Dana Bagi Hasil Migas
berkiblat pada kebijakan yang dimaksudkan untuk menciptakan kemandirian daerah yang dipercaya mampu memperkuat semangat ikatan kebangsaan
Syaukani et. al, 2002. Sebab, selama lebih dari tiga puluh tahun daerah-daerah mengalami proses marginalisasi politik dan ekonomi. Dengan otonomi daerah
diharapkan pertumbuhan dan pembangunan daerah bisa dipercepat. Di samping itu juga diharapkan tercipta keseimbangan pembangunan antar daerah di
Indonesia. Pada sisi lain, UU No 22 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dengan
memberikan otonomi yang luas kepada daerah kabupaten dan kota diharapkan mampu mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, serta
memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dan meningkatkan efesiensi pelayanan publik di daerah.
Pada akhirnya diharapkan pula tercipta cara berpemerintahan yang baik good governance.
Tata kelola keuangan Negara pada masa pemerintahan Orde Baru bersifat sentralistik, sehingga penerima Negara dialokasikan atau dibelanjakan terutama
untuk kepentingan Pemerintah Pusat. Pada jaman otonomi daerah digunakan asas desentralisasi, sehingga konsekuensinya daerah akan menerima manfaat lebih
besar dari alokasi belanja jika dibandingkan dengan jaman Orde Baru. Meski mengandung cita-cita dan harapan yang luhur, otonomi daerah tidak
otomatis menjadi sebuah solusi yang tepat bagi persoalan daerah. Beberapa pakar bidang pemerintahan, masyarakat dan akademisi menaggapi otonomi daerah
secara positif bagi daerah bersangkutan. Nada optimistis ini mengisyaratkan bahwa otonomi daerah membuka peluang bagi pemerintah dan masyarakat
daerah bersangkutan untuk melakukan pembangunan bagi daerahnya masing- masing berdasarkan pertimbangan dan kearifan daerah tanpa harus takut untuk
diintervensi oleh pemerintah pusat. Pemberian otonomi juga memungkinkan daerah untuk menerima dana
pembangunan dari pusat untuk dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing melalui mekanisme yang berlaku. Kewenangan
untuk mengelola sendiri dana daerah yang dimiliki tentu saja berdampak positif jika dana tersebut digunakan secara bijak.
Pelaksanaan otonomi daerah memberikan kewenangan bagi setiap daerah untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing. Sehingga melalui
berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah, akan memberikan peliang terjadinya pembangunan demokrasi di daerah, pembangunan ekonomi dan
pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat di daerah. Termasuk dalam kebijakan tersebut diterjemahkan dalam langkah-langkah startegis dan upaya-
upaya untuk meningkatkan kemampuan kemandirian daerah. Termasuk dalam hal ini adalah upaya-upaya untuk meningkatkan Penerimaan Asli Daerah PAD.
UU Nomor 22 dan UU Nomor 25 tahun 1999, yang diperbahurui dengan UU Nomor 32 dan Nomor 33 tahun 2004 mengatur kepemerintahan dan pola
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang dijabarkan lebih mendetail dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 yang merupakan alat pedoman
pelaksanaan bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengatur pola pembagian hasil dan pengalokasian fiskal.
Penerimaan daerah terdiri dari Penerimaan Asli Daerah PAD dan Dana Perimbangan DP. Penerimaan Asli Daerah berasal dari penerimaan dari pajak-
pajak dan pungutan-pungutan daerah. Sedangkan Dana Perimbangan berasal dari Dana Bagi hasil dan Dana Alokasi UmumKhusus DAUDAK.
Di dalam UU No 33 tahun 2004 dimuat tentang PKPD. Mekanisme perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dilaksanakan melalui
pengalokasian Dana Alokasi Umum DAU. Penerimaan daerah dari sektor hulu migas diterima Pemerintah Daerah
melalui mekanisme PKPD dalam bentuk bagi hasil migas, serta melalui DAU, dan melalui pajak-pajak perusahaan yang disetorkan oleh perusahaan kepada
Pemerintah Daerah. Pola bagi hasil migas berbeda dengan bagi hasil untuk sumber daya alam
non migas. Secara umum pola pembagian bagi hasil migas adalah sebagai berikut: 1. Hasil Minyak :
85 untuk pusat dan 15 daerah. Porsi daerah ini kemudian didistribusikan ke Propinsi 3, Kabupaten penghasil 6 dan sisa 6 dibagikan secara
merata kepada Kabupaten non penghasil lainnya yang berada dalam propinsi bersangkutan.
2. Hasil Gas : 70 untuk pusat dan 30 untuk daerah. Porsi daerah akan didistribusikan ke
Propinsi 6, Kabupaten penghasil 12 dan sisa 12 dibagikan secara merata kepada Kabupaten-kabupaten non penghasil lainnya yang berada
dalam propinsi bersangkutan. Paradigma baru yang dicanangkan BPMIGAS mengemukakan bahwa
sektor hulu migas tidak saja berperan sebagai mesin penghasil devisa dan penerimaan Negara, namun juga sebagai penyedia energi untuk kebutuhan dalam
negeri, menyediakan bahan baku untuk industry, menciptakan lapangan kerja, mendorong pengembangan sektor lainnya dan sebagai penggerak perekonomian.
