Konsep Tazkiyât al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn

141 spontan. 38 Dengan kata lain metode ini dapat dikatakan sebagai metode penanaman kebiasaan dan watak yang baik. Setelah mengkaji uraian tentang pengertian, materi, tujuan, dan metode pendidikan Islam di atas, maka dapat diketahui segi-segi akhlak dan kejiwaan sangat ditekankan Al-Ghazali dalam konsepsinya tentang pendidikan. Jiwa sebagai hakikat dari manusia berkaitan erat dengan akhlak. Menurut pendapatnya, kesehatan jiwa adalah kei’tidalan dan keihsanan akhlak. Kualitas jiwa manusia secara moral dapat dilihat dari kualitas akhlaknya. Manusia yang jiwanya dan akhlaknya dekat dengan Allah adalah manusia yang paling mulia. Sebaliknya manusia yang buruk akhlaknya secara moral dan kejiwaan adalah manusia yang menyimpang dari hakikat kemanusiaan. Jika dikaji lebih dalam pemikirannya tentang jiwa dan akhlak, maka dapat dikatakan Al-Ghazali adalah salah manusia tokohnya dalam Islam.

D. Konsep Tazkiyât al-Nafs dalam Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn

Sebelum dikemukakan konsep tazkiyat al-nafs selanjutnya disingkat tn dalam Ihyâ’ sebaiknya lebih dahulu diketahui pengertian tn dalam Ihyâ’ itu sendiri dari segi bahasa, dan pendapat para ahli selain Al-Ghazali. Dalam hal ini akan dikemukakan pendapat ahli bahasa, tafsir, pendidikan, akhlak dan tasawuf yang merupakan bidang-bidang ilmu yang erat hubungannya dengan tn. Kata tazkiyat berasal dari bahasa Arab, yakni mashdar dari zakkâ. Pengertiannya tidak sama dengan tathhîr, akan tetapi tathhîr termasuk dalam arti tazkiyat al-nafs tn. Tn tidak akan diperoleh, kecuali melalui tathhîr al-nafs sebelumnya. Kebalikan tn adalah tadsiyat al-nafs seterusnya disingkat tdn. Kalau tn mengangkat jiwa manusia ke yang tinggi, maka tdn sebaliknya, menjatuhkan jiwa ke tempat yang rendah. 38 Muqdad Yaljan, Peranan Pendidikan Akhlak Islam Dalam Membangun Pribadi, Masyarakat, dan Budaya Manusia, terj. Ys. Tajudin Nur, Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1986, hal. 3-6. 142 Konsep Tazkiyât Al-Nafs dalam buku Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn Ihyâ’ yang artinya “Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Jiwa Agama Islam” mendapat penghargaan dari kalangan ilmuwan baik ilmuwan Islam maupun non-Islam. Pemikir-pemikir Barat yang menghargai keistimewaan Ihyâ’ antara lain Bonaventura, para theolog Katolik, Musa al-Maimun dari theolog Yahudi, 39 Alban G. Widgery, Goldziher, 40 Miguel Asin, D.B. Macdonald, dan Hans Bauer. 41 Misalnya, Alban G. Widgery mengatakan bahwa Ihyâ’ merupakan karya Al-Ghazali yang mempunyai pengaruh besar di dalam dan di luar lingkungan Islam, serta memiliki daya tarik yang besar karena dalam buku tersebut ia memberikan penjelasan tentang tujuan terakhir dari moral dan agama Islam, dan dengan buku itu pula ia digelari Hujjat al-Islâm. 42 Goldziher memuji Ihyâ’ sebagai buku yang indah tentang Islam karena kandungannya meliputi segala permasalahan kehidupan. Bahkan ada yang menilai bahwa keindahannya di bawah sedikit dari Al-qur’ân. Sedangkan Miguel Asin sebagai pencintanya telah mengadakan studi banding tentang Ihyâ’ dan ajaran Kristen. Pemikir Muslim yang menghargai keistimewaan Ihyâ’ antara lain Ibnu Khallikan, Muhammad Abduh, dan sebagian pemikir Syiah. Menurut Ibnu Khallikan, karya Al-Ghazali semuanya bermanfaat dan Ihyâ’ merupakan karyanya yang terbaik. Karya ini dari dahulu sampai sekarang banyak mendapat perhatian para pemikir karena nilainya yang tinggi dan manfaatnya yang besar. Karya tersebut pun menjadi penemuan baru dalam sejarah pemikiran dan kehidupan rohani Islam. 43 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasyqi mengatakan bahwa Ihyâ’ merupakan buku bacaan agama Islam yang baik untuk 39 Nurcholish Madjid “Tasawuf Sebagai Inti Keberagaman” majalah, Pesantren, Jakarta P3M No. 3 Vol. II1985. 40 Zainal Abidin ahmad, Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hal. 67-68 dan 78-80. 41 MM Sharif, ed, A History of Muslim Philosophy, juz 1, Wiesbaden: Otto Harrassowitz, 1963, hal. 586-587 pada catatan kaki. 42 Zainal Abidin Ahmad, hal. 68. 43 Abu al-wafa’ al-Ghazanimi al-Taftazani, Madkhâl Ila al-tashauwuf al-Islâm, terj. Ahmad rofi’I Usmani “Sufi Dari Zaman ke Zaman”, Bandung: Pustaka, 1985, hal. 154. 143 dijadikan bahan bacaan dan pengajaran bagi manusia-manusia mukmin. 44 Di kalangan dunia Islam Syiah, Ihyâ’ juga mendapatkan penghargaan. Dalam Bihar al-Anwar pada uraian tentang akal dan wahyu, Ihyâ’ disebut sebagai salah satu buku pendukungnya. Bahkan Sadra Sirat pernah menulis Ihyâ’ menurut penafsiran Syiah. 