya yang menganggur. Jika stimulus fiskal mempekerjakan pekerja yang menganggur maka tidak akan ada dampak terhadap
inflasi. Namun apabila stimulus fiskal diikuti dengan keharusan untuk mempekerjakan oarang-orang yang sudah bekerja maka stimulus tersebut akan
meningkatkan permintaan tenaga kerja sementara pasokan tenaga berpengalaman tidak berubah sehingga akan berdampak terhadap inflasi upah yang pada akhinya
akan berdampak terhadap kenaikan harga-harga barang.
Bertentangan dengan pengikut klasik, para penganut Keynes justru mengembangkan “fiscal theory of the price level”. Gagasan utama dari teori ini
adalah untuk mempertajam pernyataan bahwa kebijakan fiskal dapat mempengaruhi tingkat harga, mengendalikan harga yang pada akhirnya mampu
untuk menciptakan kestabilan harga dengan syarat keuangan Negara bersifat berkelanjutan sustainable, yang berarti tidak boleh dalam posisi defisit
struktural. Namun teori ini ditentang kuat oleh para pengikut heterodox economic theory
, yang menyatakan bahwa tingkat harga terutama dan secara eksklusif hanya dipengaruhi pasokan uang dalam jangka panjang, serta berkeyakinan bahwa
defisit anggaran sangat berbahaya. Dua pandangan yang bertentangan ini oleh para pendukung teori fiskal diyakini hanya sebagai pelengkap dari teori kuantitas
yang sudah ada sebelumnya.