Oleh karena itu pemberdayaan dan meningkatkan peran daerah sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah dan nasional. Pembelanjaan di
sektor hulu migas harus mempertimbangkan kandungan lokal. Dengan demikian kehadiran sektor hulu migas di daerah akan diterima dengan tangan terbuka dan
selaras dengan semangat otonomi daerah. Kehadiran kegiatan usaha hulu migas bagi Pemerintah Daerah dapat
diperoleh melalui bagi hasil migas. Ketika terjadi peningkatan atau penurunan penerimaan Negara dari sektor migas, maka pada saat yang sama akan berdampak
terhadap peningkatan dan penurunan dana bagi hasil migas dan alokasi dana ke daerah.
Kedua, pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri dari sumber daya alam migas mestinya berarti pula memberikan jaminan atas ketersediaan sumber energi
bagi setiap daerah. Kenyataannya kebutuhan bahan bakar minyak dalam negeri tidak seluruhnya dapat ditutupi dari hasil produksi minyak mentah dalam negeri.
Sebagian bahan bakar itu masih harus diimpor. Sementara minyak mentah hasil produksi dalam negeri banyak pula yang diekspor ke luar negeri karena perbedaan
karakteristik minyak mentah dengan jenis kilang pengolahan. Oleh karena itu minyak mentah yang diolah di kilang-kilang dalam negeri sebagian masih harus
dibeli dari pasar luar negeri. Karena keterbatasan kemampuan produksi minyak mentah dan upaya pemenuhan kilang dalam negeri pada satu sisi, dan impor
minyak mentah yang harus dilakukan untuk pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri pada sisi lain, maka menyebabkan ekspor minyak mentah Indonesia relatif
turun dari tahun ke tahun, dan lebih kecil dibandingkan impor akibatnya Indonesia harus menjadi Negara net importer.
Impor minyak mentah seringkali dinilai salah dan dianggap sebagai penyebab terjadinya ketidakefisienan kilang-kilang di Indonesia yang dikelola
oleh Pertamina. Pada hal impor minyak mentah umumnya dilakukan dengan mendasarkan pada alasan tehnis. Kilang-kilang Pertamina seluruhnya dirancang
untuk menerima dan mengolah jenis minyak mentah dengan komposisi tertentu yang diproduksi di sekitar wilayah produksi minyak mentah. Jika dalam
perkembangannya diperoleh cadangan baru dengan spesifikasi yang berbeda dari desain awal dari kilang tersebut maka mau tidak mau minyak mentah tersebut
harus diekspor. Hal lain yang mungkin terjadi karena produksi jenis minyak mentah tertentu sangat banyak mengakibatkan kapasitas kilang tidak mampu
menampung, sehingga tidak ada pilihan lain selain minyak yang diproduksikan tersebut diekspor.
Ketiga, pada umumnya bahan bakar minyak dan gas adalah salah satu produk andalan dan hasil dari pengolahan minyak mentah dan gas. Walaupun
sebenarnya pengolahan minyak mentah dan gas menghasilkan produk-produk lain yang dipergunakan sebagai bahan baku bagi industri non migas. Beberapa industri
yang menggunakan produk turunan minyak mentah dan gas adalah industri plastik, kosmetik dan pupuk. Kegiatan produksi industri-industri tersebut sangat
tergantung dengan sektor hulu migas. Keempat, sektor hulu migas menyediakan lapangan kerja. Pengembangan
sektor hulu migas akan diikuti kebutuhan akan tenaga kerja. Industri hulu migas adalah industri yang sarat teknologi. Karenanya pengembangan lapangan migas
pada suatu daerah akan menyebabkan masuknya para ahli dan tenaga perminyakan ke daerah tersebut. Pada satu sisi migrasi ini berakibat positif
terhadap roda perekonomian daerah karena umumnya pendatang memiliki kemampuan ekonomi yang memerlukan berbagai kebutuhan berupa barang dan
jasa. Kebutuhan ini memacu daerah tersebut untuk menciptakan berbagai sentra ekonomi, perdagangan dan pabrikan guna memenuhi kebutuhan pendatang.
Akibat lain adalah penyerapan tenaga kerja lokal. Saat ini pemberdayaan putra daerah merupakan isu penting dalam pengembangan lapangan migas baru.
Hal itu diwujudkan dengan mencantumkan dalam diktum kontrak kerjasama antara pemerintah dan kontraktor. Dalam kontrak dicantumkan bahwa kontraktor
wajib mengembangkan masyarakat yang tinggal di sekitar proyek, membantu pendidikan anak-anak di daerah tersebut dan mempersiapkan mereka agar mampu
bekerja di sektor migas.