45 Saat itu, Muhammad al-Khudhari Husain mengatakan bahwa dengan Ihyâ’ manusia dapat menambah kekuatan akalnya, mendalami ilmu syariat, serta membebaskan diri dari nafsu dan kerakusan pada kehidupan dunia, 46 karena kandungan dari Ihyâ’ tidak hanya terbatas pada soal ibadah, adat al-‘âdât, akhlak, dan kejiwaan, tetapi juga mengandung pemikiran falsafi, ilmu, dan masalah keduniaan. Ditinjau dari kandungannya, keistimewaan Ihyâ’ berisikan ilmu-ilmu keislaman. Ihyâ’ terdiri atas empat rub’ dan masing-masing rub’ terdiri pula atas sepuluh kitab, masing-masing kitab terdiri atas beberapa bab, fasal, syarah, dan bayan penjelasan. Rub’ al-‘ibâdat didahulukan dari rub’ yang lain karena ibadat merupakan pokok dan tujuan utama manusia diciptakan Allah. Pembahasan mengenai keharmonisan hubungan manusia dengan Allah terletak pada faktor ibadat. Pembahasan mengenai kehidupan sosial dan kehidupan politik atau hubungan manusia dengan sesamanya dan makhluk Allah lainnya diletakkan dalam rub’ al-‘âdât. Adapun tujuan dari rub’ ini adalah pembinaan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya. Rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât berkaitan erat dengan pembinaan hubungan baik manusia dengan dirinya sendiri. Rub’ al-muhlikât berisikan uraian tentang sifat-sifat tercela yang merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit jiwa amrâdl al-qalb, serta jatuhnya manusia dalam kebinasaan al-fasâd dan neraka. Apabila manusia bebas dari sifat-sifat al-muhlikât atau sifat-sifat tercela, maka ia selamat dari 44 M. Jamal al-Din al-Qasimi al-Dimasqi, Mau’izhat al-Mu’minin Min Ihya’ ‘Ulum al- Din, Beirut: Dar al-Fikr, t. t., hal. 4. 45 Amir Ali, The Spirit of Islam, Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi, 1978, hal. 467 pada catatan kaki. 46 Muhammad al- Khudari Husain dalam kata pengantar dalam Al-Ghazali “Ihyâ’”, juz 1. 144 penyakit jiwa dan selamatlah ia dari kebinasaan dan neraka. Sebaliknya, rub’ al- munjiyât berisikan uraian tentang sifat-sifat terpuji yang juga merupakan faktor pengobatan bagi penyakit jiwa mu’âjalat amrâdl al-qalb, serta merupakan faktor utama untuk memperoleh kebahagiaan, keselamatan, dan surga di akhirat. 47 Didahulukannya rub’ al-muhlikât daripada rub’ al-munjiyât disebabkan sifat-sifat terpuji tidak mungkin dapat ditanamkan dalam diri, sebelum diri bebasbersih dari sifat-sifat tercela. Dengan meneliti lebih mendalam kandungan Ihyâ’ pada setiap rub’, kitab, bab, fasal, syarah, dan bayannya, maka akan dapat ditemukan keluasan ilmu yang terdapat di dalamnya. Ihyâ’ merupakan karya terbesar dari Al-Ghazali. Sesuai dengan judulnya, Ihyâ’ sungguh merupakan salah satu kekuatan yang dapat menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama Islam. Kitab pertama dari rub’ al-‘ibâdat menggambarkan Al-Ghazali sebagai manusia epistemolog dalam Islam karena dalam kitab itu ia menguraikan pembahasan segala sesuatu yag berhubungan dengan ilmu, seperti pengertian ilmu, keutamaan ilmu, klasifikasi ilmu, pembagian ilmu atas terpuji dan tercela, bahaya ilmu, keutamaan belajar dan mengajar, serta adab kesopanan pelajar dan guru. Kitab kedua menunjukkan pula ia sebagai manusia mutakallim theolog dalam Islam karena memiliki konsep dan ajaran tentang akidah, yakni akidah Sunni Asy’ariyah. Sementara itu, kitab ketiga sampai ke sepuluh menunjukkan ia sebagai manusia fakih karena kandungan kedelapan kitab tersebut pada umumnya berisikan masalah fiqih, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji dan praktik-praktik keagamaan yang disunahkan kepada setiap manusia muslim dalam beribadat kepada Allah. Adapun ringkasan isi keseluruhan dari rub’ al-‘ibâdat itu berkaitan dengan persoalan pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah dalam kehidupannya melalui jalan ilmu, iman, ibadat wajib, dan ibadat yang 47 Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 1, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal. 1-6. 145 disunahkan. Jelasnya, ilmu, iman, dan ibadat merupakan dasar bagi pembentukan kehidupan yang baik hayât thaiyibat bagi manusia. Di samping itu, Rub’ al-‘âdât menggambarkan Al-Ghazali tidak hanya sebagai sufi dan filsuf akhlak, namun juga menggambarkan ia sebagai pemikir sosial dan politik dalam Islam karena dalam rub’ itu ia menerangkan hak dan kewajiban manusia terhadap dirinya, serta terhadap kehidupan sosial dan politik. Dalam rub’ ini ia menjelaskan beberapa tuntunan carapola hidup berkeluarga, bersaudara, bersahabat, bergaul dengan sesama makhluk, berusaha dan mencari penghidupan, serta hidup bermasyarakat dan bernegara dalam Islam. Ringkasan isi keseluruhan dari rub’ al-‘âdât ini adalah berkaitan dengan persoalan pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan sesamanya dan lingkungannya melalui penghayatan dan pengamalan ajaran akhlak dan tasawuf, serta adab. Sementara itu, rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât menggambarkan Al- Ghazali sebagai ahli jiwa dan etika Islam karena dalam kedua rub’ itu ia menguraikan masalah-masalah yang berhubungan dengan akhlak dan kejiwaan manusia. Dalam rub’ al-muhlikât ia membahas masalah akhlak yang menjadi faktor penyebab timbulnya penyakit jiwa atau masalah akhlak dan kejiwaan yang mana mengakibatkan kegoncangan jiwa, ketidaktentraman batin, dan gangguan kejiwaan. Dalam rub’ al-munjiyât ia membahas masalah akhlak yang membawa kepada kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa atau masalah perbaikan akhlak dan perawatan jiwa. Adapun ringkasan isi dari kedua rub’ itu mencakup permasalahan tentang pembentukan hubungan baik manusia dengan dirinya sendiri melalui pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, dan penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji. Sehubungan dengan itu kedua rub’ ini disebut Al- Ghazali sebagai ilmu batin atau jalan mencapai kebahagiaan akhirat. Ihyâ’ pantas dijadikan rujukanpedoman bagi setiap manusia dalam mencapai kehidupan yang baik dan keluhuran budi pekerti. Sa’id Hauwa berpendapat kata tazkiyat secara harfiah memiliki dua makna, yakni tathhîr dan al-nâmî atau al- ishlâh. Tn dalam pengertian pertama berarti membersihkan diri dari sifat-sifat 146 tercela, sedangkan dalam pengertian kedua berarti menumbuhkan dan memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat terpuji. 48 Oleh karena itu, pengertian tn tidak hanya terbatas pada pembersihan jiwa, namun juga meliputi pembinaan dan pengembangan diri. Selain itu, tn dalam pengertian di atas juga terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Misalnya Fakhr al-Râzi dalam Tafsîr al-Kabîr mengartikan tazkiyat dengan tathhîr dan tanmiyât, yang berfungsi untuk menguatkan motivasi semanusia dalam beriman dan beramal saleh. Tegasnya ia mengatakan bahwa tazkiyat adalah ungkapan tentang tathhîr dan tanmiyât. 49 Mufasir Muhammad Abduh mengartikan tn dengan tarbiyat al-nafs pendidikan jiwa yang kesempurnaannya dapat diperoleh melalui tazkiyat al-‘aql penyucian dan pengembangan akal dari akidah yang sesat dan akhlak yang jahat. Tazkiyat al- ‘aql kesempurnaannya dapat pula dicapai dengan tauhid yang murni. 50 Pendapat Abduh ini sejalan dengan arti kata tazkiyat itu sendiri, dan pengertian pendidikan dalam arti yang luas, yang tidak saja terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi juga tanmiyat al-nafs. Berdasar tinjauan pendidikan dan ilmu jiwa banyak pula pendapat para ahli tentang tn. Misalnya di antara mereka adalah Ziauddin Sardar, Muhammad Fazlur- Rahman Ansari, dan Hasan Langgulung. Sardar mengartikan tn sebagai pembangunan karakter watak dan transformasi dari personalitas manusia, di mana seluruh aspek kehidupan memainkan peranan penting dalam prosesnya. Tn sebagai konsep pendidikan dan pengajaran tidak hanya terbatas pada proses pengetahuan yang sadar, tetapi lebih merupakan tugas untuk memberi bentuk pada tindakan hidup taat, dan mukmin merupakan hasil karya yang dibentuk oleh tn. 51 Di samping itu, Ansari mengartikan tn sebagai upaya 48 Sa’id Hauwa, al-Mustakhlash Fî Tazkiyat al-Anfûs, Mesir: Dâr al-Salâm, 1984, hal. 5. 49 Fakhr al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, juz 4, Teheran: Dâr al-Kutûb al-‘ilmiyat, t.t., hal. 75 dan 143. 50 Muhammad Rasyid Ridha, ed., Tafsir al-Manar, juz 4, Mesir: Maktabat al-Qahirat, t.t., hal 222-223. 51 Siauddin Sardar, The Future of Muslim Civilidzation, terj. HM. Mochtar Zoerni dan Ach. Hafas Sn :Masa Depan Peradaban Muslim”, Surabaya: Bina Ilmu, 1985, hal. 383. 147 psikologis untuk membasmi kecenderungan-kecenderungan akhlak burukjahat yang ada dalan jiwa sebagai upaya mengatasi konflik batin antara al-nafs al- lauwâmat dan al-nafs al-ammârat. Dengan melakukan upaya ini diharapkan manusia dapat memiliki kemampuan dalam mengatasi konflik, dapat tumbuh sebagai pribadi yang kuat, dan mampu melakukan tindakan sesuai dengan aturan moral. 52 Sedangkan Hasan Langgulung mengartikan tn sebagai metode penghayatan dan pengamalan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam. Dengan demikian, tn bisa dipandang sebagai metode pembentukan manusia yang bertakwa. 53 Dari segi akhlak dan tasawuf ada para ahli yang mengartikan tn dengan takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs dalam arti mengosongkan diri dari akhlak tercela, dan mengisinya dengan akhlak terpuji. Dengan kosongnya jiwa dari akhlak tercela dan penuhnya jiwa dengan akhlak terpuji, maka manusia akan mudah mendekatkan diri kepada Allah. Jelasnya, pengertian tn berhubungan erat dengan akhlak dan kejiwaan, serta berfungsi dalam Islam sebagai pola pembentukan manusia yang berakhlak mulia atau berkarakter baik. Pemikiran Al-Ghazali mengenai tn ada dalam setiap rub’ dan kitab dari Ihyâ’. Ini menunjukkan betapa besar perhatiannya terhadap masalah tn dalam Islam. Ihyâ’ secara keseluruhan misinya adalah misi tn karena konsep kehidupan yang baik yang terdapat dalam buku itu dapat dijadikan sebagai dasar pelaksanaan kehidupan beragama dalam Islam. 54 Sedangkan tn sendiri pengertiannya meliputi ilmu lahir dan batin, syariat dan hakikat, serta duniawi dan ukhrawi. Oleh karena itu, Ihyâ’ sarat berisikan ilmu-ilmu tersebut. Pada prinsipnya, konsep tn dalam Ihyâ’ didasarkan pada ibadat, al-‘âdât dan akhlak, seperti tampak kelihatan pada masing-masing judul rub’-nya. Landasan ibadat, al-‘adat dan akhlak dalam arti terciptanya keharmonisan hubungan manusia 52 Muhammad Fazl-ur-Rahman Ansari, The Qur’anic Foundation and Structure of Muslim Society, juz 1, Pakistan: World Federations of Islamic Missions, 1973, hal. 300. 53 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, hal. 371-377. 54 W. Montgomery Watt, Islamic Theology and Philosophy, Edinburgh: Edinburg University Press, 1977, hal. 104. 148 dengan Allah, dengan sesama manusia dan dengan dirinya sendiri. Dengan terciptanya keharmonisan dalam tiga macam hubungan manusia dimaksud maka manusia akan sukses dalam hidupnya di dunia dan akhirat. Pengertian tn menurut Al-Ghazali juga dapat berarti takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Arti takhliyat al-nafs jelas terdapat dalam rub’ al-muhlikât, dan arti tahliyat al-nafs dalam rub’ al-munjiyât. Sungguhpun tn baginya dapat berarti takhliyat al-nafs dan tahliyât al-nafs, namun pencapaian keberhasilan kedua proses ini dalam tn sangat ditentukan oleh ibadat dan al-‘âdât. Itu sebabnya ia mendahului rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât dengan rub’ al-‘ibâdat dan al- ‘âdât. Rub’ al-‘ibâdât dan al-‘âdât merupakan dasar bagi tn dalam pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Tn dalam pengertian ini tidak akan sukses, kecuali kalau prosesnya diletakkan di atas dasar ibadat dan al-‘âdât hubungan baik manusia dengan sesamanya dan lingkungan. Dalam pengertian ini konsep tn itu menurut Al-Ghazali tersusun dari komponen al-‘ibâdat, al-‘adat, takhliyat al-nafs, dan tahliyat al-nafs. Keempat hal ini dalam proses dan pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Secara umum pengertian tn dalam Ihyâ’ terdapat pada setiap kitabnya, tetapi dari keempat puluh kitab itu yang banyak membicarakan tn ialah kitab tentang ilmu, akidah, dan thaharah dari rub’ al-‘ibâdat, serta kitab tentang keajaiban jiwa dan latihan kejiwaan dari rub’ al- muhlikât. Sementara rub’ al-muhlikât dan al-munjiyât itu sendiri merupakan tn dalam pengertian takhliyat al-nafs dan tahliyat al-nafs. Dalam tiga kitab pertama, Al-Ghazali meninjau tn dari segi ilmu, akidah, dan thahârah. Dalam dua kitab yang terakhir ia banyak meninjau dari segi kejiwaan al-qalb. Pada kitab tentang ilmu, ia menerangkan bahwa tn merupakan jenis ilmu terpuji yang wajib dipelajari dan diamalkan oleh setiap muslim. Tn termasuk ilmu muâmalat praktis dan fardhu ‘ain hukum mempelajarinya karena dalam misinya terdapat ajaran-ajaran dasar Islam, seperti ilmu, akidah, muâmalat adat, dan akhlak. Tn juga dikenal sebagai ilmu kebahagiaan akhirat karena banyak 149 berbicara soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa di dunia yang merupakan modal bagi kehidupan akhirat. Hal ini menjelaskan tn termasuk dalam kategori ilmu sebagai proses dan ilmu sebagai objek. Tn dalam ilmu ladunni ilham dalam mencapai tujuannya. Sedangkan dalam fungsi ilmu sebagai obyek, tn merupakan hal yang penting untuk diketahui dan dicari karena tn berkaitan dengan soal kebahagiaan atau kesengsaraan hidup manusia di dunia dan akhirat. 55 Al-Ghazali memandang tn sebagai ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Pada kitab tentang akidah, tn diartikan sebagai ma’rifat kepada Allah dan tanzîh terhadap-Nya. Ma’rifat adalah mengetahui dan meyakini dzat, sifat, af’al Allah, dan ajaran al-sam’iyat yang berhubungan dengan kehidupan akhirat atau hal yang gaib. Tanzîh berarti menyucikan Allah dari sifat-sifat yang tidak pantas bagi kemahasucian dan kemahaagungan-Nya. Dari segi akidah, tn juga berarti pakaian, perhiasan, dan buah keimanan karena terkait misi ajaran mengenai ilmu, amal ibadat, dan akhlak. Tn dapat menjaga dan menyelamatkan manusia dari azab neraka, dan memasukkannya ke dalam surga karena tn merupakan faktor pokok kebaikan. Ringkasnya, tn dalam kitab tentang akidah berarti ma’rifat dan tanzîh terhadap Allah, serta merupakan realisasi dari akidah. Sedangkan pada kitab tentang thaharah, Al-Ghazali mengartikan tn dalam pengertian yang luas. Ia memakai istilah thahârat al-qalb atau tathhîr al-qalb untuk menunjuk kepada tn. Dalam kitab ini ia membagi tathhîr al-qalb dalam empat tingkatan. Pertama, membersihkan badanlahir dari segala hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikkan. Kedua, menyucikan anggota badan dari segala perbuatan dosa dan salah. Ketiga, menyucikan jiwa al-qalb dari segala akhlak tercela. Keempat, menyucikan sirkeinginan hati dari segala sesuatu, selain ridho Allah. Tingkat keempat ini merupakan tingkatan tn para nabi, rasul, dan al-shiddîqîn. Adapun manusia yang mencapai tingkat ini akan memperoleh 55 Mengenai konsep ilmu menurut Al-Ghazali lihat Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1986, hal. 125-141. 150 al-kasyf, terbuka hijab antara ia dan Allah. Ini menjelaskan bahwa ia mengartikan tn dalam pengertian yang luas, yakni lahir dan batin. Tn dalam pengertian lahir merupakan penyucian anggota badan dari segala hadas, kotoran, dan benda-benda yang menjijikkan, serta mendidiknya dengan amal kebaikan dan ketaatan. Sedangkan dalam pengertian batin, tn berarti penyucian diri dari perbuatan dosa, salah, sifat tercela, dan sir dari segala sesuatu selain Allah. Dalam kitab thahârah ini, Al-Ghazali memakai istilah tathhîr al-qalb untuk menunjuk kepada tn. Sementara dalam kitab tentang keajaiban jiwa, Al-Ghazali mengartikan tn sebagai jiwa yang sadar akan dirinya dan mau bermakrifat kepada Allah. Sebaliknya tdn merupakan jiwa yang lupa akan dirinya dan tidak mau bermakrifat kepada Allah. Jiwa yang pertama disebut jiwa zakiah, tathhîr, salîm sejahtera, dan muthmainnat. Sebagai ganjarannya jiwa tersebut memperoleh kemenangan al-falâh dalam hidupnya di dunia dan akhirat, serta di akhirat kelak Allah menerimanya. Jiwa yang kedua disebut jiwa yang kotor atau sakit. Jiwa ini dalam kehidupanya di dunia dan akhirat mengalami kerugian, dan setelah berpisah dengan tubuh, Allah enggan menerimanya. Selanjutnya menurut Al-Ghazali, jiwa yang dibina dengan proses tn akan meningkat derajatnya ke tingkat yang tinggi, naik ke alam malakut, dan dekat dengan Allah. Sementara jiwa yang dibina dengan proses tdn akan meluncur derajatnya ke tingkat yang rendah, turun ke derajat jiwa setan dan jiwa manusia-manusia fasik. Pemikiran Al-Ghazali tentang keadaan dua sifat jiwa ini didasarkan atas ayat Al-qur’an berikut. s y x n = ł ør ‘ t B y g 8 . y ˙ ¨ su r z s{ ‘ t B y g 9 ¢ y ˙ ˚ ¨ 56 56 Q.S 92:9-10. Artinya: Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah manusia yang mengotorinya. 151 wu r q R q 3 s? t ß ˇ x . q ¡ n S N g 9 | ¡ Sr ’ sø N k | ƒ R r 4 ˝ · fl » s9 ’ r Ø ª NŁ d c q ¯ ¡ » x ł 9 ˙ ˚ ¨ 57 Jelasnya, tn juga merupakan konsep kesadaran jiwa dalam berma’rifat dan berlaku taat kepada Allah. Adapun pengertian kedua dari tn dalam kitab keajaiban jiwa adalah tathhîr al-qalb dan tazkiyat al-qalb. Manusia yang dapat menerima pemberian dan rahmat Allah hanyalah manusia yang tahir dan zakiah jiwanya dari akhlak tercela. Dengan mengutip pendapat Ali bin Abi Thalib, ia meletakkan tn di atas tiga landasan sifat jiwa yang dicintai Allah, yakni jiwa yang halus, bersih, dan kuat. Jiwa yang halus berarti lemah lembut kasih sayang dalam bergaul dengan saudara-saudaranya. Jiwa yang bersih dalam arti keyakinan, yakni keyakinan bersih dari akidah yang salah dan menyesatkan. Sedangkan jiwa kuat tegas berkenaan dengan penjagaan kehormatan agama dîn. Ketiga sifat jiwa ini tercantum dalam Al-qur’an seperti juga yang dikutip Al-Ghazali sebagai berikut: £ J p t C ª Aq § « 4 t ß ˇ u r … m y Ł t B £ ˇ r n ? t ª ˝ ⁄ 3 ł 9 u Hx q N h u Z t … ˙ ¸ ¨ 58 57 Q.S 59:19. Artinya: dan janganlah kamu seperti manusia-manusia yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah manusia-manusia yang fasik. 58 Q.S 48:29. Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan manusia-manusia yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap manusia-manusia kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. 152 Didasarkan pada artinya, ayat di atas juga menunjukkan perbedaan jiwa manusia munafik dan mukmin. Jiwa manusia munafik bersifat kufur, kasar, dan gelap; sedangkan jiwa mukmin bersifat halus, kasih sayang, dan bersinar. Jadi, tn dalam pengertian kedua ini, di samping pembersihan jiwa dari akhlak tercela dan berhiaskan dengan akhlak terpuji, juga ditekankan artinya pada kebersihan jiwa dalam berakidah dan keteguhan jiwa dalam beragama. Kaitannya dengan sifat-sifat jiwa yang ada dalam diri manusia, pengertian tn menurut Al-Ghazali adalah pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian mengisinya dengan sifat-sifat ketuhanan rabbânî. Tn dikaitkan dengan sifat kebuasan adalah pembersihan diri dari sifat marah yang tidak berada pada batas itidalnya, dan sifat-sifat buruk lainnya yang timbul darinya, seperti sifat permusuhan, sembarangan, pemberang, takabbur, jâh, ujub sombong, niat jahat, dan berbuat zalim. Tn dalam hubungannya dengan sifat kebinatangan adalah pembersihan diri dari sifat-sifat hawa nafsu, seperti rakus, bakhil, ria, dengki, busuk hati, la’b main-main, dan lahw senda gurau. Tn dalam hubungannya dengan sifat setan adalah meninggalkan sifat-sifat setan dalam diri seperti mengecoh, tipu mulihat, merusak, dan berkata kotor. Apabila jiwa sudah bersih dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, maka mudah berkembang sifat-sifat ketuhanan dalam diri. Adapun tn dalam kaitannya dengan sifat rabbani adalah pembinaan jiwa dengan sifat-sifat dan nama-nama Allah, seperti ilmu, hikmat, dan sifat-sifat lainnya yang terlepas dari perbudakan hawa nafsu dan marah. Hawa nafsu dan marah dalam arti manusiawi, apabila dikuasai dan dikendalikan dengan baik atau dikembalikan kepada batas itidalnya keseimbangan akan menumbuhkan sifat wara’, qanâ’at kepuasan hati, ‘iffah, zuhud, malu, ramah, kasih sayang, berani, lapang dada, teguh pendirian, dan sifat terpuji lainnya dalam diri. Jiwa dengan sifat rabbani juga disebut sebagai jiwa 153 yang memiliki wâ’izh juru nasihat dan hâfizh penjaga dalam dirinya atau jiwa muthmainnat menurut Al-qur’an. Dari keterangan ini dapat pula dikatakan bahwa tn berarti pembersihan diri dari sifat kebuasan, kebinatangan, dan setan, kemudian menghiasinya dengan sifat ketuhanan. Selanjutnya, pengertian ketiga dari tn dalam kitab keajaiban jiwa mengacu pada ilmu dan amal yang dipraktikkan para sufi, yaitu ditekankan pada amal yang bertujuan untuk membersihkan dan mencemerlangkan jiwa, dan tidak seperti manusia-manusia yang beramal karena jâh dan pamer sehingga amalnya tidak mempengaruh proses penyucian jiwanya. Dengan kata lain, mereka dalam beramal tidak saja memperhatikan aspek-aspek lahir dari amalnya, tetapi juga sangat menekankan aspek-aspek batinnya. Ini pada umumnya dimiliki ahli hakikat, dan jarang terdapat pada ahli syariat. Ahli syariat masa Al-Ghazali dalam beramal cenderung kepada popularitas dan formalitas atau bersifat jah dan ria. Untuk itu perlu sekali keharmonisan kei’tidâlan antara keduanya dalam upaya meraih keberuntungan hidup. Sementara pengertian terakhir dari tn dalam kitab keajaiban jiwa adalah thahârat al-nafs dan imârat al-nafs. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian tn dalam arti takhliyat al-nafs dan tahliyat al- nafs. Thahârat al-nafs berarti pembersihan diri dari sifat-sifat tercela, dan imârat al-nafs dalam arti pengembangan jiwa dengan sifat-sifat terpuji. Manusia yang sudah mampu melakukan kedua proses tersebut maka ia akan sampai pada tingkatan jiwa muthmainnat, dan ia terbebas dari pengaruh jahat hawa nafsu. Adapun dalam kitab latihan kejiwaan Al-Ghazali mengartikan tn sebagai ilmu tentang penyakit jiwa asqâm al-nufus dan sebab-sebabnya, serta ilmu pengobatan dan pembinaan jiwa. Pengertian ini dipahaminya dalam menafsirkan ayat Al-qur’an berikut: 154 s y x n = ł ør ‘ t B y g 8 . y ˙ ¨ su r z s{ ‘ t B y g 9 ¢ y ˙ ˚ ¨ 59 Dengan demikian, arti tn dalam ayat tersebut adalah upaya manusia mengobati penyakit jiwanya, dan memperbaiki dirinya, setelah ia terlebih dahulu mengetahui penyakit dan sebab-sebabnya. Sebaliknya arti dari tdn adalah manusia yang membiarkan dirinya sakit dan merana, serta tidak mau mengobati dan memperbaiki dirinya. Tambahan pula, dalam kitab keajaiban jiwa, ia menjelaskan obat penyakit jiwa dan cara pengobatannya, yaitu dengan obat dan cara yang ditempuh ilmu syariat agama, di samping obat dan cara yang ditempuh ilmu akal. Pada dasarnya ilmu akal itu hanya berfungsi sebagai makanan bagi jiwa, sedangkan fungsi obat yang sebenarnya bagi jiwa hanya ada pada ilmu syariat. Di antara bentuk pengobatan dari ilmu syariat itu adalah ibadat dan akhlak yang disusun oleh para nabi Allah untuk pengobatan dan perbaikan jiwa. Dalam hal ini kandungan Ihyâ’ berhubungan erat dengan pengobatan jiwa dan perbaikannya. Selain itu, Al-Ghazali menekankan pengertian tn dari segi ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, serta ilmu pengobatan mu’âlajat dan perbaikan ishlâh jiwa, karena Al-Ghazali beranggapan bahwa manusia tidak mungkin terlepas sama sekali dari penyakit dan kekurangan yang terdapat pada dirinya. Bahkan menurutnya jiwa manusia itu tidak ada yang sehat. Jiwa itu semuanya sakit, kecuali yang dikehendaki Allah untuk sehattidak sakit, seperti para nabi dan rasul. Namun demikian, di antara penyakit itu termasuk jenis penyakit yang sulit diketahui oleh pemiliknya, dan oleh karena itu ia menjadi lengah atau rapuh. Kalau pun ia dapat mendeteksinya atau mengetahuinya, niscaya tidak mudah baginya menahan “kepahitan” obatnya karena obat tersebut berlawanan dengan 59 Q.S 92:9-10. Artinya: Sesungguhnya beruntunglah manusia yang menyucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah manusia yang mengotorinya. 155 keinginan hawa nafsu. Tidak ada tabib dokter jiwa yang dapat mengobatinya kecuali “dokter” dari kalangan ulama. Untuk menyelamatkan jiwa dari bahaya penyakit dan agar dapat hidup dengan tenang dan bahagia, maka manusia seyogyanya mengobati jiwanya dan memperbaiki dirinya dengan pengamalan ajaran agama. Manusia yang tidak peduli dengan pengobatan penyakit jiwa dan perbaikan dirinya dengan pengamalan ajaran agama, maka manusia tersebut akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidupnya. Dengan demikian, tn dalam pengertian ini berhubugan erat dengan kesehatan mental karena juga mencakup pembahasan masalah penyakit jiwa dan gangguan jiwa serta pencegahan darinya, pengobatan jiwa, perbaikan dan pembinaan jiwa. Tambahan pula, Al-Ghazali juga mengartikan tn dengan takwa karena jiwa manusia yang bertakwa itu bersifat thahir dan zakiah, yang sulit dikotori setan dan digoda hawa nafsu. 60 Selain itu, ia juga memberi pengertian tn itu dengan taat, dan keberhasilan cahaya iman atu kecemerlangan nur ma’rifat dalam hati kepada Allah SWT, karena jiwa manusia yang beriman dan taat dekat kepada Allah. Pengertian tn berikutnya adalah amal saleh, di samping ilmu, karena amal saleh itu sendiri adalah bertujuan tn. Didasarkan pada uraian-uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa Al-Ghazali mengemukakan beberapa pengertian tn yaitu dalam arti takwa, taat, amal saleh, dan makrifat kepada Allah. Ketakwaan, ketaatan, kesalehan, dan makrifat kepada Allah adalah kunci kemenangan al-falâh yang menjadi tujuan tn dalam A-qur’an. Al-Ghazali juga mengemukakan komponen-komponennya. Tn dalam Ihyâ’ terdiri atas beberapa komponen dalam membentuk keutuhannya dan mencapai tujuanya. Komponen-komponennya terdapat pada setiap rub’ dan kitab dari Ihyâ’. Berdasar tinjauan dari rub’ yang terdapat dalam kitab Ihyâ’ maka komponen tn itu terdiri atas tiga komponen dasar, yakni al- ‘ibâdat ibadah, al’âdât muamalah, dan akhlak al-muhlikât dan al-munjiyât. 60 Al- Ghazali “Ihyâ’ “, juz 11, hal. 24-25. 156 Ditinjau dari jumlah kitab yang terdapat dalam Ihyâ’, maka tn itu memiliki banyak komponen. Dilihat dari rub’ al-‘ibâdat terdapat sepuluh komponen tn, yakni ilmu, akidah, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, tilawat Al-qur’an, zikir dan do’a, serta wirid. Sementara dilihat dari rub’ al-‘âdât terdapat pula sepuluh komponen, yaitu makan, nikah, usaha dan mencari penghidupan, halal dan haram, kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, dan pergaulan dengan sesama makhluk, ‘uzlat, safar berjalan jauh, al simâ’, amar ma’ruf nahi munkar, serta adab kehidupan dan akhlak kenabian. Komponen akhlak adalah dalam arti sejumlah sifat yang harus dibersihkan dari diri al-muhlikât, dan sejumlah sifat lagi yang harus dimiliki diri al-munjiyât. Di antara sifat al-muhlikât itu ialah syahwat perut dan seks, bahaya lidah, marah, iri, dengki, cinta dunia, cinta harta, bakhil, jah, ria, uju, takabur, dan gurur. Sedangkan komponen al-munjiyât itu ialah taubat, sabar dan syukur, takut dan harap, fakir dan zuhûd, tauhid dan tawakal, kaih sayang, rindu, intim dan ridha, niat, ikhlas dan benar, al-murâqabat dan al-muhâsabat, tafakkur, serta mengingati mati. Komponen-komponen ibadah bertujuan membentuk keharmonisan hubugan manusia dengan sesamanya, dan komponen-komponen akhlak bertujuan membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain komponen-komponen tersebut dapat pula dikatakan sebagai sifat-sifat ketakwaan atau ketaatan dalam arti luas, karena arti ketakwaan dalam al-qur’an meliputi pembentukan keharmonisan hubungan manusia dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dan agama. 61 Bertitik tolak dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa konsep tn menurut Al-Ghazali dalam Ihya’ memiliki cita atau ide yang luas. Idenya diletakkan dan dibina di atas landasan ibadah, al-‘âdât muâmalat, dan akhlak dalam yang luas, serta bertujuan membentuk keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesamanya dan makhluk, dan dirinya sendiri. Pembentukan 61 Muhammad Abdullah Darraz, Dûstur al-Akhlaq Fî Al-qur’ân, Kairo: Dâr al-Buhûs al- ‘Ilmiyat, 1982, jal. 689-781. 157 hubungan manusia dengan Allah terutama ditempuh dengan jalan ibadah, dengan sesama manusia dan makhluk dengan ajaran al’âdât, dan dengan diri sendiri dengan ajaran akhlak. Dengan demikian pola pembentukan hubungan manusia menurut tn bersifat tiga arah, yaitu vertikal Allah, horizontal sesama manusia dan makhluk, dan individual diri manusia sendiri. Oleh karena luas ide tn yang terkandung dalam Ihyâ’, maka tn itu dari segi pendidikan tidak saja berarti pembersihan diri dari ibadat, al-‘âdât, dan akhlak tercela, tetapi juga berarti pembinaan diri dengan ibadat, al-‘âdât, dan akhlak yang terpuji. Sedangkan tn dari segi kejiwaan al-qalb tidak saja terbatas artinya pada ilmu penyakit jiwa dan sebab-sebabnya, tetapi juga berarti ilmu pengobatan jiwa dan pembinaan diri. Dengan kata lain, tn itu dari segi kejiwaan adalah konsep pembentukan jiwa yang thâhir, zakiah, salîm, dan muthmainnat yang dimiliki oleh manusia-manusia yang bertakwa, taat, dan beramal saleh. Konsepnya ditandai dengan banyak ibadat kepada Allah, baik hubungan dengan manusia dan makhluk, serta mulia akhlak dan sehat jiwa. Konsep atau pola tn adalah pola kehidupan yang baik, pola kehidupan manusia yang bertakwa atau taat kepada Allah, dan pola kehidupan manusia yang beriman dan beramal saleh. Konsep tn menurut kesimpulan di atas didukung pula oleh buku-buku Al- Ghazali di luar Ihyâ’. Di antaranya dalam Faishal al-Tafriqat, ia mengartikan jiwa yang tahir dan zakiah yang tersingkap baginya hakikat dan batasan tentang kufur dan iman, serta rahasia tentang kebenaran dan kesesatan – dalam lima arti, yaitu 1 bebas dari kotoran dan debu dunia, 2 dipoles dengan latihan rohani yang sempurna, 3 diterangi dengan zikir kepada Allah dengan ikhlas, 4 terlatih berpikir dengan cara yang tepat, dan 5 berhiaskan keteguhan menetapi ketentuan-ketentuan syariat. 62 Dalam Mîzan al’Amal, ia juga memandang tn dalam pengertian yang luas, yang meliputi ilmu dan amal, serta mujahadat dalam mengusahakannya. Pengertiannya tidak hanya terbatas pada tathhîr al-nafs, tetapi 62 Al-Ghazali, al-Qushûr al-‘Awali, juz 1, Mesir: Maktabat al-Jundi, 1970, hal. 124. 158 juga berarti tanmiyat al-nafs. Jiwa yang tahir dan zakiah menurut pengertian ini dapat menerima anugrah dan kemurahan rahmat Allah. 63 Selanjutnya ia mengibaratkan jiwa laksana kaca yang kesempurnaannya terlatak pada kesiapan dan kemampuannya dalam menerima gambar yang berada di hadapannya, dan memantulkannya kembali dalam bentuk aslinya. Menurutnya, kaca yang berkarat, kotor, serta tidak mampu menerima dan memantulkan gambar dalam bentuk aslinya hanya dapat disempurnakan dengan menempuh dua jalan berikut. Pertama, membersihkan dan mengkilapkannya, yakni menghilangkan karat, kotoran, dan debu yang melekat padanya sehingga tampak bersih dan mengkilap. Kedua, mengarahkan kaca tersebut ke arah bentuk gambar yang dikehendaki. Dengan demikian kaca berkemampuan menerima dan memantulkan gambar yang berada di hadapannya. Sama dengan jiwa manusia dalam mencapai kesempurnaannya dapat pula ditempuh dengan dua cara tersebut. Dalam Mîzan al-‘Amal ditemukan pula tn dalam pengertian amal saleh karena amal saleh adalah jalan kepada tn. Tn dalam arti taat terdapat dalam Minhâj al-‘âbidîn. Dalam buku itu, Al- Ghazali mengatakan bahwa ketaatan merupakan bekal bagi kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia wajib taat kepada Allah memperoleh kemenagan dan kebahagiaan dalam hidupnya. Sebaliknya, manusia yang durhaka memperoleh kerugian dan kesengsaraan. 64 Pengertian taat dan ketidaktaatan di sini serupa dengan pengertian tn dan tdn. Tujuan Tazkiyat Al-Nafs Secara umum, tujuan tn dalam Ihyâ’ sudah disebutkan yaitu pembentukan keharmonisan hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia dan makhluk-Nya, dengan diri manusia sendiri. Tujuan tersebut baru bersifat umum, dan masih dijabarkan lagi oleh Al-Ghazali dalam tujuan khusus. 63 Al-Ghazali, Mîzan al-‘Amal, Meir: Dâr al-Ma’ârif, 1964, hal. 208. 64 Al-Ghazali, Minhâj al-‘âbidîn, terj. Abdullah bin Nuh “Menuju Mukmin Sejati”, Banda Aceh: Tenaga Tani, 1986, hal. 3. 