merupakan pembelajaran
dengan transfer
pengetahuan dengan
mengaitkan pemahaman dari anak melalui kehidupan nyata dengan materi pembelajaran, model pembelajaran kontekstual mendorong siswa
untuk berpikir aktif dalam menemukan makna pempelajaran dengan mengaikan materi dengan apa yang telah diketahui siswa.
b. Karakteristik Model Pembelajaran Kontekstual
Menurut Johnson dalam Hosnan, 2014: 277, terdapat delapan utama yang menjadi karakteristik pembelajaran kontekstual yaitu:
Melakukan hubungan yang bermakna, mengerjakan pekerjaan yang berarti, mengatur cara belajar sendiri, bekerja sama, berpikir kritis dan
kreatif, mengasuh atau memelihara pribadi siswa, mencapai standar yang tinggi, menggunakan penilaian yang sebenarnya.
Pembelajaran yang dilaksanakan dengan CTL, menurut Priyatni dalam Hosnan, 2014: 278, memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks yang autentik, artinya
pembelajaran diarahkan agar siswa memiliki keterampilan dalam memecahkan masalah dalam konteks nyata atau pembelajaran
diupayakan dilaksanakan dalam lingkungan yang alamiah learning in real life setting.
2. Pembelajaran memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengerjakan tugas-tugas yang bermakna meaningful learning. 3.
Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna melalui proses mengalami learing by doing.
4. Pembelajaran melalui kerja kelompok leraning in a gruop.
5. Kebersamaan, kerja sama saling memahami dengan yang lain secara
mendalam merupakan
aspek penting
untuk menciptakan
pembelajaran yang menyenangkan leraning to knot each other deeply.
6. Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, dan mementingkan
kerja sama leraning to ask, to inqiry, to work together. 7.
Pembelajaran dilaksanakan dengan cara menyenangkan leraning as an enjoy activity.
c. Penerapan Pembelajaran Konstekstual di kelas
Proses pembelajaran kontekstual memungkinkan terjadinya tujuh komponen dalam pembelajaran konterkstual Hosnan, 2014: 269, yakni:
1. Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun
pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam kontruktivisme ada hal-hal sebagai berikut : 1
Belajar berarti menyediakan kondisi agar memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuanya, 2 Kegiatan belajar dikemas
menjadi proses
mengontrusi pengetahuan,
bukan menerima
pengetahuan. Peserta didik menemukan ide dan pengetahuan baru, 3 Belajar adalah proses aktif mengontruksi pengetahuan dari
pengalaman alami, untuk mencari makna. 2.
Menemukan Inquiry adalah proses bembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis.
Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan mengemukakan, apapun materi diajrkanya. Siklus inquiry sebagai
berikut, observasi, bertanya, mengajukan dungaan, pengumpulan data, dan
penyimpulan. Langkah-langkah
dalam inquiry
adalah, merumuskan masalah, mengamati atau melakukan observasi,
menganalisis dan menyajikan, dan menyimpulkan hasil karya. 3.
Bertanya Questioning, ada 6 keterampilan bertanya dalam kegiatan pembelajaran, yakni pertanyan jelas dan singkat, memberi acuan,
memusatkan perhatian, memberi giliran dan menyebarkan pertanyaan, pemberin kesempatan berpikir dan pemberian tuntunan. Dalam
pembelajaran melalui CTL, guru menyampaikan informasi dengan memancing agar siswa menemukan sendiri. Peran bertanya sangan
penting, sebab melaui pertanyaan, guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang
dipelajarinya. 4.
Masyarakat Belajar Learning Community Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh
dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperoleh dari “sharing” antar teman, antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang
belum tahu. Masyarakat belajar terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi
pembelajaran saling belajar. Dalam kelas CTL, guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar.
Siswa dibagi dalam kelompok yang anggotanya heterogen. Siswa yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu yang
belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul.
5. Pemodelan Modeling Pemodelan
pada dasarnya
membahasakan yang
dipikirkan, mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya melakukan
apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar. Dalam pendekatan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat
dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang siswa bisa ditunjuk untuk memberikan contoh temannya cara melafalkan suatu kata. Jika
kebetulan ada siswa yang pernah memenangkan lomba baca puisi atau memenangkan lomba pidato, siswa itu dapat ditunjuk untuk
mendemonstrasikan keahliannya. Siswa “contoh” tersebut dikatakan sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model tersebut sebagai
“standar” kompetensi yang harus dicapainya. 6. Refleksi Reflection
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa
pembelajaran yang telah dilaluinya. Refleksi merupakan cara berpikir tentang yang baru dipelajari dan yang sudah dilakukan di masa lalu.
