Behaviorisme dan Agama AGAMA DAN PSIKOLOGI

46

C. Behaviorisme dan Agama

Aliran yang paling keras menantang pendekatan psikoanalisis atas perilaku manusia dan menekankan pada metodologi yang lebih objektif adalah behaviorisme. Sejak diperkenalkan Watson, behaviorisme telah dikenal dengan analisis perilakunya dengan mengembangkan teknik-teknik guna mengamati perilaku dalam lingkungan yang dikendalikan untuk mengukur tanggapan dan untuk meramalkan pola perilaku selanjutnya. Prosedur seperti percobaan atau eksperimen yang dikendalikan, analisis faktor, studi korelasi, analisis isi, dan pengukuran tepat mengenai tanggapan neurologis dengan satu atau lain cara merupakan produk mazhab itu. Behaviorisme amat mendalam berakar dalam psikologi Amerika, dan barangkali yang paling berpengaruh luas. Tidak mengherankan bahwa Behaviorisme tidak memberi perhatian banyak kepada agama. Penganut behaviorisme yang ketat, juga bila mereka bersimpati dengan agama, cenderung mengesampingkan atau mengabaikan agama dalam karya mereka. Pengandaian mereka adalah bahwa perilaku keagamaan, sebagaimana semua perilaku lain, merupakan akibat dari proses tanggapan fisiologis manusia. Dengan demikian tak menyediakan cukup kemungkinan untuk menggali agama dari segi metafisisnya. Maka dari psikologi ilmiah yang didominasi oleh mazhab behavioristis jarang menyinggung secara serius topik agama. Buku-buku pokok yang ditulis kaum behavioris menyentuh agama secara sambil lalu saja. Meskipun demikan, mazhab itu penting bagi pengembangan psikologi agama yang komprehensif, pertama, karena perilaku keagamaan kadang-kadang ditafsirkan dari sudut pandangannya; kedua, barangkali lebih penting, karena behaviorisme memiliki pengandaian tentang manusia yang sarat bernada teologis. 1 Pertama, teori Pengkondisian conditioning theory merupakan kunci dalam psikologi behavioristis, dan William Sargant dan B. F Skinner boleh disebut 1 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 150-158 47 sebagai wakil ahli psikologi mazhab behaviorisme yang menafsirkan gejala agama sebagai perilaku yang dikondisikan conditioned behavior, Kedua, Edwin B, Starbuck dan dua peneliti California, Charles Y. Glock dan Rodney Stark mewakili para ahli psikologi behavioristis yang berusaha memahami perilaku agama dengan menerapkan metode statistik dalam studi agama. Ketiga, studi empiris tentang agama baik melalui penelitian laboratorium maupun studi lapangan. Akhirnya, keempat studi agama yang menerapkan metode empiris itu dalam psikobiologi. Dari segala rumusan psikologi yang dibuat oleh para ahli psikologi, teori pengkondisian terkenal dengan sebutan, operan operant merupakan teori yang diterima dan populer. Sebagai teori dianggap menerangkan dan membawa pengaruh besar dalam pemikiran dan praktik hidup manusia dewasa ini. Pengkondisian klasik classical conditioning ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang ahli psikologi Rusia, setelah mengadakan percobaan atau eksperimen selama 25 tahun. Pavlov sudah menjadi terkenal karena karyanya di bidang pencernaan dan peredaran darah. Tetapi menjadi lebih termasyhur karena gagasannya tentang pengkondisian conditioning. Anjing Pavlov yang mulutnya berair liur tersohor, juga di luar lingkungan ilmiah. 2 Pengkondisian Operan Operant Conditioning. Skinner membuat perubahan besar atas teori Pavlov klasik tentang pengkondisian. Dia lebih suka berbicara tentang pengkondisian operan Operant Conditioning. Konsep itu merupakan kunci untuk mengerti pemikiran Skinner dan telah membuatnya menjadi tersohor. Pengkondisian operan, seperti pengkondisian klasik yang mendahuluinya, dibangun atas pendapat bahwa ganjaran reward menjadi penyebab agar perbuatan diulang atau diperkuat. Perbedaan antara kedua pengkondisian itu terletak pada hubungannya dengan lingkungan. 3 Dalam pengkondisian klasik, lingkungan dikendalikan sedemikian rupa sehingga 2 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 158. 3 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 158-159 48 rangsangan dapat dikenakan pada makhluk yang dijadikan percobaan sesuai dengan keinginan orang yang membuat eksperimen. Perbuatan yang dipilih oleh makhluk yang mengalami percobaan yang diperteguh oleh ganjaran, misalnya makanan. Dalam pengkondisian operan, sebagaimana dilihat Skinner, makhluk yang dijadikan percobaan menanggapi lingkungan dan mengambil perilaku yang paling mungkin mendorong perbuatan diulang atau diperkuat. Dalam pengkondisian klasik lingkungan menanggapi makhluk. Dalam pengkondisian operan makhluk menanggapi lingkungan. Tanggapan itu merupakan cara untuk mengubah lingkungan, guna mendapatkan kepuasan. Skinner berpendapat bahwa perilaku manusia pada umumnya dapat dijelaskan berdasarkan teori pengkondisian operan itu. Manusia berbuat sesuatu dalam lingkungannya untuk mendatangkan akibat-akibat, entah untuk mendatangkan pemenuhan kebutuhan atau untuk menghindari datangnya hukuman atau pengalaman yang tidak enak. Orang lapar berusaha mendapatkan makanan. Orang yang terganggu butir-butir pasir dalam sepatunya, berusaha melepaskannya untuk mengeluarkan butir pasir yang ada di dalamnya. Mutu pemuas tindakan untuk memenuhi kebutuhan menambah kemungkinan bahwa pada kesempatan lain tindakan yang sama diulang. Dan sebaliknya perbuatan yang mendatangkan akibat yang tidak enak, pada kesempatan lain cenderung dihindari. Segala perbuatan dan tindakan manusia dapat dimengerti dalam kerangka pemikiran itu. Karya Skinner sebagian besar merupakan perluasan, perkembangan dan penerapan konsep itu. Maka masalah pokok adalah bagaimana mengendalikan dan memainkan keadaan atau kondisi sehingga tanggapan orang terhadapnya dapat diubah. Lembaga-lembaga sosial, termasuk lembaga-lembaga keagamaan, merupakan wahana bagi manusia untuk mengatur perilakunya. 4 4 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 158-160. 49 Agama sebagai Faktor Penguat Religion as Reinforcer. Pendirian Skinner yang behavioristis itu merupakan kerangka dari berbagai pendapat yang tidak dikembangkan, tetapi jelas berkaitan dengan hakikat perilaku keagamaan. Hal yang menonjol adalah pengamatannya tentang pemikiran, pengetahuan dan pembicaraan keagamaan yang dia sempitkan ke dalam istilah-istilah behavioristis. Semua itu, seperti perbuatan-perbuatan lain, merupakan cara bagaimana manusia seperti makhluk-makhluk lain, dengan pengkondisian operan belajar hidup di dunia yang dikuasai oleh hukum ganjaran dan hukuman. “Perasaan” dan “keadaan jiwa” tidak lain dan tak bukan hanyalah cara yang dianggap sesuai untuk mengatakan perilaku yang diakibatkan oleh hukum pengkondisian operan.. 5 Dengan demikian Skinner menolak mekanisme internal dan eksternal untuk menjelaskan pengalaman keagamaan. Ucapan seperti “saya merasa suka pergi ke tempat ibadat” dipandang dari sudut pengertian behavioristis tidak berbicara apa-apa. Apakah perasaan menjadi penyebab orang pergi ke rumah ibadat atau Tuhan yang membangkitkan perasaan untuk pergi ke tempat ibadat itu? Masalah pokoknya adalah mengetahui apa yang terjadi dengan orang yang merasa suka pergi ke tempat ibadah itu, pada waktu dia pergi ke tempat ibadat di masa lampau, pengalaman yang memuaskan mana yang dia berusaha untuk mengulangi, dan apa faktor dari masa lampau atau sekarang yang ada dalam lingkungannya yang mendorongnya pergi ke tempat ibadat dan tidak pergi ke tempat lain. Dalam pandangan Skinner kegiatan keagamaan diulangi karena menjadi faktor penguat sebagai perilaku yang meredakan ketegangan. 6 Skinner juga berbicara tentang kelembagaan agama. Kelembagaan agama itu merupakan salah satu “isme” sosial yang lahir dari faktor penguat. 7 Satu masa hidup terlalu pendek bagi manusia untuk mendapatkan pengalaman 5 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 158-160. 