159 Tujuan khusus dari tn dari komponen ibadat ialah pembentukan manusia yang ‘âlim berilmu, mukmin, ‘âbid suka beribadah, muqarrib suka mendekatkan diri kepada Allah, mau beramal, berdo’a, berdzikir, sadar akan keterbatasan umurnya, mau menjadikan Al-qur’an sebagai pedoman hidupnya, dan berkemampuan dalam menjadikan seluruh aktivitas hidupnya bernilai ibadat kepada Allah. Dari rub’ al-‘âdât tujuan khusus dari tn antara lain adalah membentuk manusia yang berakhlak dan beradab dalam bermuamalah bergaul dengan sesamanya, yang sadar akan hak dan kewajibannya, serta tugas dan tanggung jawabnya, baik dalam hubungan dengan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, dan agama. Yang ingin dituju dengan ajaran al-‘âdât ini adalah manusia yang pandai menjaga hubungan baiknya dengan sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dalam hal pemenuhan kebutuhan makan, minum ,seks, maupun dalm pemenuhan kebutuhan di bidang ekonomi, sosial, politik, dan jiwa. Ia adalah manusia yang bersunguh-sungguh dalm mengikuti dan menjadikan Muhammad SAW sebagai model kehidupannya. Dari rub’ al-muhlikât tujuan khusus dari tn itu adalah membentuk manusia yang bersikap itidal terhadap dirinya dalam mempergunakan segala potensi yang dimiliki, seperti mempergunakan nafsu, syahwat, marah, dan rasa cinta kepada sesuatu sesuai dengan batas kewajarannya. Dengan bersikap itidal manusia terhadap dirinya, mudahlah ia membebaskan dirinya dari akhlak tercela dan memperoleh kesehatan jiwa shihhat al-nafs. Dari rub’ al-munjiyât tujuan khusus dari tn adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia terhadap dirinya, seperti suka bersabar, bersyukur, takut khauf, harap, fakir, zuhud, tauhid, tawakal, kasih sayang, rindu, intim, rida, niat, ikhlas, benar, al-murâqabat, al-muhâsabat, tafakkur, dan mengingat mati. Jadi, manusia yang ingin dibentuk oleh tn adalah manusia yang sadar arif 160 akan hubungannya dengan Allah, dengan sesama manusia dan makhluk, dan dirinya sendiri. 65 Dengan kata lain tujuan tn di atas adalah membentuk manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, negara, maupun agama. Manusia yang taat, takwa, dan beramal saleh adalah manusia yang bersikap i’tidal dalam berakhlak dan memiliki kesehatan jiwa dalam hidupnya. Ia dekat dengan Allah dan selalu memperoleh kemenangan. Tujuan tn di atas tampak muluk sehingga terasa sulit untuk mencapainya. Sesunguhnya tujuan tersebut bukanlah sesutu yang mustahil untuk dicapai manusia. Kalau manusia mau bermujâhadat berjuang dalm mendapatkannya, pasti ia mendapatkan, karena ia berarti berjihad pada jalan Allah. Manusia yang berjihad pada jalan Allah, maka Allah akan menunjukinya. z ‘ ˇ u r r y g » y _ u Z ˇ ø N k ¤ ] t ˇ k s] s9 u Z n = 7 4 ¤ b ˛ u r y y J s9 t ß ˇ Z ¯ ¡ s J ł 9 ˙ ˇ ¨ “Sesungguhnya manusia-manusia yang berjihad pada jalan Kami, niscaya Kami akan menunjuki mereka jalan Kami. Sesunguhnya Allah beserta manusia yang berbuat kebaikan.” 66 Demikianlah janji Allah kepada orng-manusia yang berjihad pada jalan- Nya. Al-Ghazali menyadari bahwa kemampuan manusia dalam mencapai tujun tn itu tidaklah sama antara satu dengan lainnya. Manusia yang kuat kadar kemampuannya tentu mendapatkan hasil dan tujuan yang lebih tinggi. Sebaliknya manusia yang lemah kadar kemampuannya tentu akan mendapatkan hasil dan 65 Pengertian tujuan khusus ini diambil berdasarkan materi yang terkandung dalam setiap rub’ dan kitab dari Ihya’ 66 Al-Qur’ân, al-Ankabut 29:69. 161 tujuan yang lebih rendah. Oleh karena itulah tujuan tn itu ada tingkatan- tingkatannya. Walaupun tingkatan-tingkatan tersebut sifatnya sama, yakni ketaatan juga namanya. Tetapi, tujuan tn bagi manusia awam tidaklah sama dengan tujuan tn bagi manusia khusus dan istimewa karena adanya perbedaan kadar kemampuan dan kesungguhan yang dimiliki mereka. Ada empat tingkatan manusia taat yang ingin dibentuk Al-Ghazali dengan tujuan tn-nya. Pertama, tingkat ketaatan manusia awam atau sederhana al-‘adl. Kedua tingkat ketaatan manusia yang saleh. Ketiga, tingkat ketaatan manusia yang takwa atau muqarrib. Keempat tingkat ketaatan manusia yang benar lagi arif al-shiddîqîn dan al-‘ârifîn. Ketaatan manusia awam merupakan tujuan minimal dari tn, sedangkan tujuan maksimal tertinggi adalah ketaatan manusia yang benar lagi arif, tingkat ketaatan yang dekat dengan nabi dan rasul. Tingkatan pertama sampai ketiga pada umumya dapat dicapai manusia asalkan ia mau bermujahadat. Apabila manusia sudah sampai pada tingkatan ketiga akan mudahlah baginya sampai pada tingkatan keempat. Tingkatan keempat merupakan tingkat yang paling tinggi karena Allah telah menyatakan dalam Al- qur’an, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah manusia yang paling tinggi tingkat ketakwaannya. Dalam kenyataan kehidupan beragama sehari-hari dapat pula dilihat bahwa berkuasanya syariat atas jiwa dan akhlak manusia tingkatannya tidaklah sama, seperti ada yang kuat, lemah, dan sedang. Oleh karena itu, dalam agama ada manusia awam, shâlîh, muqarrib, ârif, benar, nabi dan rasul. Dari uraian ini jelas bahwa Al-Ghazali dalam menetapkan tujuan tn memperhatikan pula kadar kemampuan yang dimiliki manusia, dan sama sekali tidak memandang sama pada setiap manusia. Dengan demikian tujuan tazkiyat al-nafs tn itu bersesuaian dengan jiwa pendidikan dan pengajaran. 162 BAB VI TEORI KORNADT TENTANG AGRESI BERDASARKAN TEORI MOTIVASI

A. Teori Kornadt tentang Sistem Motif Agresi Teori Motivasi tentang Agresi dari Kornadt