Jiwa dan Akhlak dalam Pandangan Al-Ghazali

118 BAB V TEORI AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN AKHLAK BERDASARKAN KONSEP TAZKIYAT AL-NAFS

A. Jiwa dan Akhlak dalam Pandangan Al-Ghazali

Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus. Istilah-istilah yang digunakan Al-Ghazali untuk itu adalah qalb, rûh, nafs dan ‘aql. Jiwa bagi Al-Ghazali untuk itu adalah suatu dzat jauhar dan bukan suatu keadaan atau aksiden ‘ardh, sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi Al-Ghazali, berasal sama dengan malaikat. Asal dan sifatnya ilâhiyyat. Ia tidak pre-eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut Plato, dan filsuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas ‘âlam al-arwâh pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya. 1 Jiwa mempunyai kemampuan untuk memahami, sehingga persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia, dan seluruh berita tentang akhirat membawa makna dalam kehidupan manusia. Tidak demikian halnya dengan 1 Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dar al-Fikr, 1980, hal 42. 119 fisik. Sebab, apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, obyek- obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami, kenyataannya tidak demikian. Menurut Al-Ghazali, kendati pun para filsuf Muslim meyakini keabadian jiwa, tetapi pembuktian mereka dengan akal, hanya bisa ke taraf kemungkinan. Pengetahuan pasti tentang kebakaan hanya diberikan oleh agama. Persoalan yang muncul, bagaimana meyakinkan manusia yang ragu- ragu terhadap informasi agama. Al-Ghazali mengemukakan bahwa jiwa yang berasal dari ilahi mempunyai potensi kodrat ashl al-fithrat, yaitu kecenderungannya kepada kebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan dzat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat ‘alam al-malâkut atau ‘alam al-amr, QS 17:85, sedangkan jasad berasal dari ‘alam al-khalaq. Karena itu, kecenderungan jiwa kepada kejahatan yang timbul setelah lahirnya nafsu bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namum kerap kali diredam keinginan duniawi. Mengenai perihal kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan seseunguhnya dapat menghancurkan jiwa al-nafs tetapi ia tidak melakukannya. Di sini Al-Ghazali berada di persimpangan pandangan sebagai mutakallimîn kemungkinan hancurnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan, dan pandangan sebagai filsuf jiwa mempunyai sifat substansia kekal. Dengan demikian bantahan Al-Ghazali terhadap filsuf dalam bukunya, Tahafut al-Falâsifat, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa itu. Menurutnya, hanya syara’ yang bisa menjelaskan persoalan al-ma’âd kehidupan di akhirat. 2 Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bisa mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat 2 Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, Jakarta:Rajawali Press, 1988 hal. 58-62 120 baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan; karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat baik-baik. Jiwa itulah yang mengetahui Allah, mendekati-Nya, berbuat untuk-Nya, berjalan menuju-Nya dan menyingkapkan apa yang ada pada dan di hadapan-Nya, dan sesungguhnya anggota tubuh merupakan pengikut, pelayan dan alat yang dipekerjakan dan digunakan oleh jiwa bagaikan manusia tuan menggunakan sahayanya, seumpama gembala memakai dombanya dan manusia tukang dengan alatnya. Jiwa itulah yang diterima Allah; ia yang terselubung dari-Nya; jiwa itu yang dicari, ia yang ditegur dan digugat. Jiwa itu yang merasa gembira; dan berhasil; jiwalah yang memperoleh kecewa dan sengsara. 3 Dengan demikian, semua yang ada pada jasad merupakan “pembantu” jiwa. Sebagian dari pembantu itu terlihat nyata, seperti tangan, kaki, dan bagian-bagian tubuh luar dan dalam yang lain. Pembantu lain yang tidak terlihat, dapat dikelompokkan kepada tiga, yaitu: a yang merupakan sumber bagi motif dorongan dan rangsangan; motif untuk mendapatkan yang bermanfaat disebut keinginan, dan motif untuk menolak yang merusak dinamakan kemarahan. b Kekuatan qudrat yang menggerakkan anggota badan ke arah benda yang diinginkan atau menjauhi benda yang dibenci; ini menebar pada semua anggota tubuh, khususnya pada otak dan saraf. c kemampuan menangkap pengetahuan, yang terdiri dari dua macam alat; yang pertama panca indera, dan yang kedua adalah lima daya yang berada pada lima tempat di otak manusia. Kemampuan- kemampuan ini adalah daya khayal, yaitu penggambaran atau representasi; daya simpan atau retensi tahâfuzh, daya pikir tafakkur, daya ingat tadzakkur dan sensus masyarakat al-hiss al-musytarak. Semua indera dan daya ini juga ditemukan pada hewan-hewan. Adapun daya yang khas ada pada jiwa manusia, yaitu daya pencapai pengetahuan, yakni akal. Akal mengetahui kenyataan-kenyataan di dunia ini dan 3 Lihat Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal 1- 2. 121 di akhirat yang tak dapat ditangkap oleh indera. Akal juga tahu akibat dari suatu perbuatan; jika akibatnya baik, maka kemauan untuk berbuat itu lahir dari dalam pikiran. Sampai di sini, tidak beda pendapat Al-Ghazali dengan rumusan para filsuf muslim lainnya dalam hal fungsi akal teoretis dan praktis. Alasan yang dikemukakan Al-Ghazali, bahwa hal itu tidak bertentangan dengan agama. Dengna demikian, pendekatan Al-Ghazali lebih bercorak religius, kendati pun perumusannya secara filosofis. Selain gambaran hubungan jiwa dan jasad seperti di atas, Al-Ghazali juga menyebutkan bahwa hubungan dimaksud pada hakikatnya sama dengan interaksionisme. Meskipun jiwa dan jasad merupakan wujud yang berbeda, keduanya saling mempengaruhi dan menentukan jalannya masing-masing. Karena itu, bagi Al-Ghazali setiap perbuatan akan menimbulkan pengaruh pada jiwa, yakni membentuk kualitas jiwa, asalkan perbuatan itu dilakukan secara sadar. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang selama beberapa waktu akan memberi pengaruh yang mantap pada jiwa. Sementara perbuatan yang dilakukan tanpa sadar, tidak akan mempengaruhi jiwa. Demikian pula sebaliknya, jiwa mempengaruhi jasad: apabila suatu kualitas telah dimiliki oleh jiwa, perbuatan anggota badan yang bersesuaian dengan kualitas ini terdorong untuk dilaksanakan. Kemauan atau keengganan untuk melakukan suatu perbuatan tergantung pada kuat atau lemahnya kualitas tadi. Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan, karena interaksi inilah jiwa itu diturunkan ke alam benda atau duniawi agar ia dapat menyempurnakan dirinya melalui amal perbuatan. 4 Sementara itu, dalam karya-karya awal Al-Ghazali, persoalan akhlak belum menjadi masalah pokok. Hanya dalam satu karya masa awalnya, Mîzân al-‘Amal, akhlak merupakan bahan pemikiran utama. Kebanyakan karya-karya akhirnya, bersifat etis moralitas yang menjamin kebahagiaan sempurna. Adapun teori etika yang dikembangkannya bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat dengan jelas 4 Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali,: A Composite Ethics in Islam, hal. 42. 122 penamaan Al-Ghazali terhadap ilmu ini pada karya-karya akhirnya, setelah dia menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm al-akhlâq, tetapi dengan “ilmu jalan akhirat” ‘ilm tharîq al-âkhirat atau jalan yang dilalui para nabi dan leluhur saleh al-salaf al-shâlih. Ia juga menamakannya dengan “ilmu agama praktis” ‘ilm al-mu’âmalat Menurut Al-Ghazali terdapat tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu a mempelajari akhlak sekedar sebagai studi murni teoretis, yang berusaha memahami ciri kesusilaan moralitas, tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku manusia yang mempelajarinya; b mempelajari akhlak sehingga akan meningkatkan sikap dan perilaku sehari-hari; c karena akhlak terutama merupakan subyek teoretis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam penyelidikan akhlak harus terdapat kritik yang terus-menerus mengenai standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subyek praktis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. Al-Ghazali setuju dengan teori kedua. Dia menyatakan bahwa studi tentang ‘ilm al-mu’âmalat dimaksudkan guna latihan kebiasaan; tujuan latihan adalah untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai di akhirat. 5 Tanpa kajian ilmu ini, kebaikan tak dapat dicari dan keburukan tak dapat dihindari dengan sempurna. Prinsip-prinsip moral dipelajari dengan maksud menerapkan semuanya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali menegaskan bahwa pengetahuan yang tidak diamalkan tidak lebih baik daripada kebodohan. 