6 Benjamin M Braginsky dan Dorothea D Braginsky, Mainstream Psychology: a Critique New York, Holt, Rinehart and Winston, 1974, hal 45 7 B.F Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knopt, 1974, hal. 148-149 50 langsung tentang segala faktor penguat yang ada. Lembaga sosial atau kemasyarakatan menjaga dan mempertahankan perilaku dan kebiasaan masyarakat. Anak dilahirkan ke dalam masyarakat itu seperti dia dilahirkan ke dalam lingkungan fisiknya. Manusia menanggapi tuntutan yang terkandung dalam lembaga-lembaga itu dan ikut melestarikan lewat cara yang dipergunakan untuk menanggapi lembaga-lembaga itu. Faktor penguat yang kelihatan dalam suatu kebudayaan merupakan nilainya. Apa yang ditemukan kelompok sebagai faktor penguat merupakan hasil dari bakat keturunan dan tuntutan alamiah serta masyarakat yang ada di sekitarnya disebut harta rohani, nilai spiritual. 8 Lembaga keagamaan merupakan bentuk khusus dari tatanan sosial dimana “baik”dan “buruk” menjadi “suci” dan “berdosa”. 9 Kebutuhan akan faktor penguat itu dijadikan hukum yang dikuasai oleh para ahlinya dan diperkuat lewat upacara keagamaan beserta kisah suci dan ajarannya. Tatanan sosial seperti itu didukung, bukan karena keterlibatan dan kesetiaan kepada nilai yang dikandungya tetapi karena lembaga telah mengatur mekanisme faktor penguat. Skinner berpendapat bahwa orang mendukung agama tidak dikarenakan dia itu saleh, dia mendukungnya karena tuntutan yang diatur oleh petugas keagamaan. Kita menyebutnya saleh dan mengajarinya agar menyebut diri saleh dan melaporkan apa yang dirasakan sebagai “Kesalehan”. 10 Jadi lembaga keagamaan bertahan hidup karena fungsinya sebagai pelaku faktor penguat. Lembaga keagamaan memiliki daya kuat terutama karena sanksi-sanksi kudusnya. Dalam bukunya yang kontroversial Beyond Freedom and Dignity, Skinner mendekati kebebasan dan martabat dengan cara yang sama. Kebebasan tidak muncul dari kehendak untuk bebas, dan martabat tidak dikenal sebagai nilai atau harga manusia lain. Kedua-duanya merupakan hasil proses behavioristis khas manusia. Kebebasan merupakan usaha untuk membebaskan diri dan menghindari 8 B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, New York: Bantam Books, 1971, hal. 122 9 B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, New York: Bantam Books, 1971, hal. 110. 10 B. F Skinner, Beyond Freedom and Dignity, New York, Bantam Books, 1971, hlm. 111 51 pengalaman yang tidak memberi faktor penguat positif. Martabat merupakan pujian dan penghargaan terhadap mereka yang telah memberi faktor penguat. 11 Bagi Skinner perilaku keagamaan cukup dapat diterangkan dengan bersandar pada perilaku yang mengkondisikan dan dikondisikan. Dia tidak memberi ruang bagi “keyakinan yang didapat secara bebas” dan tidak menerima motivasi tanpa pamrih pribadi. 18 Dia tidak percaya akan kebebasan dan martabat selain dalam istilah pengkondisian operan. Dengan teguh dia percaya pada behaviorisme baik sebagai teori maupun sebagai metode. Skinner mempunyai pengandaian bahwa perilaku manusia itu sejalan dengan perilaku merpati dan tikus; bahwa manusia adalah korban kekuatan-kekuatan yang ada di sektarnya; bahwa manusia berperilaku secara pasti untuk menghindari atau mengurangi ketegangan; bahwa permasalahan penting manusia adalah efisiensi dalam pengondisian; dan rekayasa perilaku merupakan jalan menuju ke masyarakat yang baik. Dalam tahun 1978 Skinner menerbitkan buku Walden Two. Buku itu merupakan karya fiksinya yang memikat dimana digambarkan masyarakat yang dicita-citakan yang dihasilkan lewat pengelolaan perilaku secara serius dan ilmiah. Dalam “Kata Pengantar” bukunya About Behaviorism, Skinner menyatakan bahwa “masalah besar yang dihadapi dunia dewasa ini dapat dipecahkan hanya jika kita meningkatkan pengertian kita tentang perilaku manusia. 19 Dia membuat kesimpulan dalam buku yang sama dengan nada penuh harapan: “Dalam pandangan behavioristis manusia sekarang dapat mengendalikan nasibnya sendiri karena dia tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara mengerjakannya. 20 11 Lihat B. F Skinner pada Beyond Freedom and Dignity di bab 3 dan 4. 18 Lihat Benhard Haring, Ethics of Manipulation: Issues in Medicine, Behavior Control and Genetics, New York: Seabury, 1975, hal. 115 19 Lihat B.F. Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knpot, 1974, hal. 158 20 Lihat B.F. Skinner, About Behaviorism, New York: Alfred A. Knpot, 1974, hal. 6 52

D. Psikologi Humanistik dan Agama Abraham H. Maslow