124 Adapun kebahagiaan di surga ada dua tingkat, yang rendah dan yang tinggi.
Yang rendah terdiri dari kesenangan indrawi mengenai makanan dan minuman, pergaulan dengan bidadari, pakaian indah, istana dan seterusnya. Tingkat ini
pantas bagi manusia-manusia baik kelas rendah yang disebut sebagai manusia- manusia saleh abrâr, shâlihûn, yang takwa kepada Allah muttaqûn dan
manusia yang benar. Kesenangan inderawi akan memuaskan sekali bagi mereka, karena untuk kenikmatan semacam itulah mereka membekali diri dalam hidup ini.
Kebahagiaan yang lebih tinggi ialah berada dekat dengan Allah, dan menatap wajah-Nya yang Agung senantiasa. Kenikmatan pandangan ru’ya dan
pertemuan liqâ’ dengan Dia merupakan kebahagiaan tertinggi, puncak kesejahteraan dan bentuk anugerah Allah yang terbaik. Tidak ada di surga yang
lebih nikmat daripada memandang keindhan Ilahi itu. Kesukacitaan inderawi tidak berharga jika dibandingkan dengan
kenikmatan merenungkan keindahan Ilahi. Kesenangan inderawi seumpama kesukaan yang dinikmati hewan makan rumput di padang, sedangkan kesenangan
yang disebut terakhir merupakan kesenangan spiritual yang disebut dalam Hadits Qudsi, “Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang saleh apa yang tidak pernah
dilihat mata, apa yang tidak pernah didengar telinga, dan apa yang tidak pernah timbul dalam pikiran manusia”. Kebahagiaan tertinggi ini diperoleh oleh para
nabi, manusia-manusia suci auliyâ’, ahli ma’rifat ‘arifun, yang paling jujur shiddîqîn, yang mendekati-Nya muqarrabûn, yang mencintai-Nya muhibbûn,
dan yang ikhlas mukhlishûn. Tiap tingkat kebahagiaan dibagi lagi menjadi anak tingkat atau anak derajat kebahagiaan yang tak terbilang jumlahnya. Anak derajat
terendah dari tingkat yang tertentu bersinggungan dengan anak derajat tertinggi
dari tingkat yang langsung di bawahnya.
B. Manusia dalam Perspektif Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali tentang manusia tidak jauh berbeda dengan konsep ajaran Islam tentang manusia karena pada prinsipnya ia mendasarkan
125 pemikirannya kepada al-Qur’an dan Sunnah, di samping ia juga manusia ahli
tafsir dalam Islam. Ia membenarkan bahwa manusia tersusun dari unsur materi dan immateri atau jasmani dan rohani yang berfungsi sebagai abdi dan khalifah
Allah di bumi.
8
Walaupun pemikiran Al-Ghazali sejalan dengan konsep manusia menurut Islam, yang mengemukakan bahwa manusia tersusun dari rohani dan
jasmani, namun ia lebih menekankan pengertian dan hakikat kejadian manusia pada rohani atau jiwa. Menurut pemikirannya manusia itu pada hakikatnya adalah
jiwanya karena dengan jiwalah manusia dapat dibedakan dengan makhluk- makhluk Allah lainnya. Dengan memiliki jiwa, manusia dapat berpikir,
berperasaan, berkemauan, dan berbuat lebih dibandingkan dengan makhluk lain. Tegasnya jiwa itulah yang menjadi hakikat yang hakiki dari manusia karena
sifatnya yang latif, rohani, rabbani, dan abadi sesudah mati. Keselamatan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat banyak tergantung pada keadaan
jiwanya. Ini dikarenakan jiwa merupakan pokok dari agama dan asas bagi manusia yang berjalan menuju Allah, serta tergantung pada ketaatan atau
kedurhakaan manusia kepada Allah. Pada hakikatnya, jiwalah yang taat kepada Allah atau yang durhaka dan ingkar kepada-Nya.
9
Ringkasnya, dalam konsepnya tentang manusia, Al-Ghazali lebih menekankan unsur jiwa daripada unsur badan
materi. Dalam memberi pengertian jiwa, ia menggunakan empat istilah, yakni al-
qalb, al-rûh, al-nafs dan al-‘aql. Keempat istilah itu ditinjau dari segi kejiwaan hampir memilki kesamaan arti, akan tetapi dari segi fisik memiliki perbedaan arti.
Menurut Al-Ghazali keempat istilah itu masing-masing memiliki dua arti, yaitu arti khusus dan umum. Istilah pertama yakni al-Qalb mempunyai dua arti. Arti
pertama adalah al-qalb al-jasmânî atau al-lahm al-shanbarî, yaitu segumpal daging jantung, organ tubuh yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Qalb
dalam pengertian yang pertama ini berhubungan dengan ilmu kedokteran dan
8
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal 1- 2.
9
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dar al-Fikr, 1980, hal 4-5.
126 tidak berkaitan dengan maksud-maksud agama serta kemanusiaan. Qalb yang
demikian itu juga ada pada hewan. Kedua, al-qalb dalam pengertian jiwa yang bersifat lathîf, rûhaniyyat, rabbani dan mempunyai hubungan dengan al-qalb al-
jasmânî.. Qalb dalam pengertian yang kedua inilah yang merupakan hakikat yang hakiki dari manusia karena sifat dan keadaannya yang bisa merasa, berkemauan,
berpikir, mengenal dan beramal. Selanjutnya kepadanyalah ditujukan perintah dan larangan, serta pahala dan siksaan Allah.
Adapun istilah al-rûh roh dalam arti pertama adalah jisim yang latif halus, dan bersumber di dalam al-qalb al-jasmânî kalbu jasmani. Roh ini
memancar ke seluruh tubuh melalui urat nadi dan darah. Cahaya pancarannya membawa kehidupan kepada manusia, sehingga manusia dapat merasa, mengenal
dan berpikir. Seperti perumpamaan cahaya lampu yang sinarnya menerangi seluruh rumah, maka begitu juga cahaya kehidupan yang dihasilkan oleh roh
yang memancarkan sinarnya ke seluruh jasmani. Menurut istilah kedokteran lama, roh dalam arti pertama ini disebut roh jasmani yang dimunculkan oleh
panas gerak qalb yang menghidupi manusia. Sementara arti kedua dari roh ialah roh rohani yang bersifat kejiwaan, yang memiliki daya rasa, daya kemauan, dan
daya pikir, sama halnya dengan pengertian al-qalb yang kedua. Roh dalam pengertian yang kedua inilah, yang dimaksud ayat al-Qur’ân berikut :
t R q Ł = t « ¡ o
u r ˙ ‘ t ª
˙ y r 9
¨ Ł y r
9 ‘ ˇ B
ł B r ˛ n 1 u
t B u r O
F ˇ ? r Ø
z ‘ ˇ i B Oø= ˇ Ł ł 9
w˛ Wx
˛ = s ˙
˛ ¨
10
Adapun istilah al-Nafs jiwa dalam arti pertama adalah kekuatan hawa nafsu yang terdapat dalam diri manusia yang merupakan sumber bagi timbulnya
10
Q.S. 17:85. Artinya: dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.
127 akhlak tercela. Pengertian nafsu inilah yang dimaksud oleh ahli tasawuf pada
umumnya. Mereka menganjurkan: “Mari berjihad melawan hawa nafsu ”, maka yang dimaksud mereka dengan berjihad yakni melawan kekuatan nafsu syahwat
perut, faraj, dan marah yang merupakan penyebab timbulnya akhlak tercela. Adapun pengertian kedua dari al-nafs ialah jiwa rohani yang bersifat latif, rohani,
dan rabbani. Pengertian kedua dari al-nafs inilah yang merupakan hakikat diri, dan dzat dari manusia.
11
Selain itu, al-nafs dalam pengertian kedua memiliki tiga sifat dan tingkatan yang berbeda sesuai dengan perbedaan keadaannya masing-masing. Al-
nafs yang memiliki ketenangan dan ketentraman dalam mengemban amanat Allah dan tidak mengalami kegoncangan akibat tantangan yang ditimbulkan oleh
hawa nafsu, maka jiwa itu disebut dengan al-nafs al-muthma’innat jiwa yang tenang. Kepada jiwa yang tenang, Allah menyeru dengan himbauan sebagai
berikut :
p k J ›
r ’ fl » t §ł
¤ Z 9 Ł p ¤ Z ˝ · y J
J ł 9 ˙ ¸ —¨
ß º ¯ _
4 n ˛
¯ 7 ˛ n u
Z p u ¯ ˚ u
Z p ¤ ¯ ˚
£ D ˙ ¸
¨ ˝ ?
{ sø
˛ ß ˇ
» t 6ˇ ª ˙ ¸
¨
12
Dengan demikian, al-nafs dalam pengertian kedua bersifat rohani dan kembali ke hadirat Allah. Sedangkan al-nafs yang tidak tenang dan goncang
berarti menyerupai sifat setan. Apabila al-nafs tidak memiliki ketenangan yang sempurna karena menjadi pendorong timbulnya hawa nafsu dan sekaligus juga
penantang, maka keadaan ini disebut sebagai al-nafs al-lauwâmat, yakni jiwa yang masih mau menegur atau menyalahkan dirinya ketika lalai dalam mengingat
dan beribadah kepada Allah. Kepada jiwa al-lauwâmat, Allah berseru dalam ayat berikut :
11
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘ Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dar al-Fikr, 1980, hal 5-7.
12
Q.S. 89:27-29. Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, serta SurgaKu.
128 I
wu r ª N¯ ¡ ł Ø
˜ §ł ¤ Z 9 ˛
ˇ p t B §q fl = 9
˙ ¸ ¨
13
Jika al-nafs menjatuhkan dirinya dalam perbuatan jahat karena mengikuti dorongan nafsu marah, syahwat, perut, dan godaan setan, maka dinamakan al-
nafs al-ammârat jiwa yang jahat karena suka mendorong manusia berbuat jahat. Kepada jiwa yang jahat, Allah mengingatkan manusia sebagai berikut:
t B u r h
t Ø
ß ¯ ⁄ ł
t R 4
¤ b ˛ } §ł
¤ Z 9 8 o u
¤ B V{ ˇ
q ¡ 9 ˛
w˛ t B
z Oˇ m u ˛ n 1 u
4 ¤ b ˛
˛ n 1 u q
x L
ˇ m §
˙ ˛ ¨
14
Jelasnya, nafsu yang selalu mendorong timbulnya kejahatan ialah al-nafs dalam pengertian pertama yang memiliki sifat tercela. Sedangkan al-nafs dalam
pengertian kedua merupakan hakikat diri, dan ddzatnya manusia karena memiliki sifat latif, rabbani, dan rohani.
Selanjutnya, istilah al-‘aql akal juga memiliki dua pengertian. Pengertian pertama ialah tentang hakikat segala sesuatu. Dalam pengertian ini
akal dapat diumpamakan sebagai sifat ilmu yang bertempat di jiwa al-qalb. Dengan demikian, pengertian akal pada tingkat pertama ini ditekankan pada ilmu
dan sifatnya. Sementara itu, akal dalam pengertian kedua adalah akal rohani yang memperoleh ilmu pengetahuan al-mudrak li al-’ulûm, bersifat latif, rabbani, dan
rohani. Akal dalam pengertian kedua inilah yang merupakan hakikat diri dan ddzatnya manusia.
15
13
Q.S 75:2. Artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali dirinya sendiri.
14
Q.S 12:53. Artinya:53. dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh
Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.
15
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dar al-Fikr, 1980, hal 7-8.
129 Berdasar pada uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah al-qalb, al-
rûh, al-nafs, dan al-‘aql dalam pengertian pertama memiliki perbedaan, sedangkan dalam pengertian kedua memiliki banyak persamaan. Menurut
pengertian pertama al-qalb berarti qalb jasmânî kalbu jasmani, al-rûh yang bersifat roh jasmani dan latif, al-nafs berarti hawa nafsu dan sifat pemarah, serta
al-‘aql yang berarti ilmu. Sedangkan dalam pengertian kedua dari keempat istilah tersebut, terdapat persamaan, yakni jiwa yang bersifat lathîf, rabbani, dan rohani
yang merupakan hakikat diri dan dzat dari manusia. Ini berarti manusia dalam pengertian pertama fisik tidak kembali kepada Allah, sedangkan manusia dalam
pengertian kedua jiwa kembali kepada Allah. Al-Ghazali menjelaskan jiwa dalam pengertian kedua dengan
mengemukakan perumpamaan manusia sebagai sebuah kerajaan. Sebagai kerajaan di mana rajanya adalah jiwa, wilayah kekuasaannya adalah tubuh,
sedangakan alat indera dan bagian tubuh lainnya diibaratkan sebagai tentaranya. Akal sebagai wazirperdana menteri, serta hawa nafsu dan sifat marah adalah
polisinya. Raja dan wazir selalu berusaha membawa manusia ke jalan yang baik dan diridloi Allah. Sebaliknya hawa nafsu dan sifat marah selalu mengajak
manusia ke jalan yang sesat dan dimurkai Allah. Dalam rangka menciptakan ketenangan dan kebahagiaan dalam kerajaan diri manusia, maka kekuasaan jiwa
dan akal harus mampu menguasai hawa nafsu dan sifat marahamarah, jiwa dan akal berada di atas kekuasaan hawa nafsu dan sifat marah. Apabila yang terjadi
sebaliknya maka merupakan pertanda kerajaan itu akan runtuh dan binasa.
16
Berkaitan dengan fungsi jiwa, Al-Ghazali dan Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa terbagi dalam tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan al-nafs al-
nabâtiyyat, jiwa hewan al-nafs al-hayawâniyyat, dan jiwa manusia al-nafs al- insâniyyah . Adapun setiap jiwa tersebut mempunyai daya-daya yang tidak sama
antara satu dengan lainnya. Jiwa nabati memiliki daya makan, tumbuh, dan
16
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dar al-Fikr, 1980, hal 11-12.
130 berkembang. Jiwa hewan memiliki daya gerak, tangkap, dan khayal. Jiwa
manusia memiliki daya akal, praktis dan teoritis.. Daya praktis erat hubungannya dengan hal-hal yang bersifat badani amal, dan daya teoritis berhubungan
dengan hal-hal yang bersifat abstrak ilmu. Dengan kata lain daya praktis menimbulkan akhlak, dan daya teoritis menghasilkan ilmu. Daya teoritis ini
terbagi pula dalam empat tingkatan. Pertama, tingkatan akal materil yang memiliki potensi untuk berpikir namun belum terlatih sedikit pun. Kedua, akal bi
al- milkat yang telah terlatih berpikir tentang hal-hal yang abstrak. Ketiga, akal aktuil yang telah mampu berpikir abstrak. Keempat, akal qudsi sebagai tingkatan
akal yang paling tinggi, dapat berpikir tentang hal-hal yang abstrak dengan mudah, dan mampu menerima ilmu pengetahuan dari Allah.
17
Dengan demikian jiwa manusia yang paling sempurna bila dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Dalam kaitannya dengan hubungan akhlak dan jiwa, pemikiran Al- Ghazali sejalan dengan pemikiran Ibnu Sina. Mereka berpendapat bahwa akhlak
semanusia sangat bergantung pada jenis jiwa yang menguasai dirinya. Jika jiwa nabati dan hewani yang berkuasa atas dirinya, maka akhlak manusia tersebut
akan menyerupai nabati dan hewani. Akan tetapi, jika jiwa manusiainsani yang berpengaruh dan berkuasa dalam dirinya, maka semanusia dapat berakhlak
sebagaimana insan kamil. Menurut Al-Ghazali jiwa yang merupakan hakikat, diri, dan dzat manusia itu adalah jauhar substansi rohani dan bukan ‘aradl
aksiden serta bersih dari sifat kebendaan. Jiwa mempunyai wujud sendiri yang terlepas dari badan. Wujud dan hakikat jiwa berasal dari alam gaib sedangkan
wujud dan hakikat badan berasal dari alam materi. Badan itu bukan tempatnya jiwa karena sesuatu yang bersifat jauhar substansi, dzat, hakikat tidak mendiami
suatu tempat tertentu. Badan itu adalah alat bagi jiwa, sedangkan badan tidak bisa
17
Pembagian fungsi-fungsi jiwa ini kelihatannya tidak jauh berbeda dengan pembagian yang dikemukakan Ibnu sina lihat Hasan Langgulung, Beberapa pemikiran Tentang Pendidikan Islam,
Bandung: al-Ma’ârif, 1980, hal. 110-112, dan Harun Nasution, FalsafatMistisisme Dalam Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1983, hal 35-37, kalau ada perbedaan mungkin pada pembagian akal teoritis.
131 memperalat jiwa.
18
Sehubungan dengan terdapat perbedaan yang besar dan mendasar antara jiwa dan badan dalam wujud dan hakikat, maka dalam fungsi
dan sifatnya juga terdapat perbedaan yang besar. Jiwa bersifat baka, sedang badan bersifat fana.
Dalam pemikiran Al-Ghazali tentang konsep manusia, ditekankan bahwa jiwa adalah hakikat, dzat, dan inti dari kehidupan manusia. Ini mempengaruhi
pemikirannya yang sangat menaruh perhatian besar pada soal kebahagiaan dan kesempurnaan jiwa serta ketinggian akhlak manusia.
Menurut Zakiah Daradjat, jika dilakukan pengkajian ajaran Islam mengenai kejiwaan kemudian dibandingkan dengan pemikiran Al-Ghazali, maka
hasil dari pengkajian itu akan menghasilkan kesimpulan bahwa Al-Ghazali adalah tokoh penting dalam ilmu jiwa atau “Psikolog Agung”, yang karya-
karyanya tentang ilmu jiwa bersumberkan pada Al-Qur`an dan Hadis.
19
Pendapat Zakiah Daradjat ahli jiwa tersebut berdasar pada konsepsi Al-Ghazali tentang
manusia, serta pendapatnya tentang jiwa dan akhlak. Al-Ghazali tidak hanya memandang ilmu jiwa sebagai ilmu tingkah laku, namun juga memandangnya
sebagai suatu ilmu yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Dalam hal ini aspek ketuhanan agama termasuk bagian ilmu jiwa di samping ilmu akhlak.
Walaupun unsur jiwa sangat ditekankan dalam konsepsi Al-Ghazali tentang manusia, namun tidaklah berarti ia mengabaikan unsur jasmani manusia.
Unsur ini juga ia pentingkan karena rohani sangat memerlukan jasmani dalam melaksanakan kewajibannya beribadat kepada Allah dan menjadi khalifah-Nya di
bumi. Semanusia tidak akan mungkin sampai kepada Allah dan beramal dengan baik di dunia selama jasmaninya tidak sehat. Kehidupan jasmani yang sehat
merupakan jalan kepada kehidupan rohani yang baik. Dengan menghubungkan kehidupan jasmani dengan kehidupan dunia, ia mengatakan bahwa dunia itu
18
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia, Jakarta:Rajawali, 1983, hal. 164-165.
19
Zakiah Daradjat, “Aspek-aspek Psikologi dalam karya Al-Ghazali, Makalah disampaikan pada simposium tentang Al-Ghazali yang diselenggarakan oleh BKS Perg. Tinggi Islam Swasta
Indonesia di Jakarta, 26 Januari 1985, hal. 8.
132 merupakan ladangnya bagi kehidupan akhirat, dan merupakan salah satu
manzilnya hidayat Allah. Oleh karena kehidupan dunia jasmani tangga bagi kehidupan akhirat rohani, maka memelihara, membina, mempersiapkan, dan
memenuhi keperluannya agar tidak binasa adalah juga hal yang perlu wajib.
20
Walaupun Al-Ghazali mengemukakan pendapat bahwa wujud dan hakikat jiwa jauh berbeda dengan wujud dan hakikat badan, maka hal ini tidaklah berarti
bahwa di antara keduanya tidak terdapat hubungan yang saling mempengaruhi. Antara keduanya terdapat hubungan yang saling mempengaruhi yang terjadi
melalui al-rûh. Jiwa harus berhubungan dengan badan karena manusia adalah makhluk metafisik. Sebab itulah ia mengibaratkan manusia sebagai sebuah
kerajaan atau kendaraan yang sedang berjalan yang menghendaki keseimbangan dalam perjalanannya. Bisa diibaratkan sebagai raja dengan kerajaannya dalam
mengerti tentang hubungan jiwa dan badan. Rakyat kerajaan seperti daya-daya jiwa yang bekerja sama semuanya di bawah perintah raja, dan sebagai rakyat dan
tentara mereka lakukan tugasnya sesuai dengan perintah raja. Berdasar beberapa uraian Al-Ghazali tentang hubungan jiwa dan badan
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dikehendakinya dengan uraian tersebut adalah terwujudnya keserasian antara keduanya. Ini menandaskan bahwa
ia menyatakan bahaya adanya ketidakserasian antara jiwa dan badan. Apabila ia pada masanya menekankan pentingnya unsur jiwa dalam konsepsinya tentang
manusia dan pendidikan, maka hal itu ada argumentasinya, dan hal itu tidak bisa terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya, seperti krisis yang melanda
masyarakatnya di bidang agama, sosial, politik, intelektual, moral, dan spiritual, maupun krisis yang melanda dirinya sediri, yang tidak dapat merasa bahagia
dengan kemewahan material yang dicapainya. Penekanan atas unsur kejiwaan dalam memperbaiki masyarakatnya sama sekali tidak terlepas dari usahanya
untuk mengharmoniskan kedua unsur manusia tersebut jiwa dan badan. Sejarah
20
Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, juz 8, Beirut:Dâr al-Fikr, 1980, hal 9-10.
133 mencatat pada zaman Al-Ghazali, keadaan umat di bidang material boleh
dikatakan sudah maju, tetapi belum di bidang moral dan spritual. Sehubungan dengan itu, dapat dikatakan benar jika ia menekankan segi kejiwaan yang
berkaitan erat dengan moral itu dalam memperbaiki umat yang tengah mengalami krisis di bidang ini. Kalau masyarakatnya tidak mengalami krisis di bidang moral
dan spritual, maka mungkin corak pemikiran Al-Ghazali tidak akan terlalu menekankan aspek tasawuf atau lain dari apa yang ada sekarang. Tak dapat
dipungkiri bahwa manusia dalam berpikir dan berbuat tidak terlepas dari situasi dan kondisi yang mengitarinya.
Di samping itu, Al-Ghazali juga mengemukakan konsep insan kamil, namun demikian istilah tersebut tidak ditemukan secara tegas dalam tulisan-
tulisannya. Tetapi, insan kamil dalam arti figur bentuk manusia yang dibentuknya ada dalam pemikirannya. Dalam hal ini ia menggunakan istilah
muthî’at
21
manusia yang taat kepada Allah dan rasul-Nya untuk menunjuk kepada konsep insan kamil. Ketaatan dan insan kamil adalah dua nama yang
wujud dan hakikatnya bersamaan, dan sama sekali tidak terdapat perbedaan yang prinsipil. Sebab, istilah ketaatan bagi Ghazali memiliki pengertian yang luas dan
tingkatan yang tinggi. Pengertiannya tidak hanya terbatas pada ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya, tetapi juga meliputi ketaatan kepada manusia yang taat
kepada Allah, seperti para pemimpin. Adapun tingkatan manusia yang taat baginya terdiri atas empat. Pertama, ketaatan manusia awam yang terbatas pada
ketaatan lahir. Kedua, ketaatan manusia yang saleh. Ketiga, ketaatan manusia yang takwa atau al-muqarrabîn. Keempat, ketaatan manusia arifin, al-shiddîqîn,
dan para nabi dan rasul. Selain itu pandangan Al-Ghazali tentang insan kamil erat pula kaitannya
dengan pemikiran tasawuf dan pandangannya tentang jiwa. Dalam pengertian tasawuf, manusia yang mencapai kesempurnaan jiwa dan kedekatan dirinya
21
Al-Ghazali, Misykat al-Anwâr, terj. Muhammad Baqir”Misykat Cahaya-cahaya”, Bandung:Mizan, 1985, hal. 111.
134 kepada Allah dalam hidupnya disebut insan kamil. Tambahan pula, ia juga
memberikan kriterium dalam mendefinisikan insan kamil. Adapun kriteria yang dimaksud antara lain: 1 adanya keseimbangan jasmani dan rohani dalam
kehidupan manusia karena keseimbangan adalah hal utama dalam konsepsinya tentang manusia, 2 memiliki keluhuran akhlak dan kezakiahan jiwa, 3 memiliki
makrifat dan tauhid kepada Allah karena kedua hal ini merupakan tujuan dari ajaran tasawufnya.
22
Kaitannya dengan hal ini, ada pula yang mengajukan kriterium ketajaman daya intuisi dan kesempurnaan akal.
Sulit untuk menjelaskan pengertian insan kamil yang mengarah kepada pengertian manusia yang sempurna, sesuai dengan yang diinginkan Al-Ghazali
karena ia tidak pernah menggunakan istilah insan kamil dalam menjelaskan manusia sempurna. Namun demikian, faktor keseimbangan i’tidâl dan ketaatan
dapat dijadikan kriterium pokok dalam menentukan insannulkamil menurutnya. Manusia yang memiliki keseimbangan kehidupan lahir dan batinnya, serta
mentaati Allah, rasul-Nya dan manusia yang taat kepada-Nya, dikategorikan sebagai al-insân al-kâmil. Jelasnya, faktor kei’tidâlan dan ketaatan dalam al-
insân al-kâmil erat hubungannya dengan tazkiyat al-nafs.
C. Pendidikan Akhlak menurut Al-Ghazali