7. Penilaian Nyata Authentic Assesment Menilai sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Berlangsung selama
proses pembelajaran secara terintegrasi, yang dilakukan melalui berbagai cara tes, dan nontes, dengan brntuk alternative kinerja,
observasi, portofolio, dan jurnal. Trianto dalam Hosnan, 2014: 270 mengemukakan langkah-
langkah untuk menerapkan ketujuh komponen CTL sebagai berikut: 1.
Kembangkan pemikiran anak bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. 2.
Laksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik. 3.
Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya. 4.
Ciptakan “masyarakat belajar” belajar dalam kelompok. 5.
Hadirkan “model” sebagai contoh pembelajaran. 6.
Lakukan refleksi di akhir pertemuan. 7.
Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Hamdayama 2014: 51 proses pembelajaran kontekstual terdiri
dari delapan tahapan atau langkah sebagai berikut:
1. Membangun hubungan yang bermakna Relating; Siswa
menghubungkan apa
yang dipelajari
di sekolah
dengan pengalamannya sendiri, kejadian dirumah, media massa, atau yang
lainnya, sehingga siswa memperoleh pembelajaran yang bermakna. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Melakukan sesuatu yang bermakna experiencing; langkah guru
dalam mengaitkan meteri dengan konteks kehidupan siswa, diantaranya, a mengkaitkan pelajaran dengan sumber yang
berhubungan dengan kehidupan siswa, b menggunakan sumber dari bidang lain, c mengkaitkan berbagai pelajaran yang sesuai
dengan materi pelajaran, dan d belajar melalui kegiatan sosial. 3.
Belajar secara mandiri; setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda, sehingga siswa diberi kesempatan untuk belajar mandiri
sesuai dengan kondisi siswa masing-masing. 4.
Kolaborasi collaborating; mendorong siswa untuk berkerjasama dengan teman atau didalam kelompok.
5. Berpikir kritis dan kreatif applaying; mendorong siswa agar bisa
berpikir kritis dan kreatif serta menerapkan dalam dunia nyata siswa. 6.
Mengembangkan potensi individu transfering; memberikan kesempatan siswa untuk mengembangkan potensi yang dimiliki.
7. Standar pencapaian yang tinggi; dengan standar pencapaian yang
tinggi, maka akan memacu siswa untuk berusaha lebih baik. 8.
Asesmen autentik; pencapaian hasil belajar diukur dengan asesmen autentik yang menyediakan informasi mengenai kualitas pendidikan.
Dari kedelapan tahapan tersebut peneliti memilih 5 tahapan yang akan diterapkan dalam proses pembelajaran yaitu: relating,
experiencing, colaborating, applying, dan transferring. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian Pertama dilakukan oleh Husen Windayana 2007 melalui penelitian yang berjudul Pembelajaran Matematika Realistik dalam Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Logis Kreatif, dan Kritis, Serta Komunikasi Matematik
Siswa Sekolah Dasar. bertujuan meningkatkan kemampuan berpikir logis, berpikir kreatif, berpikir kritis, dan komunikasi matematik siswa sekolah dasar.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pendekatan matematika realistik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dilihat dari indicator menganalisis
permasalahan, memecahkan permasalahan, dan membandingkan. Misalnya siswa mampu
menganalisis dan
memecahkan permasalahan.
Siswa mampu
menunjukkan kemampuannya dalam menganalisis permasalahan, memecahkan
permasalahan, dan membandingkan.
Penelitian kedua dilakukan oleh Siti Lestari 20092010 melalui penelitian yang berjudul Peningkatan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan
Kontekstual pada siswa Kelas II SD Negeri II Bubakan Kecamatan Girimarto Kabupaten Wonogiri Tahun Pelajaran 20092010. Penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan hasil belajar matematika dengan Pendekatan Kontekstual pada siswa kelas II SD Negeri III Bubakan, mendiskripsikan kendala-kendala yang
dihadapi guru dalam penerapan Pendekatan Kontekstual untuk meningkatan hasil belajar matematika pada siswa kelas SD Negeri III Bubakan II, memaparkan cara
mengatasi kendala-kendala
penerapan Pendekatan
Kontekstual untuk
meningkatan hasil belajar matematika pada siswa kelas II SD Negeri III Bubakan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI