Keterkaitan Agama dan Psikologi

31

BAB II AGAMA DAN PSIKOLOGI

A. Keterkaitan Agama dan Psikologi

Pertemuan antara psikologi dan agama dapat terjadi dengan menemukan jawaban bersama atas pertanyaan sederhana: Apa yang dipelajari dalam mengkaji agama? William James memandang bahwa untuk melakukan penelitian agama maka yang diteliti adalah kesadaran keagamaan yang berkembang sejalan dengan pengalaman keagamaan. Dengan demikian, dua tema pokok kajian agama adalah kesadaran keagamaan religious consciousness dan pengalaman keagamaan religious experience. Ia pun berpendapat ada tiga karakteristik agama, yakni: Pribadi personal, emosionalitas emotionalityn dan keanekaragaman Variety. Agama tetap bertahan hidup karena amat bermanfaat bagi manusia di bidang di mana manusia mencari makna hidupnya. Dalam merumuskan agama dengan pendekatan psikologis, William James mengemukakan pengertian agama sebagai: “Agama adalah perasaan, tindakan dan pengalaman manusia secara individual dalam keheningannya, yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandang mereka sebagai Tuhan.” 1 Perhatian secara psikologis terhadap agama sudah setua umat manusia. Sejak tumbuhnya kesadaran manusia, orang telah merenungkan tentang arti hidup 1 William James, The Varieties of Religious Experience, New York:Modern Library, 1950, hal.31-32 32 dan keberadaan di dunia, mengapa manusia berperilaku seperti itu, dan bagaimana arti hidup dan perilaku itu berhubungan dengan dunia yang ilahi, para dewa-dewi. Tetapi baru pada abad ke-19 dan abad ke-20 perhatian itu dilakukan secara ilmiah yaitu lewat psikologi agama. Psikologi agama, sebagai cabang ilmu psikologi, merupakan produk dunia Barat. Psikologi agama lahir sebagai hasil perkembangan ilmu-ilmu sosial pada umumnya dan psikologi pada khususnya. 2 Selama masa pengembangan psikologi ilmiah, agama tidak mendapatkan perhatian yang berarti. Karena agama seringkali dianggap membatasi teknik psikologi atau lebih tepatnya agama dipandang sebagai bidang suci yang tabu untuk penyelidikan ilmiah. Apalagi para ahli agama dan para ahli psikologi sendiri menilai studi agama secara psikologis merupakan tindakan masuk ke bidang lain, yang bukan bidangnya dan dengan metode yang bukan metodenya. Penjelasan tentang agama sebaiknya dicari dari sumber-sumber adikodrati. Akibatnya selama paruh kedua abad ke-19 psikologi agama bisa dikatakan hampir tidak ada perkembangannya. 3 Sekitar pergantian abad ke-19 dan ke-20 terbit dua buku yang menjembatani jurang antara psikologi dan agama dan banyak mengatasi rasa permusuhan di antara keduanya. Buku pertama adalah buku yang ditulis oleh Edwin D. Starbuck, berjudul The Psychology of Religion, terbit tahun 1899, dan buku kedua adalah buku yang ditulis oleh William James, The Psychology of Religious Experience, terbit tahun 1902. Jika dinilai menurut ukuran sekarang dari segi metode, dapat dikatakan bahwa kedua buku itu kurang dalam dan terlalu memusatkan perhatian pada pengalaman keagamaan yang luar biasa dengan mengabaikan pengalaman keagamaan yang biasa. Meskipun demikian, kedua karya itu teramat penting dalam perintisan penyelidikan fenomena keagamaan dari segi psikologi dan dalam penciptaan sikap positif terhadap kemungkinannya. 2 Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper Row, 1967 hal. 175-80 3 Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper Row, 1967 hal. 181-190 33 Pada dasawarsa awal abad ke-20 orang seperti James H. Leuba, George Coe, dan G. Stanly Hall yang karya-karyanya mengacu pada karya Starbuck dan James, memberi identitas pada istilah “Psikologi Agama”. 4 Tetapi sejak sekitar tahun 1930-an hanya sedikit kemajuan dalam pengembangan karya para perintis bidang studi agama secara psikologis dan menyempurnakan metodenya. Tahun-tahun itu merupakan tahun kemunduran psikologi agama. Alasan pertama adalah karena semacam ketidakacuhan di kalangan ahli agama dan ahli psikologi. Para ahli agama dan para ahli psikologi seolah-olah sepakat berkata bahwa tidak mungkin ada psikologi agama. Kedua, meskipun telah berkembang berbagai metode canggih yang memungkinkan psikologi menyelidiki agama secara lebih tepat, banyak ahli agama tetap tidak yakin bahwa studi agama secara psikologi dapat menghasilkan data yang dapat diandalkan. Ketiga, meskipun agama telah kehilangan sebagian besar bentengnya sebagai bidang suci, banyak ahli psikologi masih bersikap hati-hati dalam hal-hal di mana pembenarannya sepertinya harus bersandar pada yang transenden. Kecuali alasan-alasan di atas, mundurnya psikologi agama masih diakibatkan oleh dua faktor lain. Di satu pihak, karena pada tahun-tahun itu psikologi cenderung semakin positivistis behavioristis, dan kurang menyediakan kemungkinan untuk menilai agama di luar metode empiris ketat. Di lain pihak, agama telah menaruh minat pada bidang psikologi agama dan menjadikannya sebagai alat untuk menyucikan serta membersihkan iman para penganutnya. Dengan demikian psikologi dan agama berada dalam keadaan saling merendahkan satu sama lain. Dengan terlalu sempit membatasi studinya, psikologi mengabaikan unsur dan peran dinamis agama. Dengan memanfaatkan psikologi untuk kepentingan sendiri, agama menjadikan psikologi menjadi ilmu 4 Lihat John B. Magee, Religion and Modern Man: A Study of the Religious Meaning of Being Human, New York:Harper Row, 1967 hal. 190-199 34 sarana dan ditempatkan di bawahnya. Singkatnya, kedua ilmu itu belum saling menghargai dan saling menganggap penting. 5 Meskipun dialog permusuhan antara psikologi dan agama berkepanjangan, psikologi agama tidak lenyap atau mati. Istilah “agama” dan “psikologi” tetap dipergunakan satu sama lain, dan usaha untuk tetap membahas hubungan antara keduanya itu secara sistematis mulai tampak. Para ahli psikologi yang serius, dalam hati nuraninya tidak dapat menghindari agama, karena agama menduduki tempat berarti dan berperan besar dalam perilaku manusia. Para ahli agama yang serius tidak mungkin mengabaikan psikologi, bila mereka berkehendak mengembangkan psikologi manusia seutuhya. Psikologi agama giat dalam usaha mendamaikan dua cabang ilmu itu dengan cara mengambil keduanya secara serius.

B. Psikoanalisis dan Agama Sigmund Freud