6 Berdasarkan pendapatnya ini, dapat diakatakan bahwa akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teologis ada tujuannya, sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa manusia mempunyai tujuan yang agung, yaitu kebahagiaan di akhirat, dan bahwa amal itu baik kalau ia menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya 5 Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid IV, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal 272-273. 6 Al-Ghazali, Ihyâ Ulûm al-Dîn, jilid III, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal 8. 123 menjurus ke tujuan tersebut, dan dikatakan amal itu buruk, kalau menghalangi jiwa mencapai tujuan itu. Bahkan amal ibadat seperti shalat dan zakat adalah baik disebabkan akibatnya bagi jiwa. Derajat baik atau buruk berbagai amal berbeda oleh sebab perbedaan dalm hal pengaruh yang ditimbulkannya dalam jiwa pelakunya. Berkaitan dengan masalah kebahagiaan, menurut Al-Ghazali tujuan manusia adalah kebahagiaan ukhrawi al-sa’âdat al-ukhrawiyyat, yang bisa diperoleh jika persiapan yang perlu untuk itu dilaksanakan dalam hidup ini dengan mengendalikan sifat-sifat manusia dan bukan dengna membuangnya. Kelakuan manusia dianggap baik, jika itu membantu bagi kebahagiaan akhiratnya. Kebahagiaan ukhrawi inilah yang menjadi tema sentral ajaran para rasul dan demi menggairahkan manusia ke arah itulah, maka semua kitab suci diwahyukan. Karena itu, ilmu dan amal merupakan syarat pokok memperoleh kebahagiaan. Kemuliaan dalam penilaian Allah terletak pada usaha mencapai kebahagiaan ukhrawi; barangsiapa yang gagal mendapatkannya lebih hina dari hewan yang rendah, karena hewan-hewan akan musnah sedangkan manusia- manusia yang gagal tersebut akan menderita sengsara. Kebahagiaan ukhrawi mempunyai empat ciri khas, yakni berkelanjutan tanpa akhir, kegembiraan tanpa dukacita, pengetahuan tanpa kebodohan, dan kecukupan, yang tak membutuhkan apa-apa lagi guna kepuasan yang sempurna. Tentu saja, kebahagiaan dimaksud, sesuai dengan Al-Quran dan Hadits adalah surga, sedangkan tempat kesengsaraan adalah neraka. Nasib setiap manusia akan ditentukan pada hari kebangkitan, tapi akibat kebahagiaan dan kesengsaraan itu dimulai segera setelah kematian. Pada hari kebangkitan, jiwa itu dikembalikan lagi ke suatu jasad; manusia yang bangkit itu dengan demikian akan mempunyai badan dan jiwa, dan akan hidup abadi dalam bentuk ini. 7 7 Muhammad Abul Quasem, The Ethics of Al-Ghazali,: A Composite Ethics in Islam, hal. 50-52 124 Adapun kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi. Yang rendah terdiri dari kesenangan indrawi mengenai makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istana dan seterusnya. Tingkat ini pantas bagi manusia-manusia baik kelas rendah yang disebut sebagai manusia- manusia saleh abrâr, shâlihûn, yang takwa kepada Allah muttaqûn dan manusia yang benar. Kesenangan inderawi akan memuaskan sekali bagi mereka, karena untuk kenikmatan semacam itulah mereka membekali diri dalam hidup ini. Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat dengan Allah, dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa. Kenikmatan pandangan ru’ya dan pertemuan liqâ’ dengan Dia merupakan kebahagiaan tertinggi, puncak kesejahteraan dan bentuk anugerah Allah yang terbaik. Tidak ada di surga yang lebih nikmat daripada memandang keindhan Ilahi itu. Kesukacitaan inderawi tidak berharga jika dibandingkan dengan kenikmatan merenungkan keindahan Ilahi. Kesenangan inderawi seumpama kesukaan yang dinikmati hewan makan rumput di padang, sedangkan kesenangan yang disebut terakhir merupakan kesenangan spiritual yang disebut dalam Hadits Qudsi, “Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tidak pernah dilihat mata, apa yang tidak pernah didengar telinga, dan apa yang tidak pernah timbul dalam pikiran manusia”. Kebahagiaan tertinggi ini diperoleh oleh para nabi, manusia-manusia suci auliyâ’, ahli ma’rifat ‘arifun, yang paling jujur shiddîqîn, yang mendekati-Nya muqarrabûn, yang mencintai-Nya muhibbûn, dan yang ikhlas mukhlishûn. Tiap tingkat kebahagiaan dibagi lagi menjadi anak tingkat atau anak derajat kebahagiaan yang tak terbilang jumlahnya. Anak derajat terendah dari tingkat yang tertentu bersinggungan dengan anak derajat tertinggi dari tingkat yang langsung di bawahnya.

B. Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali